06. Adik Yang Hilang

2 tahun itu waktu yang lama untuk mengenal seseorang一sangat lama, malah.

Kim Doyoung sudah bersama Sejeong selama itu, menjalani banyak hal dengannya; mulai dari pekerjaan resmi mereka sebagai pemilik kafe, sampai pekerjaan yang tidak resmi sebagai agen, liburan berdua, tinggal di rumah yang sama. Bisa dibilang, mereka telah terbiasa dengan kehadiran satu sama lain. Tapi Doyoung sadar dia takkan bisa sepenuhnya memahami gadisnya. Manusia itu rumit一dia tidak cuma bicara soal struktur tubuh saja, tapi juga perasaan dan pola pikir yang berbeda-beda. Dan manusia bisa berubah setiap saat, tergantung situasi.


Jadi ada hari-hari dimana Sejeong mengejutkannya, dengan pengetahuannya yang tidak terduga, bakat tersembunyi miliknya, atau ini, sifat terlalu baik ini.

Oh, mau dipikir berapa kalipun rasanya tetap tidak masuk akal. Sejeong baru saja mengizinkan seorang anak一yang sama sekali tidak mereka kenal一menginap di rumah, tanpa berdiskusi dengannya atau memikirkan resikonya dulu.

Bisa saja kan, Daekang itu pencuri? Atau anak aneh yang terlibat masalah rumit? Bukannya itu akan jadi masalah, Doyoung hanya benci hal-hal yang merepotkan. Kalau bisa, ia ingin mempertahankan hidup tenangnya lebih lama, tanpa bocah misterius yang mondar-mandir di sekitarnya.

Tapi Sejeong jelas tak sependapat. Dia malah memarahi Doyoung, dengan gaya andalannya一berkacak pinggang一yang justru membuatnya terlihat imut. "Kau benar-benar harus belajar bersikap ramah, Doyoungie."

Yang namanya disebut mengedikkan bahu, sambil menjalankan tugasnya yang biasa; menata makanan ke meja, sementara sang koki hanya memperhatikan. "Untuk apa bersikap ramah pada orang aneh?"

"Aneh bagaimana?" Sejeong menyangga dagunya dengan kedua tangan, tersenyum mencium aroma masakannya sendiri. Menu pagi ini sederhana, tapi ia selalu memasak banyak sehingga tidak perlu khawatir soal jatah Daekang. "Dia mungkin tidak ingin memberi tahu alamatnya tadi."

"Bukan itu," Doyoung menyanggah, ikut duduk setelah semuanya selesai, menarik kursi terdekat dengan Sejeong hingga menimbulkan suara derit di lantai. "Sebelum kau datang, aku pura-pura tidak tahu namanya dan bertanya, tapi reaksinya juga sama saja kok."

"Sungguh?" Hidung Sejeong berkerut. Harus mengakui jika orang yang butuh waktu lama ketika ditanya namanya itu aneh. Tapi ia masih ingin berpikir positif, pada anak yang manis di atas. "Mungkin dia tidak mau menjawabmu karena kau menyeramkan."

Seketika, Doyoung merengut.

Ini adalah salah satu masalah pribadinya. Dia diam, tapi orang lain mengira marah. Dia menatap biasa, tapi dikira melotot. Dia berkata ramah (oke, yang ini memang jarang terjadi) justru disangka kerasukan.

Duh, sulit kalau punya wajah yang pada dasarnya mudah disalah pahami.

Doyoung menghela napas, bersandar di kursinya dengan kaki yang di luruskan. "Apa kau..." Dia ragu-ragu, meneliti ekspresi Sejeong sejenak. Sebenarnya enggan merusak pagi ini dengan membahas topik yang sensitif, tapi ia perlu tahu. Penasaran. "Melakukan ini karena teringat pada Renjun?"

Nama adiknya membuat Sejeong berjengit. Bahunya menegang. Membicarakan Renjun itu seperti hal terlarang, karena selalu membuat Sejeong murung dan sedih. Beberapa kali, Doyoung pernah memergokinya menangis sambil memeluk baju lamanya. Dan tidak berhenti meski Doyoung berusaha keras menghibur. Butuh waktu lama sampai ia bisa menenangkan diri, jadi Doyoung menghindari topik tentang Renjun sebisa mungkin. Ia bahkan menyimpan foto-foto anak itu hanya di kamar saja, supaya tidak ada tamu yang bertanya.

Masalahnya begini : adik Sejeong sudah lama hilang dari kehidupannya.

Setahu Doyoung, orang tua Sejeong bercerai ketika dirinya remaja. Ia ikut bersama ibunya sementara sang ayah mendapat hak asuh Renjun. Mereka berdua kompak enggan bertemu lagi, tanpa memikirkan nasib anak-anak mereka. Jadi hari ketika ayahnya pergi dari rumah, adalah hari terakhir Sejeong melihat adiknya.

Dan itu sudah sangat lama. 5 tahun yang lalu.

Ironis bagaimana Sejeong bisa menemukan semua targetnya tapi tidak dapat menemukan adiknya sendiri, bahkan dengan bantuan Doyoung, Taeyong dan teman-temannya lain. Sejeong jadi merasa sangat tidak berguna. Semua kemampuan meretas dan melacaknya sia-sia.

Renjun seolah menghilang begitu saja. Ayahnya mengatakan kalau dia sudah meninggal, tapi Sejeong tidak percaya karena catatan kematiannya palsu.

Hingga kini, keberadaan dan keadaan adiknya belum jelas, tapi Sejeong berkeras Renjun belum meninggal, meski tidak ada satupun bukti. Sebut saja itu insting seorang kakak atau harapannya semata. Ia tidak peduli. Dan Doyoung pun tidak mendebatnya. Ia tahu bagaimana rasanya punya saudara yang kau harap masih hidup. Ia sungguh tahu.

"Maaf," Doyoung meringis, merasa bersalah melihat sinar di mata Sejeong meredup, digantikan oleh kesedihan. "Mau memukulku supaya merasa lebih baik?"

Tawarannya diterima. Sejeong meninju bahu Doyoung dengan keras, begitu tiba-tiba, hingga kursi yang dipakai pria itu oleng ke samping, hampir membuatnya jatuh.

Dan pada akhirnya, memunculkan tawa di wajahnya.

"Bodoh," ejek Sejeong, melihat pacarnya yang konyol itu mengelus dada karena kaget. Begitulah Doyoung一sering melawak tanpa sengaja. "Mereka tidak mirip, Doyoung. Renjun itu nakal dan menyebalkan. Tapi kalau dia ada disini..." Sejeong berhenti. Harus berhenti karena bayangan indah yang mendadak hadir di kepalanya一hal yang selalu ia harap menjadi kenyataan, tak peduli harus mengorbankan apa. "Kurasa bocah itu pasti sudah sebesar Daekang. Atau mungkin lebih pendek, ya? Hahaha."

Tawanya kali ini terkesan hampa.

Doyoung mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan Sejeong. Berbagi kekuatan. Ia tahu banyak hal tentang Renjun walau mereka tidak pernah bertemu, dan ia juga tahu betapa Sejeong menyayanginya. Namun sayang, tak ada yang bisa ia lakukan. Kegagalan pertamanya sejujurnya adalah menemukan Renjun. "Mungkin. Tapi baiklah, aku setuju Daekang tinggal disini untuk sementara. Setidaknya sampai kita tahu ada apa dengannya. Setuju?"

"Kau memang suka misteri, ya?" Sejeong menggoda, mencubit pipi Doyoung dan memberi kecupan kilat disana. "Aku mencintaimu."

Doyoung menyeringai, dengan gaya sok keren menyisir rambutnya menggunakan jari. Pamer ketampanan dan senyum gigi kelincinya yang lucu. "Jelas dong. Siapa yang tidak? Aku memang mempesona."

Tangan Sejeong bergerak memberinya hadiah一berupa cubitan di perut.

"Aw, aduh! Iya, iya, aku juga mencintaimu!"

Tepat pada waktunya pembicaraan itu usai, orang yang tadi mereka bicarakan keluar dari kamar, bergabung dengan mereka memakai pakaian Doyoung. Bagain lengan kemeja itu terlalu panjang untuknya, sehingga dia harus menggulungnya hingga siku. Daekang memang tinggi, tapi masih beberapa senti lebih pendek dari Doyoung.

Setelah mandi, penampilannya jadi jauh lebih baik. Ia tidak kelihatan seperti murid sekolah yang kurang makan lagi, tapi menyerupai remaja biasa yang jangkung, tampan, dengan rambut yang sedikit terlalu panjang. Langkahnya pelan, sebab kakinya masih sakit. Tapi sejauh ini, dia tidak mengeluh sedikitpun.

Sejeong langsung menyuruhnya duduk, lalu sibuk mengambilkannya makanan sampai piringnya penuh, dengan cara yang membuat Doyoung teringat pada induk kucing.

"Ini, makan yang banyak. Kau harus menghabiskan semuanya, mengerti? Astaga, bagaimana bisa ada orang sekurus dirimu? Kau bisa salah dikira anak-anak. Makan, Daekang, ayo."

Mau tidak mau, pria itu tertawa kecil, melupakan kekesalannya.

Sebelum ia teringat pada satu hal.

"Nanti kalau aku dan kau ke kafe, dia bagaimana?"

Sejeong berkedip, meletakkan sendok yang ia pakai dengan suara 'ting' pelan di piring, lalu menatap pacarnya dan Daekang bolak-balik. "Kau tinggal di sini saja, dan berjanjilah padaku kalian tidak akan bertengkar."

Doyoung tersinggung karena secara tidak langsung, Sejeong berkata dia adalah sumber keributan. Tapi kalau dipikir-pikir, itu tidak sepenuhnya salah, sehingga ia tidak bisa membantah. "Joy bilang pintu dapur rusak, aku harus memperbaikinya."

"Apa iya?" Sejeong berusaha mengingat-ingat. Sebagai seseorang yang kadang membantu para koki, ia cukup sering berada di dapur; mencoba resep baru, atau hanya mencicipi karya karyawannya yang sudah ia anggap teman. Kemudian ia ingat, pintu dapur kemarin memang mengeluarkan suara deritan keras saat dibuka. Berarti tenaga Doyoung diperlukan. Tapi Daekang...

"Kau mau ikut?"

Tawaran itu membuat Daekang mendongak dari makanannya. Meski sempat mengeluh terlalu banyak tadi, tapi 33 jam tidur pasti telah membuatnya kelaparan, hingga ia hampir menandaskan jatahnya. Doyoung sendiri akan bersikap seperti orang yang sekarat kalau tidak mengisi perutnya selama beberapa jam. Baginya, makanan itu PENTING.

"Ke mana?"

"Kafe. Tempat kerja kami. Letaknya tidak jauh dari sini. Mau?"

Dia ragu一Doyoung menyadarinya. Ia memang bukan Han yang pintar dalam bidang kinesik, tapi kalau tanda-tandanya sudah jelas begitu, ia tentu mengerti. Daekang orang yang ekspresif, dia tidak pandai menyembunyikan apapun.

Maka Doyoung mulai menebak, apakah dia ragu pergi dengannya dan Sejeong murni karena mereka orang asing baginya, ataukah ada alasan lain?

Ia bersandar di kursinya, mendadak, tidak lagi tertarik pada makanan.

"Apa aku boleh tidak ikut?" Daekang akhirnya menjawab, setelah sekitar semenit (ya, Doyoung menghitungnya!) diam. Jauh lebih lama daripada yang seharusnya diperlukan untuk menjawab pertanyaan ini. "Aku janji tidak akan berbuat macam-macam."

"Kau yakin?" Sejeong mengerutkan kening, tampak khawatir alih-alih curiga. Seperti yang diharapkan dari gadis yang selalu berpikir positif. "Kami baru akan pulang nanti malam, lho. Kau bisa bosan nanti."

"Tidak apa-apa," Daekang berujar cepat, berusaha menenangkan Sejeong. Tersenyum secerah matahari di musim panas, yang mengingatkan Doyoung pada burung kecil yang pernah ia lihat di sebuah acara TV. "Aku akan menunggu kalian. Aku tidak akan keluar rumah dan membuat masalah, sungguh."

Sejeong mengangkat bahu, tidak mau ambil pusing. Dia memang selalu punya kelembutan tersendiri jika berhadapan dengan anak-anak yang seumuran adiknya, contohnya Mark. "Ya sudah kalau begitu. Lagipula kakimu belum sembuh benar kan? Apa masih sakit?"

"Jangan masuk ke kamar kami nanti," Doyoung memperingatkan, mengangkat jari-jarinya saat berhitung. "Jangan memindahkan barang-barang. Jangan berisik sampai mengundang perhatian tetangga. Jangan memecahkan apapun dan jangan一aww! Apa-apaan sih?"

"Berisik!" Sejeong memutar bola matanya setelah menjewer telinga Doyoung, sekali lagi membuat ia berhenti mengoceh dengan kekerasan. "Habiskan makananmu sana."

Daekang tersenyum tipis.

Namun langsung menunduk begitu Doyoung melotot padanya.

Doyoung sebenarnya tidak suka ini; meninggalkan rumahnya pada orang asing, bahkan meski jarak kafe dan rumah hanya beberapa blok. Banyak barang yang tidak boleh di lihat orang lain disini, apalagi anak-anak seperti Daekang.

Tubuhnya yang kurus, senyumnya yang polos, dan cara makannya yang menggemaskan, sekilas membuatnya tampak tidak berbahaya. Tapi Doyoung tahu betul penampilan bisa menipu.

Ia bisa melakukan apa saja pada rumah.

Dan hal itu membuatnya tidak tenang selama berada di kafe. Ingin cepat pulang. Ingin tahu apakah anak itu menepati janjinya atau sudah kabur membawa beberapa benda berharga yang ada.

Ucapan Sejeong tidak ia hiraukan. Mereka pulang lebih awal, titik. Lagipula, keberadaan keduanya tidak terlalu di perlukan. Seringnya, Doyoung hanya bercanda dengan temannya, dan mengawasi pelanggan yang nakal. Sedangkan Sejeong tentu memasak atau menjaga kasir. Joy bisa menangani semuanya. Dia serba bisa.

Tapi saat tiba di rumah, Doyoung rupanya tidak perlu khawatir.

Daekang tidak kabur. Tidak pula merusak apa-apa. Dia sedang tidur di sofa saat Doyoung dan Sejeong tiba, dengan TV yang menyala, dan earphone mp3 player yang dipinjamkan Sejeong berada di genggamannya.


Doyoung berpikir dirinya bertingkah konyol seharian ini. Curiga tidak pada tempatnya. Paranoid. Ya ampun. Ia benar-benar butuh liburan. Ia mulai tertawa.

"Lihat kan?" Sejeong menaikkan sebelah alisnya, terang-terangan menyindir. "Kau ini berlebihan."

"Maaf." Doyoung mengakui kesalahannya tanpa sungkan, nyengir lebar pada gadis itu. "Dia aneh sih. Instingku berkata ada yang tidak beres dengannya. Dan kau tahu kan, biasanya instingku selalu benar."

"Tidak selalu," bantah Sejeong, melepas earphone miliknya dan menggulung kabel benda itu. Sudah seperti ibu yang baik. "Kali ini kau salah."

"Iya, iya." Doyoung memutar bola matanya, menyingkir sejenak untuk mengambil sesuatu dari kamar mereka (yang tidak mengalami perubahan sedikitpun) dan kembali dengan sebuah selimut. Lalu, ia bentangkan selimut itu dengan asal, menutupi tidak hanya tubuh Daekang, tapi juga wajahnya. "Kita biarkan saja dia, ya? Nyenyak sekali sepertinya."

Sejeong mengangguk setuju.

Namun perasaan bahwa ada yang salah dengan Daekang tidak sepenuhnya hilang dari benak Doyoung.

Ia akan mencari tahu一besok.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top