8. Ditohok
Suhu badan Scar naik. Segala umpatan ia lemparkan lewat batin yang kemudian dia ucapkan dengan keras.
Scar masuk ke kamar setelah Annie dan Axel sampai ke lantai dua. Gregory menyusul mereka, memasang raut cemas karena takut terjadi sesuatu kepada Ryce.
Scar menarik Liam, lalu memukul wajahnya. Ryce bersandar lelah dan melorot dengan air mata di wajahnya.
Scar hendak melayangkan tinjunya lagi saat Liam mendongak dengan mata berkabut. Scar terbelalak, lalu menerjangnya, tetapi Liam melawan.
"Ryce milikku, Scar. Milikku," ucap Liam di tengah-tengah perlawanannya berupa tahanan memukul. "Dia bukan istrimu lagi, 'kan?"
"Dia memang bukan tanggungjawabku, tapi anak yang ada di gendongannya itu tidak boleh memiliki ayah tiri!" teriak Scar, melayangkan kakinya ke kepala Liam dan menyebabkan lelaki muda itu terhempas ke samping.
Scar belum puas, ia menghampiri dan meraih kerah Liam. Ia mendongakkan kepalanya, memukulnya dengan tinjunya, sampai sudut mulut dan hidung Liam mengeluarkan darah dan mengotori tangannya.
Dan Gregory yang lamban pun datang.
"Scar!" Pria tua itu langsung menghampiri Scar dengan cepat. Ia menariknya dan untunglah Scar mau ditarik sehingga Liam bebas dari pukulan.
"Apa yang kaulakukan? Kenapa kau memukul anakku?" tanya Gregory, beruntut dan sedikit marah.
Scar bangkit, menghentakkan tangannya dari genggaman pria beruban itu. "Jika Anda menginginkan jawaban, maka tanya saja anak Anda. Dia tahu jawabannya," jawabnya, menoleh garang ke arah Liam yang menyeka darah di wajahnya.
Gregory melotot sejenak kepada Scar, lalu menghampiri Liam dan duduk untuk bertanya. "Ada apa? Kenapa kau membuat tamu kita ini marah sehingga dia memukulmu."
"Ayah ...." Liam meringis. Wajahnya panas akibat dipukul. "Ah, Ayah!"
"Jangan banyak drama, Liam." Scar berteriak keras sekali lagi. "Tuan Gregory, anak itu hampir melecehkan mantan istriku!"
Gregory terbelalak. Annie dan Axel yang sedari tadi sibuk menenangkan Ryce--karena saat ingin menenangkan Scar, pria itu benar-benar marah besar--melebarkan mata, dan juga menganga.
"A-Apa?" Gregory menoleh kepada Scar dan terlihat tidak percaya. "Anakku sudah memiliki pacar. Dia tidak mungkin jatuh cinta kepada orang yang lebih tua darinya." Gregory menatap Scar penuh harap.
"Perlukah aku mengorek jawaban dari Liam dengan cara kasar, Tuan?" sahut Scar, "Aku benci ekspresi lugu Anda." Gregory menoleh lagi kepada Liam.
"Katakan kepadanya, Liam, atau aku akan memukulmu!"
"Hei, sabar, Bung."
Axel segera menghampiri Scar dan menghalanginya untuk maju. Scar mendengkus, lalu menatap ke arah lain, muak melihat seorang berengsek terduduk di depannya minta dikasihani.
"Liam, jujurlah," pinta Gregory. "Ayah benci kebohongan."
"Ayah, aku mencintai Ryce. Lagipula dia bukan istri Scar lagi." Akhirnya, Liam menyahut. Sekali lagi, Gregory, Annie, dan Axel terbelalak.
"Aku ingin memilikinya." Liam menatap Gregory dengan matanya yang masih berkabut.
Gregory mengerutkan dahi. "Pacarmu? Bagaimana dengan pacarmu?"
"Dia jelek. Tidak seperti Ryce." Liam menoleh kepada Ryce. "Wajahnya, rambutnya, dan bibirnya. Aku terobsesi setelah melihatnya untuk yang pertama kalinya."
"Kurang ajar!" Scar berteriak, hendak menghampiri Liam lagi, tetapi ditahan. "Dia mantan istri orang, kau tahu?"
"Tapi, dia bukan milikmu lagi!" Liam meninggikan suaranya dan menatap Scar, bengis. "Dia sudah menjadi mantan istrimu. Termasuk anaknya itu!"
Deg!
Scar mendadak diam, tak dapat menyahut. Perkataan itu menohoknya, menohok seorang pria yang menalak perempuan lain dan mengaku-ngaku kalau anak yang perempuan itu jaga adalah anaknya.
Scar hanya ingin berpisah dengan Ryce, bukan dengan Klaire. Akan tetapi, perasaannya terombang-ambing dan membuatnya tak dapat berpikir jernih lagi.
Ia tidak terima Klaire disebut hanya anak Ryce, dan entah kenapa ia juga tidak terima Ryce disebut mantan istrinya.
"Jika dia bukan milikmu, maka aku bisa memilikinya." Liam tersenyum miring, membuat Scar kembali menatapnya dengan tatapan marah, tetapi tidak semarah tadi.
"Jangan memperpanjang urusan, Liam!" Gregory menatap garang anaknya. "Axel, bisakah kau menenangkan Scar di kamar sebelah? Aku akan membawa Liam ke kamarnya."
Axel mengangguk. Ditariknya tangan Scar dan pria itu bergerak menjauh.
Sejenak ia mengarahkan netra kelabunya kepada Ryce yang menangis sesengukan di pelukan Annie. Klaire kembali berhasil ditenangkan dan tertidur di gendongannya, begitu pulas seakan yang baru saja terjadi hanyalah angin lalu.
"Scar," panggil Axel, membuat pria itu menoleh dan mengangguk. Ia mengikuti Axel untuk keluar, lalu masuk ke kamar tepat saat Gregory membawa Liam keluar. Mereka berdua turun ke bawah dan masuk ke kamar mereka sebelum terdengar kemarahan sedang Gregory kepada anaknya.
Tak mampu berdiri lebih lama lagi, Ryce pun terduduk. Ia menangis kencang dengan air mata membasahi baju piyama Klaire.
Ia sedih dan juga marah. Ada kemarahan dan kepuasan di dalam hatinya saat melihat Scar memukuli Liam.
Annie kembali memeluknya, menenangkannya, menyuruhnya untuk berhenti menangis sebelum Klaire bangun dan menangis lagi.
Mengangguk, Ryce bangkit dengan susah payah. Pergi ke arah kasur, ia meletakkan Klaire yang tertidur di tengah-tengah kasur.
Setelah itu, tangis Ryce pecah lagi. Ia memeluk Annie yang berada di belakangnya, berucap penuh penyesalan karena tidak mendengarkan dengan seksama bunyi langkah Liam yang masuk ke kamarnya.
Annie mengelus bahu Ryce. "Ini juga salahku, Ryce. Aku membiarkanmu sendiri karena pergi ke bawah karena kata Liam, Axel meminta bantuanku. Namun pada nyatanya Liam berbohong karena saat aku bertanya, Axel bilang dia tidak memanggilku." Ia mendengus.
"Mulai sekarang, kita harus berhati-hati dengan lelaki itu. Aku akan menjagamu, dan Scar serta Axel juga demikian." Annie menenangkan, duduk di samping Ryce yang menutup wajah.
"Terima kasih," ucap Ryce. "Tapi, aku takut."
"Sudah." Annie memeluk lengan Ryce. " Ada kami di sini."
Ryce membuka tangannya. Ia memeluk Annie dengan erat.
Annie yang mengetahui perasaannya yang amburadul hanya dapat diam. Ia mengelus rambut Ryce, menatap ke arah Klaire yang tertidur nyaman.
Sedangkan di waktu yang sama, Scar menyandarkan dahinya ke tangannya. Sikut tangannya menyentuh paha, jari tangannya mengepal memendam amarah.
Axel duduk di sampingnya, menatapnya iba. Scar pasti sangat tidak terima mantan istri dan anaknya dilecehkan oleh Liam yang baru ditemuinya beberapa jam yang lalu.
Scar memikirkan perasaan hatinya. Mendadak hatinya panas dan terasa disayat melihat Ryce diperlakukan layaknya jalang klub malam.
Ia hanya menyayangi Klaire, bukannya Ryce. Namun, agaknya ia mulai menyayangi wanita berambut pendek itu, terbukti dengan kemarahannya yang ia lampiaskan kepada Liam.
"Ada apa denganku?" batin Scar. Ia merasa berubah dan setiap kali mengingat Ryce, bukan kebencian yang ia rasakan melainkan hati disayat terlebih wajahnya yang penuh air mata membayang-bayangi pikirannya.
Scar lalu menegakkan badan. Ia membuang napas dan menoleh kepada Axel.
"Axel, aku membencinya," katanya, berbisik hampir tak dapat didengar.
"Bukan hanya kau, Kakak. Aku juga," sahut Axel, mengepalkan tangan, "Seandainya dia tidak mempunyai ayah, mungkin dia sudah kekorbankan untuk zombie-zombie di luar sana."
"Aku juga berpikir demikian." Scar mengusap wajahnya, kasar. "Aku kasihan kepada Ryce dan Klaire."
Mendengar Scar kasihan--pertama kali terjadi setelah sekian lama, Axel menoleh pelan. "Kasihan? Kenapa kau mendadak kasihan kepada mereka?"
"Apakah itu tidak boleh?" Seakan terusik, Scar menyahut dengan pertanyaan bersama suara yang kurang enak didengar.
"Maksudku, kau membenci Ryce. Benar, 'kan?" Axel mengarahkan kedua telapak tangannya kepada Scar, memperingatkan agar pria itu tetap menahan amarahnya.
Scar menatap kesal Axel sebelum berdecak. "Itu urusanku." Ia pun merebahkan diri ke atas kasur.
Axel terdiam. Ia mulai berpikir kalau Scar kembali mencintai Ryce.
"Jangan berpikir macam-macam! Ayo, tidur!" ajak Scar sebelum memosisikan diri di atas kasur. Axel menoleh ke depan, menatap ke bawah. Ia menarik dua sudut bibirnya ke atas karena Scar sudah pasti mulai mencintai Ryce kembali karena dia tahu apa yang ia pikirkan.
"Axel, kau mau tidur tidak?" Scar yang sadar adik iparnya itu belum beranjak dari duduknya mulai menyadarkannya. Axel segera berdiri gelagapan, lalu pergi ke sisi lain kasur sebelum membaringkan dirinya di sana.
Axel membelakangi Scar, sedangkan Scar tidur terlentang. Ia menatap langit-langit, hatinya berdebar kencang kala mengingat Ryce lagi.
***
Pagi-pagi sekali semua orang bangun dari tidurnya. Terdengar desingan burung besi yang melewati apartemen dan entah dari mana mereka berasal.
Scar dan enam lainnya ingin pergi ke luar, memberi tanda kalau ada orang yang selamat. Namun, baru saja hendak keluar dari rumah, Liam menghentikan dan menyuruh mereka untuk tidak berisik.
"Ada apa?" tanya Scar, judes.
"Suara bising itu menyebabkan beberapa zombie berkeliaran di jalan dan mencari suara. Jika kalian ingin dimakan, silakan pergi ke luar sana," jawab Liam yang membuat Scar dan yang lain mempertimbangkan pemikiran mereka sekali lagi.
"Mungkin kita bisa meminta bantuan dari rooftop." Annie mendongak ke atas.
"Itu jika helikopternya mau mendarat di situ," sahut Ryce.
"Bisa saja." Gregory seakan memberi harapan. "Lagipula, tugas penyelamat menyelamatkan orang yang membutuhkan bantuan, bukan mengurus di mana harus mendaratkan helikopternya."
"Namun, Tuan," sergah Scar, "pemerintah Amerika pasti telah menentukan di mana pendaratan helikopter-helikopter itu."
"Benarkah?" Gregory tampak putus asa.
"Tapi, apa salahnya mencoba?" Axel memberi saran.
"Entah kenapa saranmu kurasa tidak efektif untuk keadaan seperti ini, Axel," komentar Annie, menatap datar sang suami.
Axel mendengkus, sebelum Scar menyambung percakapan.
"Usul Axel dan Annie bisa dipertimbangkan. Liam dan Axel bisa ke atas untuk meminta bantuan, sedangkan sisanya bersamaku di lantai satu--berjaga-jaga jika seandainya bising helikopter yang berhasil mendarat menarik perhatian para zombie," sahutnya.
Semua orang saling pandang.
"Tuan Gregory, Anda bisa menggunakan senjata?" tanya Scar. Gregory menggaruk-garuk tengkuk.
"Antara ya dan tidak. Waktu muda aku bisa melempar pisau tepat sasaran, entah sekarang bisa atau tidak," jawabnya kemudian.
"Tidak apa-apa." Scar menepuk bahu Gregory. "Annie, kau membantu Tuan Gregory."
Annie mengangguk. Ia bersedia.
"Pergilah ke atas!" suruh Scar. Axel dan Liam saling pandang, lalu melesat ke atas melalui tangga.
"Dan kau Ryce." Scar menatap wanita yang masih setia menggendong anak perempuannya itu. "jaga Klaire."
***
Rooftop: Bagian teratas sebuah apartemen yang biasanya tidak memiliki dinding ataupun atap (lebih lengkap cari di Google, ada gambarnya).
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top