07. Benar-Benar Tidak Menyangka
"Jadi, lo beneran nguntitin gue hari itu?"
Melvin menggeleng cepat. "Bukan nguntitin, cuma nggak sengaja lihat aja. Hari itu gue daftar jadi anggota Paskib, terus lihat lo sama Kak Tasya berantem di lapangan."
"Oh ... tapi, kenapa hari itu lo nggak langsung gabung?" tanya Niken sembari mengunyah ayam gorengnya. "Kok baru hari ini ikut latihannya?"
"Enggak bawa baju olahraga, Ken. Itu kan hari pertama gue pindah."
Niken mengangguk paham. Ia sangat menikmati makanannya. Entah kenapa ayam goreng itu terasa begitu nikmat ketika menyentuh lidah. Entah karena bumbunya, cara memasaknya, atau cara mendapatkannya. Iya, kan yang bayar Melvin. Kata orang, makanan akan terasa lebih nikmat bila didapatkan secara percuma--gratis.
"Ken, lo kan dua minggu sekali latihan Paskib, panas-panasan gitu. Tapi kenapa kulit lo tetap putih?"
Niken terkekeh. "Putih dari Hongkong! Ini udah item, tahu! Dulu kulit gue nggak beda jauh sama kulit Aliya, tapi sekarang? Jauh putihan dia!"
"Serius?" Melvin ikut tertawa. Dia sangat suka melihat Niken yang seperti itu, Niken yang tertawa lepas di hadapannya.
Niken mengangguk antusias. "Lo juga lama-kelamaan pasti item. Tunggu aja!"
Melvin menyeruput minumannya dan kembali berucap, "Enggak apa kalo kulit gue berubah, asalkan perasaan gue ke lo tetap sama!"
Jika saja tempat ini tidak ramai, mungkin Niken akan melemparkan botol saus ke wajah cowok di hadapannya. Bisa-bisanya dia gombalin Niken, Niken kan sudah ada yang punya!
"Ken," panggil Melvin lagi. "gue mau nanya."
"Apa?"
Melvin mengembuskan napas pelan, lalu bertanya dengan sangat berhati-hati. "Lo masih sayang sama Kanza?"
Niken hampir saja terbatuk, beruntung dia langsung meminum Smoothie Strawberry-nya. Niken mengehela napas dalam, Nafsu makannya musnah seketika. Tentu saja, Niken masih baper dengan balasan 'maaf' dari Kanza kemarin.
"Kenapa?"
"Kenapa apanya?" Melvin balik bertanya.
"Kenapa nanya kek gitu?"
"Eggak boleh, ya?" Sudut bibir cowok itu sedikit tertarik, Melvin tersenyum pias.
"Boleh, tapi gue nggak suka."
"Kenapa nggak suka? Lo beneran udah nggak sayang?"
Niken jengah, ia tidak mau obrolan ini terus berlanjut. Dengan cepat Niken mengambil tisu dari dalam tas lalu membersihkan kedua tangannya. Setelah selesai membereskan barang-barangnya, Niken langsung beranjak dari kursi, ia ingin segera pulang ke rumah.
"Gue mau balik."
"Habisin dulu, tanggung!"
"Gue udah kenyang."
"Mubazir, Niken!"
"Tinggal dikit."
"Mubazir, dosa!"
"Ya udah, gue bisa balik sendiri!" dengus Niken.
Melvin langsung bangkit dari duduknya. Ia tak boleh membiarkan Niken pulang sendiri, dia yang memaksa Niken untuk menemaninya makan, maka dia jualah yang harus mengantar Niken pulang ke rumah. Jadi, sebagai lelaki sejati, Melvin harus bertanggung jawab.
"Tunggu! Biar gue yang nganterin."
***
Niken memasuki pekarangan rumahnya setelah diantar pulang oleh Melvin. Setibanya di kamar, Niken langsung menutup pintu dan melepaskan tas dari punggungnya. Gadis itu melangkah menuju lemari, menyiapkan pakaian untuk ia kenakan sore ini. Setelah itu, Niken langsung melesat ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Selesai dengan pesta airnya, Niken bergegas turun ke lantai bawah. Entah kenapa tiba-tiba ia ingin menonton TV. Padahal sore-sore begini tidak ada tontonan yang bagus. Paling cuma talkshow setingan dan beberapa sinetron alay masa kini. Oh, jangan lupa dengan kartun anak-anak! Yang seperti itu juga ada di Indonesia.
Niken menghempaskan tubuh di atas sofa hitamnya, meraih remot TV dan langsung menekan tombol power. Niken mencoba mencari tontonan yang menarik.
"Seorang remaja, menikahi wanita yang berselisih usia 55 tahun lebih tua darinya. Pria berna--"
BEEP
"Ayo goyang dumang, biar hati senang, pikiran pun tenang, galau jadi hilang, ayo go--"
BEEP
"Betul, betul betul! Kak Ros memang ga--"
BEEP
"Jebret, jebret, jebret, jebreeeet! Pergerakan Febri Hariadi menjadi prahara perusak pertahanan rumah tangga Persela."
"Eh, berhenti-berhenti!" Seseorang berteriak dari arah belakang.
Niken menoleh, mendapati Danu tengah berlari ke arahnya. "Ada apa sih, Kak?"
"Nonton ini aja, jangan diubah!"
"Dih, nggak mau ah. Jebrat-jebret, jebrat-jebret."
Danu menghenyakkan dirinya tepat di samping Niken. "Mungkin bagi kamu nggak penting. Tapi bagi kami para cowok, banyak manfaat dengan menonton pertandingan sepak bola!"
Niken mengernyit heran. Jika bermain sepak bola secara langsung, mungkin banyak manfaatnya. Tapi jika hanya menonton dari layar kaca, manfaat apa yang bisa didapatkan? Sudah capek teriak-teriak enggak jelas, boros listrik pula. Iya, itu yang ada dalam pirkiran Niken.
"Kak Danu beneran mau nonton?"
"Iya nih, mana remotnya? Mumpung baru babak kesatu," ujar Danu tidak sabaran.
Niken tersenyum, senyuman yang sulit untuk diartikan. "Tapi ada syaratnya."
"Apa? Cariin kutu?"
"Sialan! Emang rambutku kutuan?" sergah Niken tak terima.
"Terus apa? Buruan, gih!"
"Nanti malem ... anterin aku ke mall, ya?"
Danu menghela napas lalu mengangguk. Itu jauh lebih baik daripada harus melewatkan pertandingan regu favoritnya.
"Yeay!" Niken bersorak ria. Setelah sekian lama, akhirnya ia bisa pergi ke toko buku lagi.
***
"Kak Danu mau ikut apa nunggu di sini?" tanya Niken seraya menyerahkan helm ke arah Danu.
Danu melepaskan helm dari kepalanya, kemudian menyambut helm milik Niken. "Kamu masuk aja ke toko buku, Kakak mau keliling-keliling bentar. Kalo udah selesai tinggal telepon aja! Nanti Kakak tungguin di sini."
Niken mengangguk paham. "Aku nggak bakal lama, jadi Kak Danu jangan jauh-jauh kelilingnya!"
Danu tersenyum dan langsung membawa motornya menuju parkiran. Berhubung tujuan mereka berbeda, jadi Niken langsung berjalan menuju toko buku--tanpa menunggu Danu.
Sesampainya di toko buku, Niken langsung tertarik untuk menjelajahi rak bagian depan--tempat di mana novel-novel best seller dipajang. Pada awalnya Niken cuma berniat untuk membeli beberapa peralatan sekolah, tapi tidak ada salahnya jika cuci mata sebentar. Jika tertarik, akan ia beli, jika tidak, ya tidak usah.
Tapi, bukan Niken namanya jika tidak tergiur setelah melihat tunpukan-tumpukan karya sastra itu. Baru saja matanya melirik ke rak novel fiksi remaja, ia langsung tertarik dengan salah satu buku yang terpajang di sana. Iya, hanya dengan melirik cover-nya saja Niken langsung tertarik. So, buat kalian para penulis di luar sana, jangan pernah meremehkan cover! Memang, sampul yang bagus tidak menjamin isi yang bagus. Tapi, bukankah sampul adalah poin utama untuk menarik minat para pembaca? Selain judul yang menarik tentunya.
Niken mendekat lalu mengambil buku itu. Tak lupa ia membaca blubr yang terdapat di bagian belakang cover. Ternyata temanya juga cukup menarik, Niken semakin yakin untuk membeli buku itu. Berhubung Niken tidak membawa banyak uang, maka ia hanya bisa membeli satu novel saja. Sisanya akan dipakai untuk membeli alat tulis. Bukankah itu memang tujuan utamanya datang kemari?
Niken beralih ke bagian belakang, mengedarkan pandangan, dan akhirnya menemukan tempat yang ia cari. Niken ingin membeli beberapa kotak pulpen dan penghapus tinta. Entah kenapa dia sangat boros mengenai dua benda itu. Terlebih lagi Aliya yang suka kehilangan pulpen, otomatis Niken yang akan jadi tempat peminjaman. Parahnya lagi, pulpen yang Aliya pinjam tidak pernah dikembalikan.
Karena terlalu asyik mengamati isi toko, Niken jadi lupa untuk memperhatikan langkah kakinya. Alhasil, tubuh kurusnya tak sengaja menabrak seseorang. Niken mengerjap cepat, aroma parfume yang khas seketika memanjakan indera penciumannya. Ya, Niken sangat mengenali aroma parfume itu!
Sontak saja Niken mendongak, mencari tahu sosok yang tak sengaja bertubrukan dengannya. Dan di detik itu juga Niken membelalakan matanya. Niken tidak menyangka akan bertemu dengan cowok itu di sini. Benar-Benar Tidak Menyangka!
-TBC-
Bonus Pic*
-Danurio Syahreza-
[A/N]
Aloha! Makasih ya udah nungguin update-an cerita ini. Gak nyangka udah 600 kali dibaca, semoga suatu saat bisa sampai 6K atau bahkan 6M. Hoho, amin.
So, jadilah pembaca yang baik dengan menekan tombol 'bintang' ^^
Thank's!
❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top