10. Mk Ultra

Ini kamar Doyoung dan Sejeong一ruangan paling luas di rumah itu.

Dengungan halus AC menyapanya ketika Kim Doyoung membuka pintu yang di bagian tengahnya menggantung dreamcatcher. Untuk mengusir mimpi buruk, ujar Sejeong, tapi ia tidak percaya. Doyoung hidup mengandalkan logika, insting, bukan takhayul yang tidak terbukti kebenarannya. Baginya, itu omong kosong.

Ia kemudian masuk.

Di dalam, terdapat sebuah tempat tidur lengkap dengan selimut bermotif kotak-kotak sederhana, lemari pakaian, laci, meja rias, serta rak buku dari kayu bermuatan buku-buku tebal yang beresiko membuat seseorang pingsan kalau di lempar padanya.

Doyoung kadang membaca salah satu buku itu, kalau sulit tidur.

Atas keinginan Sejeong, ia mengecat kamar menggunakan warna hijau muda. Mereka sepakat mengosongkan satu bagian dinding dan menghiasnya dengan foto-foto kencan mereka, termasuk foto di rumah yang lain, yang ada di Yangpyeong一tempat persembunyian keduanya yang tak diketahui siapapun kecuali Joy.

Kamar itu tampak rapi dan bersih, sekilas  seperti kamar biasa. Yang membedakan adalah, ada lemari besar yang hanya di buka di saat tertentu.

Contohnya sekarang.

Doyoung mengambil kunci di laci, lantas membukanya. Lemari tersebut menyimpan banyak barang-barang dari pekerjaan utamanya; beberapa jenis pistol mulai dari Desert Eagle yang termasuk pistol terkuat di dunia, SS2-V7 Subsonic, pistol dari Indonesia yang telah memenangkan banyak kompetisi, Colt 1191 yang melegenda dan Glock 36, kembaran dari pistol yang ia pakai di apartemen Se Hwang.

Sisi lain lemari di isi oleh rompi anti peluru, tumpukan sapu tangan, kamera kancing, pena perekam, pisau, dan beberapa kartu identitas palsu dalam berbagai profesi. Doyoung mengabaikan semuanya. Ia cuma perlu satu benda yang untuk sebagian orang, tidak berbahaya; tali.

Usai mendapatkannya, ia keluar dan menuruni tangga yang mengarahkannya ke kamar Jaemin. Mendekati anak itu, mengikat tangannya.

Tak peduli pada tatapan memelasnya. "Hyung一"

"Diam," potong Doyoung. Wajahnya datar. Suaranya tanpa emosi. Tapi 1 kata itu ampuh membuat Jaemin menurut.

"Jangan terlalu erat," pinta Sejeong, bersikap bagai kakak lagi. Tapi Doyoung tidak menghiraukan. Ia mengikat tali itu menjadi simpul rumit, memastikan Jaemin tak bisa melepasnya. Atau kalau bisa, ia pasti akan kesulitan.

Setelahnya, Doyoung membiarkan bocah itu duduk di lantai, dan menghadap Taeyong dengan kedua tangan terlipat di depan dada. "Nah, aku siap mendengarkan."

Taeyong mengusap wajahnya, lelah dan lesu, seolah energi dari buah-buahan yang ia konsumsi telah habis. Padahal dari banyaknya kulit yang tercecer di ruang duduk, ia bisa dibilang makan sangat banyak. "Nanti. Kau harus menjelaskan kenapa Jaemin ada disini."

"Jadi namanya sungguh Na Jaemin?" Doyoung tergelak, menoleh pada Sejeong. Lalu si penipu yang kini tak berkutik. Kepuasan terpancar di matanya, mengetahui ia benar. "Aku mengunjungi rumahmu tadi siang. Dan bekas tetanggamu memberi informasi yang menarik; katanya kau bukan Han Daekang. Sejeong belum mengecek  pemilik asli nama yang kau pakai selama ini, tapi tampaknya itu tidak perlu. Kau lebih suka dipanggil Daekang atau Jaemin?"

Respon Jaemin adalah menunduk, tidak membantah. Tidak pula menyangkal. Ia memilih tak menjawab.

Tapi Doyoung tak memerlukan jawabannya. Tidak lagi.

"Kami tak sengaja menabraknya beberapa hari yang lalu," sambung Sejeong, masih menatap orang yang memberinya hadiah boneka kelinci. "Dia tinggal disini sementara, karena kami mengira dia mengalami kekerasan di rumahnya. Tubuhnya penuh bekas luka."

Punggung Taeyong sedikit merosot di dinding yang ia gunakan sebagai tempat bersandar. Bibirnya menggumamkan sesuatu yang terlalu pelan untuk di dengar. Tapi jelas, si tampan itu bersumpah serapah. "Kalian salah, bukan itu yang terjadi."

"Kalau begitu beritahu kami." Tantang Doyoung, menduga bahwa apapun yang akan disampaikan Taeyong bukan hal yang bagus. Temannya itu jarang mengumpat. Bila itu terjadi, artinya pertanda buruk.

Tapi seburuk apa, itulah yang ingin ia tahu.

Taeyong bungkam. Sibuk berdebat dengan dirinya sendiri一alis yang hampir menyatu itu tandanya. Tapi Doyoung tak punya kesabaran menunggunya selesai. Ia mau jawaban, saat ini juga. "Ayo, Taeyong. Apa kau baru akan bicara ketika kamar ini kejatuhan meteor?"

Tawa. Taeyong tertawa. Doyoung sama sekali tidak mengerti jalan pikirannya. Dan tatapan penuh kebencian Jaemin pada Taeyong semakin membingungkannya. "Semuanya berawal dari Mk Ultra."

"Mk Ultra?" Ulang Sejeong, akhirnya berpaling karena terkejut. "Apa maksudmu? Kau mabuk?"

Tidak, jawab Taeyong. Kepalanya menggeleng menegaskan. Dia memang tidak mabuk, tapi nyaris tak ada bedanya. Kacau, butuh tidur, sekaligus liburan yang jauh. "Kalau-kalau kalian lupa, Mk Ultra itu nama sebuah eksperimen yang dilakukan CIA. Atau, yang di kenal publik dengan nama CIA's Mind Control Program."

Kamar itu berubah hening, ketika semua orang一minus Jaemin一fokus mendengarkan.

"Mk Ultra bercita-cita mengembangkan obat-obatan yang dapat berguna untuk interogasi dan penyelidikan. Mereka menjadikan masyarakat sebagai kelinci percobaan secara ilegal, tanpa izin, memakai bahan kimia atau zat psikoaktif seperti LSD, psilocybin bahkan mescaline, dan mengawasi efeknya dari jauh. Beberapa berubah gila, mengalami kerusakan otak, yang lain bunuh diri tanpa sadar."

"Proyek itu ditutup tahun 1970-an," timpal Doyoung, sama sekali tidak terkesan. Ia memang tidak suka membaca, tapi akan membaca hal-hal yang menurutnya unik. Mk Ultra salah satunya. "Kami tahu itu, apa sebentar lagi kau akan membahas alien di Area 51?"

"Salah lagi." Mengabaikan sarkasme Doyoung, Taeyong tetap bicara dengan tenang. Sudah biasa, sudah pula menduga. "Kenyataannya, Mk Ultra tetap berjalan, tapi publik tidak mengetahuinya. Mereka justru semakin berambisi. Yang mereka inginkan tidak hanya obat, tapi juga orang yang bisa mengendalikan pikiran. Hal lain yang tidak diketahui publik adalah, bukan Amerika saja yang melakukan percobaan itu, tapi juga banyak negara lain. Termasuk negara kita."

"Kau," sudut-sudut bibir Doyoung berkedut menahan tawa. Tatapannya seolah berujar,  kau sinting? yang kemudian diteruskan mulutnya. "Benar-benar mabuk, ya?

Namun Taeyong langsung menyanggah, "Diamlah! Kau yang minta penjelasan kan?"

"Aku minta penjelasan yang masuk akal!"

"Oh, hentikan kalian berdua!" Sejeong berdecak, memisahkan Doyoung dan Taeyong sebelum keduanya terlanjur bertikai. Memberi masing-masing satu pukulan ke dada mereka. "Biarkan dia melanjutkan, Doyoung."

Sang pemilik nama mendengus, mundur kembali ke tempatnya semula, di dekat Jaemin. "Jangan bilang kau percaya omongan ngawur itu."

"Dengarkan, beri dia kesempatan."

Taeyong mengangguk, berterima kasih pada Sejeong, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum bicara lagi, "Tujuan awal Mk Ultra adalah mengorek informasi dari mata-mata musuh, oke? Mereka mencoba menciptakan serum kejujuran dan semacamnya. Itu berguna, jadi negara lain menirunya. Tapi, Amerika terlalu ceroboh dan membocorkan informasinya."

"Dan?" Doyoung yang bosan bertanya malas-malasan. "Apa hubungan itu dengan si Jaemin ini?"

"Pelan-pelan, Doyoung." Taeyong kembali melirik Jaemin yang mematung, berlagak tidak mendengar segalanya. Anak itu tetap diam, menunduk memandang lantai. "Mereka mulai mengumpulkan orang-orang yang punya fisik bagus, meneliti efek obat pada korban. Tapi tak ada titik terang. Berbagai percobaan mereka gagal dan Mk Ultra dihentikan sementara."

"Kenapa sementara?" Sejeong menyahut, larut dalam topik ini. Ekspresinya serius, mirip ketika mempelajari materi tentang komputer yang ia gemari.

"Ada seorang agen yang memiliki profesi ganda一seperti kalian一sebagai psikiater. Suatu hari, dia menerima pasien anak-anak yang di keluhkan ibunya sering bersikap aneh dan bicara kotor. Tapi gadis kecil itu mengaku dia mendengar pikiran orang dewasa di sekelilingnya. Agen itu tidak percaya, tentu saja. Pembaca pikiran, di zaman sekarang? Lucu. Tapi ia terpaksa percaya, sebab semua pemeriksaan menyatakan tak ada yang salah dengan pasiennya."

"Maksudmu," Doyoung berkata lambat-lambat, tidak habis pikir. Merasa Taeyong baru saja memberitahunya ia bertemu beruang berwarna pink. "Gadis itu penyihir? Simsalabim. Dor! Aku akan membaca pikiranmu! Begitu?"

Reaksi Doyoung dan gerakan-gerakan tangannya yang berlebihan membuat Taeyong memutar bola mata. Beruntung, stok kesabarannya belum menipis menghadapi si pemuda realistis "Bukan sihir, kau pikir sekonyol itu? Menurut  peneliti di lab, anak-anak berbakat tersebut menggunakan kapasitas otak mereka lebih banyak dibanding orang biasa. Itu sains. Tidak berhubungan dengan sihir."

"Berbakat apanya." Untuk pertama kali, Jaemin menimpali. Meralat ucapan Taeyong di iring kekehan yang mengundang perhatian. "Lebih cocok di sebut kutukan."

"Bakat." Taeyong berkeras, menyentuh luka di pipinya yang menyisakan perih. Segaris luka itu perlu waktu untuk pulih, menambah daftar luka di tubuhnya. "Jadi, agen-agen yang terlibat proyek Mk Ultra akhirnya pindah haluan; mencari anak-anak yang punya bakat khusus. Dan Jaemin satu di antaranya."

Tawa Doyoung meledak tidak terkendali. Ia sampai membungkuk. Sampai terbatuk-batuk. Memegangi perutnya ketika hampir tersedak. "Astaga, aku tidak tahu kau berbakat menulis fiksi!"

Wajah datar Taeyong tidak terusik, paham betul Doyoung adalah orang yang sangat rasional. Pasti sulit baginya mempercayai hal-hal berbau supranatural. "Aku tidak bohong. Kau lihat kan Jaemin melempar pisau tanpa menyentuhnya?"

"Pasti ada penjelasan lain一"

"Tidak ada." Potong Taeyong, sangat yakin. Tanpa keraguan sedikitpun. "Itu bakatnya. Telekinesis."

"Hah? Teleskopis?"

"Telekinesis." Taeyong memejamkan mata sejenak, memijat area tengah dahinya. Ia, tak diragukan lagi, butuh obat sakit kepala secepatnya. "Jaemin ahli mengendalikan benda-benda. Pikiran manusia juga. Ia bisa menyuruhmu melompat ke jembatan secara sukarela. Semacam itu."

"Tunggu," bagai menara gelas festival yang jatuh dihantam bola, ketenangan Sejeong kini runtuh berhamburan. "Daekang一maksudku Jaemin, memang aneh, tapi tak pernah melakukan hal-hal aneh. Dia normal, biasa saja."

"Berarti dia menyembunyikannya," jawab Taeyong enteng, meneliti seluruh kamar itu. Kamar minim perabotan yang ia minta. Tidak ada benda-benda berbahaya. "Ingat Jo Se Hwang? Dia sebenarnya tidak mencuri data kita, melainkan data anak-anak seperti Jaemin."

Mulut Doyoung terbuka lebar. Kata-kata pria yang dimaksud Taeyong memenuhi benaknya. Mutan. Divisi rahasia. Percobaan  pada anak-anak. Sejujurnya, ia masih penasaran soal itu, dan jika digabung dengan penjelasan Taeyong, semuanya cocok. Ditambah kejadian gelas yang tiba-tiba jatuh, tubuh Jaemin yang cepat sekali sembuh...

Luka akibat pisau yang Doyoung lempar bahkan sudah tertutup, lebih cepat dari luka goresan Taeyong.

Tapi tetap saja, ini tidak masuk akal.

Anak-anak yang mengendalikan pikiran orang lain. Bakat khusus. Doyoung tak menyangka rahasia yang disembunyikan Jaemin jauh lebih besar dari yang ia kira. Ini bukan tentang identitas semata, tapi menyangkut organisasi besar yang berdiri dan bertahan sejak sekitar setengah abad yang lalu.

"Setelah itu?" Sejeong bertanya, pulih lebih dulu dari keterkejutan. "Kau apakan anak-anak yang kau temukan?"

Yang ditanya membuang muka.

Dan Jaemin-lah yang menjawab, dengan suara yang terdengar getir. Mata gelapnya menunjukkan kesedihan, mengingat entah apa saja yang terjadi padanya. "Mereka mengurung kami di lab一melakukan beragam percobaan dan tes yang dapat membunuh kami. Aku beruntung bertahan sangat lama. Banyak teman-temanku yang meninggal."

Doyoung berjalan mondar-mandir di kamar itu. Tangannya terkepal, gatal. Ingin meninju sesuatu, atau seseorang, demi meluapkan emosinya. "Kau membunuh anak-anak, huh? Hebat. Sangat mulia."

"Terpaksa!" Taeyong membela diri, dengan frustrasi mengacak rambutnya yang semula rapi. "Aku juga tidak menyukainya. Aku muak! Tapi ini harus dilakukan!"

"Untuk apa?!" Bentak Sejeong, menyerupai singa betina yang murka一bukti bahwa orang yang ceria, bisa berubah mengerikan bila dikuasai amarah. "Seharusnya proyek tolol itu dibubarkan. Interogasi kini semakin mudah karena ada orang-orang seperti Han. Kau tak perlu mengorbankan siapapun!"

"Bukan itu saja. Tujuan Mk Ultra kini meluas," sergah Taeyong, menunjuk Doyoung menggunakan jari telunjuknya yang memiliki ceruk samar, hasil latihan menembak bertahun-tahun. "Lihat pacarmu itu. Dia hanya orang biasa yang bakat utamanya bicara sarkastik, tapi karena di latih dengan baik, dia bisa jadi sehebat sekarang. Nah, bayangkan kalau Doyoung punya punya kekuatan seperti Jaemin. Luar biasa kan? Itulah yang berusaha diwujudkan peneliti kita. Mereka ingin tahu apa yang membuat anak-anak itu istimewa, lalu menyalurkan keistimewaan tersebut pada agen dan tentara kita一membuat mereka lebih tangguh. Kau paham?"

Tentara masa depan yang superior. Doyoung terhenyak mendengarnya, meski sudah menduga hal itu. Sebagian dirinya mengerti, tapi hatinya menjerit bahwa itu salah. Karena tak peduli punya bakat istimewa atau tidak, setiap orang berhak atas tubuhnya. Itu mutlak.

Dan Sejeong menegaskannya, seraya mengayunkan kakinya ke tempat tidur, menyenggol Taeyong sekilas ketika akan duduk disana. "Sesuatu yang salah tetap salah, apapun tujuannya. Tindakanmu tidak lantas dapat dibenarkan."

"Ini tidak seburuk bayanganmu, Sejeong. Mereka di perlakukan dengan baik, semua kebutuhan mereka terpenuhi."

"Jangan percaya, Noona." Jaemin menggeleng, memperbaiki posisi duduknya jadi lebih tegak dengan susah payah. Sejenak membuat Doyoung kasihan, tapi ia membuang jauh-jauh perasaan tersebut. "Itu tidak benar.Tak ada penjara yang menyenangkan."

Taeyong yang tersudut menghela napas berat. Alih-alih pembunuh anak-anak, ia lebih mirip pria 24 tahun yang kekurangan uang. Tampang polos itu tidak cocok dengan pekerjaan yang ia jalani. Doyoung mengerti一pantas saja ia stres. Pemilihan karir yang salah akan menghilangkan kadar endorfinmu sama efektifnya dengan putus cinta. "Apa kau pernah dihukum tanpa alasan, Jaemin? Semua hukuman yang kau terima karena ulahmu sendiri."

Jaemin tersenyum murung, sedikit memiringkan kepala untuk menatap Taeyong lewat poninya yang seperti tirai. "Jadi aku harus diam saja ketika di jadikan kelinci percobaan?"

Taeyong seketika bungkam.

"Baik. Cukup sudah." Sejeong menggeram marah. Muak. Tidak tahan. Dengan Satu tangan yang terselip di belakang pahanya, ia mendorong Taeyong ke pintu keluar. Sikap ramahnya hilang ditelan kejamnya cerita pria itu. "Waktu berkunjung sudah habis. Kau harus pulang."

Tapi Taeyong yang bingung hanya mengerjap, menatap bolak-balik pada Sejeong dan pacarnya yang mematung. Menahan tubuhnya di depan pintu yang telah di buka lebar oleh satu dari dua pemilik rumah ini. "Bagaimana dengan Jaemin?"

"Dia tetap disini."

"Apa?"

"Kau mendengarku. Pergilah. Jangan membuatku mengulangnya 2 kali." Begitu Taeyong menoleh, matanya langsung berhadapan dengan moncong sebuah pistol yang di pegang mantap dan kuat. Wajah Sejeong tidak menunjukkan ekspresi apapun saat ia mengokang dan meletakkan jarinya di pelatuk, siap menembak.

Secara refleks, Taeyong menyentuh saku mantelnya, tempat dimana seharusnya pistol itu berada. "Kapan kau一"

Dan tergelak sedetik kemudian, menyadari Sejeong pasti mengambil senjata itu sewaktu melewatinya untuk duduk di tempat tidur. Trik dasar. Salah satu hal pertama yang ketiganya pelajari di sekolah. Ia tidak merasakannya tadi. Sejeong, si tangan lincah. Taeyong dibuat kalah dan menyerah. "Santai saja. Aku akan pergi jika diusir."

Sejeong tak segera percaya. Matanya menyipit, mengamati Taeyong seksama. Mencari tanda-tanda perlawanan, hingga  yakin semua aman. Barulah setelah itu ia menurunkan pistol dan mengopernya pada Doyoung. "Kau tidak akan memberitahu siapapun Jaemin ada disini."

Itu pernyataan bukan pertanyaan, tapi Taeyong mengangguk patuh menanggapinya. Entah karena malas atau terlalu letih berdebat lagi. "Mengerti. Dan Doyoung?" Ia berdecak melihat Doyoung sibuk mengelus pistol yang ia bawa, seolah itu emas berharga. Armatix, pistol pintar karya warga Jerman, yang tidak bisa sembarangan digunakan orang. Benda-benda unik semacam itu, sudah pasti disukai Doyoung. "Jangan lupa aktifkan kodenya. Tanpa itu, pistol tidak bisa menembak. Lalu一"

"Aku tahu, aku tahu," Doyoung mengibaskan tangannya tanpa benar-benar mendengarkan. "Ini pistol 1 orang. Aku harus pakai jam tangan khusus dan mengaktifkan kode kan? Kalau tidak, lampu ini," dia mengisyaratkan lampu di punggung pistol yang tengah mati. "Akan berwarna merah yang artinya, pistol terkunci. Benar kan? Hahaha aku memang pintar."

Taeyong terlihat ingin memukulnya.

Tapi urung, sebab Sejeong ada di sebelah dan mood-nya berantakan. Bahkan sekarang pun, gadis ceria itu tidak tersenyum padahal biasanya mudah dibuat tertawa. Gawat. Taeyong memutuskan cepat-cepat pergi, melempar jam tangan Armatix ke pemilik barunya. "Disana ada 10 peluru, sisanya kau beli sendiri. Aku pergi, ya?"

Dengan canggung, ia menggaruk tengkuknya. Melangkah menuju pintu. Siap kabur dari situ. Sayangnya...

"Taeyong," panggilan Doyoung menghentikannya. "Sejak kapan kau bergabung di Mk Ultra?"

"5 tahun yang lalu," ucap Taeyong tanpa menoleh. Ekspresinya tak terbaca. "Dan aku membenci setiap menitnya."

Selepas kepergian Taeyong, Sejeong mendekati Jaemin, berlutut di depan anak itu guna melepas tali yang mengikat tangannya, hingga menimbulkan bekas kemerahan. Ia menyentuhnya dengan lembut, bertanya, "Kau baik-baik saja?"

Anggukan. Tapi tidak meyakinkan. Cara Jaemin berhati-hati menggerakkan sikunya menjadi tanda ia kesakitan. Namun keluhan ia simpan untuk dirinya sendiri. Sebaliknya, ia bertanya, "Siapa kalian? Agen NIS? Atau sama seperti ... dia?"

Enggan berbohong, Sejeong mengiyakan. Mengungkap rahasia yang bahkan tidak diketahui teman terdekatnya. Rahasia yang oleh Kyungsoo disebut sama pentingnya seperti nyawa mereka. Seharusnya tidak boleh di umbar dengan mudah. "Anggap saja begitu."

Jaemin mengeluarkan tawa palsu一jenis tawa ketika kau marah terhadap keadaan tapi tidak tahu harus protes pada siapa. Ini bagai keluar dari sarang buaya baginya, hanya untuk masuk ke kolam hiu. Tak ada bedanya. "Lalu kenapa kalian mencegahnya membawaku?"

"Itukah yang kau inginkan?" Doyoung buka suara, masih menunduk, belum selesai mengutak-atik jam tangannya. Memasukkan kode yang ia pikirkan selama hampir semenit. Kode sederhana, sulit di tebak orang lain, tapi tidak mungkin ia lupa. "Dengar, Jaemin, aku bukan Taeyong yang terlalu lembek. Kalau mau, aku bisa menyerahkanmu kapan saja, mengerti?"

"Doyoung!"

"Mengerti atau tidak?" Mengabaikan gadisnya, Doyoung menendang kaki Jaemin hingga dia mengangguk. Suaranya yang lebih dingin dari salju itu terdengar sangat berbeda dengan pria yang meminta Jaemin membeli bubble tea. Doyoung berganti identitas semudah orang lain melepas jaket. "Bagus. Sekarang jawab pertanyaanku, apa yang terjadi pada Han Daekang?"

"Dia baik-baik saja, hyung. Aku hanya meminjam seragamnya untuk mengecoh orang-orang yang mengejarku."

"Begitu, ya." Doyoung menyeringai. Satu alisnya terangkat. Ia tidak akan tertipu一lagi.
"Jadi kau menghampirinya, berkata 'boleh aku pinjam seragammu?' dan dia  mengizinkan karena dia orang yang ramah?"

Kepala berambut gelap Jaemin menunduk, menatap kuku-kuku jarinya yang terdapat beberapa bercak merah; darahnya sendiri, karena ia mencengkeram sikunya sebelum Doyoung datang bersama tali. "Aku memaksanya. Tidak dengan kasar, maksudku..."

"Jaemin ahli mengendalikan benda-benda. Pikiran manusia juga."

Suara Taeyong seolah bergema di ruangan itu. Menyebabkan keheningan yang tidak nyaman. Bagi Doyoung dan Sejeong, ini sangat aneh, walaupun mereka sudah melihatnya. 2 orang yang sering berurusan dengan hal-hal berbau kriminal dan kejahatan, kini dipaksa mempercayai bahwa pengendali pikiran bukan sekedar mitos.

Seperti psikiater yang diceritakan Taeyong...

Inikah yang dia rasakan?

"Kau sungguh bisa melakukan itu?" Sejeong tak dapat menyembunyikan kegugupannya. "Mengendalikan pikiran?"

"Ya." Jauh dari kata bangga, Jaemin malah terlihat muak membicarakannya. Seolah itu adalah bangkai. Sampah menjijikkan. "Tapi tidak semua orang dan jumlahnya sedikit."

Pegangan Doyoung pada Armatix mengerat. Dalam hati bertanya-tanya, makhluk apa yang sudah ia tolong ini? Salahkan keputusannya menolongnya? "Dimana lokasi lab itu?"

"Di sebuah gedung yang ada di Naegok-dong."

Markas. Doyoung paham. Gedung yang dikenal publik sebagai gedung pemerintahan biasa. Ia dan Sejeong mengunjunginya jika dipanggil untuk mengerjakan tugas. "Tak ada lab apapun disana. Kau yakin?"

"Letaknya di bawah tanah."

Sejeong mengumpat pelan. Sama sekali tak menyangka. Ternyata bukan hanya lantainya saja yang bertingkat, tapi misteri dan rahasianya juga. "Siapa bajingan sakit jiwa yang memimpin proyek itu?"

Di situasi lain, Doyoung pasti akan tertawa, karena Sejeong selalu terlihat lucu ketika mengumpat, tapi situasi ini terlalu serius untuk ditertawakan. Terlebih saat Jaemin mendongak dan menambahkan, "Seseorang bernama Gang Rim."

Doyoung merasa ada yang baru saja menamparnya.

Ia terdiam一lama, lama sekali, berusaha mencerna kata-kata Jaemin. Berharap dirinya salah dengar. Tapi telinganya masih berfungsi dengan baik dan ia yakin nama yang disebut Jaemin benar-benar 'Gang Rim'. Tapi benaknya menolak itu. Tak dapat membayangkan orang yang ia anggap kakak kedua memimpin sebuah proyek gila seperti Mk Ultra.

Rim orang baik. Rim penyelamat; tidak cuma dia, tapi juga Han dan anak-anak lain. Doyoung mengenalnya sebagai pria yang hobi tersenyum, sering menolong serta memberi semangat pada agen-agen yang lebih muda darinya. Ini ... mustahil.

Ia menggeleng. "Jangan bercanda kau, Jaemin."

Kening Jaemin berkerut. Heran melihat Sejeong turut tertegun. Wajah gadis itu bahkan memucat. Rona merah meninggalkan pipinya, seperti ranting yang tersapu ombak. Senada dengan Doyoung yang benar-benar shock. "Tapi memang dia orangnya."

"Kau salah!" Di antara 3 penghuni kamar itu, sulit menentukan siapa yang lebih terkejut ketika suara Doyoung tiba-tiba meninggi, nyaris bisa disebut berteriak. "Dia pasti cuma menerima perintah dari seseorang. Ya. Kau salah. Itu tidak benar!"

Hening kemudian hadir, menggandeng kawan setianya; canggung yang merusak suasana.

Doyoung menggeleng sekali lagi, tak menunggu respon Sejeong atau Jaemin.

Ia berderap pergi dengan langkah-langkah cepat, melewati pintu yang tidak ditutup sempurna oleh Taeyong. Ia terlalu gusar, terlalu terkejut, sebab melihat kejujuran di mata Jaemin yang sangat ingin ia sangkal.

Mengetahui Taeyong terlibat adalah satu hal. Dia sering menghilang untuk mengerjakan tugas yang tak pernah ia rinci. Sejujurnya, Doyoung tidak terlalu terkejut.

Tapi Rim? Itu soal lain.

Ini gila.

Gila.

Doyoung membuka pintu kamarnya dengan kasar, menghempaskan tubuh di atas tempat tidur. Foto Renjun menatapnya dari dinding, tersenyum di sebelah foto Dong Hyun dan orang tuanya.

Kita semua pernah kehilangan.

Doyoung berpaling, meraih remote AC yang kebetulan tergeletak dekat lengannya. Ia mengamati, memutar-mutar benda itu. Berpikir, kalau ia melemparnya, mungkinkah itu membuatnya lega? Doyoung mengambil ancang-ancang, berpura-pura itu adalah granat.

Lempar tidak ya...

"Jangan coba-coba, Kim Doyoung." Sejeong menginterupsi, menghentikan niatnya. Ia, tanpa banyak kata, bergabung di sebelah Doyoung, menjewer telinganya pelan. "Dasar anak nakal."

Senyum Doyoung muncul hanya karena kata-kata itu. Nyaris seketika, ia merasa lebih baik. Masalah sebesar apapun rasanya jadi lebih kecil bila ada Sejeong. Maka ia menarik si pacar mendekat, lebih dekat lagi, dan memeluknya. Berbagi kehangatan bersama. Lantas berbisik, "Rim hyung tidak mungkin melakukan itu."

Tak ada jawaban. Sejeong tak perlu menjawab. Sebab Doyoung tahu apa yang ia pikirkan; Jaemin berkata jujur. Tidak perlu analisis Han untuk memastikannya. Tapi bukan berarti bocah itu tidak salah. Bisa saja Jaemin keliru. Doyoung masih bertahan dengan keyakinannya, meski suara kecil dalam hatinya berkata sia-sia saja menipu diri sendiri.

Tapi besok, ia akan bertanya pada Taeyong. Harus.

Untuk saat ini, ia mau berduaan dulu dengan Sejeong. Menghirup parfum mawarnya yang harum, yang menenangkan pikiran. Membuat matanya terpejam. "Kita," ucap gadis dalam pelukannya. "Akan mencari tahu dan menyelesaikan masalah ini."

"Ya." Doyoung mengangguk, mengecup dahi Sejeong lama sekali. "Bersama."

"Bersama," ulang Sejeong, balas tersenyum.

Note : proyek Mk Ultra itu beneran ada lho, cuma disini gua tambahin unsur fantasi. Buat lebih jelasnya silahkan tanya Om Google 😳👍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top