15. Game Started

Jaemin menunduk, menimbang-nimbang. 4 pasang mata menatapnya dengan sorot yang berbeda-beda, membuatnya bingung. Dia sadar dirinyalah akar permasalahan ini, dan harus bertanggung jawab, tapi untuk ikut ambil bagian dalam rencana Taeyong, dia ragu.

Bagaimanapun, beberapa kejadian saja tidak cukup untuk mengubah cara pandangnya terhadap Taeyong, di luar fakta bahwa Doyoung mempercayainya.

Dalam hal itu, ia tak bisa sependapat.

"Kau," ucapan Doyoung membuat Jaemin menoleh padanya, tapi rupanya dia sedang bicara pada Taeyong. "Masih berpikir untuk memanfaatkan orang lain di saat seperti ini? Seharusnya Sejeong memukul kepalamu saja tadi."

Taeyong menggeleng cepat, berusaha memperbaiki kesalahpahaman yang terjadi. "Bukan begitu! Dengarkan aku dulu. Jaemin bisa menjadi tiket kita untuk keluar dari sini."

Kening Sejeong berkerut merespon kalimat itu. "Jelaskan."

"Sehebat apapun kita, kau, aku dan Doyoung bisa dengan mudah digantikan. Rim takkan segan membunuh kita atau Mark一karena dia membencinya. Tapi Jaemin? Tidak. Dia terlalu berharga."

Jaemin tertawa, tidak merasa tersanjung sedikitpun. "Aku tidak yakin soal itu. Dia pernah berkata akan membunuhku kalau aku mencoba kabur lagi, dan dia pasti tidak sabar melakukannya."

"Rim hanya menggertak." Bantah Taeyong. "Kau tentunya sadar semua hukuman yang ia berikan bertujuan untuk membuatmu jera, bukan membunuhmu."

"Kenapa begitu?" Celetuk Doyoung, selalu ingin tahu dan teliti.

"Karena anak-anak dengan bakat seperti dia sangat sulit ditemukan, jadi kalau ada yang paling aman di antara kita semua." Taeyong melirik Jaemin. "Dialah orangnya."

"Masuk akal." Mark bicara untuk pertama kalinya sejak Doyoung dan Taeyong datang. "Tapi kita tak bisa memaksanya."

Sang kakak setuju. "Tentu saja tidak. Seperti kataku tadi, terserah dia."

Jaemin masih tidak yakin.

Sejeong yang menyadari itu tersenyum padanya. "Tak ada yang akan memaksamu. Katakan saja kalau kau tidak mau."

Bibirnya seolah terkunci. Matanya menatap Mark, lalu Doyoung yang dari luar tampak tenang, tapi tangannya menggenggam Armatix lebih erat. Dan yang terakhir, Taeyong. Dia memang bukan orang baik, tapi juga tidak sepenuhnya jahat. Beberapa kali, pria itu menolong dia dan teman-temannya jika ada kesempatan, namun apakah itu cukup untuk dijadikan landasan mempercayainya?

Jaemin berdiri. "Aku tidak percaya padamu."

Wajah Taeyong terlihat pasrah.

"Tapi," lanjut Jaemin, menghadap Doyoung dan Sejeong. "Aku percaya pada kalian. Kalau kau dan Noona setuju, aku juga setuju."

Doyoung tertegun. Apakah dia sudah tidak waras? Bagaimana bisa Jaemin berkata akan mempercayainya padahal baru beberapa saat yang lalu ia berniat menyerahkannya pada Rim? Ia benar-benar tak habis pikir.

Walaupun hatinya tersentuh oleh kalimat  itu.

"Baiklah." Doyoung menggosok-gosok tangannya, memecah keheningan dengan 1 kata itu. "Apa rencanamu?"

Taeyong, si pusat perhatian menggaruk kepalanya sendiri. Gugup. "Sebenarnya rencana ini sangat sederhana, tapi pertama-tama kita harus punya tempat tujuan."

"Rumah di Yangpyeong." Sejeong mengusulkan. "Bagaimana menurutmu?"

Doyoung menjentikkan jarinya. "Ide bagus."

"Kalian punya rumah di Yangpyeong? Sejak kapan?"

"Sebulan yang lalu." Doyoung menjawab, karena Sejeong diam saja. Dia bahkan tidak melirik Taeyong sama sekali. Masih marah rupanya. "Kami membelinya untuk tempat singgah saat liburan."

"Apakah di sana aman?"

"Tentu saja tidak."

Jelas ini membingungkan Taeyong. "Lalu kenapa kita ke sana?"

"Yah, karena kita tidak punya tujuan lain." Doyoung memutar bola matanya. "Mark, kau ikut?"

Mark mengangguk, bersamaan dengan Taeyong yang berkata, "Tidak."

Jawaban yang bertentangan.

"Kau bisa pergi sekarang," pinta Taeyong, yang lebih menyerupai perintah. "Ini masalah Jaemin, tak ada hubungannya denganmu."

"Tentu saja ada." Mark tersenyum muram, barangkali teringat masa lalunya yang kelam. "Meski bukan teman yang baik, aku akan melakukan apa yang bisa kulakukan. Kau tak perlu menyelamatkanku lagi."

Semuanya terdiam, termasuk satu orang yang biasanya mengeluarkan komentar-komentar sarkastik. Sejeong dan Renjun. Taeyong dan Mark. Doyoung memang tidak pernah punya adik, tapi dia bisa mengerti perasaan mereka karena dulu dia memiliki Dong Hyun.

Sejujurnya, meski telah lama berlalu, dia masih merindukan kakaknya. Dan jika itu terjadi, biasanya Doyoung akan menemui Rim, untuk sekedar mengajaknya minum atau main catur. Kini, ia merasa tak mengenali Rim lagi.

Mata Doyoung kemudian menelisik Jaemin,  takjub oleh banyaknya hal yang dibongkar anak itu. Mk Ultra, Mark, Renjun.

Selanjutnya apa?

Mereka datang lebih cepat dari perkiraan, mengendarai 2 van berwarna gelap. Jumlahnya ada 16, dan kali ini dipimpin langsung oleh Rim. Beberapa dengan sigap mengepung setiap sudut rumah itu, yang lain mengikuti Rim masuk ke dalam dengan mendobrak pintu depan. Mata memicing siaga, senjata-senjata diacungkan.

Tapi,

Tak ada siapapun yang menyambut mereka.

Gang Rim heran. Rumah yang rapi dan bersih berada di luar ekspektasinya. Semuanya tampak normal di sini, seperti rumah pada umumnya di Korea.

Namun itu gagal menghapus Kecurigaan Rim karena suasanya yang sepi. Terlalu sepi. Padahal dia menemukan 2 mobil di luar一satu milik Doyoung yang bagian depannya rusak, satu lagi milik ... Taeyong.

Melihat mobil-mobil itu membuat Rim teringat pada percakapannya dengan Han...

"Aku menemukannya!" Kata Han di telepon beberapa saat yang lalu. "138, dia ada di rumah Doyoung dan Sejeong."

"Apa? Apa maksudmu? Mereka menemukannya secepat ini?"

"Entahlah. Aku sendiri tidak begitu mengerti, tapi saat mengikuti Doyoung ke rumahnya, aku melihat anak itu."

"Han, apa yang terjadi? Ceritakan padaku."

"Aku punya sebuah dugaan tapi tak bisa menjelaskannya一" Terdengar suara benturan di latar belakang, disertai umpatan Han dan jeritan orang-orang. "Taeyong sedang mengejarku."

"Taeyong?"

"Ya. Berhati-hatilah padanya, dia tak bisa dipercaya lagi."

"Kau butuh bantuan?"

"Tidak, kalau dia, aku bisa mengatasinya. Pokoknya datanglah ke rumah Doyoung. Bawa banyak orang karena Mark juga di sana."

Lalu sambungan terputus secara sepihak一hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Han juga menghilang ketika seharusnya dia bergabung dengan Rim sekarang.

Rim memberi isyarat maju pada agen-agennya. Mereka kembali melangkah, kali ini ke ruang duduk; kosong. Begitu pula dapur dan kamar tamu. Hanya tersisa kamar utama yang belum dicek.

Nyaris tanpa suara, Rim dan pasukannya menuju tempat itu dan ternyata di sanalah pemilik mobil-mobil yang ada di luar.

Taeyong, si ahli menembak.

Sejeong, sang peretas handal.

Dan Doyoung yang otaknya cemerlang.

Serta satu orang lagi; Jaemin yang tangannya terikat kebelakang.

Menengok anak itu, semua agen kompak mengacungkan senjata mereka.

Rim semakin bingung saja. Bahkan dengan bantuan Taeyong, menangkap Jaemin bukanlah perkara mudah. Apalagi tak ada luka yang terlihat. Peluru biuskah? Bukan. Dia bergerak. Lantas bagaimana caranya?

"Doyoung, kenapa tidak menghubungiku? Dimana kau menemukannya? Dan apa yang kau lakukan pada anak itu?" Tanya Rim bertubi-tubi.

"Wah, wah, tenanglah." Sejeong terkekeh. Tangannya dengan santai memutar-mutar sebuah pisau, bukan pisau biasa melainkan M9 Bayonet. Doyoung yang diajak bicara tengah memakai sapu tangan, terlalu sibuk untuk membalas tatapan Rim. Sedangkan  Taeyong asyik mengisi sebuah Glock 36. "Kau tidak penasaran pada keadaan Han?"

"Mana dia?" Meski wajahnya tampak datar, Rim sebenarnya gelisah. Ada yang tidak beres di sini. Terlebih dengan absennya Mark. Di antara semua anak-anak di lab, memang Jaemin yang kerap membuatnya kesal, tapi Mark dengan bakat cryptokinesis-nya adalah yang paling merepotkan.

Kakak angkat dari orang yang ia pikirkan  tersenyum polos. "Aku dan Doyoung sudah membereskannya."

"Apa maksudmu?"

"Akulah yang seharusnya mengajukan pertanyaan itu." Sejeong kembali mendominasi pembicaraan. "Apa maksudmu menyembunyikan Renjun dariku?"

"Renjun?" Ulang Rim. "Siapa dia?"

"Tidak usah pura-pura bodoh. Aku sudah tahu semuanya."

Rim menutupi kemarahannya dengan seulas senyum simpul. "Sejeong, aku tidak tahu apa yang Taeyong katakan padamu, tapi jangan mempercayainya."

Sejeong mengibaskan tangannya. "Kau lebih cocok jadi aktor, bukannya pemimpin dari proyek yang membunuh anak-anak."

Senyum di wajah Rim lenyap. Tatapannya berubah tajam, ditujukan pada Taeyong. "Kau memberitahunya?"

Taeyong tidak perlu menjawab. Ucapan Han, mobil yang rusak di luar, serta sikap Sejeong sudah menjelaskan semuanya. Setelah sekian lama, pria itu rupanya memutuskan untuk mengkhianati organisasi mereka.

Rim mengeluarkan tawa tertahan. Apakah dia terkejut? Tidak. Sejak dulu dia tak mempercayai Taeyong. Pria itu dianggapnya seperti buah busuk di antara buah segar, yang sialnya sukar dibuang. Namun, 1 hal yang membuat Rim bingung; kalau Taeyong yang mengejar Han, mengapa justru mobil Doyoung yang rusak? Mungkinkah dia terlibat?

Tidak mungkin.

Doyoung adalah orang yang loyal, yang mau mengerjakan tugas apapun yang diberikan padanya. Dia juga tidak seperti Taeyong yang mudah bersimpati. Tapi lain soal kalau ada Sejeong....

"Apa yang akan kau lakukan sekarang?" Tanya Rim pada gadis itu. "Menyebarkan proyek ini ke publik?"

Sejeong menggeleng. Tidak sesederhana itu. "Untuk apa? Kau hanya akan membuatnya menjadi teori konspirasi."

"Lalu?"

"Aku ingin." Tersenyum manis, Sejeong menepuk-nepuk kepala Jaemin dengan tangan kirinya. "Menukar dia dengan adikku."

Mata Rim terbelalak lebar, terkejut bukan main. Hal pertama yang dia pikirkan adalah; ide gila macam apa itu?

Bagaimana bisa Sejeong berniat menukar Jaemin dengan Renjun seolah mereka tak lebih dari barang? Apakah dia sefrustrasi itu ingin bertemu adiknya hingga mau melakukan apa saja?

Rim serta-merta menolak. "Tidak bisa begitu, Sejeong!"

"Kenapa tidak? Bukankah ini penawaran yang menguntungkan? Aku mendapatkan Renjun dan kau bisa membawa Jaemin, anak dengan bakat langka ini."

Lagi-lagi Rim terkejut. Sudah sejauh mana sebenarnya pengetahuan Sejeong? Apakah dia dan Taeyong sudah lama bekerja sama? Ah, Rim benci menebak-nebak seperti ini. "Tidak bisa!" Tegasnya. "Ini bukan tawar menawar!"

"Baik. Kubunuh saja dia, ya?"

"Sejeong!"

"Apa?" Dengan kasar, Sejeong menarik Jaemin berdiri lalu meletakkan pisau di lehernya, membuat Jaemin memejamkan mata. "Kalau kau tidak setuju, berarti dia tak ada gunanya untukku."

Rim benar-benar marah sekarang. Sangat. Ia tak mengerti kenapa Jaemin diam saja padahal ada banyak benda yang bisa dia gunakan. Dan Doyoung! Dia seolah berada di dunianya sendiri. Saat semua orang fokus pada kekasihnya, dia sebaliknya, fokus memasukkan magasin ke sebuah tas berukuran sedang.

"Bagaimana? Kau berubah pikiran?"

Tidak mudah bernegosiasi mengenai hal ini. Meski pengendalian pikiran bukanlah bakat utama Jaemin, Rim tak bisa merelakan Sejeong membunuhnya. Berbeda dengan Renjun, sulit menemukan penggantinya. Namun menukar mereka bukanlah solusi yang diinginkan Rim.

Sialan semuanya. Seharusnya Han memperingatkannya soal ini. Rim hanya datang kemari untuk menghadapi Jaemin, bukan 3 agen yang kompak membangkang!

"Tenanglah, Sejeong. Kita bisa membicarakan一"

Tanpa aba-aba, Sejeong menggores leher Jaemin dengan pisaunya. "Aku tidak mau bicara, aku mau adikku!" Ia menjerit marah. Napasnya terengah. Matanya berkaca-kaca. "Kembalikan Renjun padaku, dan akan kuserahkan dia padamu. Sekarang minggir kalian semua!"

Para agen bergeming. Mereka adalah orang-orang terlatih yang hanya menuruti perintah pemimpin mereka.

"Minggir, berengsek! Jangan buat aku mengulanginya 3 kali kecuali kau mau dia mati di sini!"

Rahang Rim menegang. Sebagai seorang pemimpin, ia terbiasa memegang kendali. Jarang sekali ia terjebak dalam situasi yang membuatnya tidak berkutik seperti ini. Tapi Rim tak punya pilihan. Sejeong serius dengan ancamannya. Saat ini dia bukanlah agen Kim Sejeong, melainkan hanya seorang kakak yang akan melakukan apapun untuk adiknya.

Enggan mengambil resiko, Rim berkata, "Beri jalan."

Berhasil.

Doyoung tak percaya ini. Rencana payah yang dibuat mendadak oleh Taeyong ternyata berhasil. Padahal tadinya ia pesimis, mengira Rim akan bersikeras mendapatkan Jaemin dan mengubah kamar ini menjadi arena tembak menembak.

Tapi dia salah一untungnya.

Pelan-pelan, Sejeong menurunkan pisaunya. Apakah sikapnya tadi akting atau bukan, Doyoung tetap saja takjub. Dia bahkan berani melukai Jaemin一yang tidak masuk dalam agenda mereka. Ketenangan Jaemin juga patut dipuji. Dia kemudian melangkah sambil memegang bagian belakang pakaian anak itu.

Doyoung mengikuti selangkah di belakangnya, disusul Taeyong.

Dan tak bisa dihindari, Doyoung akhirnya harus berhadapan dengan Rim. Bukannya amarah, mata Rim justru memperlihatkan kekecewaan, dan itu membuat perasaan Doyoung menjadi lebih buruk lagi. Ia merasa bersalah. Ia ingin meminta maaf lalu menyerahkan Jaemin, tapi itu tidak mungkin.

Jadi Doyoung hanya berlalu dengan kepala tertunduk. Mereka berempat terus berjalan, diikuti Rim beserta agennya yang membuntuti dalam jarak aman.

Hingga tibalah di pintu masuk rumah.

Jarak mereka kini tak lebih dari beberapa meter saja dari mobil. Kalau bisa mencapai kendaraan itu, mereka punya peluang untuk kabur.

Tapi apakah Rim akan membiarkan mereka sampai ke mobil?

Menurut Taeyong, jawabannya adalah tidak. Oleh sebab itu, rencana sudah dipersiapkan.

Mereka menunduk.

Mendadak, pintu mobil milik Taeyong terbuka. Terdengar suara rentetan tembakan dari pistol Colt 1191 yang dipegang oleh ... Mark.

Dia sejak tadi bersembunyi di sana.

Para agen langsung tiarap, tapi tak semuanya beruntung. Mark yang dilatih  Taeyong tahu bagian mana yang harus diincar jika musuh mengenakan rompi anti peluru. Setidaknya 4 orang berhasil ia lumpuhkan, memberi kesempatan pada kelompok kakaknya untuk berlari ke mobil.

Doyoung segera masuk ke kursi pengemudi, Taeyong duduk kursi sebelah, sementara Sejeong bersama Jaemin dan Mark di kursi penumpang. Hanya butuh beberapa detik bagi pria itu untuk menghidupkan mesin dan mengeluarkan kendaraan tersebut ke jalan raya.

Begitu tembakan berhenti, Rim dan agen yang bertahan hidup cepat-cepat mengejar dengan van mereka.

Sejeong menoleh ke belakang dan berdecak. Tangannya menepuk pundak Doyoung. "Mengemudilah sesukamu sekarang."

Doyoung menyeringai. "Dengan senang hati."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top