16. Semua ini Sudah Direncanakan

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, coba--"

"Kok nggak aktif, sih?" Niken memutuskan panggilan telepon.

"Belom sampe mungkin," balas Melvin. "Udah deh, mending lo ambil gitarnya sekarang! Lo udah ngabisin waktu lima belas menit, cuma buat ngeintrogasiin gue."

Niken memicingkan matanya, menatap curiga pada cowok bermata hitam itu. "Gue nggak bakal percaya, kalo belum denger sendiri dari mulutnya Kak Danu."

"Yaelah, Ken, nggak percaayaan banget sih jadi orang. Gue emang temennya Danu, dia yang nyuruh gue buat ngajarin lo main gitar." Melvin terus mencoba meyakinkan Niken. Entahlah, Niken begitu meragukan dirinya. Memang apa salahnya jika mereka berteman?

"Kalo gitu jelasin, gimana caranya ... lo bisa temenan sama Kak Danu? Lo itu anak SMA, sedangkan Kak Danu anak kuliahan. Apa yang bisa bikin kalian temenan?" tanya Niken seraya menopang dagunya dengan sebelah tangan. Melvin yang dipandangi seperti itu hanya bisa menelan ludah--gugup. Mata bulat itu seakan menelanjangi jiwa Melvin. Sangat intens!

"Ya ... gue juga nggak tahu." Melvin mulai gelisah. "Udah yuk, mana gitarnya?"

Niken mengembuskan napas, lelah dengan jawaban yang Melvin berikan. "Gue yakin, pasti ada yang nggak beres di sini. Mana mungkin lo nggak tahu awal mula bisa temenan sama Kak Danu."

"Danu bilang, kemaren lo gelisah banget karena takut nggak ada yang ngajarin main gitar. Sekarang udah ada cowok ganteng yang mau ngajarin, lo nggak mau. Gimana, sih?"

Niken tidak yakin jika cowok tengil di hadapannya itu adalah teman Danu. Tapi, dari semua yang dia katakan, sudah cukup membuktikan bahwa dia memang benar-benar berteman dengan Danu. Ah, sudahlah! Tidak penting siapa orangnya. Yang terpenting adalah ilmunya.

Enggak masalah sih, kalo Melvin yang ngajarin gue. Daripada sama temen-temen Kak Danu yang lain, bahkan ketemu aja nggak pernah.

Niken menghela napas pelan, lantas berujar, "Iya, gue ambil dulu gitarnya."


***


"Yang paling utama dalam belajar gitar adalah kesabaran dan ketekunan. Sama kayak dapetin hatinya doi, harus sabar dan terus berusaha."

Niken mengangkat sebelah alisnya dengan mulut yang sedikit ternganga. Mendengar ucapan Melvin, membuat perutnya terasa seperti digelitik. Konyol, tapi memang benar adanya.

"Enggak usah ngawur deh, geli gue dengernya."

"Cie ... pasti ngena banget, kan?" Melvin mangangkat alisnya naik-turun.

"Sialan!" umpat Niken spontan. "Buruan, pegel tangan gue kayak gini terus."

Melvin menarik sudut bibirnya sekilas dan mulai fokus dengan alat musik chordofon di dekapan Niken.

"Lo udah hapal kunci-kunci gitar?"

Niken enggan merespons sebenarnya, tapi mau tak mau ia harus menggeleng--malu. Menghela napas, Melvin mulai menjelaskan satu per satu. Mulai dari cara menyetem gitar, chord dasar, hingga kunci-kunci gitar. Niken sedikit bermasalah dengan cara menyetem gitar, menurutnya itu terlalu rumit dan susah dipahami. Melvin pun dapat memaklumi hal itu dan lebih memilih untuk lanjut ke cara memetik gitar. Toh, gitar yang Niken pakai memang sudah disetem--mungkin oleh Danu.

Latihan hari ini terasa begitu menyenangkan, Melvin tak henti-hentinya menciptakan guyonan pengocok perut. Iya, sempat-sempatnya dia bertingkah konyol di sela-sela aktivitas mengajar.

"Ken, muka lo serius banget."--Melvin menatap Niken--"Kayak lagi ngikutin acara Microphone Pelumas Hutang."

Niken terbelalak, dengan cepat ia merevisi ucapan Melvin. "Pe-lu-nas!"

Terlepas dari permasalahan gitar, terdapat satu hal baru yang Niken ketahui tentang Melvin. Teman barunya itu sangat tulus dalam berbagi, terlihat jelas dari caranya mengajar. Mulai dari menjelaskan tentang hal yang paling mendasar, hingga memperingati tentang hal-hal yang harus dihindari dalam memetik senar.

"Gimana belajarnya?" Meri muncul dari balik pintu, menghampiri kedua remaja yang tengah berduduk-duduk manja di teras rumahnya.

"Alhamdulillah, Tante. Niken orangnya cepat tanggap," lapor Melvin apa adanya.

"Alhamdulillah kalo gitu," balas Meri. "Nih, Tante bawain camilan buat kalian. Istirahat dulu bentar."

"Duh ... jadi ngerepotin, nih." Melvin tersenyum sopan.

Meri meletakkan nampan bawaannya ke atas meja, kemudian menatap anak muda bermata hitam di hadapannya. "Enggak ngerepotin, kok. Justru Tante senang, kamu mau bantuin Niken belajar gitar."

"Ilmu 'kan nggak baik dipendam sendiri, Tante. Lebih bermanfaat jika dibagi-bagi."

"Iya ... bener kata Melvin." Meri tersenyum puas seraya melirik ke arah Niken. "Ya udah, lanjutin ya belajarnya! Tante masuk dulu."

Melvin mengangguk cepat, tak lupa ucapan terima kasih ia sampaikan kepada calon mertua. Maaf, maksudnya Mama Niken. Menurut Melvin--dilihat dari sudut pandang seorang cowok-- tante Meri itu luar biasa. Tidak kalah cantik dari putrinya, juga tak kalah manis dari putranya. Oh, entah seperti apa rupa papanya Niken. Sehingga dapat berkolaborasi dengan tante Meri untuk menciptakan dua makhluk yang begitu memesona.

"Jangan cuma dilihatin, entar gorengannya baper." Niken terkekeh pelan.

Melvin yang tengah terbuai dengan pemikirannya itu kembali sadar, melongo dengan ucapan Niken.

***

"Hah? Serius?" Aliya mencoba memastikan ucapan Melvin. "Kok bisa?"

Tanpa mengehentikan aktivitas menyalin PR-nya, Melvin menjawab, "Danu yang minta."

"Ka-kalian saling kenal?" Lah, mengapa semua orang terlihat kaget ketika mengetahui bahwa Danu dan Melvin saling mengenal? Apa yang salah?

Malas menyahut, Melvin hanya menganggukkan kepala. Aliya tengah duduk di sebelahnya saat ini--bangku itu memang kosong, karena Melvin duduk sendirian. Di saat Niken belum datang seperti ini, Aliya selalu saja menghampiri Melvin. Mau bertanya mengenai Niken, begitu katanya. Karena selama tiga hari belakangan ini mereka tidak pernah lagi bertegur sapa.

"Lagian lo sih, pake acara daftarin Niken jadi perwakilan kelas segala. Kan jadi repot, setiap hari lo nanyain tentang dia ke gue mulu." Melvin menutup pulpennya, pertanda pekerjaan rumah baru selesai dikerjakan.

"Kamu juga dapet untungnya, kan? Bisa dua-duaan sama Niken setiap hari."

Melvin tergeming. Benar apa yang Aliya katakan itu! Jika saja dia tidak meminta kepada Nabila untuk menjadikan Niken sebagai perwakilan kelas, maka Melvin tidak akan mendapatkan pengalaman indah seperti kemarin. Mulai dari cara Niken memperhatikannya, mencoba menerapkan apa yang Melvin katakan, hingga kekehannya ketika Melvin bertingkah konyol. Ah, betapa beruntungnya Melvin ... dapat menyaksikan karya Tuhan yang begitu indah.

OMG! Aku nggak nyangka bisa kayak gini. Jauh lebih baik dari rencana yang udah aku susun! Aliya bersorak riang di dalam hati.

Ya, satu hal yang tidak Melvin ketahui; Semua ini Sudah Direncanakan.

-TBC-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top