09. Kemelut

Dia muncul tiba-tiba; masalah berbentuk manusia setinggi一menurut perkiraan Kim Doyoung一178 senti. Tampan. Rambut gelap terlalu panjang. Mengenakan salah satu pakaian lama Doyoung.

Dilihat dari manapun, dia tampak seperti remaja biasa一jenis remaja yang akan membantu orang tua menyebrang tanpa diminta. Polos.

Namun, perjalanan pendek Doyoung ke Hanso-dong membuktikan sebaliknya.

Tak ada yang menyangka. Tak ada yang mengira. Doyoung menyalahkan dirinya sendiri karena tidak cukup waspada. Padahal, guru-guru di "sekolah"nya sering menekankan pentingnya untuk tidak mudah percaya pada siapa saja.

"Penampilan bisa menipu," ujar Kyungsoo, sang guru bela diri yang dulu menghukumnya berulang kali. "Kalian merupakan bukti nyata dari hal itu."

Doyoung tak menyadari betapa benar kalimat tersebut sampai melihat Dae一ah, Jaemin maksudnya, tersenyum pada dirinya dan Sejeong. Menjadikan ia si penipu yang tertipu. Astaga. Malu adalah perasaan yang asing bagi Doyoung dan kini ia merasakannya karena anak itu. Ia sampai tidak tahu harus bereaksi bagaimana.

Sehingga Sejeong yang memulai percakapan. "Daekang, ada apa?"

Belum menyadari apa yang terjadi, senyum Jaemin tidak goyah. Ia tampaknya lupa pada penolakannya untuk datang kesini. Joy, makanan enak, serta suasana kafe yang nyaman membuat Jaemin berubah pikiran dan betah. "Joy noona memintaku bertanya apa kalian mau mencicipi puding pelipur lara buatannya. Itu karya baru."

Pasangan Kim saling berpandangan.

Joy dan karyanya yang tidak biasa一mereka paham. Star blossom bukan sekadar kafe; tempat ini juga menjadi laboratorium eksperimen memasak Joy. Ia kerap bertukar posisi dengan temannya di dapur, dan keluar beberapa jam kemudian memamerkan makanan atau minuman yang ia beri nama-nama aneh. Bulgogi pelega emosi. Pancake pelepas rindu. Waffle penghangat hati. Tak heran menu yang ada di sini kadang menyebabkan orang terkikik setelah membacanya.

Dan kini puding pelipur lara?

Ampun deh, Joy. Ada-ada saja. Setelah ini dia pasti akan merengek untuk memasukkan makanan itu ke menu. Sejeong menepuk kepalanya sendiri. "Bilang padanya kami akan mencobanya nanti."

"Baiklah." Senyum Jaemin berganti tawa geli. Keceriaan Joy menular padanya, sehingga ia tidak membaca atau tidak peduli terhadap peringatan yang tertempel di atasnya. Doyoung bingung harus menyebut itu pengaruh baik atau buruk. "Maaf mengganggu."

Salah.

Itu tidak benar. Jaemin seharusnya berkata, "maaf membohongi kalian" lalu merinci alasannya. Alasan yang bisa diterima一dan tentu, tidak semakin memperparah suasana hati Doyoung yang buruk. Sekarang saja ia masih marah. Lengannya yang menyilang di depan dada cukup mewakilinya. "Hei, Daekang, sini kau."

Pinta pria yang lebih tua, tapi lebih mirip perintah. Tangannya melambai seakan meminta kucing mendekat. Mereka perlu bicara. "Ada yang ingin kutanyakan."

Satu kaki Jaemin yang telah berbalik langsung diam di tempat. Pita di sepatunya agak miring dan ia mengamatinya, sebelum mendongak menatap pemilik suara pertama yang ia dengar di rumah. "Soal apa, hyung?"

Hyung. Doyoung mengernyit ketika kata terakhir tertangkap indra pendengarannya. Seumur hidup, ia tidak pernah punya adik, dan tidak mengharapkannya. Rata-rata teman yang ia miliki pun hanya memanggilnya "Doyoung", jadi panggilan itu terasa asing baginya. Tapi ia memutuskan membiarkan, sebab hal yang lebih penting tak bisa menunggu.

"Kau." Doyoung menukas cepat, melangkah maju. Hampir saja, ia menginjak foto Renjun jika tak berhenti di saat yang tepat. Benda yang bisa disebut pusaka berharga itu tidak boleh sampai kotor, nanti Sejeong mengamuk. Buru-buru, ia membungkuk dan meraihnya. Berhati-hati menghindari pecahan kaca, lantas meletakkan kembali di atas meja. "Ini tentangmu."

Suhu ruangan bagai meninggi. Doyoung tahu itu cuma khayalannya, seperti khayalan Nali一tentang Jaemin yang menerbangkan ponsel一tapi tetap saja ia merasakan antusiasme yang mirip ketika akan menjalankan tugas. Ia suka misteri一suka sekali. Cuma sedikit yang dapat menarik minatnya selain itu. Dan bila sudah berhadapan dengan misteri, apalagi yang bisa dilakukan kecuali memecahkannya?

Mari kita ungkap.

Pertanyaan pertama sudah ada di ujung lidah Doyoung, siap diucapkan. Ia penasaran tujuan Jaemin melakukan ini. Modus penipuan baru? Iseng? Atau dia sebenarnya sungguh seorang buronan?

Doyoung membuka mulut一

一langsung berhenti begitu Sejeong meremas tangannya dari bawah meja.

Kemudian memotong, "Tidak ada, Daekang. Kau boleh pergi. Tutup pintunya, ya."

Kepala Doyoung seketika menoleh pada gadis itu. Ekspresinya tercengang. Kau ini kenapa, Sejeong?

"Sungguh?" Jaemin memastikan. Kening putih yang sedikit tertutup poni miliknya berkerut. Tangannya berada di kenop pintu, ragu akan menutup atau membukanya lebih lebar.

"Ya." Sejeong tersenyum menenangkan, sembari membentuk gesture mengusir, tanpa melepaskan tangan Doyoung. Tanda ia mau si pacar tetap diam. "Bantulah Joy, dan jangan lupa makan."

Daekang terlihat lega一ia tidak dapat menutupinya. Apapun rahasia yang ia sembunyikan, berusaha keras ia jaga. Maka dibanding berhadapan dengan Doyoung, jelas ia lebih memilih membantu Joy. Tanpa disuruh 2 kali, ia mundur, menghilang dari pandangan Doyoung dan Sejeong.

Krieeet!

Bocah itu pergi, sedikitpun tidak memberi informasi. Doyoung merasa seperti baru saja menemukan kunci untuk membuka sebuah peti misterius, tapi Sejeong mengambil dan menghilangkannya. Menyebalkan! Ia menendang kaki meja sebagai pelampiasan. "Kau mestinya tidak mencegahku tadi."

Sejeong tak langsung menjawab. Ada jeda beberapa detik saat ia membersihkan foto Renjun dengan gerakan teramat lembut, seolah itu adalah kulit adiknya. "Aku akan mengajak Daekang bicara lagi, Doyoung. Kita beri dia kesempatan kedua."

"Jaemin." Doyoung meralat, penuh penekanan. Ingin mengingatkan Sejeong bahwa Daekang yang dimaksud sudah menipu mereka. Dirinya yang benci sekali dipermainkan memberi usul, "Mungkin harus aku yang bicara dengannya."

Tapi hanya dalam tempo 2 detik, gagasan itu ditolak mentah-mentah.

"Tidak." Sejeong, si pecinta kedamaian dan pembenci kekerasan menolak tegas. Ia tahu Doyoung sanggup membuat orang mengaku dengan cepat, tapi menggunakan cara yang tidak suka ia bayangkan. Itu berlebihan. "Dia bukan penjahat."

"Tahu darimana? Kenapa orang yang bukan penjahat mengakui identitas orang lain?"

Menyadari kemarahan Doyoung semakin tidak terkontrol, Sejeong mengeluarkan jurus andalannya; menatap pria itu dengan cara yang selalu berhasil meluluhkannya. Jika dibiarkan, Doyoung akan terus mengomel sampai telinganya capek mendengarkan. "Aku yakin dia punya alasan untuk itu dan aku tertarik mencari tahu. Biarkan aku bicara padanya dulu, ya? Kumohon..."

Nada manis ditambah mata bulat yang berkedip-kedip nakal itu mengalahkan Doyoung. Baik dulu maupun sekarang, belum sekalipun ia bisa melawan pesona Sejeong. Kalau sudah cinta, sulit sekali rasanya berkata 'tidak'. "Terserah kau saja."

Sejeong tersenyum. Senang sekali memenangkan perdebatan walaupun pakai cara yang sedikit kotor. Ditariknya Doyoung mendekat, lantas menghujaninya dengan ciuman. Pipi, dagu, hidung, bibir. Ia tak berhenti hingga Doyoung tersenyum.

Namun dalam pikirannya, ada banyak skenario tentang Jaemin一yang meski masih muda, bukan berarti tidak berbahaya. Anak-anak sekalipun bisa jadi senjata jika dilatih dengan baik.

Tapi mari berharap Sejeong benar; bahwa Jaemin bukan penjahat.

Ada panggilan masuk ke ponsel Doyoung menjelang ia pulang.

Membuat benda yang disetel tanpa nada dering itu bergetar. Identitas penelponnya tertulis dalam 2 huruf saja, "TY", yang merupakan singkatan dari "Taeyong". Normalnya, dia jarang menghubungi dengan cara ini. Lebih sering langsung datang ke kafe dan minta makanan gratis. Jadi pasti ini penting. Doyoung menerimanya, seraya menyapa singkat, "Apa maumu?"

Yang dibalas Taeyong dengan dengusan. "Kau masih perlu Armatix?"

Nyaris bagai membalik halaman buku, ekspresi Doyoung yang tadinya merengut berubah cerah ceria, bahagia. Gerakannya yang hendak mengganti papan tanda "buka nih, ayo mampir!" menjadi "tutup dulu, sayang!" terhenti sepenuhnya ketika ia fokus berkomunikasi. "Sudah ada? Tumben cepat."

"Inilah gunanya berteman denganku," Taeyong berujar bangga, diantara keriuhan lalu lintas di latar belakang. Tak diragukan lagi, ia sedang menyetir. Berada di jalan raya yang ramai. "Aku hampir sampai ke rumahmu. Kau sebaiknya ada disana atau aku akan memberikannya pada Han."

"Supaya dia bisa menembakmu dengan pistol itu?" Doyoung mencibir, mengamati Sejeong yang sudah ada di mobil dari kaca. Gadis itu dan Jaemin tengah bercanda, sesekali tertawa seperti kakak dan adik sungguhan. Orang yang tidak kenal pasti terkejut jika diberitahu mereka tidak punya hubungan darah. "Masuk saja. Aku masih dalam perjalanan."

"Oke." Taeyong menjawab santai. Pintu yang terkunci tak pernah menjadi masalah baginya. "Bawakan makanan juga ya."

Mulut Doyoung menjawab, "Habis." Sedangkan hatinya menambahkan, "Jaemin menghabiskannya." Bocah itu benar-benar juara soal makan. Ia lahap menyantap apapun yang disuguhkan Joy, membuat asistennya itu senang karena mendapat banyak pujian. Mengambil hati orang lain tampaknya adalah keahlian Jaemin.

"Huh." Taeyong mendengus untuk kedua kali, sambil membunyikan klakson yang mengejutkan Doyoung. Tidak jelas apakah dengusan itu ditujukan untuk dirinya, atau pengguna jalan lain yang mengusiknya. Dasar. Padahal posisinya di kantor bagus. Padahal kaya. Tapi Taeyong sering bersikap mirip gembel. Katanya, tak ada yang lebih enak dari makanan gratis一yang kalau dipikir-pikir, tidak salah juga. "Jangan lama-lama!"

"Cerewet!" Doyoung menggerutu, enggan didesak begitu. Kalau ada yang mendesaknya agar cepat, ia malah semakin ingin berlama-lama一dan memang itulah yang akan dia lakukan. Biarkan saja Taeyong bengong di rumah, dengan isi lemari es yang tinggal sedikit.

Doyoung terkekeh membayangkannya, lalu memutus panggilan. Ia keluar dari kafe setelah yakin semua bersih. Karena meski ini cuma pekerjaan sampingan, Doyoung menyukainya. Selingan saat ia bosan atau belum mendapat tugas. Beres, waktunya pulang. Di hari sabtu, star blossom memang tutup sore supaya para karyawan dapat menikmati waktu bersama pacar mereka. Yang masih single bisa bersembunyi di balik selimut, sambil berharap hujan datang.

Jelas Doyoung bukan salah satunya. Ia punya Sejeong, juga rencana untuk pergi ke festival musim dingin di Hongdae一atas rekomendasi Joy.

Jadi maaf Taeyong, malam ini Doyoung mau bersenang-senang dengan pacarnya, dan seorang bocah yang memiliki 2 nama.

Aturan permainan itu mirip dengan bowling.

15 gelas plastik merah disusun membentuk menara. Pemain harus bisa meruntuhkan semuanya untuk menang, menggunakan bola yang disediakan oleh penjaga stand.

Bola yang terlalu kecil, kalau boleh ditambahkan.

Menurut Doyoung ini tidak adil. Apalagi boneka yang menjadi hadiahnya tidak lucu, biasa saja. Tapi Sejeong menginginkannya, dan Doyoung tidak bisa menolak. Jadi ia bersiap, berdiri membentuk ancang-ancang untuk menembakkan bola di tangannya. "Tunggu sebentar, tuan putri," ucapnya, menepuk-nepuk dada dengan bangga meski memulai saja belum. "Oppa akan mendapatkannya!"

Jaemin yang ada di sebelahnya berusaha menahan tawa. Sejeong bertepuk tangan. "Ayo, ayo, semangat Doyoungie!"

"Siap?" Penjaga stand itu一seorang pria setengah baya berperut bulat一menyingkir ke samping agar tidak menghalangi Doyoung, sembari memberi aba-aba. "1, 2, 3! Mulai!"

Mata Doyoung menyipit. Giginya menggigit bibir bawah. Fokus, fokus. Ia tak menatap yang lain kecuali gelas-gelas yang menjadi target, mengabaikan suara berisik dari orang-orang. Konsentrasi. Tenang. Lalu ... lempar!

Bola ungu milik Doyoung melayang, menghantam gelas yang ada di bagian tengah. Saking kuatnya, sampai dipantulkan dinding dan hampir mengenainya balik. Satu persatu gelas gugur, mendarat di lantai. 1, 3, 7, 9, 11! Doyoung tersenyum, sebelum menyadari bahwa 4 gelas tersisa tetap berdiri kokoh. Tidak mengikuti jejak temannya yang lain.

Tidak berhasil?

"Waaahhh..." Sejeong kontan cemberut, menatap boneka incarannya yang dengan penuh percaya diri Doyoung bilang bisa ia dapatkan. "Payah!"

"Kau pasti memasang jebakan, ya?" Tuduh Doyoung tidak terima, melotot pada gelas-gelas nakal itu, berharap bisa melelehkannya melalui tatapan. "Mana mungkin aku gagal!"

Si penjaga terkekeh, mengambil bola lain dari keranjangnya. Kali ini berwarna biru. "Mau coba lagi?"

Jaemin mengajukan diri, mengangkat tangan kanannya seperti murid yang rajin. "Boleh aku saja?"

"Tentu." Doyoung mempersilahkan, mundur memberi kesempatan. Tapi sambil menyeringai. "Memang kau bisa mengalahkanku?"

"Huuu ... sombong!" Merasa diberi harapan palsu, Sejeong mengejek dan menendang pantat Doyoung. Bertingkah mirip supporter bola yang kecewa. "Yang sudah kalah mending diam saja deh!"

Hendak protes tapi tidak bisa, Doyoung hanya bersedekap menyaksikan Jaemin. Dalam hati berdoa anak itu gagal juga, supaya ia tidak menanggung malu. Lagipula apa sih yang dapat dilakukan lengan kurus itu, melawan dirinya yang segar bugar dan kenyang?

Hmm ... dia pasti tidak akan bisa.

Tapi nyatanya, takdir sedang melucu.

Saat Jaemin melempar, bola birunya melesat lebih rendah dari lemparan Doyoung, menyasar gelas yang menjadi alas. Ia belajar dari tontonan tadi rupanya. Tahu jika melakukan itu, akan meruntuhkan gelas lain di atasnya.

Sejeong bersorak.

Doyoung menganga.

Menara gelas itu seketika rusak, dimulai dari gelas yang berada di pucuk. Disusul lapisan kedua dan ketiga. 5 gelas paling bawah tak luput dari serangannya; mereka tumbang. 1 gelas terakhir bergeser dari tempatnya, membuat Jaemin menahan napas. Geser lagi hingga hampir setengahnya dan...

Berhenti.

Sudah, begitu saja.

Doyoung terbahak puas sebagai respon, mengepalkan tangan ke udara. "Yes! Kita sama-sama kalah."

Bahu Sejeong merosot kehilangan semangat.

Jaemin mengatupkan mulut, menggeleng.

Namun sedetik setelahnya...

pluk!

Gelas yang menjadi sumber masalah itu terjatuh. Jatuh. Melengkapi jumlah 15 yang diperlukan. Membuat si pelempar bola dan penyemangatnya bersorak gembira, berpelukan.

Sementara Dotoung tercengang. "Apa? Bagaimana bisa? Gelasnya bergerak sendiri!"

"Mungkin karena angin?" Penjaga stand menebak, tampak tidak yakin. Meneliti gelas terakhir bersama Doyoung. Sama. Biasa. Tidak ada lubang atau apapun. Tapi Doyoung berani sumpah bahwa gelas itu tadi bergerak setelah sempat diam.

Aneh...

"Itu namanya takdir!" Sahut Sejeong enteng, enggan ambil pusing. Ia menjulurkan lidah pada mereka, cepat mengambil boneka kelinci putih yang menarik perhatiannya. Lalu mengajak Jaemin pergi. "Terima kasih, ya!"

"Hey, hey, hey!" Doyoung yang tidak mau ditinggal segera membayar pada penjaganya, menyusul mereka.

Ini seharusnya jadi kencannya dan Sejeong, tapi kehadiran Jaemin一diluar dugaan一menambah seru moment ini. Sejak tadi, mereka bersaing, mencoba berbagai permainan yang hampir semuanya dimenangkan Doyoung, kecuali yang tadi.

Bocah itu senang sekali diajak ke festival. Katanya sudah lama tidak kemari. Ia takjub melihat banyaknya orang yang datang, wahana permainan, dan stand-stand yang menjajakan makanan. Tingkahnya norak. Tapi menggemaskan. Tapi tetap norak.

Ah, sudahlah.

"Lucu kan?" Sejeong nyengir lebar, pamer boneka yang ia dapat. Mencubit pipi kemerahan si kelinci.

Tapi keceriaannya tidak mendapat sambutan positif dari Doyoung. "Itu faktor keberuntungan. Karena angin!"

Jaemin cuma tersenyum.

Dari kebersamaan singkat mereka, Doyoung mulai mengenalnya. Selain misterius, Jaemin sebenarnya tipe anak baik. Tidak banyak bicara cenderung pendiam. Manis. Sampai sekarang, belum menyebabkan masalah atau membuatnya jengkel. Kewaspadaan Doyoung pun menurun. Ia menyukai anak itu一sedikit. Sangat sedikit.

"Nih." Dia menyerahkan beberapa lembar uang pada Jaemin, menunjuk satu titik. "Sana beli bubble tea, setelah itu kita pulang. Aku mau rasa cokelat."

"Aku strawberry!" Sambung Sejeong. "Kau juga belilah satu."

"Cokelat dan strawberry?" Ulang Jaemin, mengangguk-angguk patuh. Tanpa protes melangkah menjauh. "Baiklah, aku segera kembali."

Sejeong tersenyum melihat punggungnya. Menyikut Doyoung pelan. "Kalau begini kita jadi seperti ayah dan ibunya, ya?"

Yang disikut memutar bola matanya, berlagak malas. Tapi diam-diam, ikut tersenyum. Mendiamkan ponselnya yang bergetar, tanda ada pesan lagi dari Taeyong entah yang keberapa.

Menunggu selama 2 jam pasti membuatnya bosan.

Haha. Rasakan itu!

Jaemin tertidur dalam perjalanan pulang.

Kepalanya rebah ke satu sisi di kursi belakang, masih memegang gelas bubble tea vanilla-nya yang tersisa setengah. Doyoung mengguncang tubuhnya beberapa kali agar ia bangun, sampai menjewer telinganya karena sudah sampai di rumah.

"Kau itu tidur atau pingsan sih? Susah sekali dibangunkan."

"Maaf." Kata favoritnya muncul lagi waktu ia menguap, masih mengantuk.

"Nanti tidur lagi." saran gadis itu, membetulkan rambut Jaemin yang berantakan. Lalu menutup pintu mobil.

Bertiga, mereka berjalan masuk ke rumah, yang tidak terkunci lagi karena ulah Taeyong. Nissan 350z miliknya terparkir asal di sebelah Bugatti Doyoung. Tapi Jaemin tidak memperhatikan karena menunduk, mengucek matanya.

Sayup-sayup, terdengar suara TV menyala. Yang akhirnya membuat heran Jaemin. "Apa ada orang?"

"Teman kami." Sejeong menjawab, seraya meraba-raba dinding hingga menemukan sakelar lampu, lalu menekannya. Cahaya putih terang membanjiri ruang duduk itu, memperjelas siluet Taeyong yang hanya terlihat sebagian kepalanya di sofa. "Namanya一"

"Kenapa lama sekali, berengsek?" Taeyong memotong, berdiri dengan pisau di tangan kanan, dan apel di tangan kiri. Wajahnya lebih kusut dari pakaian yang tidak disetrika berminggu-minggu. Kalimat "aku kesal luar biasa" seolah tercetak di keningnya. "Aku hampir mati bosan, tahu!"

Dan di sinilah hal aneh terjadi. Saat Taeyong bertatapan dengan Jaemin, kelanjutan omelannnya yang Doyoung yakin masih panjang, lenyap. Pisaunya一sebenarnya milik Doyoung dan Sejeong一terlepas dari genggaman. Matanya membelalak一pengenalan terlintas disana. Dan dari mulutnya, keluar 1 nama yang tidak Doyoung sangka. "Na Jaemin?"

"Siapa?" Doyoung merasa dirinya salah dengar. Kebingungan memeluknya bagai mantel tambahan.

Tapi sebelum ia bereaksi, Jaemin lebih dulu mundur. Bahunya menyenggol bahu Doyoung cukup keras. Dia terlihat ... takut. Semua jejak kantuk menghilang darinya. Ekspresi itu tak pernah Doyoung lihat di wajah siapapun yang bertemu Taeyong. Seringnya, laki-laki dan perempuan akan kagum pada ketampanan temannya itu. Bukannya takut seperti ini.

Ada apa dengannya?

Sejeong yang menyadari itu bertanya, "Daekang, kau baik-baik saja?"

Tidak ada jawaban.

Semua orang saling berpandangan dalam diam, membiarkan ruangan hanya diisi suara TV.

Sampai hal yang mengejutkan terjadi.

Pisau yang semula digunakan Taeyong tiba-tiba terangkat dan melayang. Tak disentuh siapapun, tak ditarik benang apapun. Doyoung melihat dengan penuh kengerian pisau itu meluncur menuju Taeyong seolah di lempar seseorang, tepat ke wajahnya. Tanpa benar-benar menyadari, ia berseru, "Awas!!"

Mata Taeyong semakin melebar. Serangan itu begitu mendadak hingga saat ia sadar apa yang akan terjadi, ia hanya punya sedikit waktu menghindar. Refleks, Taeyong bergerak ke kanan, tapi gerakannya tidak terlalu cepat; ujung tajam pisau menggores pipinya. Baru berhenti setelah menghantam dinding.

Belum pulih dari keterkejutannya, Doyoung dibuat semakin bingung mendapati Jaemin telah berbalik, lari secepat mungkin menuju pintu.

"Tangkap dia, Doyoung!"

Si pemilik nama mengerjap. Tidak tahu apa yang terjadi atau apa yang harus ia lakukan. Ada banyak sekali 'kenapa' yang berputar-putar dalam kepalanya, seperti : kenapa pisau itu terbang, kenapa Jaemin berlari, dan一

"Cepat!!" Taeyong berteriak ulang, dan kali ini, teriakan itu seolah menyadarkan Doyoung.

Dia menoleh pada Jaemin, yang menumpahkan bubble tea-nya dalam perjalanan. Karena ruang duduk dan pintu keluar terhubung dalam satu jalan lurus, ia cuma perlu beberapa langkah untuk melarikan diri dari rumah ini.

Doyoung berpikir cepat; mencari benda yang bisa ia pakai. Buah, remote TV, papan catur yang tidak sempat ia bereskan, pisau...

Ah, pisau!

"Doyoung, hentikan!"

Tangannya bergerak mengambil benda itu, merasakan bobotnya yang ringan. Seperti bola plastik yang ia pakai di stand pria berperut bulat tadi. Sempurna. Doyoung menarik napas, membayangkan dirinya masih berada di festival, mengabaikan Sejeong. 1 kedipan mata, tentukan target. 2 kedipan, lempar! Ia takkan menyampingkan instingnya lagi一takkan pernah. Antara Taeyong yang sudah ia kenal bertahun-tahun dan Jaemin yang masih abu-abu baginya, jelas siapa yang akan ia percayai.

Pisau itu memantulkan cahaya lampu ketika meluncur ke arah Jaemin. Cepat dan一secara logika一tak terhentikan. Doyoung memang kalah darinya sekitar sejam yang lalu, tapi kini tidak. Ia tepat sasaran. Lemparannya telak mengenai bagian atas siku anak itu, menjatuhkannya seketika.

Dan tanpa memberinya kesempatan kabur, ia meraih kedua tangan Jaemin, menariknya berdiri.

"Lepaskan aku!" Jaemin memberontak, disertai ringisan saat Doyoung mencabut pisau dengan kasar. Darah menetes dari pusat lukanya, membentuk sungai kecil. "Lepaskan aku, hyung!"

"Daekang..." Sejeong yang sempat mematung segera mendekati keduanya, meminta Doyoung tidak terlalu menyakiti Jaemin. Lalu menuntut penjelasan Taeyong yang sedang mengusap pipinya. "Ada apa ini? Kau harus menjelaskan!"

Teman yang setahun lebih tua dari mereka itu tampak sama bingungnya dengan Doyoung. "Siapa Daekang? Namanya Na Jaemin."

"Kau tahu soal itu?" Sejeong tertegun, menatap Taeyong dan Jaemin bolak-balik. "Apa kalian saling mengenal?"

"Bisa dibilang begitu," jawab Taeyong datar, ikut memfokuskan perhatiannya pada anak yang masih ditahan Doyoung. "Benar kan, Jaemin?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top