05. Maaf

Niken menulis sesuatu di halaman belakang buku tulisnya. Entah apa yang cewek itu tulis, ia hanya ingin menghilangkan rasa bosan, karena sedari tadi hanya memperhatikan bu Neti yang ber-khotbah di depan kelas. Eyeliner-nya mengganggu pengelihatan Niken. Yang kiri agak panjang, yang kanan terlalu tebal. Sama sekali tidak sinkron dan simetris. Membuat Niken muak dan ingin segera memperbaikinya. Lah?

"Nah, tugas untuk minggu depan...."

Suara desahan malas disertai helaan napas panjang terdengar seantero ruangan. Bu Neti hanya bisa memasang senyum prihatin yang dibuat-buat. Sebenarnya bu Neti adalah guru yang baik, dia selalu menjelaskan materi di setiap pertemuan. Namun, karena penjelasannya itu jualah semua murid merasa bosan dan suntuk di kelas. Lama banget jelasinnya!

"Ini adalah tugas kelompok," kata beliau. "Tapi sebelum saya membagikan kelompoknya, saya akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai tugas yang saya berikan. Untuk tugasnya yaitu meresensi novel. Saya yakin kalian semua pasti sudah mengerti apa itu resensi, jadi saya tidak akan menjelaskan lagi. Untuk novelnya, kalian bebas memilih novel dari genre apa saja, mulai dari fiksi maupun non-fiksi. Paham?"

Semua menyahut dengan kompak. Bu Neti sudah menjelaskan panjang lebar mengenai resensi, tidak mungkin jika mereka tidak mengerti.

"Baiklah, saya akan langsung membagikan kelompoknya sekarang." Bu Neti meraih buku absensi dan langsung membukanya. "Kelompok satu. Lidia Wati, Melvin Arsha Nugraha, dan Niken Aldira Widjaya."

Niken terhenyak mendengar penuturan itu. Kenapa harus Melvin? Tidak bisakah sehari saja cowok tengil itu menjauh darinya? Ah, lupakan! Jika bu Neti yang berbicara, maka tidak ada yang bisa menentangnya. Lagipula ada Lidia di sana, sang Juara Kelas Bertahan.

Bu Neti terus membagi kelompok, hingga akhirnya terbentuklah tiga belas kelompok. Terdapat satu kelompok yang beranggotakan empat orang dikarenakan jumlah mereka empat puluh siswa. Dan Aliya sukses membuat Niken merasa iri, karena Aliya tergabung dalam kelompok empat orang itu.

"Ciee yang satu kelompok, ciee...," goda Aliya.

Niken hanya mengerucutkan bibirnya karena kesal. Kejadian kemarin mendadak kembali memenuhi pikirannya, Niken masih kesal dengan kelakuan Melvin. Sedangkan cowok absurd itu tengah sibuk membaca Surah Al-Fatihah. Dia benar-benar bersyukur!

"Sssht ... Niken!" Suara itu berasal dari sebelah kanan Niken. Ia menoleh dan mendapati Melvin yang memanggilnya.

Niken menaikkan alisnya tanda bertanya. Melvin pun menyodorkan beberapa bungkus permen karet pada Niken. Ia berujar, "Mau?"

Niken melirik permen itu kemudian menoleh ke arah Aliya. "Al, Aliya! Mau permen nggak?" bisiknya.

Aliya menoleh spontan, mata minimalisnya langsung berbinar saat melihat warna-warni bungkus permen di tangan Melvin. Dengan senang hati dan penuh semangat, Aliya langsung bersiap meraih permen itu.

"Mau!!!"

Melvin menarik tangannya cepat. "Eh, eh, ini buat Niken."

"Iih ... Melvin, bagi satu!" kata Aliya. Ia tidak sadar kalau tadi ia setengah berteriak, membuat bu Neti dan 39 siswa lain melirik ke arahnya.

"Aliya, Melvin!" panggil guru Bahasa Indonesia itu. "Kalian ribut sekali. Jika kalian tidak mau belajar, silahkan angkat kaki dari kelas ini!"

"I-ini, Bu, si Melvin makan permen karet!" Aliya cari aman.

Bu Neti mendelik, berusaha memberikan ekspresi paling sangar yang ia punya. Tapi sayangnya itu tidak berhasil. Dengan make up yang seperti itu, membuat beliau lebih terlihat seperti Mimi Peri versi jumat keliwon.

"Sayang, Bu, masih manis," sahut Melvin. Seketika satu kelas tertawa, membuat bu Neti semakin berapi-api.

"Eh, iya, Bu. Saya buang deh." Melvin langsung bangkit dari duduknya ketika bu Neti hendak melempar pengahapus papan ke arahnya. Dia berlari ke luar kelas dan membuang permennya ke tempat sampah. Setelah membuangnya Melvin kembali melangkah menuju kursi dan duduk anteng di sana.

Beberapa menit berlalu, hingga bel pulang sekolah berbunyi. Dengan semangat '45 Niken dan teman-temannya memasukkan buku ke dalam tas dan menyalami bu Neti secara bergantian. Dalam sekejap kelas menjadi kosong. Kalau urusan pulang mereka memang yang nomor satu, jadi kalian tidak perlu heran.

"Lidia?" ujar Niken saat mendapati wanita berkerudung tengah berdiri di luar kelas. "Belum pulang?"

Gadis itu hanya menggeleng. Sedikit informasi, Lidia memang sangat terkenal dengan sifatnya yang dingin, cuek, dan irit bicara.

Untung pinter, batin Niken.

"Kenapa belum pulang?" tanya Aliya.

"Kami mau kerja kelompok!" sahut seseorang dari arah belakang. Melvin. Ia berjalan ke arah tiga cewek itu.

"Hari ini?" Niken mengernyit heran. "Dikumpulnya kan lusa."

Lidia pun angkat suara. "Aku bisanya hari ini, Ken, besok ada ekskul Rohis."

Niken mengangguk paham. Jujur, Niken masih terlalu lelah untuk mengerjakan tugas itu, tapi ia tidak mau egois. Jika Lidia tidak punya waktu besok, mau tak mau tugas itu harus dikerjakan hari ini juga. Bukankah itu jauh lebih baik daripada mengerjakannya berdua bersama Melvin?

"Kita mau beli novel di mana?" tanya Melvin. Pertanyaan retorik, nenek-nenek saja tahu kalau beli buku, ya pasti di toko buku.

"Nggak usah beli, gue punya banyak, kok. Kita tinggal pilih aja mau yang genre apa."

"Jadi, kerja kelompoknya di rumah lo?"

Niken mengangguk.

"Ya udah, ayo! Sekalian nemuin calon mertua." Melvin begitu excited.


***

Pukul satu lewat tujuh belas menit dan mereka sudah tiba di kediaman Niken. Awalnya mereka ingin menaiki taksi online karena tidak ada satu pun dari mereka yang membawa kendaraan. Namun, Lidia melarang dan memutuskan untuk menelepon sopir pribadinya. Maklum, holkay.

Niken juga pada awalnya ingin mengajak Aliya untuk menemani mereka kerja kelompok, tapi Aliya menolak secara halus. Capek katanya. Jika sudah begitu, Niken bisa apa?

"Kita bagi tugas." Niken mulai mengatur jalannya aktivitas. "Lidia, lo yang buat ringkasan secara garis besar, memberikan penilaian buku, dan menonjolkan sisi lain dari novel yang diresensi."

Lidia mengangguk paham. Oh, dia benar-benar murid teladan! Mungkin, Lidia tidak akan menolak jika Niken memberikan semua tugas kepadanya.

"Tugas gue yaitu menentukan judul resensi, membuat informasi umum tentang buku yang diresensi, serta EYD dan sistematika resensi," sambung Niken. Seperti tanpa dosa cewek itu membagikan tugas seenak jidatnya. Niken sangat gemar membaca novel dan kebetulan tugas yang ia pilih berkaitan erat dengan dunia kepenulisan.

"Terus, gue ngapain?" tanya Melvin seraya mengunyah biskuit kelapa yang tersedia di atas meja.

"Jaga lilin!"

Melvin terbatuk saat itu juga dan langsung menyeruput tehnya. "Gila ae lo!"

"Udah tenang aja! Tugas lo yang paling gampang, cuma dua," dengus Niken. "Penilaian dari segi kelengkapan karya, sama mengulas manfaat buku tersebut bagi pembaca. Bisa, kan?"

Melvin mencelupkan biskuitnya ke dalam teh hangat, menunggu beberapa detik dan langsung melahapnya.

"Jangan salah! Gini-gini nilai Bahasa Indonesia gue 98, lho...." Melvin mengangkat dagunya bangga. "Percaya?"

Niken tersenyum sinis. "Enggak lah!"

"Sama!" Melvin terbahak keras, bersalto manja di atas sofa. Untung Meri sedang ada di belakang, sehingga ia tidak merasa terganggu.

"Shhht! Lidia lagi fokus baca, jangan berisik!" pinta Niken.

Melvin manyun-manyun tidak jelas, lalu memasukkan biskuit kelapa ke mulutnya lagi, kali ini langsung tiga biskuit bersamaan.

Niken tidak peduli dengan cowok yang satu itu, ia lebih memilih untuk memperhatikan Lidia. Gadis berhijab itu masih fokus membaca novel dengan judul Ayat-Ayat Cinta 2. Mereka sengaja memilih novel itu, karena banyak pelajaran yang bisa diambil dari buku karangan Habiburrahman El Shirazy tersebut. Hitung-hitung dapat mengurangi beban yang Melvin tanggung, seperti yang kalian tahu, Melvin medapatkan tugas 'mengulas manfaat buku bagi pembaca'.

Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa hari sudah semakin petang. Mereka pun menghentikan acara kerja kelompok meskipun masih ada bagian yang belum diselesaikan. Tidak usah ditanya, tentu saja bagian tugasnya Melvin.

"Ya udah, besok kita lanjutin aja di perpustakaan," usul Niken.

Lidia mengangguk tanda setuju. Berbeda dengan Melvin yang justru mengajukan protes.

"Kenapa nggak lanjutin aja? Nanggung!"

"Lo mau di sini semaleman?"

Melvin mengangguk imut. "Mau dong, asal sama elo!"

"Najis, Nugroho!" celutuk Niken dan mendapatkan cengiran aneh dari Melvin.

"Aku balik dulu," kata Lidia. Lidia pun membereskan barang-barangnya dan segera berpamitan dengan mamanya Niken. Setelah itu ia langsung menelepon sopir pribadinya dan menunggu di depan gerbang rumah Niken. Tak butuh waktu lama, jemputan Lidia datang dalam beberapa menit dan membawanya melesat pulang ke rumah.

Niken yang berdiri di halaman rumahnya hanya bisa melambaikan tangan dan tersenyum ramah. Jika terus seperti ini, Niken dengan senang hati ingin berada dalam satu kelompok yang sama dengannya. Lidia itu tidak pernah mengeluh dengan tugas yang ia dapat, dalam mengerjakannya pun tidak membutuhkan waktu lama. Sudah cantik, kaya, pintar pula. Niken jadi iri!

Saat hendak memutar badan, Niken dikejutkan oleh penampakan yang sangat, hm ... menjijikan!

"Itu muka kenapa? Jelek banget," ujar Niken ketika mendapati Melvin tengah berdiri di belakangnya, dengan wajah yang ditekuk.

"Apaan sih?" Niken dibuat bingung olehnya. Kenapa tiba-tiba cowok itu menampilkan ekspresi sedih? Jangan-jangan dia kerasukan arwah janda ngenes beranak sembilan?

"Balik, gih! Udah sore!" ujar Niken. Mengusir? Bisa dibilang begitu.

Akhirnya Melvin berseru, "GUE BALIK NAIK APAAAAA?"

***

Malam ini terasa sangat menyenangkan bagi Niken. Papanya--Widjaya--pulang lebih awal dari biasanya. "Pekerjaan di kantor sudah selesai," begitu katanya. Niken tidak mau banyak tanya mengenai itu, yang terpenting baginya adalah ... papa sudah pulang!

Kebahagiaan itu semakin bertambah karena Meri memasak makanan yang sangat banyak. Berbagai jenis makanan sudah tersedia di atas meja makan, tanpa ba-bi-bu Niken langsung mengambil nasi dan lauk kesukaannya. Ayam goreng dan sambal teri. Iya, dari banyaknya jenis makanan, Niken hanya tertarik dengan dua hal itu.

Di samping Niken ada Danu yang tengah menyendok sayuran, dan di hadapannya sudah ada kedua orang tua mereka yang sedari tadi memperhatikan anak-anaknya.

"Enggak mau sayur?" tanya Danu.

Niken menggeleng cepat. "Enggak!"

"Ayam doang?"

"Enggak, kok! Ini pakai sambel."

"Kenapa sih nggak suka sayur? Lihat tuh, badan kamu makin kurus!" Danu malah mengomel.

"Bawel banget, sih! Kalo lagi makan itu nggak boleh ngomong!" gerutu Niken.

Saat Danu hendak mengeluarkan suara lagi, tiba-tiba Widjaya menyelak. "Udah, Nu. Enggak apa-apa kalo adikmu nggak mau, jangan dipaksa! Entar dia ngambek lagi."

"Iiih ... Papa!"

"Tuh, kan?" celutuk Widjaya.

Danu terkekeh geli. "Gak usah manyun-manyun! Mirip angsa."

Plak

Niken menabok lengan Danu dengan kesal. "Nyebelin banget sih!"

Mereka semua tertawa melihat tingkah Niken. Niken sendiri masih menekuk wajahnya. Ia benar-benar kesal dengan kakaknya itu, tidak pernah sehari saja tidak menganggu Niken. Mulai dari menggacaukan acara nonton Drakor-nya, mencuri persediaan pulpennya, hingga meminjam maskaranya tanpa izin.

Iya, Danu itu terkadang suka memakai maskara saat pergi ke kampus. Usut punya usut, ternyata Danu itu memiliki sahabat yang bulu matanya panjang-panjang semua. Merasa minder, Danu pun berusaha untuk memiliki bulu mata yang sama seperti para sahabatnya itu.

Aneh? Tentu saja! Bukan Danu namanya jika tidak bertingkah konyol. Coba kalian pikir, cowok mana yang pakai maskara saat pergi ke kampus? Cuma Danu! Anyway, Niken tetap menyayangi cowok bernama lengkap Danurio Syahreza Widjaya itu.

Setelah menyelesaikan acara makan malam bersama, Niken dan Meri segera merapikan meja makan dan sisa-sisa makanan. Setelah semuanya beres, Niken beranjak menuju kamar seraya mengikat rambut panjangnya dengan karet pengikat rambut.

Niken menutup pintu kamarnya dan melangkah menuju meja belajar untuk mempersiapkan buku yang akan ia bawa besok, sesuai jadwal yang telah ditentukan pastinya. Mendadak Niken teringat dengan nasib Melvin tadi sore, Melvin tidak bawa motor sehingga kesusahan untuk pulang.

FLASHBACK ON

"GUE BALIK NAIK APAAAAA?"

Niken melongo untuk beberapa detik, lalu terbahak dengan sangat keras. Ia benar-benar tidak kepikiran dengan cowok astral yang satu itu. Pantas saja wajahnya ditekuk begitu, ternyata dia tidak bisa balik!

"Naik angkot aja!" ujar Niken sembari menetralkan tawanya.

"Emang ada angkot jam segini?" balas Melvin.

"Enggak ada!"

Kali ini Melvin yang melongo dan Niken kembali terbahak sampai perutnya terasa sakit. Melvin pun ikut tersenyum. Melihat Niken tertawa lepas seperti itu, membuat hatinya terasa adem. Berasa minum larutan penyegar cap muka dua.

"Ken," panggilnya. "Kanza bodoh banget ya, ninggalin kamu?"

Niken bungkam, tawanya terhenti seketika. Raut wajah Melvin tampak serius, sangat berbeda dari biasanya. Kenapa tiba-tiba Melvin berbicara seperti itu? Lagi pula, dari mana dia mengetahui tentang hubungannya dengan Kanza?

"Tau dari mana?" tanya Niken datar.

"Ya iyalah, cowok yang ninggalin cewek se--"

"Bukan itu!" potong Niken. "Tau dari mana kalo gue pacarnya Kanza?"

Melvin tersenyum geli. "Lo kan pernah bilang 'gantengan juga Kanza' saat di perpus. Sampai lo berani berdusta kek gitu, berarti Kanza orang penting buat lo."

"Gue gak berdusta, kok! Faktanya emang gitu, gantengan Kanza daripada lo!" balas Niken cepat. Ia tak terima jika pacarnya kalah ganteng dengan anak baru ini!

Pacar? Tidak salah, Ken? Sepertinya tidak.

"Yaelah, Ken. Gue kan cuma kalah tinggi doang sama Kanza. Kalo dinilai dari tingkat keimutan, gue jauh lebih unggul!" Melvin menaik-turunkan alisnya.

Niken bergeming, yang Melvin katakan itu benar, Kanza memang lebih tinggi daripada Melvin. Niken sadar akan hal itu. Tapi, tunggu! Darimana dia mengetahui itu? Apakah dia pernah bertemu dengan Kanza? Tidak, tidak mungkin! Melvin itu pindahan dari Palembang, Kanza sudah lama menghilang sebelum Melvin datang ke Jakarta.

"Udah deh, sana balik!" usir Niken. Mood Niken hancur seketika.

"Naik apaan? Masa iya jalan kaki? Segede apa betis gue jadinya?" tanya Melvin.

Niken menjentikkan jarinya di udara. "Naik ojek online!"

Dan akhirnya cowok tengil bin aneh itu pulang dengan menaiki ojek online. Niken yang memesannya, karena Melvin tidak punya aplikasi semacam itu di HP-nya.

FLASHBACK OFF

LINE!

Suara notifikasi pesan masuk sukses membuyarkan lamunnnya. Niken pun mengedarkan pandangan, mencari arah dari mana suara itu berasal. Hingga akhirnya ia menemukan HP-nya di atas kasur. Niken meraih benda pipih itu dan langsung membuka aplikasi chatting berwarna hijau.

Terdapat 15 pesan dari Online Shop, 38 pesan dari Line Today, dan 1 pesan yang berhasil membuat Niken merinding disko.

Kanza!

Setelah lebih dari dua minggu pesan dari Niken terabaikan, akhirnya hari ini ia mendapatkan balasannya. Balasan dari Kanza! Ada hal lain yang lebih menyenangkan daripada itu?

TIDAK ADA!

Niken duduk di tepi kasur dan memberanikan diri untuk membuka roomchat-nya. Niken menghela napas panjang, kemudian menekan tulisan 'Mine' dengan mata tertutup.

Niken menunduk, perlahan-lahan matanya mulai terbuka. Hingga akhirnya Niken dapat membaca dengan jelas tulisan itu. Isinya sangat singkat, namun bisa membuat perasaan Niken terombang-ambing.

"Maaf."

-TBC-

Bonus pic*
-Niken Aldira Widjaya-

[A/N]

Awalnya 2500+ kata, tapi aku nemuin plot hole. Jadi tinggal 2300. Tahu kok, pasti banyak yang enek kan bacanya? Tapi, demi readers-ku tercinta Nilamna, kalistamaria, Tinker_Boy dan beberapa readers yang mungkin menginginkan chapter yang lebih panjang, aku usaha kasih yang terbaik buat mereka, hoho.

Jangan lupa voment+krisaranya ya, cuma dua hal itu yang bisa bikin mood menulisku meningkat.

See You!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top