05. 233
Namanya Lee Taeyong.
Pria sederhana dengan cita-cita yang sederhana pula; pemadam kebakaran. Ketika kecil, ia sering membayangkan dirinya memegang selang dan memadamkan api jahat yang membakar tidak hanya harta benda, tapi juga kebahagiaan. Ia akan muncul seperti pahlawan dengan kostum berwarna oranye, menolong kucing yang terjebak di selokan, atau orang lanjut usia yang tanpa sengaja terjatuh. Menyelamatkan nyawa.
Bukankah itu cita-cita yang mulia?
Tapi itu dulu.
Menjelang dewasa, Taeyong tak bisa mewujudkannya. Sialan, ia bahkan tak punya kesempatan untuk mencoba mewujudkannya! Semua itu direnggut darinya, bersama sang ayah yang sudah meninggal.
Taeyong di usia 24 tahun, sadar dirinya bukan pahlawan. Ia cuma pria sial yang harus terjebak disini entah sampai kapan. Mengurus tiap masalah yang dibebankan oleh Rim一tidak peduli dia suka atau tidak. Yang Rim tahu : kalau dia memberi tugas, Taeyong harus menjalankan.
Rival lama ayahnya itu hobi sekali membuatnya naik pitam一Taeyong curiga ini menjadi semacam permainan baginya.
Seperti sekarang.
Luka di bahunya masih berdenyut sakit ketika ia berjalan dengan langkah-langkah lebar melewati sepasang pintu baja. 2 penjaga langsung sigap memeriksa seluruh tubuhnya, meski ia bukan orang asing. Ini adalah prosedur wajib untuk memastikan ia tidak membawa senjata, apalagi kamera, karena tempat yang akan ia masuki sangat rahasia.
Untuk bisa keluar masuk tempat itu, kau butuh izin khusus, dan tidak bisa disembarang waktu. Akses ke sana pun hanya dari 2 pintu yang semuanya dijaga ketat oleh para petugas terlatih bersenjatakan AK-47.
Di dalamnya, terdapat laboratorium luas yang menyediakan peralatan paling lengkap. Ilmuwan dan dokter yang berseliweran disana merupakan yang terbaik di bidangnya, dengan 1 kesamaan yang menjadi syarat utama : mau tutup mulut. Orang-orang itu bekerja dengan sangat serius, tanpa suara, sehingga tempat itu nyaris hening.
Tapi di mata Taeyong, mereka tak lebih dari gerombolan hyena pemakan bangkai.
Taeyong, yang sudah hafal denah lab meneruskan langkah menuju lorong yang akan mengantarnya ke deretan kamar berpintu putih. Sebenarnya, nyaris seluruh tempat itu di cat dengan warna putih membosankan yang sama sekali tidak ia suka.
Kemudian, ia membuka pintunya.
Hal pertama yang Taeyong lihat adalah Rim, berdiri di pusat kamar, lalu seorang remaja yang duduk di kursi dengan tangan dan kaki terikat. Terakhir, bersandar di dinding dengan wajah datar, merupakan salah satu orang kepercayaan Rim, Han.
Mereka semua menoleh ketika ia masuk, tapi hanya Rim yang tersenyum. "Ah, Taeyong. Sedang apa di sini? Bukankah kau belum sembuh?"
Taeyong mengabaikan kepedulian palsu itu, fokus menatap si remaja yang kepalanya tertunduk. Tak ada darah, tapi Taeyong tahu ada banyak cara untuk menyakiti seseorang tanpa membuatnya berdarah. Dan baik Rim maupun Han, sangat ahli soal itu. "Apa yang kau lakukan padanya?"
"Mencari informasi." jawab Rim, menepuk-nepuk pipi si remaja dengan agak terlalu keras. Nyaris menyerupai tamparan. "Dia mungkin tahu dimana keberadaan anak nakal itu."
Taeyong mengernyit seolah ikut merasakan sakit. Tapi remaja itu tidak. Sorot matanya tampak menantang, terarah lurus ke arahnya hingga ia terpaksa membuang muka. "Dia tak tahu apa-apa. Akulah yang punya informasi一sedikit petunjuk yang berguna."
"Begitukah?"
Rim tidak antusias. Dengan gerakan yang terkesan malas, ia mengelus tangan si remaja yang di bagian atasnya terdapat tanda lahir berwarna gelap, dan meraih jari manisnya. Ekspresinya tampak menimbang-nimbang, namun dalam hitungan detik, ia menarik jari tersebut ke belakang hingga terdengar suara derak tulang yang patah.
Remaja itu mengatupkan bibir rapat-rapat, menolak berteriak dan memberikan kepuasan pada Rim.
"Aku bosan dengan petunjuk, Taeyong, yang kuinginkan adalah lokasi pastinya."
Berbeda dengan Han yang tidak terusik, Taeyong tidak sanggup melihat. Satu alasan lagi mengapa ia benci tempat ini; semua orang一tak dipungkiri dirinya juga一punya sisi kejam yang mengerikan. Ia sudah sering menyaksikan itu一lebih sering dari yang ia mau. "Aku mengerti, tapi sulit melacaknya. Dia pintar, dan mungkin ada seseorang yang sudah membantunya."
"Memang apa yang mudah dari pekerjaan kita?" Han menyahut, si penonton yang sejak tadi nyaris tidak bergerak, kecuali untuk bernapas. "Jangan mengeluh terus."
Taeyong menggertakkan gigi, beralih pada pria pendiam yang jika bicara, selalu memancing kekesalannya. Bukan kali ini saja ia berharap bisa membungkam Han selamanya. "Apa kau pikir aku sengaja tidak ingin menemukan dia?!"
Rim tertawa. Diam-diam, ia menyadari tangan bawahannya yang terkepal, lalu dengan sengaja menampar remaja itu untuk membuat Taeyong lebih marah lagi. "Kurasa hanya kau yang bisa menjawab pertanyaan itu." Dan pancingannya berhasil. Taeyong merespon dengan maju selangkah一gerak refleks sebelum ia sempat berpikir一membuat Rim menaikkan sebelah alis. "Apa? Kau mau menghentikanku?"
Sulit menenangkan diri saat amarah seolah membakarnya dari dalam, tapi Taeyong sadar ia tak bisa melakukan apapun. Melawan Rim bukan pilihan. Bisa-bisa ia justru mempersulit dirinya sendiri dan remaja itu. Jadi meski merasa seperti pengecut, ia menggeleng. "Tentu saja tidak."
Saat itulah si remaja melakukan kesalahan; dia tertawa, sengaja mengolok-olok Taeyong hingga mengundang senyum di wajah Rim, seolah mereka sedang berbagi lelucon yang sama. "Kau pikir ini lucu, ya?" Kali ini Rim meraih 2 jari. "Seandainya waktu itu kau tidak membantunya, dia pasti一"
"Aku tidak menyesal." potong remaja itu. Kepalanya mendongak angkuh, tidak menunjukkan rasa takut. "Setidaknya salah 1 dari kami sudah keluar dari neraka ini."
Krak. 2 jari itu patah. "Jangan memotong ucapanku, 233. Aku tidak suka."
Erangan pelan tanpa sengaja keluar dari mulut si '233'.
Masih sambil tersenyum, Rim menjambak rambut hitam remaja itu, memaksa mata mereka bertemu. "Jangan menganggap dirimu istimewa, kau seharusnya tahu itu. Aku bisa dengan mudah membunuh dan mencari penggantimu, bocah sialan."
"Lakukan saja!" Taeyong mengutuki kebodohan si remaja saat ia justru menantang Rim. "Lakukan sekarang!"
"Nanti." Rim berjanji, membelai pipi 233 dengan jari telunjuknya. "Saat aku membunuhmu, aku akan melakukannya pelan-pelan sampai kau berharap tidak pernah dilahirkan. Tunggu saja."
Ancaman yang diucapkan dengan suara rendah itu membuat Taeyong bergidik, tapi dia berusaha tidak menunjukkannya, terlebih saat Rim mengalihkan perhatian padanya. "Apa kau sadar kalau sudah 2 hari berlalu dan kau belum menemukan anak itu?"
Taeyong menunduk, pandangannya tertuju pada kedua sepatunya yang mengkilap, nyaris dapat dipakai bercermin. "Beri aku waktu sepekan."
"Oh tidak tidak, itu terlalu lama." Rim, yang tidak setuju, berdecak. Ia menggeleng dengan dramatis. "2 hari. Jika lebih dari itu aku akan mengirim Doyoung."
Gagasan mengejutkan itu membuat mata Taeyong membelalak. Dalam hati, ia benar-benar berharap dirinya salah dengar. Tapi telinganya masih berfungsi dengan baik, dan nama yang disebut tadi jelas-jelas adalah nama temannya. Teman menyebalkan yang selalu cari masalah dengannya. "Apa maksudmu? Doyoung tinggal dengan gadis itu! Kau pikir apa yang akan mereka lakukan kalau mereka tahu?!"
Remaja itu mendengarkan, meski ia tidak tahu apa yang keduanya bicarakan.
"Saat aku meminta Doyoung mengambil laptop Jo Se Hwang tanpa mengintip isinya, apa menurutmu dia mengabaikan perintahku?"
"Tidak, tapi一"
"Apa dia pernah gagal melaksanakan tugas?"
Merasa frustasi dengan permainan kata ini, Taeyong menggigit bibir bawahnya. Nyaris berteriak saat menyanggah, "Memang tidak, tapi tetap saja itu gila!"
"Kurasa aku akan mengambil resiko," jawab Rim santai, membenahi setelannya yang sedikit kusut. Mengecek arloji emasnya. "Kalau kau tidak ingin Doyoung terlibat, maka temukan dia dalam 2 hari." Dan dengan kata-kata itu, Rim pun pergi, bersama Han yang menyusul di belakangnya.
Tapi ucapan Taeyong membuatnya berhenti, "Panggil dokter."
Pria itu berdiri diam di ambang pintu. Satu tangannya berada di kenop sementara Rim semakin menjauh. Tatapannya tertuju pada pintu di sebelah kamar ini, yang warnanya sama tapi tanpa penghuni; kamar si anak hilang. "Tidak perlu. Ini bagian dari hukumannya."
"Panggil. Dokter. Lee. Han." Taeyong mengulang sambil memberikan penekanan pada setiap kata. Menegaskan siapa yang berkuasa. Posisinya yang hanya 1 tingkat di bawah Rim memberinya hak untuk memerintah Han. "Jangan bantah aku."
Han mengerjap, menolak kalah. Perlahan kepalanya menoleh, tapi hanya untuk menunjukkan seringai mengejek pada Taeyong. "Kau terlalu bersimpati. Tugas adalah tugas. Jangan lupa itu."
Barulah setelahnya dia pergi.
Taeyong terdiam, tidak membantah. Tidak bisa tepatnya. Mungkin Han benar. Ia memang tidak seharusnya melibatkan perasaan dalam pekerjaan ini. Tapi, ia bukanlah Han yang heartless atau Doyoung yang bisa mendorong rasa simpatinya menjauh一jika diperlukan. Itu kelemahannya. Atau kelebihan. Oh terserahlah. Yang pasti, ia tidak tahu bagaimana caranya menjadi seperti mereka.
"Keparat!" Taeyong mengumpat keras-keras, merasa marah pada dirinya sendiri, pada ayahnya yang menyeretnya ke dalam hal ini, pada semua orang. Tapi terutama, ia marah pada si 233, yang tak bisa mengendalikan mulut dan bertindak seenaknya. "Kau! Apa yang sebenarnya kau pikirkan? Aku tidak bisa selalu menolongmu, bodoh!"
"Sudah kubilang aku tidak menyesal." Jawaban remaja itu masih sama, dan disuarakan sambil menatap Taeyong lekat-lekat. "Aku juga tidak butuh bantuanmu."
"Menurutmu begitu, ya? Baiklah. Lain kali akan kubiarkan Rim membunuhmu." Balas Taeyong, tapi ia mengatakannya sambil menatap ke arah lain. Baik dulu atau sekarang, ia tak pernah bisa menatap mata remaja itu tanpa merasa bersalah pada ... seseorang.
Seorang teman, tepatnya.
Itulah yang membuat ini jadi semakin rumit.
Di saat yang bersamaan, 1 dokter ditemani 2 petugas bersenjata datang, sehingga Taeyong yang sudah muak bisa keluar dari kamar itu. "Obati dia," ucapnya. "Kalau Rim bertanya, katakan saja itu perintahku!"
Mereka bertiga kompak membungkuk saat ia lewat.
Dokter tadi一di bawah pengawasan para petugas一kemudian mendekati si remaja dan dengan lembut, melepas setiap ikatan yang terlalu kencang di kaki dan tangannya, menuntun ia ke tempat tidurnya.
233 menurut saja. Setelah Taeyong, Han serta Rim pergi, topeng sok berani yang ia pakai terlepas, menampilkan sosoknya yang sebenarnya; remaja yang kesakitan, takut, dan lelah.
Ia menyandarkan tubuhnya di sebuah bantal, lantas meraih buku sketsa一hadiah dari Taeyong一yang ada di dekat situ. Di halaman 9, terdapat gambar setengah jadi seorang gadis yang sedang tersenyum. Kepalanya menghadap samping, sehingga wajahnya tidak terlalu jelas, tapi dokter yang mengobati tangannya sempat melihat itu.
"Siapa dia? Kau sering menggambarnya. Temanmu? Atau kakak, mungkin?"
Remaja itu tidak menjawab. Dia memilih memeluk bukunya dan membayangkan gadis dalam gambar benar-benar ada bersamanya. Dia sangat merindukannya, lebih dari siapapun.
"Noona..."
Lirih, hatinya memanggil.
Karena pekerjaannya, Kim Doyoung menjadi orang praktis yang mampu membuat keputusan dengan cepat, bahkan di situasi yang sangat buruk sekalipun. Tapi terkadang, ada beberapa faktor yang memaksanya mengambil keputusan yang tidak ia suka. Seperti yang terjadi 2 hari yang lalu. Ia一dengan sangat terpaksa一menolong Han Daekang karena Sejeong.
Pacarnya itu bisa jadi sangat keras kepala kalau ia mau一mungkin itulah yang menyatukan mereka.
Doyoung tahu ia cuma punya 2 pilihan ; mendebat Sejeong dengan resiko ketahuan orang lain dan presentase kekalahan yang tinggi, atau menolong korban mereka. Pilihan nomor 2 jelas lebih baik, meski sangat merepotkan. Tapi Doyoung menolak ke rumah sakit, karena ia pikir, si murid SOPA itu akan bangun dalam beberapa jam, lalu bisa ia usir saat pagi, tapi yang terjadi...
... Bocah sialan itu justru tidur selama hampir 33 jam!
Doyoung sungguh kebingungan. Ada apa dengan anak ini? Dia mengalami pendarahan internal atau keturunan Aurora? Bahkan dalam keadaan sakit atau seletih apapun, dirinya tidak pernah tidur selama itu.
Meninggal nih, dugaannya.
Tapi ia salah.
Pagi ini, usai mandi, Doyoung kembali mengecek keadaanya, dan dengan mengejutkan mendapati korbannya terbangun.
Kelopak mata Daekang terbuka dan mengerjap. Lalu dengan gerakan pelan, si pemilik tubuh aneh itu bangkit duduk. Heran sekaligus penasaran melihat sekitarnya. Wajahnya tidak lagi sepucat kemarin. Rona merah mulai menghiasi pipinya, tapi jelas dia belum pulih benar.
Doyoung berdeham, menarik perhatian tamu yang tidak ia kehendaki itu, hingga menoleh padanya. "Selamat pagi," ia menyapa. "Kukira kau sudah mati."
Tidak ada balasan.
Sebelah alis Doyoung terangkat. "Kau kelihatan berantakan."
Masih diam.
"Siapa namamu?"
Hening untuk waktu yang lama. Anak itu justru menunduk, menatap tangannya seolah lupa pada namanya dan berharap menemukan jawaban disana. Ketika akhirnya mendongak lagi, dia bicara dengan suara yang menyerupai bisikan dan terdengar serak. "Han ... Daekang."
"Kau bisa bicara rupanya." Sindir Doyoung dengan wajah masam.
"Maaf." Daekang mengambil gelas air di atas laci, lalu meminumnya sampai habis. Menjernihkan tenggorokan. "Apa yang terjadi? Dimana ini?"
"Versi pendeknya? Ponselku jatuh, tabrakan, dan brak! Kau ada di rumahku sekarang."
Daekang terlihat kebingungan. Jelas saja. Doyoung memang sengaja memberikan penjelasan yang tidak menjelaskan apa-apa. "Aku tidak mengerti..."
Doyoung menyeringai, membuka mulutnya lagi, berniat membuat Daekang semakin bingung. Namun Sejeong lebih dulu muncul, berjalan masuk membawa sepasang celana dan pakaian.
Gagal sudah rencananya.
Wajah gadis itu berubah cerah saat melihat Daekang. Senyum seketika muncul di bibirnya, seindah pelangi sehabis hujan. "Kau sudah bangun!"
"Sayang sekali, ya?" Sahut Doyoung, seraya menjentikkan kukunya yang sedikit kotor. "Padahal aku sudah terlanjur memesan peti mati."
Sejeong tertawa, tapi matanya melotot pada si pacar, memberi ancaman dalam diam. "Dia hanya bercanda. Bagaimana keadaanmu?"
Daekang mengamati Doyoung dan Sejeong bolak-balik. Curiga mereka adalah orang-orang yang suaranya ia dengar saat tidur. Atau kah harus disebut 'tidak sadar'? Yang mana saja lah. Ia masih tidak paham. "Sudah lebih baik, noona..." Kalimatnya menggantung.
"Namaku Sejeong, kalau dia Doyoung. Kami tidak sengaja menabrakmu 2 hari yang lalu, apa kau ingat?"
Daekang mengangguk, takjub ia bisa tidur selama itu. Tak heran Doyoung sampai menganggapnya meninggal.
"Kami minta maaf," lanjut Sejeong, menyentuh bahunya lembut. "Dan nanti akan memberikan kompensasi juga mengantarmu pulang. Dimana rumahmu?"
Hening lagi.
Daekang membisu. Tampak ... apa itu? Sedih?
Menurut Doyoung, wajar saja Sejeong menanyakan itu. Yang tidak wajar adalah mengapa Daekang butuh waktu lama untuk menjawab pertanyaan sepele seperti ini. Ia mendengus. "Tidak bisa bicara lagi?"
Daekang menggeleng. Tangannya saling bertaut di pangkuan. Matanya yang gelap-dan-aneh itu kembali menatap Doyoung saat ia dengan ragu-ragu berujar, "Hanso-dong, Gangseo-gu, nomor 127. Tapi ... aku tidak bisa pulang dulu..."
Yang di tatap ternganga karena terkejut. "Hah? Lalu kau mau apa? Tinggal di sini?"
Namun berbeda dengannya, Sejeong lebih tenang. Tangannya bergerak menggeser bagian lengan pakaian Daekang sampai ke siku, menunjukkan memar yang kemarin dilaporkan Doyoung. "Apa karena ini? Orang tuamu memukulmu?"
Secara refleks, Daekang ikut mengamati sikunya. Memar yang ada disana sudah mengecil, tapi belum sepenuhnya hilang. Ia melamun, menutupnya lagi. Tidak menjawab. Doyoung tebak, sedang mengingat-ingat suatu peristiwa.
"Baiklah." Putus Sejeong, bersikap bagai hakim, yang tak mampu menahan diri untuk tidak mengelus rambut Daekang. Anak ini mengingatkan dia pada adiknya, dan masa lalu yang telah lama ia tinggalkan. "Kau boleh tinggal di sini sementara. Sekarang mandilah. Kita sarapan bersama, ya?"
Daekang membalasnya dengan senyum yang membuatnya kelihatan lebih manis, dan meraih pakaian yang disodorkan Sejeong. Berterima kasih padanya.
Tapi pemilik pakaian itu langsung melayangkan protes. "Kenapa kau tidak memberinya seragamnya saja? Ini kedua kalinya dia meminjam pakaianku dan aku tidak ingat sudah memberi izin. Lalu soal tinggal di rumah一"
Buk!
Sejeong menghampiri pria itu dan memukul bahunya dengan keras untuk membuatnya diam. Mengubah ocehannya jadi ringisan. "Hahaha jangan pedulikan dia, Daekang. Kau mandi saja, handuknya sudah ada kamar mandi. Cepat turun. Jangan lama-lama!"
Setelah mengucapkan itu, keduanya keluar dari kamar.
Lebih tepatnya, Sejeong menyeret Doyoung一yang masih menggerutu一keluar.
Daekang langsung tahu kalau mereka adalah pasangan dari cara mereka berkomunikasi, bersentuhan, serta saling menatap. Semua itu tak menunjukkan hubungan kakak adik atau cinta platonis. Gadis yang ramah dan pria yang terlalu jujur. Pasangan yang lucu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top