28. Tanpa Sosok Pendamping

"Satu cowok lagi. Ayo, siapa yang mau ikut?" Nabila berseru, mencoba mengalahkan bising di tengah lapangan.

Niken berdiri tepat di belakangnya, menghela napas jengkel, dan sedikit mengerutkan dahi. Karena paksaan Nabila, Niken terpaksa turut berkonstribusi dalam perlombaan tarik tambang.

"Lo kan anak Paskib, Ken. Lagian, udah ada Siti sama Weni. Dijamin deh, sekali mereka narik, runtuh pertahanan lawan." Nabila terkekeh. Menolak pun percuma, karena nama Niken sudah tercatat dalam daftar peserta.

"Buruan! Kalian cowok apa bukan? Belom apa-apa udah pesimis aja." Nabila melotot, kesal bukan main dengan teman-teman cowoknya.

"Lo lihat sendiri, Nab, kakak kelas gede-gede semua badannya. Daripada malu tersungkur di tengah lapangan, mending kita nyerah dari awal aja."

"Betul, betul, betul!" timpal yang lainnya.

Nabila makin geram, menyeringai menatap sekumpulan jantan abal-abal di hadapannya. Di saat itulah, di saat Nabila hendak mengeluarkan sumpah serapahnya, sosok kesatria berlesung pipi muncul dari tengah lapangan.

"Melvin! Ya, Melvin pasti mau ikutan!" Tak mengacuhkan yang lainnya, Nabila segera meluncur menghampiri Melvin. Sedangkan di belakangnya, Niken terperangah, tak menyangka.

Melvin? Kenapa harus dia? Kenapa bukan Sukri aja? Niken membatin, kesal.

"Wih, ya jelas mau, lah!" Penuh semangat Melvin menjawab. "Emang siapa aja yang ikut?"

Nabila menyebutkan nama-nama peserta lainnya. Dua cowok, tiga cewek. "... Weni, dan Niken."

"Hah?" Melvin tergugu, semangat '45 yang tadi berkobar luntur seketika. Jika begini, lebih baik dia tidak ikut. Melvin tahu diri, Melvin mengerti harus berbuat apa. Saat Niken memohon kepadanya dua hari yang lalu, Melvin memutuskan untuk benar-benar menjauh. Niken ingin Melvin pergi dari kehidupannya. Jika itu dapat membuat Niken bahagia, meski menyakitkan, Melvin akan menyanggupinya.

Kemarin pun, di hari terakhir ujian, Melvin tak lagi menyisipkan surat di antara lembaran absen. Bahkan, Melvin harus meminta bantuan adik kelas untuk mengantarkan absen ke depan, ke bangku Niken. Melvin tahu diri, sudah tak pantas dia melakukan itu.

"Enggak jadi deh, Nab. Maaf."

"Wei, Melvin! Lo mau ke mana?" seru Nabila, menatap punggung Melvin yang kian menjauh. Niken yang mendengar seruan itu lantas menoleh, mendapati Nabila yang frustrasi, menggaruk-garuk kepala.

***

Niken menyeka pelipis, patah-patah melangkahkan kaki menuju tepi lapangan. Aliya sigap menuntun Niken duduk di bangku semen. Perlombaan tarik tambang terus berlanjut. Niken dan teman-teman satu regu gugur dalam babak penyisihan.

"Bener kata anak cowok, mustahil kita menang dalam perlombaan ini." Niken meringis, meluruskan kakinya yang kebas.

"Nggak apa, Ken. Yang penting kalian udah usaha, urusan menang kalah, itu udah biasa." Aliya menyemangati, tersenyum takzim menatap Niken. Sedikit-banyak perlombaan ini mengalihkan pikiran Niken dari sosok Melvin. Aliya senang dengan fakta itu.

Haus, lelah, Niken memutuskan untuk pergi ke kantin. Meninggalkan riuh rendah di tengah lapangan, tidak mengacuhkan betapa serunya menyaksikan dua regu mempertahankan se-utas tambang.

"Tolong, ya, Al. Pesenin gue minum."

Aliya mengangguk, gesit menerobos antrean stan. Sedang Niken duduk di pojokan, meniup telapak tangannya yang masih terasa perih. "Gila, masa nggak disediain tepung sih," keluhnya.

Stan sebelah sangat gaduh, menjadi pusat perhatian dari setiap penjuru. Tawa canda menggelegar ke langit-langit kantin, satu-dua bahkan memukul meja saking lucunya. Niken memanjangkan leher, penasaran dengan apa yang terjadi. Di saat Niken memperhatikan satu per satu rombongan, matanya memindai sosok Melvin. Cowok itu tertawa, saling melempar guyonan dengan teman-temannya.

Tak ada sedikitpun raut kesedihan yang terpancarkan. Tak ada sedikitpun sisa-sisa penyesalan yang ditampakkan. Melvin terlihat amat bahagia, tak berbeda dari hari-hari sebelumnya. Niken mengehela napas. Apakah dia harus senang? Entahlah, harusnya begitu. Melvin sudah mengabulkan permintaan Niken. Melvin sudah tidak menjauh dari Niken.

***

Benar sekali. Melvin seolah tidak mengenal Niken. Kemarin, selesai mengahabiskan minum, saat hendak kembali ke lapangan, Niken tak sengaja berjumpa dengan Melvin. Bertukar pandang sekian detik. Belum lagi Niken memalingkan wajahnya, Melvin lebih dulu melakukan itu. Melvin berpaling. Melvin menghindari Niken.

"Lho, seharusnya kamu seneng dong, Ken?" Aliya berkomentar. Mereka berjalan menyusuri koridor.

Niken mengangkat bahu, tidak menanggapi. Ya, Niken memang senang dengan perubahan sikap Melvin. Cowok berengsek itu benar-benar menjauh dari hidupnya, tapi Niken sedikit heran. Secepat itukah Melvin berubah? Astaga, bahkan luka di hati Niken saja belum mengering. Sedang Melvin sudah bisa ketawa-ketiwi bersama teman-temannya.

"Itu artinya, dugaan kamu bener. Melvin nggak sayang sama kamu," celutuk Aliya, seolah dapat mengartikan air muka Niken.

Niken mendengus. Dari mana pula Aliya mendapatkan ilmu membaca pikiran?

Belum sempat memikirkannya, langkah Niken mendadak terhenti. Tepat di depan mading utama. Kertas putih berukuran A4 sukses menarik perhatiannya. Niken memicingkan mata, membaca perlahan isi yang tertera di dalamnya.

"Hah?" Niken berseru tertahan. Tercengang hanya dengan membaca paragraf pertama. "Dipercepat?"

"Ada apa, Ken?" Aliya mendekat, turut memanjangkan leher, membaca isi kertas yang baru ditempel beberapa saat yang lalu.

Mungkin biasa saja bagi Aliya, tapi tidak bagi Niken. Kenapa? Karena itu adalah pengumuman, yang isinya mengatakan bahwa pesta akhir tahun dipercepat. Bukan pada malam pergantian tahun, melainkan satu minggu sebelumnya.

"Apa sejenis prom night?" Aliya bertanya, memecah lengang setelah sekain detik terdiam.

"Bukan dong, Al. Prom night itu sama kayak perpisahan, yang artinya ada di semester dua." Niken menepuk jidat, karena dua hal. Satu, karena pertanyaan Aliya. Dua, karena pesta itu dipercepat.

Satu minggu lagi? Itu bukan waktu yang lama. Artinya, Niken harus kembali berlatih gitar. Mengulangi lagi pembelajaran yang pernah ia dapatkan dari Melvin. Mempelajari lagi cara menyesuaikan suara gitar dan vokal, materi yang pernah Melvin ajarkan padanya. Hanya mengulang saja sebenarnya, tapi kali ini sedikit berbeda, karena Melvin tidak bersamanya. Niken sendirian. Tanpa Sosok Pedamping.


-TBC-

Alhamdulillah, masih bisa udpate. Sebenarnya hari ini aku itu always on at Line. Kenapa? Karena ada pengumuman lomba. Aku ikut dua kategori (Cover dan OS). Semoga daku bisa menangin salah satunya, hoho. Amin.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top