08. Nama Ganda
Alamat yang diberi Daekang telah menuntun Kim Doyoung pada rumah ini; rumah sederhana berlantai 1 yang dindingnya di cat kuning seperti sinar matahari. Bunga mawar merah dan putih mempercantik pekarangan. Rumput yang mengering karena musim dingin menyebar disana, layu terinjak kaki dan ban mobil, juga sepeda anak-anak beroda tiga yang terparkir. Dilihat dari warnanya sih, itu sepeda perempuan.
Adik Daekang?
Untuk keempat kalinya, Doyoung mengecek aplikasi peta di ponselnya, memastikan ia berada di alamat yang benar. Rumah itu sangat berbeda dengan bayangannya. Ia tidak mengharapkan kebun indah dari seorang yang (ia duga) melakukan penyiksaan pada Daekang. Ini ... terlalu normal. Terlalu ceria. Si Daekang itu, jangan-jangan sudah membohonginya?
Doyoung tidak akan terkejut jika itu terjadi. Daekang yang misterius menyimpan banyak rahasia. Tapi karena sudah terlanjur sampai, ia memilih untuk menyelidikinya. Siapa tahu ada informasi yang bisa ia dapat. Menurut pengalaman Doyoung, informasi itu seperti makanan enak一kadang bisa ditemukan di tempat yang paling tidak terduga.
Namun sebelum itu, ia lebih dulu merapikan penampilannya; memasang kancing kemeja hingga tersisa 1, menurunkan bagian lengan yang ia gulung sampai siku, dan menata rambutnya ke belakang. Penampilan yang rapi akan mudah mendapat kepercayaan. Sebaliknya, jika kau membuat seseorang takut atau cemas, dia justru akan menutup diri dan enggan membuka mulut.
Doyoung yang tadi terkesan urakan kini berubah jadi pria muda yang manis.
Ia menepuk saku celananya sejenak, memastikan dompetnya ada, lalu segera menyebrang, menuju rumah Daekang.
Seorang wanita paruh baya yang tengah mengumpulkan boneka dan peralatan masak mini menyambutnya dari balik pagar, sejenak menghentikan kegiatan beres-beres dan berbincangnya yang dilakukan bersama tetangga sebelah.
2 wanita itu menatapnya dengan tatapan penasaran.
Doyoung menampilkan senyum terbaiknya一senyum salesman menurut Sejeong一dan sedikit membungkuk sebagai kesopanan. Lantas meraih dompet, menunjukkan lencana dan kartu tanda anggota kepolisian atas nama Kim Dong Hyun一nama kakaknya. 2 benda itu lebih sering ia bawa dibanding kartu identitasnya yang asli. "Selamat siang, saya Kim Dong Hyun. Saya sedang menyelidiki kasus pencurian identitas. Apa anda nyonya Han?"
Si pemilik rumah menggeleng, mengamati Doyoung dari atas ke bawah, sebelum balas tersenyum. Hanya melirik sekilas kartu yang disodorkan pria itu. Para aparat penegak hukum umumnya membuat masyarakat tenang, apalagi jika mereka tidak bersikap mencurigakan. Inilah kenapa polisi menjadi favorit Doyoung, dibanding kartu profesi lain yang ada di lemari khusus kamarnya. "Namaku Kwon Dami, bukan Han."
Doyoung mengerjap, hanya setengah terkejut. Wanita ini, selain tidak mirip Daekang, juga tak tampak seperti pelaku penyiksaan anak. Begitupun tetangganya. Dia mengubah taktik, menolak menyerah begitu saja. "Kalau begitu apa ada keluarga Han di sekitar sini? Saya mencari seseorang bernama Han Daekang."
Dami menoleh pada temannya一yang terang-terangan menguping一untuk meminta kepastian. Namun dibalas oleh wanita bermantel cokelat itu dengan gelengan kepala pula, melunturkan sedikit semangat Doyoung. "Aku sudah tinggal disini selama bertahun-tahun, dan tak pernah mendengar nama itu. Mungkin kau salah tempat?"
Doyoung mengeluarkan ponselnya, pura-pura mengecek notes yang tertulis alamat yang sudah ia hafal. Kemudian membacanya keras-keras, "Ini Hanso-dong, Gangseo-gu, nomor 127 kan?"
"Benar." Dami kembali mengambil alih, sembari membetulkan ikatan rambutnya. Samar-samar, terdengar suara tawa anak perempuan dari dalam, disusul sesuatu yang jatuh, tapi ia tak mempedulikannya. "Aku pindah kemari sekitar 5 tahun yang lalu. Sebelumnya, rumah ini dimiliki keluarga Na."
"Ah, tapi mereka sudah lama pergi. Tidak pernah berkunjung, sombong!" Timpal si tetangga, merengut ketika mengingat keluarga Na yang ia maksud. "Anak mereka juga. Aku belum melihat Jaemin lagi, padahal dulu dia berteman dengan putraku."
Senyum Doyoung merekah. Ia tak pernah suka orang yang banyak bicara, tapi polisi manapun pasti kegirangan jika mendapat narasumber seperti dia. Itu bisa menjadi keuntungan. Han, khususnya, akan melahap saksi ini dengan mudah, mengarahkannya mengatakan apa yang ia mau dengan keahlian kinesiknya.
Tapi Doyoung bukannya tidak tahu apa-apa lho. Tak mesti jadi ahli untuk mengorek informasi. Yang dibutuhkan cuma wajah ramah dan kesabaran. Itu yang utama. "Jadi dulu ada keluarga Na yang menempati rumah ini dan punya anak bernama Jaemin?"
"Ya! Jaemin pasti sudah dewasa sekarang, dan kuliah di suatu universitas. Usianya 19 tahun kalau tidak salah."
19. Sama dengan Daekang.
Ini semakin menarik saja. Doyoung merasa seolah baru mendapat ikan yang bagus usai memancing sebentar. Ada sesuatu disini, ia tahu itu. Ia hanya perlu terus menarik alat pancingnya, untuk melihat ikan macam apa yang ia dapat.
Tepat ... atau tidak?
"Kemana mereka pindah?"
Jawaban teman Dami didahului oleh bahunya yang terangkat. Dia tampak senang menjadi pusat perhatian, terlebih saat Doyoung mencondongkan tubuh lebih dekat. "Luar kota? Luar negeri? Tak ada yang tahu! Keluarga Na itu menyenangkan, tapi mereka tidak terlalu terbuka. Keduanya bahkan nyaris tidak berpamitan saat pindah, menyebalkan sekali kan? Tapi harus diakui, aku senang mereka minggat, soalnya Jaemin membuatku takut. Dia aneh, tidak normal!"
Tawa Dami keluar, menyambut ucapan itu. Begitu tiba-tiba, hingga Doyoung yang fokus sepenuhnya menyimak jadi terkejut. "Jangan bicara yang tidak-tidak, Nali. Itu khayalanmu saja."
Nali, si cerewet beralis tebal, memprotes, "Itu benar kok! Dengar ya." Ia menepuk tangan Doyoung sekali, memberengut pada Dami yang mengejeknya secara halus. "Ini memang kedengaran tidak masuk akal, tapi aku pernah mendapati Jaemin duduk di halaman rumahnya sekitar tengah malam. Anak itu tampak sedih, mungkin habis bertengkar dengan orang tuanya. Jadi aku hendak menghiburnya, menawari dia makan, mengerti?"
Doyoung mengangguk sigap, bertanya-tanya kemana arah pembicaraan ini. Udara semakin dingin dan ia tidak membawa jaket. Tapi uniknya, Nali masih sangat bersemangat. Doyoung jadi heran, apa semua wanita mendadak dapat energi tambahan kalau bergosip?
Kemungkinan besar sih begitu.
"Yah, jadi aku hendak mendekatinya. Dia tak menyadari kehadiranku karena aku keluar dari pintu belakang dan," Nali menarik napas dengan dramatis, sengaja membuat jeda untuk meningkatkan antusiasme Doyoung. Menunggu hingga mendapat respon yang ia inginkan. "Kau tidak akan percaya ini, tapi aku melihat Jaemin一dengan sangat jelas一sedang mengangkat ponselnya seperti ini."
Tangan kanan Nali terangkat, melayang sekitar 20 senti di atas tangan kirinya. Bukan menempel, tapi melayang. Benar-benar melayang! Bayangannya terpantul di mata Doyoung saat pria itu mengernyit. Mati-matian menahan tawa. "Aku tidak bohong! Dia sungguh membuat ponselnya terbang. Tanpa menyentuhnya sama sekali!"
"Abaikan saja," seru Dami, sedikit malu karena tingkah temannya. Kepribadiannya yang santai terpancar dari caranya tergelak. Anggun. Tenang. "Kurasa anak itu bermain lempar tangkap ponsel, tapi Nali yang mabuk salah mengira dia bisa sihir atau semacamnya."
"Aku tidak mabuk!" Wajah Nali mulai memerah saat ia kesal. Wanita itu melotot, menyerupai api di tengah udara yang dingin ini, sedangkan Dami kebalikannya, adalah air. "Kalian tidak tahu betapa terkejutnya aku waktu itu, aku buru-buru masuk sampai lututku terbentur tembok! Astaga, mengerikan. Dia seperti penyihir!"
"Tapi," sela Dami, menghentikan gerakan-gerakan heboh Nali, yang ketika bercerita, tidak hanya menggunakan mulut, tapi juga seluruh tubuhnya. "Kau bilang setelah itu dia tidak menunjukkan keanehan apapun kan?"
"Memang tidak," jawab Nali, dengan bahu yang sedikit merosot. Mengakui dirinya salah jelas hal yang menjengkelkan baginya. Tapi yang mengherankan, meski ceritanya tidak masuk akal, dia kelihatan sangat jujur. Inilah yang membuat Doyoung bingung. "Sekilas, Jaemin tampak normal. Layaknya remaja biasa. Namun aku tetap khawatir kalau dia bermain dengan Hwan."
"Jaemin." Doyoung mengucapkan nama itu untuk kali pertama, dengan nada ganjil, seolah mencoba makanan yang tak tahu akan ia sukai atau tidak. Nama yang sederhana sekali, tapi bagus menurutnya. "Apa anda tahu ciri-ciri khusus tentang dia? Misalnya tanda lahir atau bekas luka?"
"Ah!" Nali menjentikkan jari, kembali ceria. Bukannya merasa direpotkan, ia justru senang bisa membantu. Warga negara yang sangat baik. "Tunggu sebentar, aku punya fotonya!"
Dan sebelum Doyoung sempat merespon, Nali sudah berbalik, berlari kecil menuju rumahnya yang pintunya berwarna putih. Rambutnya yang cuma sebahu berayun-ayun mengikuti gerakannya. Saking semangatnya, dia hampir tersandung.
Dami menertawakannya sambil menggeleng, mirip seorang ibu yang mengawasi anaknya yang nakal. 2 orang yang namanya di awali huruf yang sama itu menunggu dalam diam, ditemani angin yang membuat daun bergemerisik pelan, sebelum Nali muncul lagi membawa sebuah album foto berwarna gelap, dan membukanya di hadapan Doyoung.
"Ini," katanya, menunjuk foto agak kusam yang ada di halaman tengah. Ujung-ujungnya menguning karena usia, tapi keadaannya masih cukup bagus. "Yang ini putraku, Hwan, Jaemin disebelahnya."
Doyoung menunduk, memperhatikan dengan mata memicing foto tersebut; foto 2 orang remaja yang diambil di lapangan sepak bola. Keduanya memakai seragam sekolah yang sama, tersenyum berangkulan. 2 anak-anak yang tak bisa disebut anak-anak lagi, tapi belum sepenuhnya dewasa.
Anak pertama adalah Nali dalam versi laki-laki, lengkap dengan kerlingan nakal di matanya. Sementara yang lain, nyengir lebar sambil membentuk tanda 'peace' menggunakan jarinya.
Wajah itu agak berbeda dari yang Doyoung kenal. Jarak 5 tahun membuatnya lebih pendek, lebih berisi, dengan bahu yang tidak selebar sekarang.
Namun, ya, tidak salah lagi, itu adalah Han Daekang.
Oh, haruskah ia panggil 'Na Jaemin'?
Ini kejutan.
Tak banyak hal yang bisa mengejutkan Doyoung, tapi ini merupakan salah satunya. Ia sebal, marah. Beraninya bocah itu menipuku. Namun sisi dirinya yang lain, yang menyukai misteri, tertawa setelah mengetahui fakta yang sebenarnya. Han Daekang bukan remaja polos seperti yang selama ini ia tunjukkan. Ia Na Jaemin, yang keluarganya sudah pindah entah kemana.
Doyoung tidak menduganya. Sama sekali. Ia mengira Daekang takut pulang karena orang tuanya akan memukulnya lagi. Tapi rahasia yang anak itu sembunyikan ternyata adalah namanya, identitasnya yang asli.
Dan untuk apa itu?
Masih misteri. Masih belum jelas. Tapi tunggu sampai Sejeong mengetahuinya. Berbekal nama dan sekolah, Doyoung yakin gadisnya akan menemukan informasi tambahan. Bukan masalah besar. Kalau Daekang tidak mau jujur, maka Doyoung akan mencari tahu sendiri. Sederhana.
Dia pun turun dari mobil, sudah melepas sepenuhnya peran sebagai polisi Kim Dong Hyun. Star blossom semakin sore semakin ramai. Hanya tersisa 3 meja yang kosong saat Doyoung kembali dari Hanso-dong. Sejeong tidak ada, jadi ia langsung menuju kantor, mengabaikan Na Jaemin yang masih bersama Joy.
Nanti. Doyoung akan mengurusnya nanti. Pertama-tama ia harus memberitahu Sejeong dulu.
"Sejeong?"
Tebakannya benar. Sejeong tengah bermain game di kantor, duduk sambil sedikit memutar-mutar kursinya. Poninya dijepit dengan jepitan berbentuk seperti lidi agar tidak mengganggu konsentrasi. "Hei, darimana saja?"
Doyoung tidak mau basa basi. Ia segera mengeluarkan ponselnya, membuka galeri di bagian foto Jaemin yang sempat ia potret atas seizin Nali. "Lihat, aku mengunjungi rumahnya tadi. Dan coba tebak, dia ternyata bukan Han Daekang. Namanya Na Jaemin."
"Apa maksudmu? Jae ... siapa?" Menanggapi tak kalah serius, Sejeong mem-pause game yang ia mainkan, duduk lebih tegak. Lantas mengamati foto di ponsel Doyoung lekat-lekat. "Kau bertemu orang tuanya?"
"Jaemin," ulang Doyoung, menarik salah satu dari 2 kursi yang ada, menempatinya. Kakinya mengetuk-ngetuk lantai dengan tidak sabar. Jika kekesalan bisa diukur, masa rasa kesal Doyoung perlahan naik semakin tinggi dan lebih tinggi lagi. "Alamat rumah yang ia beri sudah di huni orang lain, keluarganya pindah 5 tahun yang lalu. Tetangga lamanya tak ada yang melihatnya atau orang tuanya lagi sejak itu. Mereka seolah menghilang. Dia berbohong pada kita, Sejeong, kurasa dia juga bukan murid SOPA."
"Oke." Sejeong menarik napas panjang, kewalahan mengikuti penjelasan Doyoung yang terburu-buru. Orang yang marah memang cenderung bicara cepat, ia sampai kesulitan memahaminya. Maka ia memulai dari yang termudah, memastikan foto itu benar foto Daekang. Lalu mengurutkan cerita Doyoung. "Kau pergi ke Hanso-dong tanpa aku, dan bertemu tetangganya, begitu? Mereka bilang namanya Na Jaemin, juga bahwa orang tuanya sudah pindah dari sana? Berapa? 5 tahun yang lalu?"
"Tepat." Doyoung melipat tangannya di depan dada, mengangguk kaku. Ditipu dengan mudah, apalagi oleh anak yang lebih muda darinya membuat ia naik pitam. Harga dirinya terluka. "Aku sudah curiga padanya dari awal. Seharusnya kita serahkan saja dia pada Jungwoo!"
"Tenanglah." Sejeong menyarankan, tapi gerakannya ketika mencari laptop yang biasa ia pakai saat bertugas tidak bisa disebut tenang. Malah, ia tanpa sengaja menjatuhkan foto adiknya sendiri, hingga benda itu terguling dari meja dan mendarat di lantai dengan suara kaca yang pecah.
Bersamaan dengan itu, pintu diketuk 3 kali, kemudian terbuka, menampilkan sosok yang tengah mereka bicarakan.
Han Daekang palsu.
Na Jaemin...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top