06. Makan Gratis

Semenjak mendapat balasan pesan dari Kanza beberapa hari yang lalu, Niken semakin menutup diri. Ia lebih sering pergi ke perpustakaan daripada pergi ke kantin, lebih suka bermain handphone daripada membaca buku, bahkan ia lebih suka mempelajari matematika daripada olahraha. Entahlah, ia benar-benar menghindar dari keramaian.

Kanza juga sangat menyebalkan. Malam itu dia memang membalas pesan Niken, tapi hanya untuk satu kali saja. Saat Niken mencoba menanyakan keberadaannya lagi, pesan itu sama sekali tidak terbaca. Aneh, setelah sekian lama tidak berkomunikasi, Kanza hanya mengatakan 'maaf'. Tentu saja ini bukan pertanda baik! Niken takut, bagaimana jika itu adalah pesan terakhir dari Kanza?

Oh, Niken benar-benar hancur. Hanya dengan membayangkannya saja Niken sudah seperti ini, bagaimana jika itu benar-benar terjadi?

Niken merogoh saku almameter-nya untuk mengambil ponsel. Ia menekan tombol power yang terdapat di sisi kanan ponselnya dan langsung membuka aplikasi chatting, siapa tahu Kanza sudah membalas pesannya? Namun nihil, tidak ada balasan yang ia dapatkan. Yang ada hanya broadcast dari official account kids jaman now. Iya, akun-akun yang suka memenuhi timeline dengan kata-kata kekinian. Seperti: 'Hidup itu sederhana. Goreng, angkat, lalu tiriskan'.

Niken bukan salah satu dari kaum alay, bahkan ia sendiri juga tidak tahu bagimana akun-akun itu bisa termasuk dalam daftar pertemanannya. Mungkin waktu itu Niken sedang khilaf, atau sedang kumat? Bisa jadi! Jika sedang baper dan galau Niken butuh hiburan, kata-kata receh seperti itu memang cukup membantu.

"Niken? Ngapain pagi-pagi gini kamu nyepam chat ke Kanza?" celutuk Aliya setelah melihat layar ponsel sahabatnya.

Niken tidak merespon, ia masih fokus pada gadget-nya. Hari memang masih pagi, belum sampai pukul tujuh. Tapi sejak awal Niken masuk kelas ia hanya diam, sama sekali tidak mengubris orang-orang di sekitarnya, termasuk Aliya.

Aliya menggaruk tengkuknya, kemudian menyentuh pundak Niken. "Kalau dia nggak ngabarin ya udah, jangan maksa sampe spam chat gitu! Cinta nggak ngajarin kita buat jadi pengemis."

Niken mendengar itu, Niken mendengar semua yang Aliya katakan. Namun ia sama sekali tidak berniat untuk membalasnya, ia tak mau emosinya melukai perasaan Aliya. Niken ingin sekali berteriak, "Lo mah gampang bisa ngomong 'udah lupain aja!' lo nggak ngerasain apa yang gue rasain. Ngelupain itu nggak segampang yang lo kira!"

Tapi bibirnya tidak sanggup melakukan itu. Jika orang lain, mungkin Niken bisa menyemprotinya dengan kata-kata itu. Tapi kalau Aliya? Niken tidak bisa! Aliya itu sahabatnya sejak SMP. Sahabat terbaiknya.

Karena tidak mau marah-marah saat hari masih pagi seperti ini, Niken pun melampiaskan emosinya dengan membuat status di sosmed. Kata-katanya sedikit alay, tapi sangat bermakna untuknya.

"Gue nggak peduli kalo mereka menganggap gue bodoh. Yang gue tau cuma satu, gue sayang elo."

Niken tersenyum miris membaca kalimat itu, tapi dia tetap memostingnya. Siapa tahu Aliya membacanya? Jadi, Niken tidak perlu repot-repot mengungkapkannya secara langsung. Dengan kalimat itu ia bisa menyampaikan isi hatinya, namun dengan bahasa yang lebih halus. Yup, majas ameliorasi.

"Good pagi, selamat morning, my teman-teman!" seru seseorang seraya berjalan melewati pintu kelas. Sepertinya kalian sudah bisa menebak siapa orang itu.

"Pagi, Niken cantik!" sapanya sembari menempatkan diri di bangkunya.

Niken masih tidak merespon. Kini ia tengah disibukkan oleh permainan Tab Sonic Bubble di ponselnya. Walaupun backsound-nya lagu-lagu dangdut, Niken tetap mencintai permainan itu. Gemas sama bubble, katanya.

"Ada apaan, sih? Kenapa muka lo berkerut gitu? Masa kalah sama pembalut yang anti-kerut dan anti-bocor?"

Aliya terbahak spontan. Tidak hanya Aliya, beberapa teman lainnya yang mendengar juga ikut tertawa. Sebenarnya Niken juga merasa geli, dia ingin tertawa, namun sebisa mungkin ia menahannya. Niken tidak butuh asupan komedi saat ini, yang ia butuhkan asupan vitamin. Iya, Vitamin Cinta misalnya.

***

Sinar mentari terasa begitu menyengat siang ini. Niken tengah berdiri di tengah lapangan dan melakukan beberapa gerakan LTBB. Hari ini adalah Senin dan Niken ada jadwal latihan Paskibra. Jujur, Niken masih terlalu malas untuk ikut latihan Paskib hari ini. Namun, mengingat kak Aldi yang terus memintanya agar ikut berkumpul, Niken jadi tidak enak jika tidak datang.

Kak Aldi itu orangnya baik dan sangat respect dengan semua orang, tidak pandang bulu. Entah itu teman, keluarga, guru, hingga kepada para junior-nya pun kak Aldi sangat sopan. Wajahnya pun tampak berkharisma, sangat cocok dengan jabatan yang ia pegang--Ketua Umum Paskibra.

"Tunggu!" Seseorang berlari dengan napas tersenggal-senggal ke arah kumpulan anak Paskib lainnya. "Maaf, Kak ... telat."

"Oh, nggak apa-apa, kok. Langsung masuk barisan aja!" balas Tasya ramah.

Kak Aldi mengela napas, kemudian tersenyum tipis. "Lain kali jangan telat lagi ya, Melvin?"

Melvin mengangguk dan langsung masuk ke barisan. Oh, Niken bisa gila kalau terus-terusan begini. Kenapa cowok itu ada di mana-mana? Ingin rasanya Niken pergi ke suatu tempat, terserah ke mana saja, Meikarta juga boleh.

Sejak kapan nih anak gabung jadi anggota Paskib? Niken membatin.

Hari semakin sore, aktivitas baris-berbaris pun selesai. Niken ingin cepat-cepat pulang ke rumah, ia sangat lapar dan ingin segera menyantap masakan mama tercinta. Padahal Niken sudah menghabiskan bekal yang ia bawa untuk kegiatan Paskib, tapi perutnya masih saja minta diisi. Akhir-akhir ini gadis itu memang lebih banyak makan. Apakah ada kaitannya dengan balasan pesan dari Kanza?

Entahlah, kalau memang iya, mungkin Niken akan terkena obesitas jika setiap hari Kanza mengiriminya pesan. Lalu, bagaimana jika itu adalah pesan terakhir dari Kanza? Apakah Niken akan mengalami gizi buruk? Lah, kenapa jadi bahas soal penyakit? Niken bisa hidup dengan sehat dan bugar tanpa adanya Kanza di dunia ini sekali pun!

Niken sudah berdiri tegap di depan gerbang. Saat ini ia mengenakan seragam olahraga, karena tidak memungkinkan jika latihan Paskibranya menggunakan almameter. Niken sudah menggenggam handphone silver-nya, ia sudah siap memesan ojek online. Namun, lagi-lagi hal itu terjadi. Seseorang menyalakan klakson, Niken terlonjak kaget, dan orang itu menawarkan tumpangan.

"Mau bareng?" tawar Melvin. Niken fokus dengan HP-nya dan sama sekali tidak mengubris cowok pecicilan itu. Cukup satu kali saja Niken berhasil ditaklukan, tidak untuk yang kedua kalinya. Lagi pula tidak ada alasan bagi Niken untuk menerima tawaran Melvin. Batere handphone-nya masih full, Niken takut kejadiaan seperti ini terulang lagi jadi ia selalu membawa powerbank kemana-mana.

"Ya elah, dikacangin. Mau ikut nggak, nih?"

"Nggak!"

"Serius nih nggak mau? Biasanya cewek itu suka yang gratisan." Melvin mulai merayu.

Niken tersenyum sinis. "Gue bukan cewek matre! Selagi gue masih punya duit, buat apa cari yang gratisan? Noh, mending lo ajak anak-anak yang lain! Banyak pasti yang mau dianterin sama lo. Lo kan populer di kalangan cewek-cewek alay!"

Itu adalah kata terpanjang yang Niken ucapkan hari ini.

"Gue. Mau. Lo. Niken!" balas Melvin penuh penekanan.

Niken mengernyit jijik. Tunggu, apa dia bilang, mau Niken? Apa-apaan itu? Niken bukan barang yang bisa diambil selagi diinginkan! Niken adalah Niken. Cewek cantik berambut panjang, berbibir seksi, dan bertubuh tinggi.

"Ayolah ... motor ini baru keluar dari bengkel, lo nggak mau cobain?"

"Bodo amat!" sergah Niken.

"Melvin!" Tiba-tiba seseorang beteriak dari arah belakang. Mendengar namanya dipanggil, Melvin menoleh spontan.

"Kak Tasya, kalian kenal?" kata Niken heran. Tasya masih lumayan jauh, dia tidak akan mendengar obrolan Niken dan Melvin.

Cowok itu mengedikkan bahunya. "Biasa ... cowok ganteng memang banyak penggemar!"

Niken ingin muntah, tapi tidak bisa. Detik itu juga Tasya sudah sampai di sampingnya--di samping motor Melvin. Ekspresinya terlihat aneh, tidak seperti biasanya. Tasya yang ini lebih banyak tersenyum, senyum yang menjijikan menurut Niken. Fix, ada yang tidak beres dengan nenek lampir itu.

"Kak Tasya ... belum pulang?" Niken berbasa-basi.

"Eh, Niken? Ini baru mau pulang." Tasya menyengir kemudian menatap Melvin. "Melvin, gue nebeng, ya?"

Oh, ini dia! Pantas saja sejak pertama melihat Melvin ia selalu tersenyum, bahkan di saat Melvin telat latihan pun ia bersikap santai. Coba kalau Niken atau junior lainnya, sudah habis dibentak-bentak.

"Lo itu nggak disiplin banget, sih! Paskib nggak nerima orang-orang yang suka telat dan tidak mengahargai waktu!" Itu kata Tasya ketika mendapati junior-nya telat.

Tapi, kenapa kalimat itu tidak ia berikan kepada Melvin? Niken mulai curiga, sepertinya Tasya sedang jatuh cinta. Iya, jatuh cinta. Kalo bukan sama Melvin, ya sama hartanya. Tiba-tiba ide jahil melintasi pikiran Niken. Tasya itu selalu bisa buat orang emosi, tapi dia juga mudah emosi. Jadi, Niken akan memanfaatkan kesempatan ini.

"Eh, maaf, Kak. Tapi Melvin pulangnya bareng gue, kita mau kerja kelompok habis ini." Niken memulai aksinya.

Ekspresi Tasya berubah seketika, ini adalah kesempatannya untuk gebetin anak baru yang cakepnya keterlaluan itu. Tapi Niken mencoba menggagalkan rencana awalnya.

Enggak, ini nggak boleh dibiarin! Batin Tasya menggerutu.

"Kerja kelompok jam segini? Sore amat!" dengus Tasya.

"Iya ... ada masalah?" balas Niken dengan nada menyindir. Bagus Niken, perkataanmu itu sangat bagus! Tasya mulai berapi-api.

"Berdua aja, Vin?" tanya Tasya pada Melvin. Melvin yang sedari tadi bengong langsung tersadar.

"I-iya, Kak, berdua. Maaf nggak bisa nganterin," jawab Melvin sopan. Melvin bahagia sekali saat ini, Niken tidak merelakannya pergi berdua bersama wanita lain. Apakah Niken cemburu? Entahlah, yang jelas Niken berani berbohong pada Tasya, padahal tugas itu sudah lama dikumpulkan. Iya, tugas resensi yang dikerjakan di rumah Niken beberapa hari lalu. Selain yang itu, mereka tidak pernah mendapatkan tugas kelompok lagi akhir-akhir ini.

Tasya terdiam di tempatnya, wajahnya yang cantik ditekuk dalam-dalam. Niken hanya bisa terkikik dalam hati, kapan lagi bisa mengerjai senior galak? Niken langsung menaiki motor melvin, duduk menyamping dengan posisi merapat. Dia terpaksa melakukan itu, demi Tasya!

"Duluan, Kak Tasya...." Niken melambaikan tangannya untuk Tasya. Saat motor Melvin sudah bergerak, Niken mengedipkan sebelah matanya. Mereka sudah melesat, meninggalkan Tasya sendiri di depan gerbang. Dari kejauhan Niken dapat melihat Tasya menghentak-hentakan kakinya ke tanah, sepertinya dia sangat kesal.

Yes, berhasil!

"Senang banget?" kata Melvin. Niken hanya bisa berdehem dari belakang. "Tenang aja, gue nggak bakal anterin kak Tasya pulang, kok. Gue cuma anterin lo aja, jadi lo nggak usah cemburu!" ujar Melvin penuh percaya diri.

Niken melongo. Sepertinya ada kesalahpahaman di sini, Melvin pasti berpikir yang aneh-aneh. Ya, Niken yakin mengenai itu. Melvin adalah cowok paling absurd yang pernah ia temui. Kalian ingat saat Niken ingin mengucapkan terima kasih padanya satu minggu yang lalu? Saat itu Melvin mengira bahwa Niken mau menembaknya. Tentu saja itu tidak benar. Mustahil!

"Sialan! Jangan terlalu PD, woy!" Niken menggerutu tak terima. Sedangkan yang digerutui hanya terkekeh dibalik kemudinya.

Motor hitam Melvin masih melaju menyusuri jalan raya. Hingga tiba-tiba Niken merasakan sesuatu yang ganjil. Ini bukan jalan menuju rumahnya! Rumahnya masih cukup jauh di depan, tapi sekarang mereka justru berbelok ke arah kiri. Niken bingung, cemas juga sebenarnya. Bagaimana jika anak baru ini menculiknya? Siapa tahu, kan?

"Mau ke mana?" tanya Niken cepat. "Kenapa belok sini? Rumah gue cuma bisa dicapai lewat jalan lurus, nggak ada jalan pintas!"

Melvin tidak menyahut, motor hitamnya menepi ke sebuah caffe. Tunggu, caffe? Untuk apa Melvin membawanya ke sini?

"Nugroho! Ngapain lo bawa gue ke sini? Gue mau balik!" protes Niken setelah turun dari motor.

Melvin menyengir manja. "Gue laper, Ken. Temenin gue makan ya?"

"Dih, apaan? Nggak mau ah! Gue mau balik!" Niken masih ogah.

"Ntar gue anterin, kok. Tapi temenin gue makan bentar ya?" Melvin mencoba merayu. "Lo laper nggak? Gue traktir deh!"

Niken menggaruk tengkuknya. Sedari tadi dia memang lapar, sangat. Tapi ... dia bisa makan di rumah, kok! Masakan mamanya tidak kalah enak dengan masakan juru masak di caffe-caffe. Tapi perutnya sudah keroncongan, cacing-cacing sudah berdemo menuntut kenaikan UMP. Ups!

Aduh, terima nggak ya? Niken berpikir dalam hati.

"Kalo lo nggak jawab, berarti lo mau!" Melvin menyimpulkan.

Niken menghembuskan napasnya pelan. Lapar sudah mengalahkan egonya. Iya, ironis sekali, bukan? Tapi tidak apa, sudah terlanjur basah sekalian saja mandi. Jangan lupa pakai shampoo dan conditioner, biar rambutnya tidak rontok dan patah-patah! Dengan separuh hati Niken menganggukan kepalanya. Kapan lagi, bisa Makan Gratis?

-TBC-

Maaf ya kalo enggak menarik, hoho 🙈

Don't forget to vote if you like the story! ^^


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top