26. Terima Kasih
Percayalah, sekuat apa pun manusia menahan luka, akan tetap terasa sakitnya. Niken, misalnya. Mati-matian dia melupakan kejadian kemarin sore, tetap saja benaknya dipenuhi sosok Melvin. Alhasil, materi yang ia pelajari hanya dapat seadanya saja.
"Kok lemes gitu sih, Ken? Hari pertama lho ini, harus semangat!" Di meja makan, Mama menyemangati.
Niken menghela napas, mengangguk pias. Mau tak mau dia harus meyantap sarapan yang terhidang. Jika tidak, bisa-bisa Niken tidak konsentrasi menjawab lima puluh soal pilihan ganda.
Lepas sarapan, Niken bergegas pergi ke sekolah. Tak lupa ia memohon doa restu pada sang Mama. Papa sudah siap, berangkatlah mereka membelah jalanan ibu kota.
"Pelajaran pertama apa, Ken?" tanya Papa, memecahkan kelengangan.
"Hari ini? Pendidikan Agama, Pa."
"Oh, kirain matematika. Muka kamu kusut banget, sih." Papa tertawa kecil.
Niken balas tersenyum, sangat tipis. Wajar bila papanya mengatakan itu. Tak pernah selama ini Niken menampilkan ekspresi seperti itu pada papanya, kecuali saat ini, saat hatinya patah untuk kedua kali.
Obrolan-obrolan kecil terus mengisi perjalanan. Papa sangat pandai memilih topik pembicaraan. Mulai dari membahas Danu, rencana liburan akhir tahun, hingga sepenggal cerita masa lalu saat beliau masih berhadapan dengan ujian. Sesekali Niken menyahut, tersenyum, dan balik bertanya. Setidaknya, perjalanan bersama Papa sedikit memperbaiki suasana hatinya.
"Semangat ya, ujiannya, jangan lupa berdoa lebih dulu. Ingat, meski ada kesempatan, jangan coba-coba untuk berbuat curang. Mungkin pengawasnya lengah, tapi tidak dengan yang di atas." Papa tersenyum, mengusap kepala putri bungsunya. Niken yang paham akan pesan itu lantas berpamitan, mencium tangan sang Papa, dan keluar dari mobil dengan jiwa siap bertarung.
***
"Kelas sebelas di sebelah mana?" Pengawas, seorang guru wanita, bersiap membagikan soal dan lembar jawaban.
"Di kanan, Bu."
Niken meraih lembaran soal, mengoper ke belakang untuk dibagikan ke teman-teman lainnya. Duduk di depan bukan masalah baginya, meskipun tidak yakin jika dapat menjawab semua soal dengan baik, tapi Niken tidak berniat sedikitpun untuk menyontek.
"Ada yang kurang?" Pengawas memastikan. Tak ada tanggapan, berarti semua sudah beres.
Menghela napas, Niken mulai mengisi lembar jawaban. Bukan, bukan menjawab soal. Terlebih dahulu ia mengisi kolom nama, nomor ujian, dan mata pelajaran. Setelahnya, barulah Niken membaca soal, sedikit mengernyit, dan menghitamkan huruf "C" pada lembar jawaban.
Ruang ujian nomor tiga lengang. Pengawas bermata empat jeli menelisik setiap penjuru ruangan. Sesekali ia berdeham, menghentikan gerak-gerik siswa yang mencurigakan.
"Absennya jalan terus!"
Niken mulai gusar, beberapa soal terlewati begitu saja, tidak tahu pasti jawabannya. Aliya tidak ada di ruangan ini, sahabatnya itu terletak di ruangan sebelah. Entah apa yang terjadi pada gadis minimalis itu, yang pasti tidak jauh berbeda dari kondisi Niken saat ini.
Saat hendak kembali fokus pada lembar soal, ekor mata Niken menangkap pergerakan kaki. Seseorang berjalan dan berhenti tepat di sebelahnya. Niken mendongak, dan menyeringai seketika.
Ngapain dia ke sini?
"Absen." Melvin menyerahkan kertas absen.
Niken segera meraihnya, tak sedikitpun mengacuhkan tatapan sayu cowok sialan itu. Ah, ini kabar buruk! Jika Melvin duduk di bangku paling belakang, di barisan paling kiri, itu artinya setiap hari dia yang akan maju, mengantarkan absen ke barisan selanjutnya. Niken mencebik. Siapa pula yang menempatkan namanya tepat di bawah nama Melvin? 'Kan, setiap hari--ujain--jadianya ia harus berinteraksi dengan sang peluka hati.
"Hei, ngapain kamu masih berdiri di situ?" Seru ibu pengawas.
"Eh, anu, ngasih absen, Bu."
Niken menengadah, menatap heran Melvin. Jadi, dari tadi dia masih berdiri di sini?
"Ngasih absen tapi berdiri mematung di sana. Kamu sengaja memperhatikan lembar jawaban temanmu, kan?"
Melvin menggaruk tengkuk. Semua mata teralihkan padanya, satu-dua siswa menjadikan momen ini sebagai kesempatan untuk melempar kertas--berbagi sontekan.
Duh, gue kan cuma mau lihatin Niken, bukan lembar jawabannya. Sembari menahan malu, Melvin kembali menuju bangkunya.
***
Waktu istrirahat, ujian pertama sudah terlewati. Dari lima puluh soal pilihan ganda, Niken hanya mampu menjawab tiga per empat secara yakin. Sisanya? Tawakal pada penguasa bumi.
"Hai, gimana ujiannya?" Aliya, selesai dari lembar jawabannya, segera mengunjungi ruangan Niken.
"Ya ... gitu deh, Al." Niken menjawab ogah-ogahan.
"Kantin, kuy! Aku nggak sarapan. Tadi aja pas lihat penghapus jadi kebayang kurma."
Niken terkekeh. Teringat salah satu iklan bulan ramadhan.
"Kamu ... udah baikan, Ken?" Aliya bertanya hati-hati. Mereka sudah tiba di kantin.
"Baikan apanya?" Niken bertanya. "Ambilin kecap, Al."
Aliya menyerahkan botol kecap, lalu mengaduk bola-bola daging di hadapannya.
"Ya, baikan hatinya."
"Oh, iya, udah baikan."
Aliya termangu, dia tahu Niken pasti berdusta. Bibir bisa berkata baik-baik saja, tapi hati menjerit menahan luka. Meski tidak mengalaminya secara langsung, meski tidak pernah terjun dalam dunia percintaan, tapi Aliya paham dengan kondisi sahabatnya saat ini. Jangankan Niken, dia saja sangat kecewa pada Melvin.
"Ngapain kamu di sini?" Aliya berkata tajam. Melvin tiba-tiba menghampiri mereka. Kantin mulai sesak.
"Gue mau ngomong sama Niken."
Niken mendelik, hendak menyergah, namun lebih dulu Aliya berseru.
"Enak aja. Pergi kamu! Jangan coba-coba deketin Niken!"
Persetan dengan tatapan yang kini terpusat pada mereka. Aliya tak 'kan membiarkan Melvin meyakiti sahabatnya lagi.
"Sori, Al, tapi lo nggak berhak melarang gue." Melvin mengangkat bahu, hendak duduk di sebelah Niken.
"Aku bilang pergi!" Aliya melepaskan sendok, menciptakan suara denting yang sangat nyaring. Bibi penjaga kantin sontak menoleh, takut-takut jika mangkuknya pecah.
Melvin tak peduli, segera duduk menghadap Niken. "Ken, kita harus bicara," bisiknya.
"Lo nggak denger apa yang Aliya bilang?" jawab Niken tajam.
"Dia bukan siapa-siapa, buat apa gue dengerin."
Niken menyeringai, tak terima dengan ucapan Melvin. Secepat kilat Niken bangkit, meraih pergelangan tangan Aliya, dan melesat pergi meninggalkan kantin. Jika Melvin tidak mau pergi, biarkan mereka yang menepi. Ingat, Aliya adalah sahabat terbaiknya. Aliya sangat peduli padanya. Demi melihat kemarahan Aliya tadi, Niken tak sudi berdekatan dengan Melvin.
"Aliya." Niken melepaskan genggaman tangannya. Mereka berhenti di dekat perpustkaan. Tersenyum, lantas dengan tulusnya Niken berkata, "Terima kasih."
-TBC-
Happy weekday, happy reading :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top