01. Kehilangan
Bel pertanda istirahat terdengar begitu merdu dari sudut ruangan. Niken, Aliya, dan teman-teman lainnya mulai merapikan buku dan alat tulis masing-masing. Mereka baru saja terlepas dari siksaan dunia pendidikan, karena sedari tadi yang mereka lihat hanyalah rumus-rumus penderitaan. Niken paling tidak suka dengan pelajaran hitung-menghitung. Mungkin bukan cuma Niken, tetapi seluruh orang yang menyandang status sebagai siswa dan mahasiswa juga begitu.
Dari depan kelas, bu Sri menyipitkan matanya. Wanita yang lebih akrab disapa dengan panggilan 'Bu Syahrini' itu menggelengkan kepalanya pelan. Sepertinya dia harus sedikit bersabar menghadapi tingkah siswa-siswinya.
"Siapa yang nyuruh kalian beres-beres?" ujar bu Syahrini dengan logat khas Jawa-nya. Seisi kelas mengentikan aktivitas beres-beres dan menatap bingung guru matematika itu.
"Sudah istirahat, Bu," Nabila sebagai ketua kelas mengingatkan.
"Saya sudah tahu. Sekarang, keluarkan buku paket kalian!" sergah bu Syahrini mutlak.
Seluruh siswa mendengus kesal mendengar ultimatum guru yang menyandang julukan 'Syahrini Kampung' itu. Iya, julukan itu diberikan karena bu Sri adalah orang Jawa pedalaman, tapi gaya berbusananya ala-ala Syahrini. Jambul anti becek, bulu mata munafik, dan bibir tak kasat mata yang juga menjadi ciri khas-nya.
"Kerjakan uji kompetensi 1.3 halaman 48 nomor satu dan dua! Hari Kamis akan saya periksa. Kumpulkan dengan rumus dan cara mendapatkannya! Saya tidak mau menerima buku yang hanya berisi jawabannya saja, ingat itu!"
Seisi kelas berseru "Aaah" karena soal yang menyangkut materi Pertidaksamaan Nilai Mutlak itu sangat membingungkan. Setelah memberikan pekerjaan rumah itu, bu Syahrini melenggang maju-mundur cantik kemudian berjalan manja meninggalkan kelas.
"Ken, ke kantin, yuk!" ajak Aliya.
Niken mengangguk cepat, kantin pasti sudah ramai saat ini. Niken yang tidak suka mengantre itu langsung menarik pergelangan tangan Aliya menuju kantin. Sesampainya di kantin, Niken dan Aliya langsung memesan dua piring nasi goreng dan dua gelas es jeruk. Ya, mereka memang suka memesan menu yang sama, yang membedakannya hanya jenis nasi gorengnya saja. Jika Niken menyukai nasi goreng original, maka Aliya lebih menyukai nasi goreng nampol. Niken pernah mencicipi nasi goreng milik Aliya dan keesokan harinya Niken tidak masuk sekolah.
Langsung diare.
"Ken, gimana, udah ada kabar dari Kanza?" ujar Aliya setelah menelan nasi gorengnya.
Niken mengaduk es jeruknya dengan sedotan, lalu meminumnya.
"Nggak tahu, Al. Masih belum ada kabar."
"Ini udah dua minggu, loh. Kamu nggak mau move on?"
Niken melotot ganas. "Gila aja lo! Gue masih sayang sama Kanza, tahu!"
"Tapi sampai kapan, Ken?" kata Aliya. "Buat apa nungguin orang yang udah ninggalin kamu gitu aja? Kamu nggak bosan?"
"Jika menunggu itu membosankan, apa berpindah hati itu menyenangkan?"
Aliya speechless. Dia memang belum pernah pacaran, mana mungkin dia tahu rasanya menunggu dan berpindah hati. Aliya itu sangat cantik, kulit putih dan rambut pirangnya selalu berhasil menarik perhatian lawan jenisnya. Namun, Aliya memang belum kepikiran untuk memiliki seorang kekasih. Tidak mau patah hati, itu katanya.
Suasana menghening untuk beberapa saat, sebelum Aliya kembali membuka percakapan.
"By the way, gimana sama ekskul Paskibra? Kamu udah dua minggu nggak ikut latihan, kan?"
"Gue juga nggak tau, Al. Udah nggak ada semangat lagi."
"Apa aku bilang? Kalo ikutan ekskul pasti ujung-ujungnya males, bosen, capek. Mending nggak usah ikutan dari awal!" komentar Aliya. "Emang kamu nggak dimarahin sama kakak-kakak senior? Setau aku nih ya ... ekskul Paskibra itu keras!"
Niken menggeleng pelan. "Nggak semua kakak senior-nya galak, kok. Ada yang baik juga, kak Aldi salah satunya."
Aliya mengangguk paham, kemudian memasukkan suapan terakhir ke mulutnya. Tampak sekali kalau cewek itu sedang kepedasan, namun juga sangat menikmati. Aliya memang pencinta pedas, ia tak mau makan jika tidak dengan sambal. Kasihan ibunya, harga cabe 'kan lagi mahal.
"Habis ini pelajaran apa?" tanya Niken.
"Se-sejarah!!!" Aliya menjerit kaget. "Ken, kamu udah ngerjain PR?"
Niken menggeleng cantik.
Mampus!
***
Saat bel pulang sekolah berdering, Niken langsung mengemas barang- barangnya kemudian mengantre untuk bersaliman dengan guru. Kebetulan Niken berada di posisi paling belakang, jadi ia harus sedikit bersabar. Saat tiba gilirannya, tiba-tiba bu guru menghentikan Niken.
"Niken," panggil beliau. "Kamu masih belum tau Kanza pindah ke mana?"
Niken bungkam. Aliya yang menyaksikan itu langsung pergi keluar kelas, menunggu Niken dari balik jendela.
"Nak?"
"Eh, maaf, Bu." Niken tersadar dari lamunannya. "I-iya, saya masih belum tahu, Bu."
"Nanti kalo udah dapet kabar, kamu segera lapor ke pihak sekolah, ya? Jika satu bulan dia tidak datang ke sini, maka kami akan mencoret namanya dari daftar siswa."
Niken mengangguk pelan. Entah kenapa dadanya terasa sakit saat mendengar bahwa nama Kanza akan dicoret dari sekolah. Niken masih belum bisa menerima kepergian cowoknya itu.
"Ya udah, kamu boleh pulang sekarang!"
***
Niken mendengus malas seraya berjalan memasuki rumah. Kedatangannya disambut oleh seorang wanita cantik paruh baya yang sedang menonton TV di ruang tengah. Dia Meri, mamanya Niken.
"Assalamualaikum." Niken memberi salam. Ia mendekat ke arah mamanya yang kini sedang tersenyum ramah.
"Waalaikumsalam," balas Meri. Niken mencium tangan mamanya kemudian melirik ke arah televisi yang sedang menyiarkan serial India. Mamanya adalah pencinta India. Berbeda dengan dirinya, yang jauh lebih mencintai hal-hal berbau Korea. Aktor Jung Hae In salah satunya.
"Kok mukanya ditekuk gitu, sih? Habis berantem sama Kanza?"
Niken tersentak. Ia memang belum cerita apa-apa mengenai hubungannya dengan Kanza. Meri sangat mendukung hubungan mereka. Kanza dapat memberi masukan positif kepada Niken, itu katanya. Maka dari itu Niken masih merahasiakan semua masalah ini dari Meri, ia tak mau mamanya kecewa.
"Nggak kok, Ma. Kita baik-baik aja," jawab Niken berbohong. "Aku masuk dulu ya, Ma?"
Meri mengangguk sembari mengelus rambut Niken yang panjang nan halus. Niken berlalu dan Meri melanjutkan aktivitas menontonnya.
Mungkin ini belum waktunya!
Sesampainya di kamar, Niken langsung meletakkan tasnya ke meja belajar dan menghempaskan tubuh langsingnya ke atas kasur.
Lelah. Mungkin hanya kata itu yang tepat untuk mewakili keadaan Niken saat ini. Mulai dari lelah fisik karena seharian beraktivitas di sekolah, lelah pikiran karena mendapat tugas tambahan matematika, hingga lelah hati karena balasan pesan dari Kanza tak kunjung datang. Semuanya bercampur aduk. Ingin sekali rasanya Niken pergi ke Kutub Selatan, untuk menikmati rindangnya gurun pasir yang ada di Belanda. Lah?
Niken menghelas napas panjang. Mendadak ia kepikiran dengan Kanza. Kira-kira, kemana Kanza pergi? Apa yang membuat cowok tampan itu pergi?
Niken tak habis pikir. Terakhir mereka bertemu pada tanggal 6 November kemarin, satu hari sebelum usia Niken genap enambelas tahun. Saat itu hubungan mereka baik-baik saja, tidak ada pertengkaran ataupun perselisihan. Semua berjalan dengan baik, hingga keesokan harinya Kanza menghilang begitu saja. Padahal, Kanza sudah berjanji tidak akan pernah meninggalkannya. Niken masih ingat betul dengan janji itu.
FLASHBACK ON
Kanza memegang erat tangan Niken. Sore itu mereka sedang santai-santai di taman kota. Niken sangat menyukai taman, jadi Kanza mengajaknya ke sini. Mereka terlihat sangat serasi sore itu dengan kaos putih polos yang sama. Membuat orang-orang yang melihatnya berpikir bahwa mereka adalah pasangan yang serasi.
"Sayang, kita pacaran udah berapa lama, sih?" tanya Kanza masih dengan menggenggam tangan halus Niken.
"Tigabelas bulan, masih baru banget, ya?"
"Emang kenapa kalo masih baru?" Kanza melirik ke arah Niken. "Hubungan itu tidak terikat oleh waktu, namun terikat oleh kepercayaan."
Niken mendongak, menatap tepat ke bola mata Kanza. Mereka saling bertatapan untuk beberapa detik. Tenang. Begitulah kiranya isi hati Niken saat ini.
"Kamu janji, nggak akan ninggalin aku?"
Kanza tersenyum, kemudian mengusap lembut rambut Niken. "Seperti yang aku bilang tadi, cinta itu terikat oleh sebuah kepercayaan. Kalo kamu percaya sama aku, aku nggak bakal ninggalin kamu."
Niken trenyuh, Kanza selalu bisa membuatnya baper. Tanpa ditanya pun Niken sudah sangat mempercayai cowoknya itu. Niken percaya bahwa Kanza tidak akan pernah meninggalkannya.
"Aku percaya!"
FLASHBACK OFF
Niken menghela napas pelan. Setelah mengingat masa-masa itu dadanya mulai terasa sesak. Bagaimana bisa orang yang paling ia percayai justru memberikan rasa sakit yang teramat padanya? Bukankah Kanza sudah berjanji untuk tidak meninggalkannya? Bukankah Niken sudah memberi kepercayaan kepada Kanza? Tapi, kenapa dengan mudahnya Kanza menghancurkan itu?
Niken meraih tasnya, kemudian mengambil benda pipih berwarna silver. Ia membuka aplikasi line dan membaca isi roomchat-nya dengan Kanza. Sudah ratusan pesan yang terkirim, namun sampai sekarang belum dibaca. Setiap hari Niken mengirim pesan, namun tak pernah dibalas.
Lelah? Pasti!
Menyerah? Tidak semudah itu!
Sampai kapan? Sampai Niken mendapat kabar tentang Kanza tentunya.
Gadis itu menoleh ke jendela, langit jingga menghiasi Ibu Kota. Bersamaan dengan itu, setetes air mata mengalir di pipi mulusnya. Dengan cepat ia menyekanya dan menghela napas untuk yang kesekian kalinya.
Selama enambelas tahun hidup di dunia, akhirnya Niken paham makna dari Kehilangan.
-TBC-
Author mau ngucapin banyak terima kasih untuk Hyderia, cover-nya bagus baget!!! ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top