02. Hutang Masa Lalu

Namanya juga laki-laki; hanya sedikit yang bisa menjaga tempatnya tetap bersih.

Kim Doyoung tahu itu. Ia mengerti. Tapi tetap saja ia mengernyit ketika masuk ke kamar Jo Se Hwang yang berantakan. Lebih mirip kandang menurutnya. Pakaian berserakan di atas tempat tidur dan kursi kecil di sudut, sedangkan cat dindingnya sudah mengelupas. Selain itu, perabotannya  tampak bagai di pungut dari tempat sampah. Lantai juga kotor oleh bekas pembungkus makanan instan dan snack, yang baunya luar biasa.

Huh. Kalau tahu seperti ini, Doyoung pasti akan membawa masker.

Tapi mau bagaimana lagi. Ia bukan pengacara yang bisa pilih-pilih klien. Bukan. Sesungguhnya, Doyoung dan Sejeong adalah agen khusus pemerintah yang berada di divisi terpisah dari NIS, yang keberadaannya sangat rahasia. Publik一apalagi pers一tidak boleh sampai tahu.

Motto mereka ialah : bekerja seperti angin, tak terlihat, tak tercium, tak terlacak.

Itu sebabnya mereka tidak punya nama. Jumlah pasti anggotanya pun misterius. Kerahasiaan merupakan hal yang paling penting bagi mereka.

Tapi Jo Se Hwang, si kunyuk itu, telah  lancang mencuri data anggota yang bahkan Doyoung sendiri tidak tahu. Meski sudah bertahun-tahun bergabung. Akibatnya ya ini. Dia jadi orang sial yang harus berurusan dengannya.

Doyoung menoleh pada si pemilik apartemen, melihatnya menggeliat saat sadar. Mengerang pelan. Mengerjakan mata. "Siapa kau? Kenapa mengikatku begini? Hei, jawab aku, berengsek!"

Rasakan itu.

Kau akan menuai apa yang kau tabur.

"Tidurmu nyenyak?" Doyoung membuka mulut, sebagai sapaan. Kembali menunduk ke arah laptop Se Hwang, menyalin beberapa datanya ke laptop yang ia bawa. Hal ini dilakukan karena polisi pasti akan menginventarisasi semua barang, jadi tidak boleh ada barang yang hilang.

Sekilas, kedua laptop itu tampak tak ada bedanya. Bahkan milik Doyoung punya goresan dan stiker yang sama dengan milik Se Hwang. Ia sudah mengamatinya, ketika berpura-pura menanyakan arah pada Se Hwang, yang omong-omong, tidak ditanggapi dengan ramah.

"Kau ingat aku?"

Se Hwang menatapnya dari kursi, lekat. Sejenak berhenti menggeliat berusaha melepaskan tangannya yang terikat. Percuma. Simpul yang dibuat Doyoung terlalu rumit.

"Kau ... yang kemarin?" Pria itu ragu-ragu. Jarak mereka yang cukup jauh membuatnya harus menyipitkan mata. "Ya, benar! Aku pernah bertemu denganmu! Apa yang kau inginkan? Lepaskan aku!"

"Masa tidak tahu? Kukira kau pintar." Doyoung merespon dengan nada mengejek, meniru Joy. Dengan santai menguap ketika kantuk menghampiri. Ini sudah jam 9. Lampu-lampu jalan terlihat bersinar dari jendela kamar, meredupkan cahaya sang penguasa malam.

Dia bisa membayangkan Sejeong duduk di mobil; laptop di pangkuan, wajah serius terpaku ke layar. Gadis itu punya tugasnya sendiri, mengontrol cctv sekitar. Mengawasi. Kekompakan inilah yang menjadikan mereka tim yang hebat.

"Ada apa ini?" Se Hwang menyalak, berontak semakin kuat, yang hampir membuatnya jatuh dari kursi. Tak menghasilkan apapun kecuali ditertawakan Doyoung. "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan!"

Pengiriman file selesai.

Tidak perlu semua, cukup sedikit saja, yang akan membuat keluarga Se Hwang yakin itu memang laptopnya.

Selanjutnya...

Doyoung membuka program pengolah kata, mulai mengetikkan surat bunuh diri yang sudah sering ia buat. Hanya dimodifikasi sedikit. Stres masalah hidup, tinggal di apartemen yang mirip kandang, wajar jika Se Hwang bunuh diri kan?

Sebenarnya, ia lebih suka strategi perampokan karena lebih cepat. Hanya saja, akan aneh kalau ada perampokan yang terjadi di daerah seperti ini.

Tapi jika bunuh diri, polisi tidak akan curiga.

"Makanya," Doyoung berujar, mengetik secepat mungkin, meski tidak pernah bisa melebihi kecepatan tangan Sejeong. Hal semacam ini bukanlah keahliannya. "Pikir baik-baik sebelum meretas situs pemerintah, ya?"

"Pemerintah?" Ulang Se Hwang. Menelan ludah dengan gugup ketika pemahaman muncul di benaknya. "Jadi kau orang pemerintah?"

"Ya dan tidak," Doyoung menjawab ambigu karena memang pada kenyataannya, ia, Sejeong dan teman-temannya yang lain bukan agen resmi. Mereka hanya orang-orang yang dikirim untuk mengerjakan tugas yang terlalu kotor bagi agen NIS dan polisi.

Seperti bayangan yang sangat penting.

Divisi mereka boleh saja tidak di kenal, tapi semua yang tahu menghormati mereka. Doyoung bangga akan hal itu.

Keberanian Se Hwang langsung surut mendengarnya. "Ambil, ambil saja laptopku! Semua datanya ada disana, aku tidak punya salinannya, tapi tolong lepaskan aku. Aku bersumpah akan tutup mulut! Aku minta maaf!"

"Sudah terlambat untuk itu." Doyoung memutar bola matanya, ingin segera menyelesaikan ini. Karena A, ia masih harus bertemu salah satu temannya, dan B, Sejeong tidak akan senang dibuat menunggu lama.

Jarinya pun bergerak lebih cepat.

"Tidak, tunggu! Jangan lakukan ini!" Se Hwang memohon. Menangis menyadari betapa genting situasinya saat ini. "Apa kau tidak merasa kasihan pada anak-anak itu? Apa kau tidak takut? Pemerintah tempat kau bekerja memiliki divisi rahasia berisi sekumpulan mutan! Mereka melakukan percobaan mengerikan pada anak-anak!"

"Ngomong apa sih?" Doyoung berdiri, meregangkan tubuh saat surat tipuannya beres. Lantas meraih ransel yang ia bawa dan mengeluarkan Glock 36; si kecil yang mematikan. "Sudah dulu bicaranya, ya. Waktu bermain kita sudah habis."

Ia bersiul. Berjalan mendekati Se Hwang bagai malaikat kematian. Pistol di satu tangan, dan laptop di tangan lain.

"Ada kata-kata terakhir?"

Se Hwang menangis lebih keras, menjerit. Tapi itu sia-sia. Rumah yang ia buat kedap suara telah menjadi neraka baginya. Bumerang yang mengkhianati sang pemilik.

Pria itu hanya sempat berkata "kumohon, jangan!" sebelum Doyoung memukulnya untuk kali kedua. Di titik yang sama, yang kembali membuatnya pingsan.

Doyoung kemudian melepas tali yang mengikat tangan Se Hwang, semudah melepas jaket. Dan menempelkan jari-jari itu ke laptop, untuk berjaga-jaga saja. Langkah terakhir, ia membuat Se Hwang menggenggam pistol, mengarahkan moncong senjata cantik itu ke dada kirinya, dan dor!

Menekan pelatuk.

Pemilik apartemen nomor 45 ini tewas seketika. Bunuh diri versi Doyoung.

Karena sudah dipasang peredam, pistol itu nyaris tak mengeluarkan suara. Hanya asap tipis yang segera menghilang ditelan udara. Dan tentu saja, bubuk mesiu yang menodai tangan serta pakaian Se Hwang.

Para pembunuh bayaran yang amatir akan langsung menembak target, tanpa tahu bahwa jika tangan korban bersih, akan membingungkan petugas forensik. Lalu polisi terpaksa melakukan penyelidikan ulang. Yang bisa menjadi penyebab mereka tertangkap.

Oh, tapi Doyoung bukan amatir. Ia salah satu yang terbaik di antara teman-temannya. Tak pernah gagal melaksanakan tugas dengan sempurna.

Dia tersenyum. Dasar bajingan beruntung. Se Hwang seharusnya senang karena Doyoung menghabisinya dengan cara ini, mengakibatkan kematian yang mudah. Orang-orang lain tidak seberuntung dia.

Doyoung kemudian berbalik dengan santai, setelah mengatur Se Hwang, laptop dan pistol di posisi yang tepat. Lalu keluar dari TKP dengan langkah-langkah ringan.

Tugas yang sangat mudah.

Bagi Doyoung dan Sejeong, gedung itu hampir sama familiarnya dengan rumah. Seakan keduanya bisa berjalan disana sambil menutup mata. Mereka sudah sering datang; pertama-tama untuk berlatih, kemudian menerima tugas, dan sesekali mengunjungi teman.

Sebagian besar orang yang ada mengenal dan dikenal oleh mereka. Pernah mengerjakan tugas bersama atau berbagi makan siang. Sehingga ketika masuk, banyak yang menyapa pasangan itu.

Young Shin salah satunya. Pria yang lebih tinggi dari Doyoung, dengan perawakan kekar yang dulu pernah ia kalahkan di duel 1 lawan 1 kurang dari 10 menit. Dia pria yang baik, sungguh, tapi sampai sekarang masih sering menyebut Doyoung curang, yang hanya membuatnya tertawa.

Mereka tetap berteman hingga kini. Saling menyapa "bro" ketika berpapasan, dan melakukan tos.

"Yo! Kalian ngapain disini? Mau buat masalah?"

Sejeong memberinya pukulan main-main sebagai sapaan, menyanggah, "Enak saja! Kami bekerja, tahu! Tidak jadi pengangguran sepertimu."

Young Shin mencibir. Dengan bangga menyingkap bagian bawah jaketnya, menunjukkan pistol yang ia selipkan. "Nih, liat ini. Aku juga ada tugas dengan Sina sebentar lagi. Mencari seorang anak. Tapi aku belum tahu detailnya."

"Anak?" Doyoung melongo, menatap Young Shin dari atas ke bawah. Sekilas penampilan itu biasa saja, tapi pistol, pisau, dan sarung tangan tanpa jari yang ia pakai menunjukkan bahwa ini serius. Dan hal itu membuatnya heran. Young Shin yang hebat dikerahkan untuk mencari seorang ... anak? "Maksudmu anak .... kecil? Untuk apa?"

"Mana kutahu?" Bahu Young Shin terangkat selagi Doyoung dan Sejeong bertatapan. Tapi matanya menunjukkan kejujuran. Yang berarti ia memang tidak tahu tentang tugasnya. Apa ini, tugas misterius? Doyoung tak pernah mendapatkan yang semacam ini. "Pokoknya," lanjut Young Shin. "Sina bilang tidak boleh tanya macam-macam. Tahu sendiri dia orang seperti apa. Galak!"

"Aku dengar itu," seseorang menyeletuk, dengan suara rendah yang merdu, di susul ketukan teratur di lantai yang di akibatkan sepatu hak tingginya. Wajah tersenyum Sina muncul dari tikungan, tampak berbinar melihat Doyoung. Kalau dipikir-pikir, wanita itu terlalu sering tersenyum. Sedikit aneh. Tapi tak ada orang yang benar-benar normal disini. Doyoung sudah terbiasa. "Doyoungie!" Sina memekik. Tangan terentang lebar, langsung memeluknya. "Wah, apa kabar, Tampan?"

"Lepaskan dia, Sina." Sejeong mendesis, tak repot-repot menyembunyikan ekspresi tidak sukanya. Bukan hanya karena cemburu, tapi juga karena ia dan Sina seperti air dan api; bertentangan. Tidak pernah akrab.

Doyoung terkekeh. Segera terdiam sedetik setelah Sejeong menyikutnya.

"Iya, iya! Dasar penyihir!" Ejek Sina, menuang bensin ke dalam api. Menaikkan level kekesalan Sejeong ke titik teratas. Lalu menoleh pada Young Shin. "Siap? Ayo berangkat!"

Young Shin hanya memberi tanda "oke" sebagai jawaban, kemudian berlalu, mengikuti Sina yang sempat-sempatnya menjulurkan lidah pada Sejeong. Hampir membuat gadis di sebelah Doyoung itu melepas sepatu yang ia pakai dan melemparnya.

"Lihat kan, siapa yang lebih cocok dipanggil penyihir!"

Doyoung tersenyum saja. Rasa herannya kembali ketika melihat Sina tidak hanya membawa Young Shin, tapi juga 5 orang lain. Ada apa sebenarnya?

Dia bertanya-tanya, tapi tidak bisa memikirkannya lebih jauh. Sebab Sejeong lebih dulu menariknya berjalan lagi, menuju sebuah ruangan terbesar di lantai itu; ruangan sang bos, yang uniknya, pernah ditempati ayah salah satu temannya一Lee Taeyong一sebelum meninggal.

Bersama, mereka pun masuk setelah mengetuk pintu beberapa kali.

Gang Rim telah menunggu.

Seorang pria 28 tahun yang ramah. Bos termuda yang pernah memimpin tempat ini. Dengan banyak prestasi dan kehebatan yang tak perlu dipertanyakan lagi.

Bagi orang lain, dia adalah atasan.

Tapi untuk Doyoung, Rim sudah seperti kakak kedua.

"Ini dia pasangan favoritku," goda Rim, yang bahkan berdiri saat meminta mereka duduk. "Jadi, Dojeong, sukses kan?"

Sejeong tidak bisa tidak tersenyum setiap kali mendengar nama itu. Dojeong adalah singkatan nama keduanya, yang dibuat oleh Rim. Pria itu juga menjadi dalang yang mempertemukan mereka untuk sebuah tugas dulu, yang berakhir dengan sebuah kencan.

"Pastinya," Doyoung menjawab sambil mengeluarkan laptop Se Hwang, menyerahkannya pada Rim. "Aku tidak mengecek isinya kecuali saat memindahkan data, sesuai permintaanmu."

"Bagus, bagus." Senyum dan tepukan pelan Rim di bahu sudah menjadi penghargaan yang cukup bagi Doyoung. Membuatnya ikut tersenyum. "Kalian memang paling bisa diandalkan. Nanti aku akan mentransfer bayarannya, ya? Hari ini agak sibuk."

"Apa ada hubungannya dengan Sina?" Tanya Sejeong tanpa basa-basi, rupanya turut penasaran sejak tadi.

Rim menggeleng. Meminta mereka tidak khawatir. "Itu hanya tugas biasa. Tapi memang butuh banyak orang."

"Perlu bantuan?" Spontan, Doyoung mengajukan diri. Seolah lupa ia baru melaksanakan tugas kurang dari sejam yang lalu. Itu adalah refleks. Keinginan membuat Rim bangga. Tapi di luar itu, ia memang selalu siap untuk tugas apapun. Tidak peduli waktu.

Tambahan lagi, ia penasaran...

Anak macam apa yang dicari Sina, dan apa yang sudah ia lakukan sampai jadi buronan?

"Tidak usah," Rim menolak halus. Dengan senyum yang melembutkan fitur wajahnya yang sudah tampan. "Kalian istirahat saja. Dan terima kasih untuk ini."

Tidak masalah, ucap Doyoung.

Ia suka melakukan apa yang menjadi keahliannya. Untuk inilah ia dilatih selama 3 tahun, sejak usianya 15 tahun. Sejak Rim menyelamatkannya dulu...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top