22. Pose yang Sempurna
Hari Sabtu, kali terakhir bagi Niken untuk berlatih. Sebenarnya masih banyak sekali waktu untuk latihan, hanya saja Niken tidak suka menunda-nunda waktu. Satu minggu ke depan akan ia habiskan untuk belajar, mengikuti UAS sebaik mungkin. Minggu berikutnya barulah ia bersiap-siap, melatih kemampuan menyanyi agar lebih prima tampil di atas panggung.
Untuk saat ini, satu hal yang harus Niken pelajari; menyesuaikan suara gitar dan vokal. Mungkin sangat mudah kedengarannya, tapi saat dicoba, permainan musik Niken menjadi hancur. Tidak pas, terdengar aneh, tidak sinkron, dan lain sebagainya.
"Enggak apa-apa, lo udah hafal kuncinya aja udah lebih dari cukup." Melvin menyemangati, tersenyum.
"Serius? Susah nggak menyesuaikan suara gitar dan vokalnya? Seminggu ke depan gue sama sekali nggak bakal pegang gitar."
"Dalam hidup, nggak ada yang susah kalo kita mau berusaha." Melvin mengangkat bahu. Seperti biasa, tidak ada siapa-siapa di taman ini, hanya mereka berdua.
"Enggak usah sok puitis! Geli tahu, nggak?"
"Tapi suka, kan?"
"Enggak, gue suka lo yang biasa. Eh?"
Melvin tersenyum lebar, sangat bahagia. Ternyata benar, tak perlu merubah diri untuk disukai. Cukup menjadi diri sendiri, karena masing-masing orang memiliki keunikan yang berbeda. Melvin misalnya, siapa sangka tingkahnya yang aneh dan enggak jelas itu dapat membantu Niken dari keterpurukan patah hati.
"Beneran, Ken?"
"Bu-bukan gitu maksudnya!" Niken gelagapan. Sederhana saja alasannya, Niken itu baperan, mana sanggup kalau setiap hari digombalin oleh Melvin.
Masih dengan hati yang cenat-cenut ulala yeye, Niken mengemaskan barang-barangnya. "Udah, ayo ke kelas."
"Eh, bentar, Ken!" sergah Melvin. Niken yang hampir bangkit spontan menghentikan gerakannya.
"Apa lagi?"
"Besok jalan, yuk!"
***
"Bukan lautan, hanya kolam susu. Lupain mantan, fokus sama aku."
Melvin bersenandung ria sembari menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Sesuai janji, hari ini dia dan Niken akan jalan bareng. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini, Melvin berusaha tampil sebaik mungkin. Sweater merah maroon, jeans hitam panjang, dan sepatu kets hitam menunjang penampilannya.
"Sejak kapan lirik lagunya jadi kayak gitu?" Cowok yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Melvin itu berkomentar.
"Sejak ... cowoknya Niken mutusin dia."
Pemuda yang sering Melvin panggil dengan nama Jojo itu tersenyum, turut senang atas kebahagiaan sepupunya. Bagaimana tidak? Ini merupakan kali pertama Melvin jatuh cinta. Cinta dalam arti yang sesungguhnya, bukan sekadar suka-sukaan macam anak SD zaman sekarang.
"Kencannya kok sore-sore gini, Vin? Kenapa nggak tadi pagi aja?"
Melvin balik kanan, menatap Jojo yang terduduk di atas spring bed. "Sesuai dengan tempat yang udah lo rekomendasiin, menurut gue, tempatnya itu lebih cocok dikunjungi sore-sore kayak gini. Omong-omong ... lo sendiri nggak keluar, Jo? Ini kan hari minggu."
Jojo menggeleng. "Enggak."
"Kenapa? Masih meratapi kisah cinta yang telah kandas?" Melvin mengangkat bahu, tertawa. Melihat ekspresi masam cowok bule di hadapannya, kekehan Melvin berangsur terhenti. Jojo baru saja putus dengan pacarnya beberapa hari yang lalu, dan dengan jahanamnya Melvin menyindir telak seperti itu.
"Udah, Jo, jangan sedih lagi. Mending sekarang lo doain gue supaya kencan sama doi lancar."
"Lo yakin mau kencan? Udah nyiapin kata-kata romantis?"
"Enggak perlu, Niken suka sama gue yang apa adanya." Melvin menggeleng bangga seraya membuka kunci ponselnya. "Eh, udahan ya, gue mau otewe sekarang. Ntar pulang gue bawa oleh-oleh."
Melvin melesat pergi ke luar pintu, begitu bersemangat untuk bertemu Niken. Jojo yang menyaksikan itu hanya bisa terapaku, mendoakan yang terbaik untuk sang sepupu.
***
"Kita mau jalan ke mana, Vin?" tanya Niken ketika Melvin tiba di rumahnya.
"Ke mana aja, yang penting jangan ke Samudra Patah Hati." Melvin terkekeh, masih teringat dengan ultimatum Bu Syahrini beberapa waktu lalu. Lima menit kemudian, kedua remaja tersebut sudah melesat membelah jalanan Ibu Kota.
"Udah, nggak usah malu-malu, peluk aja kalo mau." Melvin berteriak dari balik helm-nya.
Niken menyikut bahu Melvin dengan spontan. Berpikir sejenak, lantas menggerakkan kedua tangannya dengan ragu-ragu. Sepersekian detik kemudian, tangan mulus itu sudah melingkar di pinggang Melvin.
Tiga puluh menit berlalu, masih dalam posisi yang sama, laju sepeda motor mulai berkurang. Mereka berhenti tepat di pinggir taman, dekat dengan parkiran sepeda bergaya rumah Betawi. Niken segera melompat dari duduknya dan menyerahkan helm kepada Melvin. Sementara Melvin memarkirkan sepeda motornya, Niken lebih memilih untuk menelisik setiap sudut taman.
Pepohonan rindang tampak sejauh mata memandang, bangu-bangku berundak memenuhi area taman, tak lupa dengan gazebo yang turut menghiasi setiap sudut permukaan. Niken terkesimak, tepat di area tengah, terdapat sebuah kolam yang dipercantik dengan semburan air mancur. Niken tersenyum, Melvin benar-benar membuatnya terharu. Alih-alih membawa Niken ke mal yang membosankan, cowok imut itu malah membawanya menuju surga dunia. Taman. Tempat favorit Niken.
"Gimana, suka nggak?" ujar Melvin sembari melangkah menuju Niken. "Gue baru tahu, ternyata lo suka banget sama taman. Jadi, gue pilih tempat ini deh."
"Suka banget, Vin. Gue udah lama mau ke sini, tapi nggak pernah kesampean. Dan hari ini...." Niken ingin berteriak saat ini juga. Melihat beberapa petugas dan pengunjung taman lainnya, menjadi faktor terbesar Niken mengurungkan niatnya itu.
Tak sabar ingin menjelajahi taman seluas 7.500 meter persegi tersebut, Niken segera melangkahkan kaki, diikuti oleh Melvin dari belakang. Tak banyak yang mengisi kursi taman, para pengunjung lebih memilih gazebo dan kolam air mancur sebagai tempat menetap. Satu-dua di antaranya ber-pose di hadapan juru foto keliling.
"Ken ... Niken," panggil Melvin. Niken yang mendengar itu refleks menoleh. "Mau foto nggak?"
Menggeleng, Niken tidak tertarik untuk mengambil gambar dirinya. Cukup menikmati pemandangannya saja, tanpa harus diumbar ke media sosial. Hanya saja ... Niken tidak mengerti, bahwa dia tidak sendirian di taman ini. Ada Melvin. Melvin ingin mengabadikan momen ini melalui beberapa lembar foto.
"Eh, mau ke mana, Vin? Gue mau lihat ikan-ikan di kolam itu." Niken mengernyit heran ketika Melvin menarik pergelangan tangannya.
"Kita foto dulu, Niken. Buat kenang-kenangan."
Pasrah, Niken menuruti keinginan itu pada akhirnya. Memilih pohon besar sebagai latar belakang, keduanya ber-pose setelah mendapatkan seorang juru kamera. Niken kikuk, tidak terbiasa berfoto. Melvin yang gemas melihat gaya-gaya aneh itu lantas bertindak. Diraihnya pundak Niken untuk menghadap ke arahnya, sedikit merapat, dan segera meraih kedua telapak tangan Niken. Mereka saling berhadapan, pandangan mereka saling bertemu. Pose yang Sempurna.
-TBC-
Hm, semakin hari semakin berkurang aja jumlah viewers Vitamin Cinta. Antara kecewa dan termotivasi, entahlah. Rasanya nggak enak aja gitu, nggak ada yang nyemangatin. Padahal di draft udah mau masuk anti-klimaks, tapi rasa semangat udah hilang gitu aja.
Udahlah, aku mah, cuma bisa berdoa. Semoga ide bisa terus ngalir, dan bisa nyelesain naskah ini dengan baik, amin.
Huhu, tangan udah gatel mau publish cerita baru :')
Salam,
Vebri Saputra
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top