08. Lupain Kanza
"Ni ... ken?"
Suara itu, aroma itu ... tepat sekali! Aroma parfume itu sudah sangat Niken kenali. Wangi maskulin yang selalu memanjakan indera penciumannya. Aroma yang ia nikmati di setiap Senin sore, di ekskul Paskibra.
"Kak Aldi, kok bisa di sini?" Terdengar jelas nada keterkejutan dari suara Niken. "Bukannya Kak Aldi itu Cryophobia? Kok bisa berada di ruangan ber-AC kayak gini?"
"Oh, jadi gini," Mereka sedikit merapat ke rak buku, agar tidak menghalagi jalan. "sebenarnya...."
Niken mengangkat sebelah alisnya, masih menunggu ucapan kak Aldi yang tampak sengaja digantungkan. Cowok itu menggaruk tengkuknya, lalu mengulas segaris senyum di bibir merahnya.
"Sebenarnya ... a-aku ... laper."
Niken mengembuskan napasnya dengan kasar. Bagaimana bisa kak Aldi mengalihkan topik pembicaraan? Niken semakin penasaran, bukankah orang yang mengalami cryophobia tidak tahan dengan hawa dingin?
"Aku serius, Kak. Nanti kalo terjadi apa-apa sama Kak Aldi gimana?"
"Kamu laper nggak, Ken? Kita ngobrolnya sambil makan aja, gimana?"
Sebenarnya Niken baru saja makan saat hendak pergi ke toko buku, tapi ia tetap menganggukkan kepala.
"Cari jajan, yuk?"
"Hm ... boleh, tapi aku mau cari alat tulis dulu."
Kak Aldi tersenyum. "Aku temenin."
***
"Aku itu mengalami cryophbia, bukan cheimatophobia. Jadi nggak masalah kalo cuma berada di dalam ruangan ber-AC seperti ini."
"Emang bedanya apa, cryophobia sama ce-ce ... apa itu namanya?"
Kak Aldi terkekeh melihat Niken yang susah dalam melafalkan bahasa latin itu. "Jadi, cryophobia itu adalah ketakutan berlebihan terhadap cuaca dingin yang ekstrem, seperti salju dan es. Sedangkan cheimatophobia itu yang lebih ringan, tapi lebih menyusahkan. Penderitanya nggak bisa berada di dalam hawa dingin apa pun, bahkan suhu AC mereka nggak tahan."
Niken mengangguk tanda mengerti, bibirnya yang seksi dibentuk seperti lingkaran.
"Lagian kamu masih inget aja sama phobia Kakak yang satu itu."
"Bukan cuma aku, semua anak Paskib juga nggak bakalan lupa, Kak. Soalnya di hari pelantikan Ketum Paskibara, Kak Aldi ditakut-takutin pakai es batu oleh Kak Riko." Niken terkekeh mengingat masa-masa itu. Masa di mana kak Aldi lari-larian karena takut dengan sepotong balok es.
Beruntung setelah itu pelayan datang membawa pesanan mereka, sehingga Kak Aldi tidak harus menahan malu.
Tangan Niken bergerak mengaduk bola-bola daging dalam mangkuknya, sesekali ia meniup bola itu dan asap langsung mengebul ke udara. Iya, baksonya sangat panas, seperti baru diangkat dari lembah neraka.
Niken melirik isi mangkuk kak Aldi. Kuah baksonya sudah berubah menjadi merah, entah berapa banyak sambal yang ia tuangkan. Niken yakin jika ia mencicipi kuah itu, pasti langsung sakit perut. Kak Aldi saja masih suka mendesah kepadasan, apa lagi Niken yang tidak terlalu tahan dengan perihnya penantian. Eh, maksudnya dengan sambal yang pedas.
"Kak Aldi suka pedas?" tanya Niken tanpa menghentikan aktivitasnya--mengaduk bakso.
"I-iya...." Kak Aldi menyeruput es tehnya.
"Jadi inget sama Aliya."
Cowok manis di hadapannya menoleh dengan spontan. "Aliya? Temen kamu yang cantik itu?"
"Hah?"
"Eh, maksudnya yang cewek. Iya, yang cewek itu, kan?"
Sebuah senyuman jahil perlahan terukir di bibir Niken. Kak Aldi menegang. Salah tingkah melanda, gugup mendera. Ternyata seseorang bisa keceplosan hanya karena terlalu banyak makan sambal. Haha!
"Ke-kenapa, Ken?"
Niken masih tersenyum. "Enggak apa-apa."
***
Niken dan kak Aldi berpisah di parkiran. Kak Aldi sempat menawarkan tumpangan, tapi Niken menolaknya secara halus. Tidak mungkin kalau Niken ikut bersamanya dan meninggalkan Danu begitu saja. Saat Niken tiba di tempat terakhirnya dan Danu berpisah, kakaknya itu sudah duduk anteng di atas motor.
"Ayo pulang!" ajak Niken.
Danu menatap kearahnya dengan ekspresi datar, sedatar kayu triplek kering. Tampaknya ada yang tidak beres dengannya.
"Kenapa?"
"Katanya cuma bentar, ini udah satu jam lebih! Ke mana aja?"
Niken menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia memang sudah berjanji untuk tidak lama, bahkan Niken sendiri yang meminta Danu untuk tidak terlalu lama mengelilingi mall. Tapi Niken benar-benar lupa, dia terlalu asyik mengobrol dengan kak Aldi sampai tidak ingat waktu.
"Hehe, maaf. Tadi ketemu temen, jadi ngobrol dulu," jawab Niken apa adanya.
"Temennya cowok?" tanya Danu. Niken menekuk alisnya, heran. Kenapa Danu justru menanyakan jenis kelamin temannya?
"Iya, emang kenapa?"
"Buruan naik! Ada yang mau Kakak omongin sama kamu," ujar Danu seraya menyodorkan helm ke arah Niken.
Niken mengambil helm itu dan kembali bertanya, "Ngomongin apa? Tumben Kak Danu serius kek gini."
Danu menghela napas. "Banyak, buruan naik!"
Niken pun langsung menuruti perintah Danu. Kakaknya itu suka bercanda, jahil, dan bawel. Tidak biasa dia bersikap seperti ini--serius. Apa mungkin dia marah hanya karena Niken terlalu lama pergi? Entahlah, satu yang pasti; telah terjadi sesuatu padanya.
Malam ini langit begitu cerah, rembulan memancarkan sinar terangnya untuk dunia. Niken tersenyum sembari memandangi langit. Bintang-bintang berhamburan, membuat Niken semakin betah menatap ke atas sana.
Inilah alasan kenapa Niken lebih suka menaiki motor daripada mobil. Selain dapat memandangi langit, dengan menaiki motor juga akan lebih mudah menghindari kemacetan. Itu juga alasan, kenapa Niken selalu ingin diantar oleh kakaknya daripada papanya ketika pergi sekolah. Papanya itu pakai mobil, Niken tidak mau naik mobil ke sekolah karena jalan menuju sekolahnya selalu ramai. Jika naik motor bersama Danu, mereka bisa melewati jalan tikus--jalan pintas.
Sekitar kurang lebih dua puluh menit menyusuri jalanan ibu kota, akhirnya mereka tiba di pekarangan rumah. Danu langsung memasukkan motornya ke dalam garasi, sedangkan Niken sudah lebih dulu memasuki rumah. Di kamar, Niken langsung meletakkan barang belanjaannya di atas kasur, kemudian membuka pintu balkon dan menunggu Danu di sana. Niken penasaran, apa yang ingin Danu bicarakan?
Tidak perlu lama menunggu, Danu sudah tiba beberapa menit setelahnya. Balkon kamar Niken memang menjadi tempat favorit ketika kakak-beradik itu ingin membicarakan suatu hal. Terlebih lagi masalah penting, jika mereka mengobrol di ruang tengah bisa-bisa didengar oleh orang tua mereka. Jangan heran, dua bersaudara ini memang sedikit aneh.
"Ada apa?" Niken memulai pembicaraan. Danu sudah duduk nyaman di kursi balkon, sedangkan Niken hanya berdiri.
"Kenapa kamu nggak cerita?"
Niken mengernyit heran. "Cerita?"
"Kenapa kamu nyembunyiin semua ini, Ken?"
"Kak Danu kenapa sih? Dari tadi aneh banget."
"Kenapa kamu nggak cerita, Ken?!"
"Ce-cerita apa, Kak?"
"Aku mau tanya." Danu bangkit dari duduknya. "Kenapa akhir-akhir ini kamu jarang keluar rumah? Kenapa setiap malam minggu kamu cuma duduk di kamar?"
Niken mengernyit heran. "Ya ... nggak apa-apa, emang nggak boleh?"
Danu mengehela napas untuk yang kesekian kalinya. Niken mulai gelisah, sepertinya dia sudah mulai mengerti dengan arah pembicaraan ini. Sepertinya Danu akan membahas tentang....
"Di mana Kanza?"
Niken menegang di tempat, tampak jelas raut keterkejutan dari caranya menatap Danu. Dugaannya tepat, sangat tepat. Danu pasti akan bertanya mengenai Kanza. Kedua cowok itu memang memiliki hubungan yang cukup dekat, tidak jarang mereka bermain futsal bersama jika ada kesempatan.
"Di mana Kanza?!"
Niken bungkam, matanya sudah berlari-lari, Niken tidak mau menatap mata kakaknya, mata itu selalu berhasil membuat Niken tak berdaya. Niken bukannya tidak mau cerita kepada Danu, ia hanya takut jika Danu menceritakan semua ini kepada mamanya. Niken tidak mau Meri kecewa terhadap Kanza.
"Kanza udah pindah, kan? Kanza udah pergi, kan? Kenapa kamu nggak pernah cerita mengenai ini?"
"Ka-Kak ... tahu dari mana?"
Danu menghela napas kasar. "Kakak ketemu temen di toko sepatu tadi, dia temen Kakak main futsal. Setelah kami ngobrol cukup lama, ternyata dia ... sepupunya Kanza."
Niken sudah tak sanggup menahan gumpalan kristal di pelupuk matanya. Niken menangis detik itu juga. Seperti kata pepatah, "Sepandai-pandainya menyimpan bangkai, suatu saat baunya akan tercium juga". Dan kalimat itu tepat untuk mewakili keadaannya saat ini, rahasia yang selama ini Niken simpan akhirnya bisa terbongkar.
"Ken, kami semua sayang sama kamu, tapi kamu nyembunyiin masalah ini sama kita semua. Kamu pikir kami nggak berhak untuk tahu?"
"Bu-bukan gitu, Kak. A-aku bukannya nggak mau cerita...." Niken sesenggukkan. "Aku takut kalian kecewa, aku takut mama membenci Kanza!"
"Kamu masih ngarepin dia?" ujar Danu tak percaya. Niken mengangguk lemah, memang seperti itu adanya.
Danu menarik tubuh Niken ke dalam pelukannya. Danu sangat menyayangi adik satu-satunya itu. Ia tidak akan membiarkan laki-laki mana pun menyakitinya. Meski Danu suka menjahili Niken, tapi ia tidak pernah suka melihat adiknya menangis.
"Kenapa, Ken? Kenapa kamu mau nungguin orang yang udah jahatin kamu?" Danu mengelus sayang pundak adiknya.
"Aku sayang sama Kanza, Kak. Aku masih cinta sama dia."
Danu mendorong tubuh Niken dengan cepat. "Enggak, kamu nggak boleh kayak gini terus! Kamu nggak boleh bersikap bodoh! Lupain Kanza!"
Niken menggeleng tak terima. "Nggak, Kak! Aku nggak bisa!"
"Kalo gitu ... Kakak bakalan ceritain semua ini sama mama." Danu melangkahkan kakinya, namun lebih dulu ditahan oleh Niken.
"Please ... jangan, Kak! Mama nggak boleh tahu, aku nggak mau mama sedih cuma karena masalah percintaan anaknya!"
Danu berbalik, menatap tepat ke manik Niken. Mata cokelat mereka bertemu. Bola mata yang diwariskan dari sang papa menjadi ciri tersendiri bagi keluarga Widjaya.
"Kamu nggak mau buat mama sedih? Kamu nggak mau mama kecewa?" tanya Danu intens. Niken mengangguk mantap.
"Lupain Kanza!"
-TBC-
Drama banget ya? Aku juga ragu mau nge-publish part ini apa enggak. Tapi akhirnya dapat pencerahan, hehe. Jangan lupa tinggalkan jejak, ya! Gampang kok, kalo males komen, cukup tekan ikon "Bintang" aja. Itu udah lebih dari cukup 😁
Makasih yang udah baca!
❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top