11. Anak Ke-7

Kim Dong Hyun telah meninggal.

Doyoung takkan pernah melupakan hari ia mengetahui kabar itu, hari yang一 secara resmi一menjadikannya sendirian di dunia ini. Tanpa orang tua yang telah direnggut kecelakaan mobil, dan kakak yang berkeras jadi tentara angkatan udara.

"Pekerjaan itu berbahaya, hyung," begitu Doyoung menasehatinya dulu. Duduk di sofa rumahnya, berkata di antara jeda pertandingan sepak bola. "Kenapa tidak cari pekerjaan lain?"

Tapi barangkali, keras kepala sudah merasuk dalam gen keluarga mereka, jadi Dong Hyun hanya tertawa. Tangannya mengelus kepala Doyoung, namun segera ia hindari. Dengan alasan, ia bukan anak kecil. "Doyoung, semua pekerjaan punya resikonya masing-masing. Itulah yang membuatnya jadi lebih menantang. Mengertilah bahwa ini cita-citaku, mengabdi pada negara."

Mengabdi pada negara, dia bilang.

Lihat akibatnya sekarang...

Waktu itu, Doyoung baru pulang sekolah ketika mendapati teman-teman tentara kakaknya berada di depan pintu. Ada apa? Ia bertanya. Dan mereka menjawab Dong Hyun meninggal saat bertugas.

Meninggal. Meninggal. Doyoung tahu artinya, tapi tak mengerti mengapa ini terjadi.

Apa yang sudah atau tidak kulakukan, Tuhan?

Ia menjerit; keras, pilu, tapi dilakukan dalam hati.

Kukunya menghujam ke telapak tangan, membiarkan rasa sakit mendomani dan mengusir air mata yang hendak menitik. Doyoung tidak ingin menangis. Tidak sudi dikasihani. Ini bukan akhir一ia yakin. Sebesar keyakinannya pada mentari yang tetap akan bersinar puluhan tahun lagi.

Paman serta Bibinya tak perlu khawatir ia bakal merepotkan mereka, mengoceh dihadapan para pelayat betapa mahalnya biaya sekolah Doyoung.

Berengsek. Memangnya mereka pikir dia mau tinggal dengan monster-monster pelit itu?

Marah pada keadaan, pada Dong Hyun, dan pada semua orang, Doyoung akhirnya bangkit. Ia merasa sesak berada di ruangan yang sama dengan foto kakaknya yang tersenyum, sementara dirinya hancur perlahan-lahan.

Kakinya melangkah, melewati一dengan kasar一siapapun yang menghalangi, tak mempedulikan pertanyaan-pertanyaan mereka yang sok peduli.

"Kau baik-baik saja, Doyoung?"

"Apa kau sudah makan?"

Ah, persetan! Doyoung muak. Ia berlari semakin cepat, menghapus air mata sialan yang gagal ia tahan. Tapi gerakan itu tanpa sadar membuatnya menunduk, tak melihat seseorang yang berada di depannya. Ia dan orang itu bertabrakan一tak bisa menghindar. Tubuh 15 tahunnya terhuyung mundur, kalah oleh tubuh dewasa nan tegap yang lalu menertawakannya.

"Hati-hati. Kau tidak apa-apa kan?"

"Menurutmu bagaimana?!" Doyoung menyalak galak, mengelus sikunya yang  terbentur lantai. Ia menatap sengit pria seumuran Dong Hyun yang menyebabkannya jatuh, menolak uluran tangan pria itu dengan sebuah tamparan. "Aku tidak butuh bantuanmu!"

Alih-alih tersinggung, si pria misterius justru mengulang tawanya, pamer selera humornya yang tidak biasa. "Dasar anak nakal. Kau pasti Doyoung, ya? Aku Gang Rim, teman Dong Hyun."

"Sudah tahu!" Jawab Doyoung ketus, yang sebenarnya adalah kebohongan. Ya, ia beberapa kali melihat pria yang mengaku Gang Rim tersebut bersama Dong Hyun, tapi tidak tahu namanya. Sebab tiap Rim datang, Doyoung selalu menyingkir, bosan dengan topik serius yang mereka bicarakan.

Kali ini juga sama, ia tetap pada rencananya untuk pergi, mengabaikan satu fakta kecil tapi penting bahwa ia tidak memiliki tujuan. "Minggir, aku mau lewat."

Senyum Rim sama sekali tidak goyah. Tungkainya tak sedikitpun berpindah. Ia melanjutkan pertanyaannya, seolah tidak menyadari ekspresi masam Doyoung, refleksi suasana hatinya yang buruk. Itu, dan sedih, walaupun yang terakhir berusaha ia sembunyikan. "Kim Doyoung, apa rencanamu setelah ini? Ada sekolah tertentu yang ingin kau masuki?"

Doyoung memutar bola matanya jengah. Teman Dong Hyun atau teman presiden, ia tidak mau repot-repot bersikap sopan terhadap orang menyebalkan. "Kenapa kau bertanya?"

"Cuma penasaran," jawab Rim ringan, menimbulkan kerutan di dahi Doyoung yang semula mulus, tak menduga akan mendapat kejujuran. "Aku tahu Paman dan Bibimu bukan orang yang bertanggung jawab. Kemungkinan besar, mereka tidak akan mengirimmu ke sekolah yang bagus dengan alasan kekurangan uang. Dapat makanan layak saja kau beruntung. Singkatnya, masa depanmu suram."

Kemarahan Doyoung terpancing, semakin besar bagai api di tuang bensin. Napasnya memburu, ngeri sekaligus murka sebab kalimat Rim terasa berat oleh kebenaran yang sulit ia sangkal. Tapi mengakuinya mustahil bagi Doyoung. Ia menggeleng, amat tegas. "Apa hubungannya denganmu?!"

"Tidak ada." Rim mengakui, memasukkan kedua tangannya ke saku celana setelannya yang nyaris tanpa cela. "Tapi menurutku sayang sekali jika adik Dong Hyun bernasib menyedihkan. Apalagi katanya, kau pemberani dan punya banyak potensi."

"Benarkah?" Doyoung mengerjap, tersentuh oleh ucapan sederhana Rim. Lebih tepatnya, ucapan sang kakak. Rata-rata guru dan tetangganya menyebutnya 'nakal' karena ia sering bertindak sesukanya. 'Pemberani' dan 'punya banyak potensi' adalah 2 pujian yang jarang ia dapatkan. "Dong Hyun hyung benar-benar berkata begitu? Kapan?"

"Di pertemuan terakhir kami," sahut Rim pelan, agaknya tidak nyaman dengan perhatian tamu lain yang berlebihan. Maka ia mendekat, melakukan kebiasaan Dong Hyun yang Doyoung benci sekaligus rindukan; menepuk kepalanya. "Dia sering bercerita tentangmu, Doyoung, tentang betapa pintarnya dirimu. Jadi aku mengusulkan supaya kau masuk tentara juga, nanti setelah kau一"

"Tidak," potong Doyoung, menghindari Rim meski agak terlambat. Lengannya, yang masih kecil khas remaja, terlipat di depan dada. "Aku tidak tertarik."

Rim tergelak, berhasil menarik perhatian beberapa wanita, terpesona. Perpaduan rambut hitam tebal, mata indah bersorot ramah, ditambah hidung sempurna ala bangsawan, membuatnya lebih dari layak mendapat sebutan tampan. "Kau menolak membela negara?"

"Menjadi tentara bukan satu-satunya cara."

"Tepat sekali." Rim tampak gembira mendengarnya. Wajahnya berseri-seri. Mengabaikan penolakan pertama Doyoung, ia mendekat, menyentuh bahunya. Mengamati dari atas ke bawah tubuh yang cukup tinggi untuk ukuran remaja seusianya. "Aku bisa menunjukkan salah satu caranya. Kau tertarik?"

Namun sebelum Doyoung menjawab, Rim  lebih dulu berjalan menjauh. Kepercayaan diri menguar dari lambaian tangannya bagai aroma parfum mahal, sangat yakin Doyoung akan mengikutinya.

Cih, dia pikir Doyoung itu kucing atau anjing?

Doyoung bergeming. Membalikkan badan menghadap foto Dong Hyun. Ia ragu. Berbagai dugaan terbentuk di benaknya. Bagaimana kalau Rim ternyata orang jahat? Penipu? Atau yang lebih parah, penjual organ di pasar gelap?

Tapi percakapan dan penampilan pria itu menyangkal dugaan tersebut.

Rim, secara keseluruhan, terlihat seperti seorang kakak yang akan memastikan kau masuk universitas bagus. Mirip ... Dong Hyun.

Doyoung berpaling, mengalihkan pandangan ke Paman dan Bibinya yang tidak memperhatikanya lagi usai basa-basi singkat tadi. Mereka acuh tak acuh. Dingin. Berisik pula. Ia ngeri membayangkan hari-hari yang harus ia lalui bersama keduanya.

Pasti tidak enak.

Di lain pihak, ada Rim, yang memberinya pilihan, kejutan yang mungkin menyenangkan.

Mana yang akan ia pilih?

"Hei, lidah tajam." Rim berhenti, jempolnya terangkat, terarah pada tempat parkir yang tidak jauh dari sini. Sebelah alisnya naik lebih tinggi dibanding yang lain. "Kau tidak mau ikut?"

Berbekal kesimpulan kilat bahwa Rim orang baik dari sikap ramahnya pada Dong Hyun, Doyoung memacu langkah, memukul-mukul lantai dengan sepatu hitamnya. Ia adalah tanaman, dan Rim sinar mataharinya. Ajakan pria itu menghipnotis, membangunkan sisi diri Doyoung yang menyukai tantangan, tak peduli meski tantangan itu misterius dan bisa jadi berbahaya.

Doyoung kembali berlari一tapi kali ini, ia punya tujuan.

Bersamaan dengan itu, dirinya di usia 23 tahun terbangun.

Doyoung terbangun.

Ia tidak tahu jam berapa atau bagaimana ia tidur saat pikirannya sedang sangat penuh dengan Rim dan Jaemin. Pukul 23.08. Hampir tengah malam. Ya ampun, kenapa bangun di jam segini sih? Doyoung mengusap wajahnya, pelan-pelan bangkit, berusaha tidak membangunkan Sejeong yang masih sangat pulas.

Lengannya sedikit kebas, sebab gadis itu menjadikannya bantal dan memeluknya. Tapi tak apa, ia suka. Dengan lembut, Doyoung menyelipkan bantal sungguhan di bawah leher Sejeong, menutupi seluruh tubuhnya menggunakan selimut sampai mirip sushi. Kekehan pelan keluar dari mulut Doyoung. Dasar cantik. Bagaimana bisa Sejeong tetap terlihat cantik ketika tidur? Bukankah itu tidak adil?

Doyoung mengecupnya. Jarinya mengelus pipi putih gemuk Sejeong untuk terakhir kali sebelum berdiri. Tenggorokannya haus一jenis haus yang tidak dapat di usir, memaksanya menyeret kaki ke lantai bawah. Perjalanan yang singkat itu terasa sangat jauh karena ia melangkah pelan-pelan. Tapi akhirnya sampai juga. Di depan lemari es, Doyoung menghabiskan satu gelas air dengan mata setengah tertutup. Sekilas, ia terlihat mirip zombie dalam game yang sering ia mainkan.

Ah ... leganya.

Doyoung tersenyum puas, meletakkan gelas kotor ke tempat cuci piring. Ting, begitu bunyinya, tapi ada bunyi lain yang terdengar. Bukan binatang, bukan pula angin yang menderu-deru dari luar, tapi manusia. Seseorang batuk, asalnya dari ruang duduk. Ataukah itu hantu? Tapi tidak mungkin. Hantu itu cuma khayalan ... iya kan?

Setengah penasaran setengah takut, Doyoung memberanikan dirinya menuju sumber suara. Sambil mengomel sendiri karena tingkahnya yang konyol. Taeyong pasti akan menertawakannya kalau tahu soal ini. Doyoung yang pemberani takut pada hantu? Hah. Lucu sekali.

Tapi harus diakui, ia benar-benar lega  mendapati ruang duduk dalam keadaan terang benderang, tanpa satupun hantu yang tampak. Penghuni tunggal tempat itu adalah Jaemin, duduk tenang dengan beberapa foto di pangkuannya. TV yang volumenya kecil menyala, ditemani secangkir kopi di atas meja; uapnya mengepul membentuk gambar tanpa makna.

Ini dia hantunya. Hantu yang curang di festival musim dingin.

Doyoung menghembuskan napas yang tanpa sadar ia tahan, menepuk pundak Jaemin dari belakang. "Sedang apa?"

Tepukannya ringan, sungguh, namun Jaemin tetap saja terlonjak kaget. Sepasang mata gelapnya membulat, membuat Doyoung tergelak. "Aku kira kau sudah tidur."

"Tadinya begitu," sahut Doyoung, melompat duduk di sebelah Jaemin dengan sedikit gerakan akrobatik mirip parkour. "Tapi aku terbangun. Kau?"

"Aku tidak bisa tidur." Balas Jaemin, sembari mengangkat satu figura berisi kenangan Doyoung dan Sejeong di rumah kedua mereka. Di foto itu, Sejeong tersenyum lebar, membuang tanda "dijual" yang telah melekat di rumah itu selama berbulan-bulan. "Ini dimana?"

"Yangpyeong." Jawab Doyoung sambil nyengir, teringat berbagai keluhan yang ia buat ketika membersihkan debu tebal disana. Tapi hasilnya sangat memuaskan. Karena meski tidak besar dan minim perabotan, rumah itu sangat nyaman. Letaknya yang dipinggir kota cocok bagi keduanya yang mencari ketenangan. Ditambah lagi, para tetangga mereka ramah bersahabat, tidak suka bertanya macam-macam. Dengan kata lain : sempurna.

"Kalau ini? Siapa?" Figura lain. Foto lain. Seraut wajah yang Doyoung rindukan tersenyum dari foto kedua yang Jaemin pertanyakan. Itu Dong Hyun, dalam balutan seragam kebanggaannya, melakukan hormat ke arah kamera. Ekspresinya sudah seperti orang yang menenangkan lotre, bahagia sekali. Doyoung tahu kapan tepatnya foto itu di ambil, karena dialah yang memotretnya.

Barak tentara, tanggal 1 februari tahun 2010.

Sudah lama sekali rupanya...

"Itu kakakku." Doyoung berusaha mengatakannya sesantai mungkin, enggan menunjukkan emosi. Tapi jendela jiwanya tak dapat berbohong, ia merindukan kakaknya lebih dari siapapun di dunia ini. "Dia meninggal saat bertugas."

"Maaf." Jaemin cepat-cepat berkata, merasa bersalah melihat Doyoung menunduk murung. "Aku tidak bermaksud mengingatkanmu pada hal itu, hyung."

Dan reaksi yang begitu tulus tersebut menggugah senyum Doyoung, hingga ia lupa sejenak bahwa Jaemin anak berbahaya yang melempari Taeyong dengan pisau. Tanpa menyentuhnya. Pemilik wajah lugu itu membuat Doyoung menurunkan kewaspadaan, membuat benak terus-menerus berkata, 'tidak mungkin dia menyakitiku', walaupun buktinya terpampang nyata.

Apa kata Taeyong waktu itu?

"Ia bisa menyuruhmu melompat ke jembatan secara sukarela."

Tapi saat ini, setidaknya saat ini, Doyoung tidak keberatan duduk dengannya. Karena membicarakan masa lalu terkadang menyenangkan, bahkan meski itu bersama orang yang tidak terlalu ia kenal. "Tidak masalah."

"Bagaimana dengan Noona?" Jaemin mengalihkan topik. Kakinya terentang lurus hingga ke bagian bawah meja, mengabaikan tokoh-tokoh kartun lucu yang tadinya ia tonton. "Apa dia punya saudara?"

Hening. Doyoung tak lekas menjawab. Pikirannya terbagi 2; pada Sejeong yang yakin adiknya masih hidup, dan pendapat pribadinya yang berpikir Renjun sudah meninggal. Memang tidak ada bukti kuat tentang itu一maupun bukti dia hidup一tapi diam-diam, Doyoung pikir Sejeong harus mulai merelakan. Mengubur harapannya yang sering berakhir dengan kekecewaan. "Punya," ujar Doyoung setelah menimbang-nimbang, dan menoleh sekilas ke arah tangga. "Sekaligus tidak punya."

Alis tebal Jaemin tampak berkerut dari balik poninya. Tidak mengerti. Bingung. Mirip saat Doyoung memberinya penjelasan di hari pertama ia bangun. "Apa sudah meninggal?"

"Anggap saja sudah meninggal. Kau bagaimana?"

"Aku anak tunggal. Tapi..."

"Tapi apa?" Iseng, Doyoung menjulurkan tangan meraih kopi Jaemin yang mendingin. Menghirup aromanya perlahan. Sejujurnya, Doyoung bukan tipe pemilih soal makanan atau minuman, tapi astaga, kenapa kopi ini pekat sekali baunya? Berapa sendok yang Jaemin tuang? Dengan ngeri, ia meletakkan kopi kembali. Enggan mencoba meski sedikit.

Jaemin terkekeh, mengambil alih cangkir dan nyaris menghabiskan seluruh isinya. Ia minum kopi seperti orang lain meneguk air; cepat sekali. Menambah 1 lagi poin di Daftar Hal Aneh tentang dirinya. "Aku punya beberapa teman di lab yang sudah kuanggap seperti saudaraku."

"Ada berapa orang disana?"

"Jumlahnya tidak tentu, tapi yang paling lama ada 7 orang, termasuk aku ... ah, tidak," Jaemin tiba-tiba menggeleng, raut wajahnya berubah; campuran antara kemarahan dan kesedihan, tapi di dominasi oleh yang pertama. "Yang satu lagi sudah tidak ada. Hanya 6."

Mata Doyoung menyipit. Ekspresi yang belum pernah ia lihat pada Jaemin itu kontan membangkitkan kecurigaannya. Menekan tombol instingnya sampai berbunyi, pertanda ada sesuatu yang bisa ia gali. "Kemana perginya anak ke-7?"

"Anggap saja sudah meninggal."

"Sialan kau." Doyoung terbahak, memukul Jaemin dengan salah 1 bantal sofa. Tapi tanpa sengaja, ia malah menjatuhkan mp3 player di atas bantal tersebut, yang tidak ia sadari keberadaannya. Benda kecil mungil itu berjungkir balik di udara, sebelum ditarik gravitasi dan mendarat di lantai, tepat di samping kakinya "Ini milik Sejeong kan?"

Anggukan kepala Jaemin menjadi respon. Cahaya dari TV yang telah berganti acara tampak mengenai wajahnya saat ia menguap, dihampiri kantuk tepat ketika jarum jam yang berada tidak jauh dari keduanya bergerak ke angka 00.28. "Noona meminjamkannya padaku. Ada satu lagu yang kusukai disana, tapi aku tidak tahu judulnya."

Doyoung mengambil mp3 player berwarna hitam itu, memasang earphone, dan menghidupkannya. Alunan lembut sebuah lagu yang sering membantunya terlelap menyapa telinganya. Merdu, menenangkan, tapi kadang membuatnya merinding. "Ini sound track anime Attack on Titan, judulnya Vogel Im Käfig. Bahasa Jerman."

"Apa artinya?"

Pertanyaan itu sederhana, amat biasa, namun Doyoung kesulitan menjawabnya. Ia一untuk kali pertama一tak sanggup menatap mata Jaemin selagi berkata, "Burung dalam sangkar..."

"Kenapa," Doyoung berujar lambat-lambat, sambil mengetukkan jarinya ke permukaan putih meja makan yang halus. "Aku tidak terkejut Han termasuk dalam daftar ini." Ia melakukan kombinasi antara tawa dan dengusan, sebelum lanjut membaca daftar nama yang ditulis Jaemin.

Sehari setelah tahu tentang Mk Ultra,  Sejeong meminta Jaemin menulis nama agen-agen yang dia ketahui bekerja di lab, sebagai langkah awal. Mengumpulkan informasi.

Lee Han berada di posisi puncak. Di ikuti sederet nama lain yang tidak asing bagi Doyoung. Mereka temannya一orang-orang yang berlatih dan mengerjakan tugas bersamanya dulu, serta berdiskusi mengenai banyak hal. Ha Seon. Kim Jiyul. Park Asa. Sina...

Sina.

Namanya merupakan satu-satunya yang tak memiliki marga. Tidak mengherankan. Selain Sejeong dan Taeyong, Doyoung jarang bercerita tentang dirinya pada orang lain, dan Sina juga seperti itu. Dia tertutup一sangat. Masa lalunya adalah misteri.

"Kau mengenalnya, hyung?" Tanya Jaemin, dari kursi Sejeong, masih memegang pulpen yang ia gunakan tadi. Pemiliknya tengah pergi mencari sesuatu untuk mengganjal perut, karena bahan-bahan di lemari es terlalu menyedihkan untuk diolah menjadi makanan.

Doyoung mengiyakan, meski tidak terlalu yakin, karena hubungannya baik dengan Sina atau Han hanya sebatas rekan kerja. Han, terutama, jarang terlihat di tempat lain selain markas sehingga Doyoung menggodanya kenapa dia tidak sekalian saja tinggal disana. "Bisa dibilang, Han itu pembenci nomor 1 Taeyong."

Jaemin mengangguk setuju, tampak sedikit berbeda dan segar setelah Sejeong menata rambutnya ke belakang. Gemas, kata gadis itu, perlu dipotong. Tapi rambut adalah masalah terakhir yang harus ketiganya khawatirkan saat ini. "Mereka memang sering bertengkar."

Doyoung yang paham menyeringai, namun tidak mendongak. Otaknya penuh dengan berbagai pertanyaan yang tak berani ia utarakan keras-keras. Misalnya, kenapa Rim tidak pernah memberitahunya? Itu dilarang, Doyoung sadar, tapi sebagai seorang agen yang tidak pernah gagal melaksanakan tugas, bukankah ia cocok direkrut juga?

Bukan berarti Doyoung mau. Tentu saja tidak! Ia pembunuh, bukan orang baik一Doyoung tak menyangkalnya. Tapi ia memiliki batasan-batasannya sendiri, dan membunuh anak-anak termasuk di dalamnya. Dong Hyun juga pasti menolak, tak peduli untuk negara atau bukan.

Meski begitu, perasaan bahwa ia tersisih tidak hilang, melekat kuat seolah diberi perekat. Kenapa, kenapa, kenapa, ia terus bertanya-tanya, seraya berusaha mengenyahkan suara jahat yang mengejeknya tidak cukup layak.

Doyoung kira, dipermainkan Jaemin sudah sangat buruk, tapi dianggap tidak penting oleh orang yang berarti bagimu ternyata  lebih buruk lagi.

Bingung harus kesal terhadap siapa, Doyoung menyangga dagunya dengan satu tangan, sementara tangan lain membolak-balik kertas berisi tulisan tangan Jaemin. Kemudian menyeletuk asal, "Jumlahnya lebih sedikit dari dugaanku."

Jaemin mengerjap, rupanya melamun juga. Tanpa Sejeong yang pandai merangkai topik pembicaraan, rumah terasa sangat sepi karena 2 pemuda yang tersisa terlalu sibuk dengan pikirannya masing-masing. "Benar, sebagian besar adalah dokter dan peneliti."

"Oh," sahut Doyoung singkat, menggaruk dahi menggunakan 1 jari, penasaran sekaligus tertarik. "Lalu dimana akses masuknya? Katamu ada 2 pintu?"

Jaemin membuka mulut, hendak menjawab, tapi tidak sempat. Ponsel Doyoung mendahului dengan getaran dan nada dering keras yang hanya ia setel untuk 1 orang. Doyoung tak pernah melewatkannya kapanpun dan dimana pun nada dering itu berbunyi, sebab hanya berarti 2 hal; mendesak, penting.

Ia meraih ponsel secepat cheetah mengejar mangsanya, menghalangi Jaemin membaca identitas sang penelpon. Bibirnya tersenyum canggung. "Sebentar, Jaemin."

Tapi tanpa menunggu persetujuan si pemilik nama, Doyoung cepat-cepat pergi ke ruangan lain untuk menerima panggilan itu. Memastikan Jaemin tidak mendengar percakapannya. "Ya, Rim hyung?"

"Doyoung, apa kau sibuk?" Suara Rim terdengar dari seberang sana, ceria seperti biasa. Dulu atau sekarang, ia tak banyak berubah; selalu baik, selalu ramah. Sulit membencinya bahkan setelah Doyoung tahu ia memimpin proyek gila bernama Mk Ultra.

"Tidak. Tidak juga." Jawab Doyoung kaku, berharap Rim tidak mendeteksi keanehan dalam dirinya. Ia memindahkan tumpuan dari satu kaki ke kaki lain, merasa tidak nyaman karena masih melihat Jaemin dari tempatnya berdiri.

Sekali ini, ia bersyukur bakat aneh anak aneh itu cuma mengendalikan pikiran, bukan membacanya. Walaupun itu tetap saja mengerikan.

"Kalau begitu datanglah ke Naegok-dong. Aku ada sebuah tugas untukmu."

Seolah robot yang dayanya mati, Doyoung membisu. Firasat buruk merangkak menuju benaknya seperti laba-laba berkaki besar dan kasar, yang menghalanginya mengambil keputusan, menanamkan keraguan.

Ia tidak bicara bukan karena tidak mau, tapi tidak bisa.

Waktunya ... sialan, mengapa waktu tak berpihak padanya?

"Doyoung? Apa kau mendengarku?"

Selama ini, Doyoung belum pernah menolak tugas yang diberi Rim, tak peduli bagaimana keadaannya atau tingkat kesulitan tugas itu. Ia kebanggaan Rim selain Han一semua orang juga tahu. Tapi kali ini, ia tergoda  menolaknya, berpura-pura sakit atau cedera. Rim mungkin tak keberatan.

Anggap saja ia cuti sehari, mirip ketika bolos sekolah dulu...

Tidak.

Doyoung menyadari dirinya tidak bisa melakukan itu. Tidak pada Rim yang sangat berjasa di hidupnya. Melarikan diri dan bersikap pengecut sama sekali bukan sifatnya.

Jadi alih-alih mengarang alasan, Doyoung membuang semua keraguannya dengan kalimat, "Aku akan segera kesana."

Nah, sudah terucap. Ia tak sanggup menariknya kembali. Lagipula, pria sejati  selalu menepati kata-katanya.

Doyoung menarik napas panjang, memaksa kakinya menghampiri Jaemin. Ponsel terselip aman di saku celananya, tinggal menunggu Sejeong yang membawa kunci mobil. Ia akan melakukannya di luar saja, supaya tidak harus menatap Jaemin dan mata polosnya...

Oh, Doyoung benci ini. Sejak kapan ia jadi melankolis?

"Jaemin," panggil Doyoung, sudah memasang poker face-nya, mengusik Jaemin yang berkutat dengan mp3 player. Entah memutar lagu yang mereka bicarakan kemarin atau bukan. "Aku ada urusan penting. Tetaplah disini, kau mengerti?"

Tapi yang menanggapi pertanyaan itu justru Sejeong, yang berjalan dan membuka pintu depan nyaris tanpa suara, mengejutkan pelannya. Bungkus makanan berbau harum tergantung di tangan kanannya, menempel bersama kunci mobil. "Kau mau kemana?"

Doyoung otomatis menyunggingkan senyum. Ia dapat berbohong sealami ikan bernapas di air; mudah, bukan masalah! Tetap tenang, jangan bertingkah mencurigakan. Ia sudah sering melakukan ini一sampai tidak terhitung malah. Dengan pengecualian, orang yang akan ia bohongi sekarang adalah Sejeong...

"Menemui Jungwoo. Dia bilang libur hari ini dan mengajakku minum."

Maaf, maaf.

Benci sekali rasanya menutupi sesuatu dari Sejeong, tapi gadis itu jelas takkan setuju bila tahu ia memenuhi panggilan Rim saat semuanya masih sangat abu-abu. Ini terpaksa, berat melakukannya. "Aku pergi, ya?" Doyoung pamit, merebut kunci dari Sejeong, mengacak rambutnya sekilas.

Respon yang familiar一teriakan kesal一mengiringi langkah Doyoung keluar dari rumah, lengkap dengan peringatan agar tidak mengemudi dalam keadaan mabuk.

Doyoung balas melambai saja. Hanya itu. Ekspresinya berubah一tegang, serius, dan waspada bercampur aduk menjadi satu.

Sebuah dugaan terbentuk di benaknya, dan ia tidak menyukai dugaan itu. Dengan sepenuh hati, Doyoung berharap dirinya salah一semoga.

Bonus pic :

Itu kakak rl nya kak doy gengs, namanya emang dong hyun, tapi stage name-nya gong myung. Dia artis terkenal yang pernah main di bride of habaek 😳

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top