15. Gue Gurunya
Niken kelimpungan, ia baru sadar jika sekarang sudah memasuki pertengahan Desember. Tidak, bukan Ujian Akhir Semester yang ia takuti. Sama sekali bukan. Niken lebih menghawatirkan kemampuannya dalam bermain gitar. Jika sudah mau UAS, itu artinya pesta akhir tahun semakin dekat dan Niken dituntut untuk segera menguasai kunci-kunci gitar.
"Do, si, la, so, fa--"
"Stop, stop!" potong bu Eli--guru kesenian, "Jangan ditahan suaranya, lepasin aja!"
Niken mengangguk, mengehela napas, lantas mencoba untuk yang kesekian kalinya. "Do, re, mi, fa, so, la, si, do ... do, si, la, so, fa, mi, re, do...."
"Nah, seperti itu!" Bu Eli menjentikkan jarinya ke udara. "Bagus, pich kamu udah bagus. Cuma ... percaya dirinya ditambah lagi, kamu kayaknya kurang PD."
Niken tersenyum sangsi. "Saya baru kali ini, Bu, tampil di depan banyak orang."
"Lho, ini kan belum tampil. Kita cuma berdua di sini, masa kamu udah gugup, Ken?"
"Suara saya jelek, Bu."
Bu Eli menggeleng pelan seraya menatap gadis yang berdiri di hadapannya itu. "Ken, suara kamu emang nggak semerdu Rosa, nggak juga selantang Bunda Rita, tapi kamu punya satu modal. Warna. Suara kamu sangat khas, orang tutup mata aja bisa tahu kalo itu suara kamu. Ya ... tinggal dilatih aja kemampuannya. Jangan sungkan dengerin lagu, karena dari sana kamu bisa belajar."
Niken tersenyum, beban berat yang ia pikul berangsur-angsur menghilang. Rasa percaya diri yang kemarin hampir tidak ada, kini kian bertambah. Dorongan dari guru muda itu sangat membantu.
"Baik, Bu. Saya akan terus berlatih." Niken mengangguk mantap. Bu Eli tersenyum, rasa bangga terlihat jelas dari pancaran matanya.
Sedikit kilas balik; tepat setelah jam pelajaran bu Eli habis, beliau memanggil Niken untuk menemuinya di ruang kesenian. Rupanya bu Eli mengetahui tentang terpilihnya Niken menjadi perwakilan kelas dan berinisiatif untuk sedikit memberi pelatihan.
Niken benar-benar dibuat bingung, dari mana wanita cantik itu mengetahui bahwa dirinya terpilih menjadi perwakilan kelas? Bukannya Niken terlalu percaya diri, tapi ... dia benar-benar merasa diistimewakan. Dari puluhan perwakilan kelas yang ada, hanya dia yang terpilih untuk mengikuti pelatihan.
"Omong-omong, lagu apa yang akan kamu bawakan untuk acara itu?" tanya bu Eli seraya menduduki kursi kayu di sampingnya. "Duduk aja, Ken, kamu pasti capek dari tadi berdiri."
Niken menghenyakkan diri di salah satu kursi--masih di hadapan gurunya--kemudian menjawab, "Saya masih belum tahu, Bu. Masih bingung mau pilih lagu apa."
"Gimana kalo saya yang nentuin? Takutnya sama dengan lagu yang perwakilan kelas lain bawakan."
Tunggu, jadi beliau mengetahui semua judul lagu dari setiap perwakilan kelas? Apa jangan-jangan semua perwakilan kelas sudah mendapatkan pelatihan yang seperti ini juga? Ah, Niken tidak jadi bergembira.
"Iya, Bu Eli aja yang nentuin." Sebenarnya Niken sedikit ragu, bagaimana jika ia disuruh untuk membawakan lagi Bang Jono? Niken mana bisa menyanyikan lagu yang seperti itu. Jika lagu yang dipilih adalah lagunya The Bangtan Boys, mungkin tidak akan terlalu sulit bagi Niken.
"Karena di pesta itu kebanyakan anak remaja, tidak memungkinkan jika kamu bawain lagu keroncong, apa lagi lagu religi. Jadi, Ibu pilihkan judul lagu yang sesuai dengan usia kamu, yang sedang populer saat ini." Bu Eli tersenyum. "Bukti, yang dipopulerkan oleh Virgoun. Gimana?"
"Bukti?" balas Niken heran. "Tapi kan, itu lagu cowok, Bu?"
Bu Eli mengangguk. "Yang nyanyiin emang cowok, syairnya pun emang ditujukan untuk cewek. Tapi kan, sudah ada versi ceweknya. Kamu belum pernah denger?"
Niken menggigit bibir bawahnya, matanya terpaku menatap lantai ruangan. Versi cewek? Niken mencoba untuk mengingatnya.
"Oh ... iya, iya. Saya pernah denger kok, Bu."
Guru kesenian itu "Oke, udah fix lagu itu. Oh iya, berhubung minggu depan sudah mulai UAS, jadi kita cuma bisa latihan hari ini aja. Untuk gitar ... kamu pelajari sendiri, ya?"
Setelah mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, Niken kembali menuju kelas.
***
"Assalamualaikum." Niken mengucap salam ketika melewati pintu. Tiba di ruang tengah, yang pertama kali Niken lihat adalah sebuah koper besar dan beberapa barang yang entah mau dibawa ke mana.
"Waalaikumsalam," sahut Meri seraya berjalan ke arah Niken. Niken mencium tangan mamanya dan langsung menghenyakkan diri di atas sofa.
"Ma, ini kenapa ada koper?" tanya Niken heran.
"Oh, ini ... Kak Danu mau liburan."
"Hah, Kak Danu? Ke mana?"
"Ke Pandeglang, Kakak mau ke pantai." Danu menyahut dari belakang sembari berjalan menghampiri barang-barangnya.
"Iiih, enak banget. Kapan perginya?"
"Besok pagi. Kakak pulangnya nggak bakal lama kok, jadi kamu nggak usah kangen!" Danu tertawa pelan, asyik menggoda adik kesayangannya.
Niken bergeming. Bukan, bukan karena takut berpisah, bukan juga karena iri tidak bisa liburan. Terdapat satu hal yang membuat Niken tidak bisa berkata-kata, yaitu....
"Kak," panggilnya, "Kakak tahun barunya di Pandeglang, kan? Kak Danu pulangnya tahun depan, kan?"
Danu mengangguk. "Hm."
"Ada apa, Ken?" tanya Meri ketika melihat tingkah aneh anaknya.
"Ma, kalo Kak Danu besok pergi, yang ngajarin aku main gitar siapa?"
Mustahil bagi Niken untuk belajar secara otodidak, hanya Danu-lah satu-satunya orang yang dapat membimbingnya. Selain bisa belajar kapan saja, belajar bersama Danu juga jauh lebih nyaman.
"Wajib pakai gitar ya, Nak?"
"Iya dong, Ma. Namanya juga accoustic" Niken menatap Danu dengan eskpresi memelas, berharap sang kakak mempunyai solusi untuk mengatasi ini.
"Gimana, ya? Enggak mungkin kalo Kakak batal liburan cuma karena mau ngajarin kamu main gitar." Danu menggaruk tengkuknya pelan. "Gimana kalo ... temen Kakak yang ngajarin kamu? Kami nggak terlalu dekat sih, tapi setahu Kakak dia itu jago main gitar."
Setelah melakukan perundingan yang cukup lama, akhirnya Niken setuju. Mulai besok dia akan belajar bermain gitar dengan temannya Danu. Awalnya Niken menolak, karena teman kakaknya itu adalah cowok. Tapi Danu terus meyakinkan adiknya, mengatakan bahwa temannya itu baik dan sangat menyenangkan.
***
Keesokan harinya, Danu sudah tidak ada ketika Niken pulang sekolah. Di satu sisi Niken senang, karena tidak ada lagi yang akan mengganggunya. Namun di satu sisi Niken kecewa, karena Danu tidak bisa mengajarinya bermain gitar. Niken hanya punya waktu tiga minggu untuk mengahapal kunci lagu "Bukti". Untuk masalah vokal, Niken sudah tidak terlalu memikirkannya.
"Ma, Kak Danu perginya sama siapa?" tanya Niken di sela-sela aktifitas menonton TV.
"Sama Dimas dan Bayu." Meri menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari layar kaca.
"Oh, yang suka jemput Kak Danu pas malam minggu itu?" Niken tertawa kecil. Danu itu kalau malam minggu sering keluar rumah, bukan untuk ngapelin cewek. Bukan, tentu saja bukan. Keluarnya Danu di malam minggu adalah untuk begadang di rumah temannya. Iya, entah apa yang mereka lakukan di sana, Niken sama sekali tidak ingin tahu.
"Ken, gimana sama gi--" belum sempat Meri menyelesaikan pertanyaannya, terdengar bunyi bel dari luar--pertanda ada tamu.
"Eh, nggak usah, Ma. Biar Niken aja," kata Niken saat melihat mamanya hendak bangkit dari sofa. Niken langsung melesat ke arah pintu dengan penuh semangat. Alasan? Tentu saja karena dia berpikir bahwa tamu itu adalah calon gurunya. Yup! Temen Danu.
"Waalaikumsa--loh, Melvin?" Niken menautkan alisnya, heran. Ada keperluan apa cowok itu datang ke rumahnya?
"Kok kaget gitu sih, mukanya? Gue keren, ya?" Melvin tersenyum geli.
Niken tercengang, memperhatikan penampilan Melvin saat ini. Mulai dari model rambutnya yang baru, kemeja dengan lengan satu per empat, hingga wangi semerbak yang melekat pada tubuhnya. Ini mau kondangan apa pergi umroh?
"Kepedean, lo!" Niken berjalan menuju kursi kayu di terasnya, diikuti oleh Melvin dari belakang. "Ada apa? Tumben ke sini."
"Gue ... kangen." Melvin tersenyum manja, memuat Niken gemas tidak keruan.
Benar kata orang, cowok yang baru pangkas rambut itu gantengnya tidak main-main. Melvin benar-benar berbeda hari ini, membuat Niken pangling dan salah fokus.
"Kalo nggak ada apa-apa gue mau masuk." Niken tak sanggup lagi. Kok dia senyam-senyum mulu sih?
"Eh, tunggu! Emang lo nggak dikasih tahu?"
"Apaan?" tanya Niken cepat.
Melvin mengembuskan napas. "Gue disuruh kakak lo ke sini."
"Disuruh Kak Danu? Ngapain?" Lagi-lagi Niken dibuat heran. Untuk apa Danu menyuruh Melvin menemuinya. Dan yang terpenting ... bagaimana mereka bisa kenal?
"Lo mau belajar main gitar, kan? Gue gurunya."
-TBC-
Bonus Pic*
-Danu Syahreza-
[A/N]
Maafkeun, wattpad suka error belakangan ini. Padahal lagi serius nulis. Niatnya juga pengen nerapin sisten "Daily update", tapi mau gimana lagi? Kondisi tidak memungkinkan 😷
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top