01. Star Blossom

Namanya Star Blossom.

Sebuah kafe sederhana di jalan Saeki-dong. Kau bisa dengan mudah menemukannya karena letaknya dekat dengan Lotte mart. Hanya tinggal menyebrang, lalu berjalan sedikit dan sampai.

Mencari tempat untuk menyendiri? Mampirlah.

Butuh waffle dan kopi yang enak? Mampirlah.

Atau mungkin bosan dan ingin melihat pemandangan yang bagus? Mampirlah!

Star Blossom punya pekerja yang semuanya enak dipandang. Terutama 2 pemiliknya. Dipadukan dengan dekorasi cantik bergaya retro, kafe itu akan membuatmu merasa senyaman di rumah. Dengan kata lain : sempurna.

Ssstt, tapi hati-hati, salah satu bosnya galak lho!

Kim Doyoung, tidak akan segan mengusir siapapun一dengan cara yang sangat kreatif一jika kau membuat masalah sedikit saja. Misalnya, menggoda pelayan hingga mereka tidak nyaman, atau protes karena makanan terlambat datang. Prinsipnya : tempatku, peraturanku. Jadi jangan macam-macam. Kau tidak akan mau bertengkar dengannya, percayalah. Orang terakhir yang terlalu bodoh memancing kekesalannya, berakhir di tempat sampah dengan kepala lebih dulu.

Memang menyeramkan.

Tapi saat suasana hatinya bagus一seperti sekarang一kau tidak bisa tidak terpesona padanya. Dan menyadari, bahwa dibalik wajah yang kelihatannya pemarah itu, dia hanya pria 23 tahun yang manis一setidaknya itu menurut Sejeong, si pacar.

Saat ini, 2 pemilik kafe itu sedang bersama, tidak berjaga bergantian seperti biasanya. Sejeong ada di kantor, Doyoung duduk bersama salah satu rekannya, Kim Jungwoo. 2 gelas kopi dengan latte art berbentuk hati ada di antara keduanya, masih mengepulkan uap. Ia ada urusan penting sebentar lagi, tapi tak pernah ada kata "tidak sempat" jika menyangkut main catur.

Lagipula, ia sudah lama tidak bertemu Jungwoo, yang sibuk dengan tugasnya sebagai polisi.

Profesi yang keren, tapi pekerjaan sampingan Doyoung tidak kalah keren.

"Skakmat." Doyoung menyeringai, puas sekali setelah mengambil langkah cerdik mengurung raja putih di antara ratu hitam, dua kuda, dan satu menteri. Mengakhiri permainan dalam 11 langkah, karena Jungwoo tidak bisa bergerak lagi.

Sebagai respon, Jungwoo, yang masih mengenakan seragam kebanggaannya mengerang, bersandar di kursinya sambil mengusap wajah. "Sial. Kapan kau akan membiarkanku menang?"

Doyoung bersiul, menyesap kopi sedikit, yang terasa manis di tenggorokannya. Menghilangkan kantuk, melebarkan mata. Menurutnya, hanya ada 2 hal di dunia ini yang tak pernah membuatnya bosan : kopi, dan tentu saja Sejeong. "Yang ke berapa ya ini? 9 atau 10?"

Seseorang tergelak. Asalnya dari belakang, tempat mesin kasir berada. Sambil memberi kembalian pada pelanggan, Joy, asisten di Star Blossom, mengejek, "Jungwoo mending pulang saja. Jumlah kekalahanmu hampir sama banyaknya dengan mantan Doyoung."

Si bos tertawa. Hampir tersedak kopinya sendiri. Bukan rahasia lagi jika Doyoung hobi berkencan sebelum bertemu Sejeong, dan Joy tahu itu. Kalau soal meledek, dia memang jagonya. "Hei, tidak sebanyak itu! Hanya 5!"

"25 maksudnya?" Gadis itu mencibir, duduk sambil menyangga kepalanya ketika pelanggan tadi sudah pergi. Lalu seperti biasa, mulai mengecek media sosialnya. "Dasar playboy. Untung Sejeong mau padamu."

"Dimana dia sekarang?" Tanya Jungwoo, melongok ke dapur yang sebagian terlihat dari mejanya. Tapi nihil. Hanya ada beberapa kopi yang tampak, bercanda sambil membuat pesanan. Suara mereka bercampur dengan lagu Linkin Park dari speaker, yang disetel oleh Joy sebagai hiburan. "Tidak ikut?"

"Di kantor." Jempol Doyoung mengarah pada sebuah pintu hijau yang tertutup, hanya beberapa langkah jauhnya. Tulisan "berani masuk tanpa izin? Kubunuh kau" dalam sebuah papan kayu terpampang dengan emoji tersenyum disana. Karya Doyoung. "Lagi ngerjain tugas tuh."

"Oh, tugas itu." Jungwoo mengangguk paham, mengerti 1 hal yang tidak dimengerti Joy. Lalu dengan suara lebih pelan, berujar, "Sibuk nih ceritanya?"

Gelengan Doyoung menjadi jawabannya. Ia menggeliat, meregangkan tubuh hingga tulang di punggungnya berbunyi, kemudian bangkit. Waktunya pergi. Sebelum itu, dihabiskannya kopi, dan beradu kepalan tangan dengan Jungwoo. "Tugas gampang kok. Makan saja sesukamu, ya? Hari ini gratis."

Senyum Jungwoo, si polisi berwajah imut, kontan muncul. Makanan gratis selalu berhasil membuatnya bahagia. Siapa yang tidak suka? "Itu baru namanya teman. Hati-hati, jangan sampai kena tilang atau menabrak orang!"

Doyoung berbalik sambil memutar bola matanya. Lantas pamit pada Joy dengan melakukan tos. Karyawan terlamanya itu hanya mengamati dalam diam walaupun penasaran. Karena percuma. Tiap ditanya, Doyoung tidak menjawab dengan serius. Jadi ia tidak memaksa. Ia tahu, semua orang punya rahasia yang tidak bisa dibagi dengan orang lain.

Doyoung pun berlalu.

Meninggalkan kebisingan ruang utama, menuju ke kantornya, tempat seorang gadis setinggi 164 senti ada disana. Rambut sebahu membingkai wajahnya yang manis. Ditambah kacamata berbingkai hitam, ia jadi semakin cantik. Tapi ia tidak mendongak saat Doyoung masuk, sibuk mengemasi barangnya sambil sesekali makan Oreo, penambah semangat bagi Sejeong.

"Sudah selesai?" Doyoung menyapa, mendekat untuk memberi kecupan di pipi gadis itu. Kebiasaan. Lalu membetulkan sebuah foto seorang anak berusia sekitar 14 tahun yang sedikit miring di meja. Adik Sejeong.

Kim Sejeong, 23 tahun juga, merupakan salah satu dari sedikit orang yang bisa membuat Doyoung ciut jika marah. Pacar yang betah bersamanya selama 2 tahun. Ia mengangkat tangan, membentuk tanda "oke", mengisyaratkan semuanya lancar. "Kau bersiap-siaplah."

Tanpa banyak kata, Doyoung menurut. Mengecek kembali ransel yang dibawanya dari rumah. Senjata, sarung tangan, laptop, tali. Yap, sudah lengkap!

5 menit kemudian, keduanya keluar lewat pintu belakang kafe. Ada tugas yang harus mereka kerjakan.

Siap atau tidak, aku datang!

Apartemen itu kumuh.

Bagian depannya tidak terawat, sepi pula. Ada satu pot bunga yang mati di dekat pintu masuknya yang terbuat dari kaca. Sekilas, gedung 10 lantai itu tampak akan roboh. Berani taruhan, pasti di dalam tidak ada lift-nya. Ugh, Doyoung tidak suka. Tapi di sisi lain, itu merupakan sesuatu yang menguntungkan. Tempat ini pengamanannya minim. Semakin mempermudah tugasnya.

Tetap saja...

Membayangkan banyak tangga yang harus ia naiki membuatnya mendengus sebal.

Yang langsung ditertawakan Sejeong. "Hanya 4 lantai kok," seru gadis itu, berhasil menebak jalan pikirannya dengan benar. Lalu bersama, mereka melirik laptop di pangkuannya. "Ini, namanya Jo Se Hwang. Unit apartemennya nomor 45. Hari ini dia libur, jadi pasti ada disana. Selesaikan dengan cepat, ya?"

Doyoung mengerucutkan bibir, mengamati foto pria 28 tahun yang di potret sendiri oleh Sejeong saat ia bekerja kemarin. Wajahnya tidak terlalu jelas karena foto diambil dari samping. Tapi tidak masalah. Ia sudah pernah melihatnya. "Apartemennya kedap suara, benar?"

"Benar," ulang Sejeong, mengganti tampilan laptop untuk menunjukkan catatan kriminal yang dimiliki Jo Se Hwang. Disana tertulis bahwa pria itu pernah meretas beberapa situs, dan dilaporkan ke polisi karena mengganggu ketertiban. Berpesta sampai larut malam, mabuk-mabukan, menggangu tetangganya. Akibatnya, dia harus membayar denda sebagai ganti kurungan penjara.

"Sejak itu," jelas Sejeong, yang bertugas sebagai pencari informasi. "Dia membuat apartemennya kedap suara. Jadi tenang saja nanti."

"Oke." Si eksekutor tersenyum, merasa senang karena bisa bermain-main dengan bebas. Lantas, ia melepas seat belt-nya, dan turun dari mobil membawa ransel. "Aku pergi."

Dia melambai pada pacarnya, yang dibalas dengan lambaian pula.

Doyoung pun melangkah, dalam ritme sedang. Tidak terburu-buru. Ia tahu betul untuk tidak menarik perhatian, maka kau harus bersikap senormal mungkin. Sesekali, ia bahkan tersenyum pada beberapa orang yang menatapnya. Tampak seperti mahasiswa biasa yang ramah.

Oh, mereka tidak tahu apa-apa.

Ia terkekeh, menaiki deretan tangga berdebu yang pegangannya kotor. Tidak ada penjaga disana, sehingga ia melenggang masuk begitu saja. Tidak ada pula yang menghentikannya. Atau sekedar bertanya ia mau kemana, menemui siapa.

Ini terlalu mudah.

Tak lama, ia sampai di lantai 4 yang menjadi tujuannya. Melongokkan kepala ke kanan kiri, mencari unit yang tepat, sambil memakai sarung tangannya.

Tangan itu lalu terkepal dan terbuka beberapa kali, untuk pemanasan. Meski sudah berulang kali melakukan ini, ia tak pernah meremehkan lawan. Bisa saja kan, Jo Se Hwang pandai bela diri? Itu akan jadi tantangan yang menarik.

Nomor 45, nomor 45, dimana kau?

Oh, ketemu!

Doyoung kembali tersenyum, mulai mengetuk. Ketukan cukup keras, yang tidak bisa di abaikan. Ayo, ayo, cepat keluarlah. Aku punya hadiah untukmu.

1 menit. Belum ada respon.

2 menit. Doyoung mulai tidak sabar. Awas kau.

3 menit一

Pintu akhirnya terbuka.

Menampakkan seraut wajah yang sudah ia awasi bersama Sejeong. Wajah yang ia lihat di layar laptop. Mata memicing curiga, mulut mengumpat. "Apa maumu, sialan?"

"Kau," jawab Doyoung singkat, lalu tanpa aba-aba melayangkan tinju kanannya dengan begitu keras, membuat Jo Se Hwang terjengkang. Kepalanya menghantam lantai dengan suara nyaring, disusul erangan kesakitan.

Tapi sebelum pemilik apartemen itu bangkit, Doyoung sudah menyelipkan tubuhnya masuk, mengunci pintu.

Klik.

Hanya tinggal ia dan targetnya sekarang. Di ruangan yang kedap suara.

Se Hwang, yang masih sadar, lekas bangkit. Berusaha balas memukul penyusup tampan yang ada di depannya, tapi karena pusing, pukulannya tidak tepat sasaran. Doyoung bisa menghindar dengan mudah, menangkap tangan pria itu, dan menuntirnya di belakang punggung. Sembari tertawa. Ini menyenangkan!

Se Hwang berteriak. "Siapa kau? Lepaskan aku, berengsek!"

"Namaku Kim Doyoung, salam kenal," sahut Doyoung santai, lantas memukul leher Se Hwang menggunakan sikunya, ke titik yang ia tahu akan langsung membuat seseorang pingsan. Setelah itu, barulah ia melepas cengkeramannya, membiarkan tubuh pria itu meluncur jatuh seperti barang usang. "Makanya jangan membuka pintu terlalu lama, bodoh!"

Di tempat lain, seorang remaja laki-laki  berpakaian serba putih sedang berlari tergesa-gesa di antara kerumunan manusia di stasiun Jeongjin. Rambut berantakan, kaki telanjang. Ada bekas darah di bagian lengan kemejanya, yang berusaha ia sembunyikan dengan melipatnya sampai ke siku.

Dengan panik, ia menoleh ke belakang, mengecek para pengejarnya. Mereka belum terlihat, tapi pasti ada. Hanya tinggal menunggu waktu untuk menemukannya. Ia harus lari, harus segera pergi. Tapi tanpa tujuan, mau kemana?

Remaja itu memutuskan berhenti sejenak, untuk berpikir dan beristirahat. Wajahnya sangat pucat, napasnya terengah-engah. Apa yang harus kulakukan?

Ia belum pernah kemari, apalagi mengenal satu orang pun disini. Yang ia tahu, ia tidak boleh berhenti. Lebih baik mati daripada tertangkap. Apapun asal tidak perlu kembali ke neraka tempat ia melarikan diri.

Perlahan, remaja itu mulai berlari lagi, tapi rasa sakit yang seolah meledak di kepalanya membuat ia berhenti. Darah tiba-tiba keluar dari hidungnya, disusul rasa pusing yang tidak tertahankan.

Ia menggigit bibir, lalu mengusap darahnya dengan tangan gemetar, membuat kemejanya kotor. Otaknya sudah mengirimkan sinyal bahwa sebentar lagi, ia akan mencapai batasnya. Tubuh menuntut istirahat.

Tapi ia tidak bisa.

Ia harus一

Tanpa sengaja, pandangan remaja itu tertuju pada seseorang yang tampak sedikit lebih muda darinya. Duduk sendirian di salah satu bangku stasiun, sesekali mengetuk-ngetukkan kaki mengikuti irama lagu yang ia dengar lewat headset. Tinggi serta postur orang yang mengenakan seragam sekolah itu mirip dengannya.

Dan hal itu, seketika memberinya ide.

Memaksa kakinya berjalan, ia menghampiri si murid berseragam kuning.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top