12. Her Brother

Kim Doyoung menatap bangunan itu seolah baru pertama kali melihatnya.

Tempat yang telah ia datangi ratusan kali selama bertahun-tahun, yang ia kira telah ia kenal dengan baik, rupanya masih menyimpan misteri darinya. Misteri besar pula一menyangkut anak-anak dan nyawa manusia.

Mustahil.

Seandainya Taeyong orang lain, Doyoung pasti akan membantahnya. Ini terlalu sulit dipercaya. Tapi alasan apalagi yang dapat menjelaskan? Taeyong tidak memperoleh keuntungan apapun jika berbohong一kecuali mungkin sakit kepala一dan kesungguhan di mata Jaemin semakin mengikis keyakinan lemahnya bahwa fakta baru tentang Rim hanya dusta. Atau setidaknya, salah paham.

Doyoung menghela napas berat, mengayunkan kakinya masuk. Sekilas, gedung tersebut tampak sama sekali tidak berubah; pagarnya masih sekokoh karang yang akan bertahan 100 tahun lagi. Cat bagian luarnya rutin diperbarui atau diganti demi menghilangkan kebosanan. Lantainya bersih mengkilap, nyaris tanpa celah.

Nyaris.

Karena saat Doyoung mendekat, ia  menemukan bagian dinding dekat pintu masuk dihiasi retakan berbentuk 4 jari. Itu merupakan bukti tak ada yang abadi, juga mengumumkan pada mereka yang cukup memperhatikan bawa kesempurnaan itu hanya ilusi.

Semua hal di dunia ini berubah一baik Rim, tempat berlatihnya, juga dirinya sendiri.

Doyoung bukan lagi bocah 15 tahun yang tidak tahu apa-apa; begitu polos, begitu lugu. Di usia 23 tahun, bahkan teman-temannya  pasti berpikir berulang kali sebelum cari masalah dengannya.

Agen Doyoung melangkah tegap menuju ruangan Gang Rim, mengabaikan puluhan cctv yang merekam gerak-geriknya. Ia sedang tak berselera membuat ekspresi konyol di hadapan cctv itu. Tidak, sebab hari ini, cctv malah terasa mengganggu dan membebani. Ia tidak suka. Dan ya, harus ia akui, terlalu tegang.

Tapi Rim tidak tahu itu.

Rim tetap menyambutnya dengan senyum hangat seperti beberapa tahun yang lalu. "Kau sudah datang."

Orang ketiga yang ada di ruangan itu, Han, duduk di kursi yang ada di depan meja Rim, memegang beberapa kertas. Ia mengangguk sebagai sapaan, tanpa mengucapkan sepatah kata. Doyoung sudah terbiasa akan sikapnya. "Ada tugas apa?"

Tanpa basa-basi, Rim membuka laci mejanya, mengeluarkan sebuah foto berukuran sedang. "Aku ingin kau menemukan anak ini."

Doyoung mengambilnya.

Ia sama sekali tidak terkejut saat mendapati itu adalah foto Jaemin.

Tapi pengendalian dirinya sekuat baja dan ia berhasil memamerkan ketidakpedulian. Diliriknya Rim, lalu Han, lalu kembali pada foto Jaemin. Dan keluarlah tawanya. "Kau memintaku mencari anak-anak?"

Tak ikut tertawa, Han memberikan kertas yang dipegangnya pada Doyoung. Di sana, terdapat informasi umum Jaemin seperti nama, alamat dan ciri-ciri fisiknya. "Sebenarnya dia sudah 19 tahun, jadi bukan anak-anak lagi."

"Terserah. Lihat dia. Anak ini tidak terlihat seperti orang yang sudah menyebabkan kekacauan hingga harus di cari agen pemerintah."

Rim tersenyum penuh teka-teki. "Dia dicari karena istimewa. Temukan saja dia untukku."

"Terakhir kali," sahut Han. "Dia terlihat di stasiun Jeongjin sekitar pukul 6 sore. Taeyong sudah mengecek rumahnya, tapi kau mungkin perlu mengeceknya ulang. Tahu sendiri bagaimana pekerjaannya."

Doyoung membolak-balik kertas itu, membacanya tanpa minat. "Istimewa bagaimana? Dan kalau ini dulunya tugas Taeyong, kenapa tidak biarkan dia menyelesaikannya?"

"Pokoknya istimewa." Rim menjawab dengan lancar, sambil bersandar di kursinya. Jari telunjuk pria itu mengetuk meja dengan pelan, menciptakan irama seperti detikan jam. "Dan jawaban untuk pertanyaan keduamu adalah, aku tidak percaya pada Taeyong. Sejak awal aku  berpikir dia tidak cocok untuk pekerjaan ini."

Mau tak mau, Doyoung sependapat. Bukan karena keahlian Taeyong buruk, tapi karena kepribadiannya terlalu lembut. Taeyong juga menjalani pekerjaannya dengan malas, tanpa motivasi, tapi enggan mengundurkan diri一entah apa alasannya. Mungkin ada hubungannya dengan ayahnya yang juga bekerja sebagai agen. Doyoung tak pernah tahu.

"Kau bisa kan?"

Doyoung mendongak, tapi tidak menjawab.

"Aku tidak memaksamu, kau bisa menolak kalau keberatan."

Selama bertahun-tahun bekerja pada Rim, ia memang tidak pernah memaksakan sesuatu. Pria itu tidak seperti atasan pada umumnya, ia bersikap hangat dan menjadi sosok kakak bagi semua orang, membuat Doyoung kian mengaguminya. Persis seperti Dong Hyun. Doyoung selalu teringat padanya jika menatap Rim.

Namun dia bukan Dong Hyun, seperti Jaemin yang bukanlah adik Sejeong.

Antara Rim dan Jaemin, mana yang harus ia pilih?

Doyoung tidak mengenal Jaemin一tidak terlalu. Dia hanya anak aneh yang terpaksa ia tampung karena kecelakaan. Benar bahwa kisah hidup anak itu menyedihkan, dan jujur saja, Doyoung kasihan, tapi semua orang punya cerita sedihnya sendiri kan?

Lagipula, Doyoung bukanlah pahlawan yang harus menyelamatkan semua orang!

Di sisi lain, ada Rim, orang yang sudah mengulurkan tangan di masa sulitnya. Dia datang saat Doyoung tak punya siapa-siapa lagi. Tanpanya, mungkin Doyoung akan jadi pekerja rendahan yang harus menabung untuk membayar sewa apartemennya.

Sanggupkah dia mengkhianati penyelamatnya untuk seorang anak yang tidak pernah melakukan apapun untuknya?

Tidak. Tentu saja tidak. Tapi mengapa rasanya ada yang salah?

Doyoung teringat pada senyum Jaemin, bagaimana dia tampak begitu senang saat di ajak ke festival, dan kesedihan di matanya saat berbicara tentang lab. Doyoung sendiri takkan pernah menyetujui percobaan pada manusia, tapi tapi tapi,

Bagaimana jika itu bermanfaat bagi negara?

Dan bukankah waktu itu Taeyong berkata mereka diperlakukan dengan baik? Jadi tidak masalah kan? Mungkin ada beberapa burung yang memang harus berada dalam sangkar...

Menarik napas, Doyoung meremas kertas di tangannya dan menatap mata Rim lekat-lekat. "Aku akan berusaha."

Itulah jawaban terbaik yang bisa ia berikan.

Senyum Rim mengembang lebih lebar. "Aku tahu kau tidak akan mengecewakanku."

Semoga.

"Saat kau menemukannya, jangan coba-coba menangkapnya sendiri. Dia berbahaya. Hubungi aku dan aku akan mengirim bantuan untukmu."

Kepala Doyoung terangguk pelan. "Kalau begitu aku pulang dulu."

Jawaban itu membuat Rim mengerutkan kening. "Secepat ini? Kau tidak mau minum atau makan siang dulu denganku? Kita sudah lama tidak berkumpul."

"Lain kali saja," kata Doyoung tanpa semangat, dan melambai malas-malasan. "Kapan-kapan mampirlah ke cafe. Kau juga, Han."

Han, si pendiam, mengiyakan.

"Inget pesanku tadi." Rim ikut berdiri, memutari meja untuk menepuk pundak Doyoung. "Berhati-hatilah. Aku tidak ingin kau terluka."

Doyoung terdiam. Semua ini jadi semakin sulit saja.

Lee Han bukan tipe orang yang banyak bicara. Ia adalah seorang pengamat yang lebih sering menggunakan mata daripada mulutnya. Karena kebiasaan mengamati inilah dia mempelajari kinesik, ilmu  tentang gerak tubuh manusia.

Han bisa tahu apakah kau berbohong atau tidak dengan melihat gerakan tubuhmu. Dia juga bisa mengarahkan saksi atau tersangka mengatakan hal yang ingin ia ketahui tanpa menggunakan kekerasan. Itu sebabnya bidang interogasi adalah keahliannya. Saat melihat seseorang, ia akan secara otomatis mengamati mereka.

Termasuk Doyoung.

Ketika Rim bertanya 'kau bisa kan?' pada Doyoung, Han menyadari ada peningkatan stres pada pria itu karena ia berkedip lebih sering dari normalnya. Jawabannya soal pertanyaan itu juga jelas-jelas bohong. Belum lagi caranya mengatupkan kedua tangannya一sebelum menerima kertas一yang menandakan dia menyembunyikan sesuatu.

Tapi apa?

Itulah yang tidak diketahui Han.

"Dia aneh tadi," ucapnya dengan tatapan menerawang, lantas mengelus dagunya selagi berpikir keras.

"Siapa? Doyoung?"

Han mengangguk singkat. "Seharusnya dia bertanya mengapa kau menganggap 138 berbahaya, tapi dia tidak melakukannya."

Rim tergelak merespon kekhawatiran bawahannya. "Kau tahu Doyoung. Ada saat-saat dimana dia malas bicara."

Kali ini Han tidak menjawab. Dibanding keterangan tidak meyakinkan seperti itu, ia jauh lebih mempercayai pengamatan dan instingnya. Jika menurutnya ada yang salah, maka ia akan mencari tahu, tidak peduli meski orang lain menganggapnya berlebihan.

Apakah sikap Doyoung ada hubungannya dengan kunjungan Taeyong ke rumahnya kemarin?

Kecurigaan Han mulai tumbuh.

Doyoung tahu ia akan menyesali tindakannya besok.

Atau mungkin tidak perlu menunggu besok karena sekarang saja kepalanya sudah pusing, kakinya tidak bisa berdiri dengan benar dan perutnya ... Oh, jangan ditanya. Mestinya ia main catur saja tadi, bukannya menyiksa hatinya dengan alkohol.

Sungguh keajaiban ia bisa pulang dengan selamat tanpa menabrak apapun. Sekarang, ia hanya harus berjalan dari mobil menuju dapur untuk mencari obat pengar. Tapi, uh, kenapa jaraknya jauh sekali? Dan kenapa mobil Taeyong ada di sini? Kerumitan apa lagi yang dia bawa?

Doyoung mengerang, berjalan sambil berpegangan pada dinding一lebih seperti merayap, sungguh. Ia hampir saja jatuh di ruang duduk kalau Jaemin tidak muncul dan membantunya. "Kau baik-baik saja, hyung?" Tanyanya, sembari mengerutkan hidung.

Ditepisnya tangan Jaemin dan bergeser menjauh. "Mana Sejeong?"

"Di dapur. Bersama dia. Kelihatannya mereka sedang berdebat dan tidak mengijinkanku masuk."

"Kau pasti sangat membencinya, ya?" Doyoung terkekeh, menyadari Jaemin bahkan enggan menyebut nama Taeyong. Dengan bantuan dinding, dia kembali berjalan menuju dapur, diikuti Jaemin dari belakang.

Di sana, Sejeong sedang duduk di kursi, dengan Taeyong di seberangnya. Ada beberapa kertas di antara mereka, salah satunya kertas yang ditulis Jaemin tadi pagi. Anak itu ternyata benar, mereka memang sedang berdebat meski melakukannya dengan suara pelan.

Saat Doyoung muncul, perdebatan itu terhenti. Sejeong berdiri, tapi tidak bergerak untuk membantunya. "Jangan mengemudi saat mabuk, harus berapa kali kubilang padamu?"

Nada suaranya yang tidak ramah membuat Doyoung meringis. "Maaf. Jangan marahi aku. Aku capek."

Taeyong sekedar menatapnya, sementara Jaemin menyusup duduk di sebelah Sejeong.

Usai tersandung kakinya sendiri, Doyoung akhirnya sampai di deretan rak. Di bukanya rak kedua, dan mengambil botol Advil yang berdiri di sebelah deretan cup mie instan. Seharusnya benda itu ada di kotak obat, tapi terserahlah. Yang penting sudah ketemu.

Tangan Doyoung bergerak membuka tutupnya, lalu meminum 1 butir. Sejeong, yang sepertinya tidak tega, akhirnya membawakan segelas air. "Ada seseorang yang mencarimu tadi."

Doyoung menerima gelas itu. "Siapa?"

"Jungwoo."

Satu butir Advil di tangan Doyoung terjatuh.

Sial, sial, SIAL.

Tampaknya Tuhan memutuskan ini akan jadi hari yang buruk untuknya.

Setia membisu, Doyoung mengambil Advil kedua dan meminumnya.

"Kau darimana, Doyoung?"

Adakah harapan untuk lepas dari situasi ini? Ia benar-benar tidak berminat berdebat di saat sedang mabuk. Yang dia inginkan hanya tidur. Sebentar saja. Yah, kira-kira 2 minggu, dan bangun ketika semua masalah sudah selesai.

"Kau pasti menemui Rim kan?" Taeyong bertanya, jempolnya menelusuri pinggiran sebuah kertas. "Dia pasti memintamu mencari Jaemin."

Orang yang disebut namanya menatap Doyoung dengan tatapan yang ... Doyoung tak mampu melihat matanya.

"Apa itu benar?" Sambung Sejeong, dengan ekspresi kaget. Tangannya mencengkeram lengan Doyoung erat, berharap pria itu menyangkalnya.

Yang sayangnya tidak terjadi.

Doyoung masih terdiam, dia justru menaruh gelas kosongnya dan meletakkan botol Advil di tempatnya semula.

"Doyoung, jawab aku!"

"Kalau sudah tahu kenapa bertanya?" Ketika akhirnya bicara, jawaban yang keluar dari mulut Doyoung bukanlah seperti yang diharapkan. "Aku memang mendapat tugas mencari Jaemin."

"Dan?"

"Dan apa?"

"Apa jawabanmu?"

Doyoung mengangkat bahu, menghancurkan setitik harapan yang ia lihat di mata Jaemin dengan berkata, "Tentu saja aku akan mengerjakannya."

Sejeong bersedekap sebal. "Tapi kau hanya bercanda kan?"

Lagi-lagi Doyoung memberi jawaban yang mengecewakan. Advil dan pembicaraan serius (yang tidak menyenangkan) perlahan-lahan mengikis kadar alkohol dalam darahnya. "Kita tidak bisa terus-menerus menyembunyikannya, Sejeong. Lebih baik menyerahkannya sebelum Rim hyung tahu!"

Taeyong terkekeh. "Kupikir setelah kau tahu akan ada perbedaan, ternyata tidak. Dasar pengecut."

"Sama saja denganmu, kurasa."

"Itu benar." Taeyong berkata santai. "Aku tak keberatan mengakuinya. Pertanyaan adalah, mengapa kau juga bersikap pengecut, Agen Kim?"

Sejeong menutup wajahnya dengan satu tangan. Kekalutan sejenak mengambil kemampuannya bicara. "Ada apa sih denganmu?! Apa kau melakukan ini karena merasa berhutang budi pada Rim oppa?"

"Tidak ada hubungannya dengan itu. Keputusanku tidak di pengaruhi apapun."

"Bohong!" Sejeong memukul dadanya dengan keras, hingga Doyoung terhuyung mundur. "Kau bohong! Berhentilah bersikap seperti ini, Kim Doyoung! Hanya karena dia menyelamatkan hidupmu, bukan berarti kau berhutang selamanya padanya!"

"Sejeong一"

"Kenapa kau terus berpura-pura jadi orang yang jahat, hah? Apa kau tidak lelah?"

Doyoung menggertakkan gigi. "Aku tidak tahu apa maksudmu."

"Jaemin tidak layak dijadikan kelinci percobaan一tak seorang pun manusia yang layak. Bukan salahnya kan kalau dia terlahir berbeda?"

Doyoung menghela napas. Ia teringat pada sebuah kasus yang pernah di bacanya di internet, tentang seorang pria disabilitas yang hendak bunuh diri dengan cara tenggelam di danau. Sekelompok remaja tanpa sengaja menyaksikannya, tapi mereka tidak menolong pria itu. Mereka malah merekamnya.

Apakah mereka salah? Semua orang yang punya empati pasti akan menjawab 'ya', tapi sebenarnya tidak. Hukum tidak  mengharuskan mereka menolong pria itu, jadi mereka tidak di penjara.

Sebutan sederhananya adalah; kau tidak bertanggung jawab atas hidup orang lain.

"Aku tidak peduli padanya." Doyoung berkata tegas. "Dia bukan urusan kita, Sejeong. Jaemin hanya orang asing yang一"

Plak.

Satu tamparan mendarat di pipi Doyoung. Kepalanya tersentak ke samping. "Apa kau sadar apa yang baru saja kau katakan?"

Efek tamparan itu teramat mengejutkan, jauh melebihi rasa sakitnya. Mata Doyoung terpejam sesaat, berusaha menenangkan diri. Selama 2 tahun, tak pernah sekalipun Sejeong menamparnya. Tidak pernah. Tapi kini ia melakukannya hanya karena Jaemin.

Cukup sudah.

"Aku tahu seharusnya kita meninggalkannya di jalan. Anak itu." Doyoung menunjuk Jaemin. "Dia pembawa masalah. Kau一"

"Doyoung!"

Tapi Doyoung tidak mau berhenti sekarang. Tidak bisa. "Kaulah yang seharusnya sadar. Jaemin bukan Renjun! Dia sudah meninggal, Sejeong, kau harus menerima kenyataan!"

Tak diketahui semua orang, Jaemin yang matanya melebar kaget berputar cepat pada Doyoung.

Sementara setetes air mata jatuh di pipi Sejeong. "Renjun belum meninggal. Dan aku tahu mereka 2 orang yang berbeda, tapi一"

"Kalau begitu berhentilah menganggap dia sebagai adikmu!"

Sejeong mulai terisak.

Saat itulah Jaemin berdiri, memutuskan ikut campur di saat yang kurang tepat. "Hyung, apa tadi kau bilang 'Renjun'?"

"Ya! Apa urusannya denganmu?!"

"Maksudmu ... Kim Renjun? Dia saudara Noona yang waktu itu kau bicarakan?"

Doyoung menyipitkan mata. "Darimana kau tahu? Sejeong tidak pernah memberitahu marganya."

Jaemin kelihatan terguncang. Tiba-tiba saja wajahnya jadi pucat pasi. "A-aku tahu siapa Renjun. Aku mengenalnya! Renjun adalah temanku. Tapi dia ada di lab. Kau tahu kan?" Dia berpaling pada Taeyong yang membisu. "Orang-orang di lab memanggilnya '233', mustahil kau tidak tahu dia."

Keheningan di ruangan itu terasa menakutkan.

Baik Sejeong dan Doyoung menatap Taeyong dengan ekspresi yang serupa一campuran antara terkejut dan tidak percaya, tapi Sejeong-lah yang lebih dulu bicara. "Taeyong, apa maksudnya itu? Renjun bukan nama yang umum di Korea, tapi adikku pasti bukan satu-satunya. Pasti ada yang lain, iya kan?"

Mulut Taeyong masih tertutup rapat.

"Kenapa kau diam saja? Katakan padaku kalau Jaemin salah, Taeyong. Ini salah paham kan? Tidak mungkin adikku ada di lab, tapi kau tidak mengatakannya padaku. Itu tidak mungkin..." Sejeong menggeleng, berulang-ulang dengan tangis yang semakin kencang.

Doyoung melangkah menghampiri Taeyong dan mencengkeram kerah kemejanya, memaksanya berdiri. "Jawab pertanyaannya, berengsek!!"

Mula-mula, Taeyong hanya menunduk, lalu perlahan dia melepaskan tangan Doyoung dan menghampiri Sejeong, kemudian...

Dia berlutut di hadapan gadis itu. "Sejeong, aku benar-benar minta maaf..."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top