[Y/N] 《Tsundere!Len x Yandere!Reader》

Api unggun menampakkan udara hangat mengitari ruangan itu. Jauh dari kota Tokyo yang penuh keanggunan, seorang pria berumur 30 tahun dengan keponakan-keponakannya.

"Jadi, siapa yang mau denger cerita serem?"

"Yaelah, paman mana pernah bisa begituan selain bercanda."

Pria berambut kuning sekuning jagung tersebut duduk santai di sofa tersenyum serius dengan kacamatanya.

"Tidak, ini cerita asli yang pernah paman alami sendiri."

Karena ucapan itu meyakinkan mereka, anak-anak SMP dan SMA itu bersemangat.

"Apatu paman?"

"Ah.. duduklah, semua ini terjadi saat musim semi di Akabira tepat di Hanamatsuri."

Kota Akabira sedang dilanda musim semi yang sebentar lagi terjadi Hanamatsuri. Sebut saja Kagamine Len, siswa umur 17 tahun dari salah satu SMA di Akabira sedang duduk memainkan piano untuk event sekolahan.

Tepukan tangan mengutarinya, perempuan tentunya.

"Len-kun! Kau memang yang terbaik."

"Terima kasih," jawab Len.

Len hanya bisa tersenyum dan berterima kasih. Hanya ada satu yang menjanggal dari pandangannya.

Seorang siswa yang mengintip dari balik pintu yang terbuka sedikit. Hanya menatap seperti tak akan berkedip.

Nama siswa itu (Y/N). Siswi kelas sebelas yang tak banyak yang tau tentangnya. Len tahu tentang itu.

Bukan berarti Len tidak punya stalker akibat kepopulerannya, hanya saja kali ini berbeda. Lebih mengerikan dari biasanya.

Len tahu di jalan pulangnya seperti diikuti, Len tahu jelas bahwa ada yang mencuri pensilnya di kelas. Len tahu itu. Semua hal itu janggal, ditambah gadis liar itu seperti super menguntit Len.

Miki, pacar Len-mulai berdiri di ruang karaoke yang hanya mereka berdua di dalamnya. Miki tiba-tiba menangis. Pintu karaoke yang terkunci rapat, hanya mereka yang bisa mendengar suara mereka sendiri.

"Miki? Kau kenapa?"

Miki duduk di pangkuan Len sambil menangis di bahu lelaki itu. Sangat terisak hingga susah berbicara.

"Hari ini... gadis aneh itu mengancamku- aku... aku ga tau harus buat apa..."

Len kaget mendadak, memegang bahu Miki dan melihat perempuan itu baik-baik.

"Aneh? Uh- (Y/N)? Yang kubilang stalkerku?"

Miki mengangguk pelan sambil mengusap air matanya. Len tahu ada yang tak beres dari siswi satu itu.

"Dia mengancamku, saat hanamatsuri nanti- ... dia akan..."

"Akan apa?"

"Akan menyiksaku..."

Len cuma terdiam, menatap Miki. Lalu mengecup pipinya unyuk menenangkan Miki.

"Miki... kalau terjadi sesuatu tolong bilang ya. Kau itu sangat berarti bagiku..."

Miki berdiri setelah memeluk Len. Beralasan, "aku pengen ke kamar mandi... uh... temenin dong. Aku takut."

Len cuma tertawa dan mengangguk. Ia membawa tas kecil Miki dan tasnya sendiri lalu keluar dari ruang karaoke itu.

Kedua tangan saling menggenggam, Len hanya melihat ponselnya dengan tangan kirinya sedangkan Miki terlihat khawatir.

Lelaki itu akhirnya menunggu Miki di depan pintu kamar mandi wanita. Tak memusingkan hal yang baru saja di ungkapkan Miki barusan.

Satu menit, tiga menit, lima menit berlalu namun Miki belum keluar dari kamar mandi itu. Perasaan khawatir menghantui Len. Hingga Miki akhirnya keluar dengan cepat menarik tangan Len keluar.

"Kenapa buru-buru?"

"Kau gila?! Gadis itu ada di kamar mandi! Aku gak mau ada disini lagi."

Pasangan itu akhirnya berjalan cepat di koridor gedung karaoke yang sepi namun masih ada orang. Orang-orang melihat ke arah Miki yang sedang kesakitan, namun Len tak sadar akan hal tersebut.

"Hei.. kau tau kenapa mereka mempelototin kita?"

"Tentu, Len."

"Kenapa?"

Miki berbalik seperempat badan hingga menatap Len dan menunjukkan lengan kanannya. Baju tangan panjang itu robek dan berlumuran darah.

Wajah Len pucat, ketakutan atas apa yang terjadi pada pacarnya, "siapa yang ngelakuin ini?"

"Kau gila? Tentu si cewek yang kubilang tadi."

Mentari masih bersinar terang, di kota Akabira. Sejak hari itu, hari dimana Miki terluka, aku dan Miki menjaga jarak.

Gila ya, psikopat ada juga ngincar beginian.

Ini sebuah tanda kalau aku udah dapat kode keras, tapi siapa? Siapa yang suka padaku hingga ingin membunuh orang disekitarku.

Bahkan Miki dan aku tak berbicara sekalipun kepadaku, bahkan sepatah kata tak keluar dari mulutnya ataupun tatapan. Selalu menghindar setiap kami berjumpa. Walaupun kami masih punya status pacaran.

Pandanganku bahkan perasaanku diambang kegelapan. Bahkan aku tak tahu apa yang harus kulalukan setelah itu untuk hidup. Rasanya ingin bunuh diri saja.

Aku membuka pintu rumah, senyap. "Oi, rin! Aku pulang," sahutku dari depan pintu. Aku pergi ke ruang keluarga, melihat Rin yang kini membalut tangannya dengan perban.

"Kau kenapa?"

"Tanganku terluka," Rin mendengus sambil tertawa. Gadis ini masih bisa tertawa meskipun ada banyak tisu yang bercap merah.

"Siapa yang membuatmu begini?" Aku terduduk di depannya, duduk berhadapan dengan dirinya yang duduk di sofa sedangkan aku duduk di lantai. Dahi mengerut keras, "Katakan Rin! Jangan tertawa!"

"Kau mau tau? Siapa gadis psikopat yang mengincarmu?" Rin menyengir, "itu anak setingkatmu, (Y/N). Dia terobsesi denganmu."

Air mukaku terlihat panik, terdiam tak tahu mau mengucapkan apa. Rin hanya mengelus kepalaku sambil berkata, "Dia gila, tapi otaku memanggilnya yandere."

"Mungkin saja pada hanamatsuri besok... aku atau Miki yang bakal mati. Bisa saja sih atau kau yang bakal mati," Rin tersenyum ceria, "Biasa aja wajahmu. Itu kehendak Tuhan. Kita gak bakal tahu apa yang akan terjadi."

Rin bangkit, kembali dengan tatapan dingin biasanya. Aku tahu dia udah kehilangan harapan untuk hidup.

Hari ini hanamatsuri, atau pantaskah kusebut hari kematianku?

Namaku Rin, hari ini kami berada di sekitar pohon sakura. Tentu ada polisi berjaga disini. Hanya saja aku tak tahu apa aku masih bisa menggapai harapan.

"Rin... rin!"

"Ah- iya?" Aku tersenyum menyembunyikan ketakutanku dari Len. Dia masih menatapku cemas. "Ada apa Len?"

"Kau ini... tak apa? Apa kau juga di ancam di hari ini?"

"Kalau iya, kenapa?" Aku tertawa kian bulu kuduk berdiri, "itu cuma lelucon kan?"

Sepekan lalu, Miki berbicara kepadaku tentang (Y/N) kemudian Teto, guru les kami, kemudian Piko yang cuma nyentuh Len sedikit, dan yang terakhir (Y/N) sendiri yang mengancamku.

Entah dia tau soal aku adalah saudara Len, entah dia tak peduli soal itu. Kurasa cewek bodoh itu tak peduli.

Hari ini, sudah kuputuskan. Aku akan memancingnya membunuhku supaya ia ditangkap.

"Len-kun..." Len menatap diriku saat aku memanggilnya. "Aku mau buang sampah dulu ya," sahutku, bangkit sambil menepuk-nepuk rokku.

Len menahan tanganku walau aku sudah berdiri, "aku mohon kembalilah dalam keadaan sehat."

"Dramatis banget sih..." keluhku sambil tertawa.

Aku berjalan pelan ke arah tong sampah yang jaraknya sedang dari tempat duduk kami tadi. Len masih bisa melihatku.

Bahuku ditepuk oleh seorang gadis. Iya, itu (y/n) saat aku berbalik.

"Oh, hari yang indahkan (Y/N)?"

"Diamlah-"

"Hari yang indah, bahkan tadi malam aku dan Len-"

"Diamlah.."

"berhubungan seksual. Wah itu memang menyenangkan," aku berbohong untuk memancingnya. Tangan kanannya ada pisau untuk daging. Akan sangat menyakitkan bila aku disayat-sayat dengan itu.

"Ugh... diamlah!"

"Kami berpelukan, ciuman. Bahkan kau cuma sampah yang gak tau soal itu-"

Dia menusuk tanganku sekali lagi. Berdarah, aku hanya berteriak, "TOLONG! DIA MAU MEMBUNUHKU! TOLONG PAKPOL!"

Aku dapat melihat polisi-polisi itu berlari ke arahku, Len mulai berlari kaku, kurasa kakinya dingin.

Tawanya menggelegar beraroma pembunuh. Aku sudah gemetaran, rasanya ingin pingsan. Namun, pitam belum menghampiri.

"Kau bodoh! Kau bodoh! Setelah ini kau... akan pergi dari kehidupan Len!"

Gadis itu menyeru, aku cuma bisa tersenyum di balik darahku yang bercucuran dari lenganku.

"Selamat tinggal!-"

Tangannya ditahan oleh pakpol itu. Diborgol lebih tepatnya.

"Jangan bergerak! Kau akan kami bawa ke kantor."

"Lepaskan! Lepaskan aku! Dia merebut pacarku!" Ia merenta-renta. Terlebih lagi, Len datang memelukku saat aku terjatuh. Mata Len menatap tajam (y/n).

"Enyah kau! K-Kau mau membunuh saudariku kan! Kau itu sampah!" Len terlihat tergagap-gagap di mataku. Dia menangis untuk pertama kalinya karena diriku.

"Dia mau merebutmu dariku!"

"Pak... tolong bawa wanita gila ini... aku udah gak mau ngelihat dia..."

Pakpol-pakpol itu akhirnya pergi membawa (y/n). Len membawaku ke rumah sakit setelah itu. Suster-suster itu membalut tanganku dan membersihkannya.

"Gimana tangannya, sus?"

"Gak apa-apa kok. Cuma ini pendarahannya agak dalam. Tinggal kasih obat ini tiap hari..."

"Makasih ya sus," ucapku. Suster itu cuma tersenyum lalu pergi meninggalkan kami berdua di ruang inap.

"Len, makasih ya... udah mau ngertiin apa yang kubuat."

• The End •

1303 kata

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top