04. Si Anak Aneh

Namanya Han Daekang一setidaknya itulah yang dikatakan oleh name tag seragamnya一murid sekolah aneh yang entah kenapa berkeliaran di jalan pada tengah malam.

Kim Doyoung tidak tahu berapa persisnya usia si Daekang ini一karena dia tidak membawa tas atau dompet berisi kartu pelajar一dimana rumahnya, atau apakah ia benar-benar mengalami pendarahan internal, yang pasti tubuh Daekang bisa dibilang ringan.

Serius, apa orang tuanya tidak memberinya makan?

Anak ini benar-benar kurus. Ia bisa membawanya dengan mudah ke kamar tamu, tanpa banyak usaha. Sesuai kesepakatan, mereka tidak pergi ke rumah sakit, karena Doyoung tidak mau semakin repot. Jadi adil; Sejeong mendapat apa yang ia inginkan (meski sambil merengut), begitu juga Doyoung.

Lagipula, ia yakin Daekang akan baik-baik saja. Jadi ia hanya meminta Sejeong mengobatinya dengan kotak obat.

Tapi begitu dilihat lebih dekat, luka Daekang tampak cukup parah. Kakinya ... oh, pasti akan terasa sakit nanti. Doyoung meringis. Kalau luka di kepalanya sih, Doyoung tebak tidak sampai menimbulkan gegar otak一walaupun sebenarnya ia tidak tahu bagaimana penampakan orang yang gegar otak. Ia mengatakan itu untuk menenangkan Sejeong, yang masih membujuknya ke rumah sakit.

"Sudahlah, tidak perlu. Aku pernah mengalami yang lebih parah kok, dan tetap hidup sampai sekarang."

Sejeong menyanggah, "Anak ini berbeda denganmu! Dia masih muda pula!"

"Wah, tentu." Doyoung menarik poninya ke belakang, berpose sok keren. "Sudah jelas kami berbeda; aku lebih tampan darinya."

Sebuah pukulan di punggung menjadi hadiah gratis dari Sejeong. Gadis itu semakin pusing saja. Selama 23 tahun hidup, baru kali ini ia menabrak seseorang. Sejeong tak pernah melanggar aturan lalu lintas一berbeda dengan Doyoung一meski itu hal sepele seperti memasang seat belt. Dan dia, pacarnya yang terlalu santai itu, sama sekali tidak membantu.

Bisa-bisanya Doyoung tidak panik sama sekali melihat keadaan Daekang yang mengkhawatirkan?

Sejeong benar-benar bingung. Doyoung memang punya kadar ketenangan di luar batas. "Terserahlah. Ganti pakaiannya sekarang."

"Aku?" Doyoung menunjuk dirinya sendiri dengan telunjuk. "Kenapa harus aku? Aku bahkan belum makan."

Mulai lagi deh. Merengek seperti anak-anak. Seolah menunda makan selama beberapa menit akan membuatnya pingsan.

Tak heran, helaan napas sebal keluar dari mulut Sejeong. "Jadi kau mau aku yang melakukannya?"

Doyoung kontan tidak setuju. Ia bukan tipe pencemburu, tapi mengganti pakaian laki-laki lain一meski laki-laki itu seusia adiknya一jelas tidak boleh. Ia menyerah. "Baiklah, pakaiannya mana?"

Sang pemenang perdebatan, Sejeong, segera bergerak keluar dari kamar yang minim perabotan itu. Kamar yang jarang dipakai, karena mereka lebih sering menerima tamu di kafe. Ia menuju kamar mereka sendiri, yang ada di lantai 2, lantas membuka 1 dari 2 lemari yang ada, yang lebih kecil.

Dengan sebuah celana olahraga berwarna hitam dan kaus ungu, ia pun kembali. Menyerahkan barang yang ia ambil pada Doyoung. "Nih. Sepertinya pas untuknya."

"Pakaianku?" Doyoung protes. Hendak protes lagi tepatnya, sebelum ia dihentikan Sejeong yang meletakkan jari di bibirnya. "Punya adikmu kan ada一"

"Ssstt, pasti tidak muat, Doyoung. Dan kita juga tidak mungkin memakaikannya pakaianku."

"Huh." si pria mendengus. Mengomel dengan suara pelan. Tapi apa boleh buat; Sejeong benar. Anak ini akan kaget nanti kalau tiba-tiba bangun dan mendapati dirinya memakai pakaian perempuan. Tapi pasti itu akan sangat lucu...

Ia terkekeh. Menoleh sekilas ke belakang saat Sejeong menutup pintu dan mulai melepas blazer yang dipakai korbannya. Seragam sekolah SOPA. Doyoung bersiul. Itu sekolah yang keren, tapi luar bisa mahal.

Orang kaya nih?

Tapi Daekang tidak kelihatan seperti orang kaya. Lebih ke seorang anak yang butuh makan.

"Murid beasiswa, ya?" Doyoung menebak-nebak, berhasil melepasnya 1 tangan Daekang dari seragamnya. Lalu diam. Ia terkejut dengan apa yang ia lihat. Bukan karena Daekang punya tato atau bekas luka mengerikan, tapi lengannya.

Di Lengan kanan anak itu, persis di bawah lipatan siku bagian dalam, terdapat memar yang warnanya buruk. Jenis memar yang kau dapat ketika tidak sengaja menabrak sesuatu, misalnya sudut meja yang tajam. Tapi ini bisa berarti memar sebab suntikan. Benar kan? Doyoung tidak yakin. Ia jarang sakit. Jarang ke rumah sakit, apalagi di suntik. Tapi di antara 2 dugaan itu, sepertinya di suntik lebih masuk akal.

Apa mungkin Daekang habis dari rumah sakit dan lupa membawa tasnya?

Itu aneh, tapi bukan tidak mungkin terjadi. Ia sendiri pernah pergi ke pom bensin, lalu berangkat melupakan Sejeong yang berada di kamar mandi, membuat gadis itu ngambek seharian.

Ya ya, sepertinya begitu.

Doyoung lanjut memiringkan tubuh Daekang, agar bisa melepaskan tangannya yang lain, tapi lagi-lagi ia terdiam.

Oke, ada apa dengan anak ini?

Punggungnya juga dipenuhi memar!

Seolah ada yang memukulnya dengan benda tumpul. Berulang kali. Hingga menyebabkan luka yang bahkan masih berdarah. Ia yakin ini bukan karena tabrakan, apalagi kecelakaan.

Han Daekang, siapa sebenarnya dirimu? Dan yang lebih penting, apa yang sudah terjadi padamu?

"Dia sudah mati."

Samar-samar, terdengar suara berat seorang pria yang tidak ia kenal. Belum pernah ia dengar. Asalnya saja ia tidak tahu. Segalanya membingungkan. Ia lelah dan mengantuk di saat yang bersamaan, membuatnya tak bisa membuka mata meski ingin. Apalagi bertanya siapa pemilik suara itu.

Ia bagai ada di sebuah terowongan tanpa cahaya; semua gelap, sangat gelap, hingga ke titik dimana melihat tangannya sendiri saja tidak bisa. Mau melangkah tapi takut tersandung. Ia cuma bisa diam.

Suara lain一kali ini lebih lembut, menyahut. Tidak diragukan lagi seorang gadis. "Jangan bicara begitu, Doyoung! Itu tidak baik!"

Pemilik suara pertama yang dipanggil 'Doyoung' berdecak. Orang yang menyebutnya mati. Padahal ia belum mati, sungguh. Ia di sini, tapi tak dapat bergerak karena tubuhnya masih meminta istirahat. "Dia hanya mengalami luka-luka kecil tapi tidur sampai 26 jam, apalagi kalau bukan mati?"

"Aku kan sudah bilang, seharusnya kita membawanya ke rumah sakit. Lihat nih, kondisinya memburuk. Bagaimana kalau dia benar-benar meninggal?"

Si gadis marah.

Sedetik kemudian, ia merasakan sentuhan sebuah tangan di dahinya, mengusap rambutnya perlahan. Hangat dan lembut. Nyaman. Terlintas di pikirannya bahwa tangan ini mungkin milik ibunya, tapi mustahil. Wanita itu takut dan membencinya, jadi pasti bukan dia.

Lalu siapa? Benarkah dia sudah tidur selama 26 jam? Dan ada dimana dia sekarang? Berbagai pertanyaan berputar-putar di kepalanya, membuatnya pusing memikirkan jawaban.

Remaja itu mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi.

Waktu itu, setelah "meminjam" seragam SOPA dari seorang anak yang ia lihat di stasiun Jeongjin, ia langsung pergi dari sana, melarikan diri dari para pengejarnya. Memaksa kakinya berlari lagi, lagi dan lagi, hingga ia yakin aman.

Ia ingat, sempat makan sedikit一kimbap segitiga dan minum 1 botol air mineral一dengan uang yang ia temukan di sakunya. Tidak banyak memang, tapi mampu memberi energi tambahan untuknya, menenangkan perutnya yang lapar. Setelah itu, ia terus berjalan hingga sampai di Jeolla-do, dimana saat akan menyebrang, tiba-tiba ada sebuah mobil yang melaju asal dan menabraknya. Membuat tubuhnya terpelanting, lalu jatuh kembali ke aspal dengan keras. Rasa nyeri akibat benturan itu tidak tertahankan. Ia pastilah pingsan. Kemudian ... apa?

Selanjutnya apa?

"Kalaupun itu terjadi," Doyoung bersuara lagi, dengan nada yang amat santai. Sama sekali tanpa beban."Kita tinggal menguburkannya di halaman belakang. Mudah kan?"

Remaja itu tidak tahu apakah Doyoung bercanda atau tidak. Tapi ia harap pria itu sungguh bercanda. Di kuburkan di halaman belakang orang asing kedengaran menyeramkan.

"Astaga kau ini ya! Sudahlah, kita keluar saja, biarkan dia istirahat."

"Haruskah aku mulai menggali tanah?"

"Doyoung!"

Si pria tertawa, mengatakan sesuatu sebagai respon, tapi ia tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Suara Doyoung dan gadis yang bersamanya terdengar semakin jauh. Entah karena mereka telah pergi atau telinganya bermasalah. Yang pasti, kantuk yang dia rasakan semakin kuat, jadi lebih kuat, menyeretnya ke sebuah tempat yang jauh, tempat ia tidak merasakan apa-apa.

Untuk sesaat, ia merasa tak ada yang bisa menyakitinya lagi.

Ia pun terlelap dengan menggenggam keyakinan yang rapuh itu.

Ia terbangun.

Terbangun dari tidurnya yang tanpa mimpi一kali ini benar-benar bangun. Kelopak matanya bergerak-gerak terbuka, meski awalnya sulit, seolah ada yang mengelem matanya dengan lem permanen. Mata itu kemudian mengerjap, silau oleh cahaya yang terlalu terang, yang berasal dari langit-langit asing berwarna biru lembut. Keningnya berkerut.

Dimana ini?

Kamar lama? Bukan.

Kamar di tempat ... itu? Juga bukan.

Segalanya tidak familiar disini; mulai dari langit-langit, tempat tidur, selimut, hingga lacinya yang di atasnya terdapat segelas air. Kelihatannya ini kamar tamu karena perabotannya sedikit dan tidak ada benda-benda pribadi. Tapi milik siapa?

Bingung, ia bangun perlahan, bertumpu pada siku, sambil bertanya-tanya dalam hati apakah percakapan yang didengarnya benar terjadi. Beruntung, kondisi tubuhnya sudah lebih baik. Kepalanya memang masih sedikit pusing dan kakinya yang dibalut perban terasa sakit, tapi jauh lebih baik dari ... kemarin?

Berapa lama waktu berlalu?

"Ehem."

Ada yang berdeham. Disusul batuk-batuk palsu yang biasa digunakan untuk menginterupsi atau memberitahu keberadaan seseorang.

Suara itu一jujur saja一membuatnya terkejut. Dan sedikit takut. Tapi lalu ia berpikir, hal buruk apa yang bisa terjadi? Pastilah tidak seburuk di neraka itu, maka ia menoleh, menemukan seorang pria yang bersedekap di tembok.

Hal pertama yang ia perhatikan adalah, pria itu tampan, bahkan dengan rambut berantakan. Dan pasti akan jadi lebih tampan lagi kalau tersenyum. Wajah datar seperti itu malah menimbulkan efek agak seram padanya. Apalagi dengan matanya yang menatap lekat, nyaris tak berkedip...

Apakah itu dia?

Doyoung yang ia dengar?

"Selamat pagi," sapa pria yang ia duga Doyoung, masih tanpa senyum sedikitpun. Dengan nada datar yang tak menunjukkan perasaan apapun. "Kukira kau sudah mati."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top