16. Let's Play!
Lee Taeyong bukanlah orang yang tertarik pada bidang otomotif, dia juga tidak pernah mengikuti balapan, tapi pria itu menyukai mobil sport dan tidak ragu mengeluarkan banyak uang untuk memiliki satu. Mobilnya adalah Nissan 350z berwarna emas dengan hiasan lidah api di sisi sampingnya. Mesin yang digunakan memiliki tenaga 276 bhp dengan akselerasi dari 0-60 mil/jam hanya dalam 5,9 detik. Dengan harga £ 99,950, Nissan itu mampu melaju hingga 250 km/jam.
Apakah Doyoung tahu semua itu? Ya.
Tapi apakah dia peduli? Tidak.
Dia tak berpikir 2 kali saat menjalankan si kuda besi dalam kecepatan 160 km/jam, menyerempet mobil lain hingga bagian kanannya tergores dan membuat Taeyong menggeleng dengan wajah murung. "Kau harus menggantinya nanti."
Doyoung hanya terkekeh. Dia ingin berkata, "kalau kita selamat", tapi tak ingin bersikap pesimis lagi. Lagipula dia cukup percaya diri dengan kemampuan mengemudinya.
Sementara itu di kursi belakang, Sejeong sedang melepaskan ikatan Jaemin. "Kau baik-baik saja? Maaf soal yang tadi."
Jaemin menjadi satu-satunya yang bisa tersenyum di mobil itu. "Hanya luka kecil."
"Apa yang terjadi?" Tanya Mark. "Kenapa kau sampai terluka?"
Namun seperti yang sudah diduga, Jaemin mengabaikannya. Secara teknis mereka duduk bersebelahan, tapi seolah terpisah jurang lebar. Taeyong-lah yang menjawab pertanyaan adiknya. "Sejeong sedikit berimprovisasi."
"Yang penting berhasil kan?" Doyoung nyengir pada gadisnya dari kaca spion tengah. "Baiklah. Semuanya pegangan!" Setelah memberi peringatan itu, ia membelokkan Nissan di sebuah tikungan, membuat ban kiri mobil itu terangkat selama beberapa detik, kemudian terhempas kembali ke jalanan dengan keras.
Taeyong memegangi kepalanya yang terbentur jendela. "Kurasa ada 2 kemungkinan di sini; kita mati karena mereka atau karenamu."
"Itu tidak akan terjadi." Sahut Sejeong tegas, mengambil tas yang tadi dibawa Doyoung, lantas mengeluarkan sebuah FN 57.
Ia mengisinya dengan cepat dan membuka jendela. Tak ada rasa takut sedikitpun yang terlihat di wajahnya saat dia mengeluarkan sebagian tubuhnya, dan membidik salah satu van. Menembak memang bukan keahliannya, tapi tidak berarti dia payah dalam bidang ini.
3 peluru berkaliber 5,7 mm meluncur dan melubangi kaca van, memecahkannya seketika. Pengemudinya jelas terkejut oleh serangan itu dan kehilangan kendali. Van melaju asal menyenggol mobil lain sebelum akhirnya menabrak sebuah tiang lampu jalan
1 selesai, tinggal 1 lagi.
Sejeong bersiap menembak untuk kedua kalinya, namun ternyata orang-orang di van kedua telah menyiapkan antisipasi. Salah satu dari mereka mengeluarkan AK-47 dan balas menembak, nyaris mengenai gadis itu kalau saja Doyoung tidak menggeser Nissan, membuat peluru-peluru itu meleset.
Sejeong menyusup masuk kembali ke mobil, kesal pada dirinya sendiri. "Berengsek!"
"Kerja bagus," puji Taeyong. "Sekarang giliranku." Dia meregangkan jari-jarinya terlebih dahulu, lalu membuka jendela. Menggunakan Glock 36 sebenarnya mudah saja. Yang sulit adalah menembak sasaran yang bergerak cepat dari mobil yang bergerak cepat pula.
Tapi Taeyong adalah seorang penembak jitu. Di "sekolah", ia secara khusus berlatih menembak selama 2 tahun, sehingga dia bisa menggunakan berbagai jenis pistol. Dia adalah yang terbaik di antara rekan-rekannya.
Ini tak ada apa-apanya. Ini mudah. Bukan masalah besar. Taeyong menarik napas panjang.
Bersiap.
Bidik; Incar pengemudinya.
Dan sekarang....
Tembak!
Taeyong menekan pelatuk, melepaskan 2 peluru yang melesat ke.....
Aspal.
Si pria bermarga Lee mengutuk-ngutuk saat mobil melakukan belokan tajam yang nyaris membuatnya jatuh dan kehilangan pistol. Ia berpegangan pada pintu, memprotes, "Apa-apaan itu tadi?!"
Doyoung bersiul tanpa merasa bersalah. "Maaf."
"Lain kali beri peringatan dulu." Taeyong menghembuskan napas lega, yang hanya sebentar karena ia kembali dibuat panik ketika menyadari Doyoung berniat menerobos lampu merah. "Kau serius?!"
Temannya mengangguk. "Mari berharap mereka bernasib seperti Han."
"Beruntung 2 kali dalam sehari? Kedengarannya mustahil."
Doyoung tidak menanggapi. Dia juga berpikir begitu, dan sebenarnya ini juga beresiko untuk mereka. Tapi jika berhasil, mereka akan lepas dari kawalan Rim, mengingat van pertama一yang kembali melaju一tertinggal jauh di belakang.
Kecepatan Nissan meningkat menjadi 170 km/jam.
Taeyong duduk merosot di kursinya. "Sekarang aku tahu mengapa Sejeong tak pernah mengizinkanmu mengemudi."
Sejeong mencengkeram sabuk pengamannya dengan erat.
Mark memejamkan mata.
Sedangkan Jaemin menelan ludah dengan gugup.
"Kita akan baik-baik saja," gumam Doyoung, begitu pelan seolah untuk dirinya sendiri. 4 nyawa, katanya dalam hati. Ada 4 nyawa yang bergantung padanya. Salah satunya adalah Sejeong...
Mesin Nissan mengeluarkan suara deruman saat kecepatannya meningkat. Dengan cekatan, Doyoung mengarahkan mobil itu meliuk-liuk menghindari mobil-mobil yang terlambat mengerem. Ban berdecit. Klakson dibunyikan.
Hampir berhasil.
Doyoung tersenyum.
Tapi, ah, dia bersorak terlalu cepat. Sebuah Camaro berwarna merah datang dari arah kanan, rasanya tidak mungkin bisa berhenti tepat waktu.
Sial.
Kalau begini, dia bisa berakhir seperti Han.
Doyoung menginjak pedal gas lebih dalam, berharap itu bisa menghindarkannya dari tabrakan. Dahinya berkeringat, panik. Bukan Camaro itu yang sebenarnya ia khawatirkan, tapi Rim.
Camaro semakin dekat, mengancam akan menabrak pintu penumpang yang pasti akan langsung mencederai Sejeong. Kemungkinan terburuk adalah; Nissan akan terbalik. Dan Rim pasti memanfaatkan kesempatan itu untuk menyergap mereka.
Namun sesaat, hanya beberapa detik saja sebelum terjadi tabrakan yang mengancam nyawa, Camaro merah itu tiba-tiba bergeser ke kiri dengan gerakan yang tidak wajar. Bumpernya membentur bagian belakang Nissan, namun hanya berupa tabrakan kecil.
Orang-orang berteriak ketika Camaro berputar tanpa arah dan baru berhenti usai menghantam sebuah van berwarna gelap yang baru muncul. Asap tebal keluar dari kap mesinnya.
Tak sampai disana, mobil lain yang tadinya berhenti bergerak seolah ditarik dengan tali oleh seseorang, dan memblokir jalan van itu一yang merupakan kendaraan yang dipakai Rim.
Doyoung tercengang. "Apa yang terjadi?"
"Tidak penting." Taeyong menjawab, tapi matanya tertuju pada Jaemin. "Jalan lagi."
Masih kebingungan, Doyoung memilih patuh. Dia ikut melirik Jaemin, bertanya-tanya apakah itu disebabkan olehnya. Benar-benar dia, sungguh? Mungkin Jaemin tidak hanya bisa menggerakkan pisau atau manusia, tapi juga benda berat seperti mobil...
Bagaimana bisa seseorang memiliki bakat semacam itu? Mengerikan.
Seakan tahu apa yang terlintas di benak Doyoung, Jaemin menghindari tatapannya.
Canggung. Hening. Suasana di dalam mobil berubah tidak nyaman. Lee bersaudara sepakat menatap keluar jendela, Sejeong menoleh ke belakang, jadi pengamat. Doyoung si sopir yang ingin cepat sampai di Yangpyeong tidak memelankan kendaraan. Normalnya butuh waktu 2 jam untuk kesana dari Seoul, tapi karena sejak tadi mengebut, mereka sudah menghemat banyak waktu.
Sayang, perjalanan mereka tidak mulus.
Laju Nissan mendadak melambat.
Terus melambat.
Dan semakin lambat.
Hingga berhenti total di sebuah minimarket.
"Apa lagi ini?!" Seru Doyoung kesal, berusaha menghidupkan mobil itu berkali-kali, namun gagal. Butuh nyaris 30 detik sebelum ia menyadari bahwa... "BENSINNYA HABIS??"
Taeyong tertawa sumbang. "Jangan salahkan aku," ucapnya, di saat yang sama dengan Sejeong yang memberitahukan, "Mereka datang."
Doyoung memukul setir. "Semuanya keluar! Sekarang!" Diambilnya tas berisi senjata dan mengeluarkan Desert Eagle yang dari tampilannya saja sudah menumbuhkan ketakutan.
Dia mendekati seorang pria yang tampaknya hendak pulang sehabis belanja dan menarik pakaiannya, mencegahnya masuk ke mobil. "Hei! Ada apa ini?" Tanya pria itu bingung.
"Boleh kupinjam mobilmu?" Doyoung tersenyum, satu tangannya menodongkan Desert Eagle.
Korbannya yang malang mengangguk, buru-buru pergi tanpa diminta.
"Masuk," perintah Doyoung, mengarahkan kekasihnya ke kursi pengemudi. "Kau dan Jaemin pergilah lebih dulu."
"Kau sendiri bagaimana?"
"Mereka harus dihentikan di sini. Tidak ada cara lain."
"Tidak!" Sejeong menggeleng keras kepala. "Kau sudah gila? 3 orang saja tidak cukup. Aku akan tinggal juga. Aku bisa membantu!"
"Tentu saja bisa." Tanpa menghiraukan protes gadis itu, Doyoung menyerahkan 2 magasin FN 57 yang berkapasitas 30 butir dan menatap mata Sejeong dalam-dalam. "Tapi aku ingin kau aman. Lagipula ada Taeyong. Jangan khawatir." Tatapan keduanya berpindah pada Taeyong yang tanpa banyak kata telah mengambil semua magasin Glock dan bersembunyi di balik sebuah mobil. Mark melakukan hal serupa, hanya saja di posisi berbeda.
Kata-kata itu rupanya gagal memenangkan Sejeong. Dia bersikeras keluar dari mobil. "Aku tidak mau! Lepaskan aku!"
Van semakin mendekat.
"Dengar, dengarkan aku!" Doyoung sedikit mengeraskan suaranya. "Aku akan baik-baik saja. Aku janji. Kau percaya padaku kan, hmm?"
Sejeong megusap wajahnya. "Ya, tapi melakukan ini sama saja bunuh diri!"
Dengan lembut, Doyoung mengecup bibir gadis itu seolah Rim dan semuanya tidak penting. Dalam jeda waktu yang singkat itu, rasanya hanya ada mereka berdua saja di dunia. Dia dan gadis yang telah membawa begitu banyak perubahan dalam hidupnya. Gadis yang ia cintai.
Doyoung tersenyum, melepaskan tangan Sejeong dari lengannya. "Aku janji akan menyusulmu. Sekarang pergilah."
Sejeong mengangguk, tapi pada saat itu, van telah tiba. Barikade mobil ternyata hanya bisa menahan mereka sebentar. Pintu van terbuka; para agen keluar dari sana. Salah satu dari mereka yang melihat Doyoung mengangkat AK-47 yang ia bawa dan menembak.
"Doyoung!" Taeyong berteriak.
Terlambat.
Tidak bisa menghindar. Peluru itu tak mungkin meleset. Terlampau cepat dan akurat. Doyoung yang terkejut hanya bisa menggenggam tangan Sejeong, bersiap merasakan sakit yang barangkali akan langsung membawanya pergi dari dunia ini.
Tapi.
Dia melupakan Jaemin.
Sebelah tangan Jaemin terangkat, menghentikan peluru itu hanya beberapa senti dari dahi Doyoung, dan membuatnya jatuh ke aspal seiring dengan tangannya yang turun.
Sejeong dengan marah balas menembak agen itu dengan FN 57-nya, menghancurkan kepala si agen menjadi serpihan menjijikkan.
Doyoung sendiri hanya mengerjap, masih berusaha mencerna apa yang terjadi. Seumur hidup, ia tak pernah sedekat ini dengan maut. Seandainya tadi Jaemin tidak menyelamatkannya...
"Berlindung, bodoh!" Taeyong kembali memperingatkan.
Doyoung menampar pipinya keras, menyambar lengan Jaemin dan mendorongnya ke kursi penumpang. "Cepat pergi!"
Sejeong tidak protes, tapi dia menyempatkan diri untuk menembak 1 agen lagi sebelum menutup pintu dan menjalankan mobil.
Hal terakhir yang dilihat Doyoung sebelum mencari tempat berlindung adalah wajah cemas Jaemin, dan satu kalimat darinya yang diucapkan sangat pelan, "Maafkan aku..."
Ini hari biasa di "sekolah" Doyoung. Tak ada yang istimewa. Ia duduk dengan tenang di kursinya yang berada di antara Han dan Taeyong, mencegah mereka bertengkar. Di depan, Kim Jongdae一sang guru, sedang menjelaskan sesuatu. Topiknya menarik, jadi Doyoung mendengarkan dengan sungguh-sungguh, bukannya tertidur seperti biasanya.
Usianya hampir 18 waktu itu, hanya beberapa bulan saja sebelum ia menerima tugas pertamanya.
"Apa yang akan kalian lakukan," ucap Jongdae. "Kalau terjebak dalam situasi yang tidak menguntungkan, misalnya, ketahuan saat melaksanakan tugas dan dikepung banyak orang?"
Taeyong mengangkat tangan. "Pura-pura mati."
18 murid yang ada di kelas itu kompak tertawa, kecuali Doyoung dan Han yang justru mendengus jengah.
"Ini bukan saatnya bercanda." Doyoung melotot. "Jawaban yang benar tentu saja bersiap-siap."
Jongdae bertepuk tangan sekali. "Untuk melawan mereka?"
"Bukan, untuk lari." Lalu Doyoung terbahak.
Han menghela napas, memejamkan mata sejenak. "Mengapa mereka belum dikeluarkan juga?"
Jongdae tersenyum, kemudian memukul kepala 2 pembuat ulah itu dengan penggaris kayu di tangannya sampai mereka mengaduh. "Jawabanmu tidak sepenuhnya salah, Doyoung, kita memang harus tahu kapan waktu yang tepat untuk mundur. Tapi bagaimana kalau satu-satunya cara adalah melawan?"
Doyoung tidak menganggapnya masalah besar. "Lakukan saja kalau begitu."
"Itu tindakan tolol." Han menertawakannya. "Sulit melawan bila kalah jumlah."
Ucapan itu mungkin akan membuat orang lain terdiam, tapi ini Doyoung, yang salah satu kepandaiannya adalah bicara. Yang alih-alih menyerah, dia malah mengangkat satu jari, mengetuk-ngetukkannya ke kepala. "Pakai otakmu. Jumlah tidak menentukan kemenangan. Audie Murphy sendirian menghadapi 250 tentara Nazi dan 6 tank, tapi dia mampu memaksa mereka mundur dan membunuh setidaknya 50 orang."
Senyum Jongdae semakin lebar. Inilah kenapa Doyoung menjadi murid favoritnya. Ya, dia memang bermulut tajam dan sering membuat masalah, tapi kau tak bisa menyangkal kepintarannya. Atau keberaniannya. "Jadi menurutmu nyali saja cukup?"
Doyoung tampak bingung. "Memangnya apalagi?"
Sang guru tertawa. "Ketenangan, Doyoung. Itu yang paling penting. Dalam situasi apapun, jangan panik atau kau akan mengacaukan segalanya."
Tenang.
Doyoung berulang kali menggumamkan 1 kata itu sambil mengatur napas, berusaha menormalkan detak jantungnya. Lawan yang ia hadapi tidak sebanyak lawan Audie Murphy, hanya ... Doyoung berhitung dalam hati. 11? Ya. 11. Mark menumbangkan 4 orang saat di rumah, dan Sejeong menjatuhkan 2 tadi.
Kalah jumlah bukanlah masalah. Ada Taeyong, si penembak jitu. Dan ada banyak amunisi yang bisa dipakai. Pria itu tersenyum.
Kalian ingin bermain? Ayo mulai kalau begitu.
Note : Audie Murphy itu beneran ada ya, dia prajurit amerika waktu pd 2.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top