02. Murid Baru
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat limabelas menit dan guru mata pelajaran belum juga menampakkan diri. Suasana kelas sudah sangat kacau, semua murid heboh dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang nimbrung di pojokan, ada yang bergosip, bahkan ada yang berguling-guling manja di atas meja.
Suasana kelas mendadak berubah. Semua mata tertuju pada wali kelas yang kini melangkah melewati pintu. Pak Hendri tidak sendirian, karena seorang cowok dengan seragam putih kinclong baru saja menyusul langkah kakinya.
"Ada anak baru di kelas kita, pindahan dari Palembang. Kalian harus membantunya untuk mengejar pelajaran yang tertinggal," ujar beliau memberitahukan pada semua muridnya.
"Ayo, perkanalkan dirimu!" pinta pak Hendri pada si murid baru.
Cowok itu tersenyum, menampilkan deretan giginya yang putih dan rapi. Sontak saja cewek-cewek di sana menjerit histeris, terlebih lagi setelah menyaksikan lesung pipi yang menambah kesan cute pada murid baru itu.
"Perkenalkan, nama saya Melvin Arsha Nugraha. Kalian bisa panggil saya Melvin, Arsha, atau ... Aliando juga boleh."
Seisi kelas terbahak spontan, tapi tidak dengan Niken. Ia justru jengah melihat cowok pecicilan yang berani ngelawak di hari pertama sekolahnya.
"Salam kenal semua! Mohon bantuannya untuk mengejar pelajaran yang tertinggal, ya?" sambungnya lalu tersenyum.
Pak Hendri mempersilahkannya duduk. Tanpa basa-basi cowok asli Palembang itu berjalan ke arah bangku kosong yang kebetulan bersebrangan dengan meja Niken dan Aliya. Melvin meletakkan tasnya di atas meja, kemudian duduk di bangku itu.
Lewat ekor matanya, Niken dapat melihat si Anak Baru itu sedang menatap ke arahnya. Niken menoleh dan mendapati Melvin sedang mengulas senyum manis untuknya.
Sinting nih anak, batin Niken.
"Baiklah, bapak tinggal dulu. Sekarang pelajaran apa?" tanya pak Hendri kepada Nabila--ketua kelas.
"Bahasa Inggris, Pak."
"Oh ... Ma'am Sisilnya nggak masuk. Jangan pada ribut ya di kelas, jangan ada yang ke kantin! Dan kamu Melvin, gunakan waktu kosong ini untuk berkenalan dengan teman-teman barumu. Tenang aja, mereka nggak gigit, kok!"
Melvin terkekeh. Kemudian menjawab perintah wali kelasnya, "Baik, Pak."
Pak Hendri melangkah gontai meninggalkan kelas. Bersamaan dengan itu, suasana kelas kembali gaduh. Cewek-cewek di dalam kelas menjerit histeris, beberapa dari mereka saling berdorongan menuju bangku Melvin. Untung tidak gigit-gigitan.
"Kamu dari Palembang, ya?"
Melvin mengangguk.
"Kanapa lo pindah ke Jakarta?"
Melvin hendak membuka mulut.
"Kamu kok ganteng banget, sih?"
Melvin tersenyum malu.
"Eh, itu mata apa kolang-kaling?
Melvin salto belakang.
"WOI! BISA DIEM NGGAK SIH!" Nabila berteriak dari arah depan.
Semua bergeming, lalu kembali menuju bangku masing-masing.
***
"Ken, itu anak baru lumayan juga, ya?" ujar Aliya seraya menduduki bangku perpustakaan. Ma'am Sisil tidak datang hari ini, jadi mereka lebih memilih untuk membaca buku di perpustakaan. Niken pusing kalau lama-lama di dalam kelas. Banyak yang teriak-teriak, katanya.
"B aja," ketus Niken. "Gantengan juga Kanza."
Aliya tersenyum sangsi. Niken benar, Kanza memang tidak kalah ganteng. Itulah alasan kenapa dia berhasil mendapatkan hati Niken, karena Niken memang sangat sulit untuk jatuh cinta.
"Siapa Kanza?"
Seseorang muncul dari belakang rak buku.
"Melvin?!" Aliya tersentak kaget. Aliya tidak sadar kalau tadi ia setengah berteriak, membuat semua penghuni ruangan menatap ke arah mereka.
"Sejak kapan kamu di situ?" bisiknya.
Melvin berjalan dengan membawa buku di tangan kirinya, kemudian duduk tepat di sisi kanan Niken. "Sejak ... tadi."
"Ngapain duduk di sini?" decak Niken.
"Enggak boleh, ya? Gue kan juga mau baca buku."
Niken memutar malas bola matanya. "Kan masih banyak kursi lain," gumamnya.
"Oh iya, kita belum kenalan. Kenalin Nama gue Melvin," Melvin mengulurkan tangannya ke depan dan disambut baik oleh Aliya.
"Aliya."
Cowok itu tersenyum, kemudian berganti mengulurkan tangannya ke arah Niken.
"Gue udah tahu nama lo!" ketus Niken. Matanya masih fokus membaca buku, ia memang sangat suka membaca, terutama membaca novel. Mulai dari novel horor, fantasi, hingga novel terjemahan Niken miliki.
Melvin menarik tangannya kikuk. Kemudian berbisik kepada Aliya, "Dia kenapa?"
"Nggak usah bisik-bisik! Gue nggak budeg!" Niken mendengus kesal.
Melvin terkikik geli. "Terus, kenapa nggak mau diajak kenalan?"
"Gak penting!"
Melvin mengerucutkan bibirnya, memasang ekspresi imut yang dibuat-buat. Cowok itu mulai membalik-balikan halaman buku yang ia ambil dari salah satu rak di ruangan itu. Melvin mengangkat kedua alisnya, kemudian tertawa geli.
Fix, anak ini gila! Niken membatin.
Aliya melirik ke arah Niken, tatapannya seolah mengatakan ini-anak-kenapa?
Niken yang tak mau tahu itu hanya menggedikan bahunya.
***
"Lo kemana aja? Kenapa dua minggu ini nggak pernah kumpul?" geram Tasya. Ia adalah Wakil Ketua Umum ekskul Paskibra. Cantik, tapi gampang emosi.
"Gue ada urusan, Kak," balas Niken santai. "Lagian, gue udah minta izin sama kak Aldi, kok."
Tasya melotot, menatap Niken dengan mata berapi-api. Bulu matanya yang panjang semakin terlihat jelas dengan ekspresi garangnya.
"Lo itu kalo ngomong sama orang yang lebih tua harus sopan, dong! Masa ngomong sama senior pakai bahasa 'gue', sih?"
"Maaf ... tapi Kakaknya aja pakai bahasa 'lo' gitu," balas Niken. Niken tak terima diperlakukan seperti ini. Tasya memang senior, tapi bukan berarti dia bisa bertindak semena-mena dengan junior-nya. Kurang ajar? Oh, Niken tidak peduli! Jika Tasya saja tidak menghormatinya, kenapa dia harus menghormati Tasya?
"Lo ngajak ribut?" Tasya menggeram kesal. Tangannya hendak mendarat ke wajah Niken, tapi Niken lebih dulu menahannya.
"Emosinya dikontrol, Kak! Sayang kalo Kakak dikeluarin dari Paskib cuma gara-gara nggak bisa ngontrol emosi," ujar Niken. Gadis berambut panjang itu melepaskan tangan Tasya. Kemudian melenggang manja meninggalkan lapangan. Tasya dan beberapa anak Paskibra lainnya hanya melongo menyaksikan kejadian itu.
"Gue gak akan keluar dari Paskbira. Lo yang bakal gue keluarin! Nikeeeen!!!" teriak Tasya. Ia geram setengah mampus dengan kelakuan junior-nya yang satu itu. Dia tahu kalau Niken memang tidak suka dikekang, tapi kali ini sikapnya sudah sangat keterlaluan. Bahkan dia berani pergi begitu saja dan meninggalkan kegiatan Paskibra.
"Cih, mentang-mentang nggak ada kak Aldi, dia bisa seenaknya bentak-bentak gue. Emang dia pikir dia itu siapa? Cuma karena dia menjabat sebagai Waketum Paskib, bukan berarti dia bisa semena-menain gue!" Niken menggerutu di sepanjang jalan--koridor.
Sebenarnya tadi itu Niken mau ikut latihan, tapi Tasya justru menghancurkan mood-nya. Terpaksa dia harus pulang, sendirian pula. Biasanya ada Kanza yang akan menjemputnya untuk pulang ke rumah.
Tapi sekarang? Bahkan sahabatnya pun tidak ada, Aliya memang selalu pulang lebih dulu saat Niken sedang ada jadwal latihan Paskibra. Tidak betah menunggu, katanya. Lagian, cewek mana yang mau menunggu? Tidak ada! Semua cewek butuh kepastian. Eh, curhat!
Aliya pasti sedang bersantai ria di rumahnya, mendengarkan musik di kamar sambil bernyanyi-nyanyi tidak jelas. Niken mengetahui semua kegiatan sahabatnya itu, selain suka sambal, Aliya juga sangat mencintai musik. Lebih tepatnya ... mencintai Shawn Mendes.
Niken berjalan menyusuri koridor sekolah, saat hendak berbelok ke kanan tiba-tiba langkahnya terhenti mendadak. Ada orang di sana.
"Hush, ngagetin aja!" Niken mendengus kesal. "Ngapain lo di sini?"
"Lo hebat juga ya ternyata?"
"Ya iyalah, gue kan cucunya Iron Man," balas Niken asal. Nyatanya ia tidak mengerti maksud dari perkataan cowok itu. Apa Melvin menyaksikan perbedatan Niken dan Tasya di lapangan tadi? Oh tidak mungkin, untuk apa si anak baru itu menguntiti Niken?
Melvin tersenyum geli. "Lihat orang lain lucu, aku ketawa. Liat kamu lucu, kok aku jadi sayang?"
Niken mengernyit jijik. "Minggir, gue mau balik!"
Lagi-lagi langkahnya harus terhenti karena Melvin baru saja menghadangi jalannya.
"Mau lo apa, sih? Gak lihat apa orang lagi kesal gini?"
"Gue mau ... anterin lo balik."
"Nggak usah, makasih. Gue bisa naik taksi online!" tolak Niken cepat.
Melvin mengangkat sebelah alisnya. "Jangan manja! Sekali-sekali naik motor. Sayang duitnya, mending ditabung. Buat masa depan kita...."
Nih anak nyebelin banget, sih! batin Niken.
Tanpa memedulikan Melvin, Niken berjalan menubruk tubuhnya. Tubuh Melvin yang memang jauh lebih besar dan kuat hanya bergerak beberapa inchi, tapi cukup bagi Niken untuk meloloskan diri. Gadis itu berjalan menuju gerbang sekolah, masih diikuti Melvin tentunya. Cowok tengil bin aneh itu sukses membuat kekesalan Niken memuncak.
"Ngapain ngikutin gue?!"
Melvin mengangkat sebelah alisnya. "Dih, siapa yang ngikutin? Gue mau ke parkiran kali, mau ambil motor."
Oh, sekarang Niken harus menahan malu. Bisa-bisanya cowok itu membuatnya seperti ini. Tanpa ba-bi-bu Niken langsung mempercepat langkah menuju gerbang. Terlalu lama berdekatan dengan Melvin dapat membuat Niken seperti orang gila.
Hei! Lagipula siapa yang mau dekat-dekat dengan cowok itu? Justru dia yang menghampiri Niken, pakai acara nawarin pulang bareng segala. Andai Kanza masih ada di sini, mungkin Melvin tidak akan berani mengganggu Niken.
Di depan gerbang Niken langsung merogoh kantongnya, meraih benda pipih yang akan ia gunakan untuk memesan taksi. Seketika mata gadis itu membelalak sempurna. Niken tidak sadar kalau batere HP-nya hanya tersisa dua persen. Dengan sisa batere yang seperti itu, tidak akan cukup untuk memesan dan menunggu driver-nya datang.
Lantas, bagaimana cara gadis itu bisa pulang ke rumah?
Naik angkot? Oh, Niken tidak akan tahan dengan bau keringat para penumpang. Ditambah suhu kota yang sedang tinggi, bisa-bisa Niken pingsan di dalam angkot.
Nebeng? Sama siapa? Anak baru itu? Tidak, tidak. Tidak akan! Niken sudah menolak mentah-mentah ajakan Melvin tadi, mau ditaruh di mana wajah cantiknya itu?
Niken kelimpungan, dia tak tahu harus apa. Menunggu pengeran berkuda datang menjemputnya? Pfft, ini bukan kisah fantasi! Kalau memang ada pun, Niken tidak sudi menebenginya jika bukan Kanza yang menjadi pangeran.
"Kanza ... lo di mana, sih? Tega banget ninggalin gue," gumam Niken.
Saat sedang sibuk dengan aktivitas menggerutunya, tiba-tiba Niken dikagetkan oleh suara klakson motor dari arah belakang. Mau tak mau Niken harus terlonjak kaget.
"Woi! Ngapain masih di sini?" Melvin membuka kaca helm-nya. "Kenapa belom balik?"
"Ini juga mau balik!" gerutu Niken.
Melvin menepikan motornya ke luar gerbang, kemudian melepaskan helm-nya. "Gue tungguin!"
"Eh, ngapain?" Niken gelagapan. "Ng-nggak usah! Gue udah gede."
"Entar kalo ada perampok gimana? Terus lo diculik, mau?" ujar Melvin masih dengan posisi duduk di atas motor.
"Kan ada Pak Jono. Udah sana, pergi!"
"Pak Jono? Security? Nggak ada tuh!" Melvin menunjuk dengan dagunya. Niken menoleh spontan. Melvin benar, pos satpam kosong. Pak Jono tidak ada di sana. Jadi, alasan apa lagi yang akan Niken pakai?
Suasana hening, tak ada lagi yang mengeluarkan suara. Hanya suara kendaraan berlalu lalang yang terdengar. Niken melirik ke arah Melvin, cowok tengil itu juga sedang melihat ke arahnya.
Aduh, gimana nih? Niken membatin.
"Gue tau lo jomblo. Tapi ... gue perhatiin dari tadi, lo nggak pernah ngecek HP," ucap Melvin yang berhasil membuat Niken bungkam.
Niken terus memperhatikan jalan raya, seolah sedang menunggu jemputan datang. Niken harus mengabaikan Melvin, ia tak mau ketahuan berbohong. Jika ketahuan, cowok itu pasti akan mengajaknya pulang bareng. Ah, Niken tidak sudi!
"Lo bohongin gue?"
Ups!
"Lo gak mesen taksi online, kan?"
Oh, ketahuan.
"Buruan naik! Nggak capek gini terus?"
Niken melirik ke arah Melvin lagi. Cowok itu memang ganteng, Niken mengakui itu. Tapi percuma, yang bisa mencuri hati Niken hanyalah Kanza seorang. Benar-benar mencuri, karena setelah mendapatkan hatinya, Kanza pergi entah kemana.
"Yakin nggak mau, nih? Ntar digodain om-om gimana?" goda Melvin. "Lo kan cantik, pasti banyak yang tergoda."
Niken menghela napas, lalu melirik arloji yang melingkar cantik di pergelangan tangannya. Jam tiga lewat, mungkin Meri tidak akan mencarinya, mamanya itu tahu kalau Niken punya jadwal Paskibra hari ini. Tapi Niken sudah sangat lelah, ia ingin segera berbaring di kasur empuknya.
Apakah dia harus menerima tawaran Melvin? Tidak, Niken tidak mau. Tapi, bagimana jika yang Melvin katakan itu benar-benar terjadi? Bagaimana jika ada orang jahat yang menyakitinya. Hari memang masih siang, tapi penjahat bisa berkeliaran kapan saja. Ini Jakarta, Ibu Kota!
Niken melirik Melvin untuk yang kesekian kalinya. Cowok itu menaik-turunkan alisnya cepat. Sok imut, minta di gampar.
"Ya udah deh. Karena lo maksa ... gue nggak enak kalo nolak," jawab Niken sembari menahan malu.
Niken tidak pernah menahan malu seperti ini sebelumnya. Niken tidak pernah menarik kata-kata yang sudah ia katakan. Jika dia mengatakan tidak mau, maka dia benar-benar tidak akan mau. Tapi hari ini, benteng pertahanannya dapat dihancurkan.
Dihancurkan oleh si Murid Baru.
-TBC-
Komen dong! Kali aja ada typo yang tak kasat mata 😂
Sekalian minta kritik dan sarannya, mungkin masih banyak kalimat yang bertele-tele atau salah dalam penggunaan tanda baca. Author kadang nggak teliti soalnya, hiks :"
❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top