4. Menantang Maut
Sekitar 3 jam berdiri sembari melirik sesekali ke arah segerombolan mayat hidup. Si supir sudah mati dengan genangan darah di sekitarnya. Beberapa organ dalamnya keluar dari tubuhnya yang robek dan beberapa memperlihatkan daging dan tulang. Namun, tidak ada tanda-tanda dia akan bangkit dan menjadi mayat hidup.
Mungkin dia langsung dibunuh sehingga virusnya tak dapat menginfeksi.
Scar mulai paham.
Namun, yang masih menjadi pertanyaan di kepalanya ialah mayat hidup itu. Jika mereka menularkan virus, membuat semua orang tertular lewat gigitan, maka sudah pasti mayat si supir sudah bangkit.
"Atau ada dua tipe mayat hidup?" batin Scar dalam hati.
"Bagaimana? Sudah aman?" tanya Annie, menatap sang kakak yang masih mengintip, setengah berbisik.
"Belum," jawab Scar, singkat.
Annie membuang napas. "Kita sudah berdiri di sini. Sangat lama. Mungkin sudah berjam-jam."
Scar langsung mengarahkan netra tajamnya untuk menatap Annie.
"Annie benar, Scar. Kita harus keluar. Jika kita menunggu mereka menghabiskan daging Pak Tua itu, kita bisa berlumut di sini." Axel segera menyambung perkataannya, tidak tahu kalau nanti Scar akan beralih menatapnya.
"Kau mengucapkannya seakan-akan kau tahu bagaimana cara keluar dari sini," sahut Scar, "Kau punya cara agar kita kabur dari sini? Axel Greys?"
Scar menatap datar Axel, kesal mendengar keluhan mereka.
Axel menengok ke segerombol mayat hidup tadi, lalu menoleh ke belakang.
"Ada pagar kawat di sana," katanya sambil menunjuk, membuat semua mata melihat ke arah yang ditunjuk. "Kita bisa memanjatnya. Sepertinya itu bukan kawat berlistrik."
"'Sepertinya'." Scar mengulangi salah satu kata yang baru saja diucapkan Axel. "Kalau berlistrik? Itu sama saja cari mati."
"Apa salahnya mencoba?" Axel lama-lama kesal dengan sikap keras kepala Scar.
"Kau ingin mencobanya? Silakan. Tapi jangan salahkan aku jika kau malah disengat." Scar menantang.
Axel yang mulanya ingin memeriksa apakah pagar kawat itu berlistrik atau tidak, mendadak diam. Ia harus mencari sesuatu agar ia tidak menyentuh kawatnya.
Melihat daun-daun berserakan di atas pasir proyek membuatnya menemukan ide. "Aku tahu bagaimana caranya," gumamnya sebelum melangkah ke luar.
"Axel, hati-hati!" bisik istrinya, membuat Axel menoleh dan menyakinkannya dengan senyuman.
Axel meraih lima daun di atas pasir itu, lalu mengendap-endap ke pagar kawat. Ia menyodorkan satu daun ke pagar itu dan tidak ada percikan listrik karena biasanya pagar kawat berlistrik akan mengeluarkan percikan jika daun jatuh ke jeruji berbentuk ketupatnya.
Mencoba lagi, tidak ada percikan. Mencoba dengan lain daun, masih tidak ada percikan.
"Aman."
Axel berbalik dan memberi isyarat lewat tangannya: jempol dan telunjuk menyatu. Annie tersenyum lega, sedangkan Scar menghela napas diikuti Ryce yang masih menggendong Klaire.
"Ayo!" ajak Scar, "Annie, kau dan Ryce di depan! Aku akan berjaga di belakang."
"Baik!"
Annie meraih tangan Ryce dan menariknya. Mereka mengendap-endap bersama menuju pagar kawat.
Scar berjalan mundur di belakang mereka. Ia mempersiapkan senapannya agar jika terjadi apa-apa yang tak diduga, ia bisa langsung mengakhirinya.
Tak diketahui, pergerakan mereka rupanya sudah terlihat. Bayangan berbentuk manusia yang bergerak menarik perhatian salah satu mayat hidup.
Ia bangkit, kemudian menghampirinya. Saat itu, Annie sudah mulai menaiki pagar kawat, dibantu Axel yang sudah terlebih dahulu berada di sisi lain pagar.
Ryce dan Klaire adalah giliran selanjutnya. Untuk berjaga-jaga, Klaire-lah yang akan pertama kali dialihkan ke gendongan Annie. Setelah Annie turun dari puncak pagar, ia menyodorkan tangannya ke atas. Ryce mengangkat Klaire, tetapi tak sampai karena tubuhnya pendek.
"Cepat, Ryce!" bisik Annie. "Kau bisa!"
"Annie, tanganku tidak sampai," sahut Ryce, lalu mendesis dan menjinjitkan kakinya.
Lagi-lagi, Ryce tidak bisa. Scar yang melihat hanya mendengkus, lalu melempar senapannya ke atas, melewati puncak pagar sebelum ia merunduk dan memeluk paha Ryce.
Ryce tentu saja kaget bukan kepalang. Ia bahkan hampir menjatuhkan Klaire dari tangannya.
"Ryce!" Itu membuat Annie tak dapat menahan teriakannya. Annie sontak menutup mulut dengan semua pandangan mengarah kepadanya, lalu sayup-sayup derap langkah terdengar.
"Ryce, berikan Klaire kepada Annie!" Scar memperingatkan Ryce, membuat Ryce tersadar dan langsung menyodorkan Klaire.
Disambut, Ryce pun memanjat pagar dengan bantuan Scar. Tepat saat itu, beberapa mayat hidup sudah mengetahui keberadaan mereka.
"Grrr ...." Mereka menggeram sebelum berlari dan mengerang. Scar langsung melompat dan meraih puncak pagar, lalu menarik dirinya dan melompati pagarnya.
Jantung Scar berdetak dengan cepat. Sedikit lagi ia celaka.
Direbutnya senapannya yang ada di tangan Axel. Scar langsung menyuruh semua orang untuk lari ke dalam hutan dan bersembunyi sebelum pagar kawat itu dirusak makhluk-makhluk kelaparan itu.
Axel, Annie, dan Ryce yang kini beralih menggendong Klaire berlari menjauhi pagar kawat. Scar menyusul setelah memastikan pagar itu dapat menambah waktu mereka untuk menyelamatkan diri.
Setelah berlari mundur beberapa waktu, barulah Scar membalik badannya. Ia, Axel, Annie, dan Ryce terus berlari tanpa melihat ke belakang.
Jauh di belakang mereka, pagar kawat itu mulai kehilangan kekuatannya. Tak menunggu waktu lama, pagar itu pun bengkok dan membuat segerombolan orang lapar itu keluar dari sana.
Namun, hanya beberapa saat. Mereka tidak tahu ke mana mangsa mereka pergi.
Akhirnya, mereka berjalan terseok-seok menelusuri hutan. Sedangkan Scar dan empat lainnya sampai di sisi lain hutan.
"Akhirnya ...." Ryce mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Ia terduduk, lalu melepaskan Klaire dari pelukannya.
Klaire turun dari gendongannya dan menatap tiga orang di depannya. Mata lebarnya mengerjap-ngerjap, seakan bertanya ada apa dengan mereka.
"Syukurlah kita selamat," kata Annie, menegakkan tubuh dan berkacak pinggang. "Oh, jantungku!" Telapak tangan kirinya menyentuh dadanya, memeriksa denyutnya.
"Makhluk-makhluk itu mengerikan! Mereka dapat mencium keberadaan kita," keluh Axel, menghapus keringat di dahinya.
"Kurasa mereka tidak mencium, mereka melihat bayangan kita," sahut Scar, menatap ke bayangannya di sebelah barat tubuhnya, sebelum melirik letak matahari. "Masih pagi saat kita berada di tempat itu."
Axel dan Annie diam, tidak menyahut.
"Mama! Nao!" pekik Klaire, menunjuk ke depan. Tunjukkannya mengarah ke sebuah perkotaan yang dihiasi gedung-gedung pencakar langitnya.
Mereka berada di perbatasan Naoderaty. Perbatasan itu ditandai dengan hutan kecil yang mengelilinginya.
"Kita ke sana?" tanya Ryce sambil bangkit, lalu meraih putrinya untuk digendong.
"Di sana lebih berbahaya daripada di sini," jawab Annie, menatap Ryce.
"Aku setuju dengan Annie, tapi selama di sini, kita harus bertahan hidup dan sumber kehidupan kita ada di kota." Axel menimpali.
Ryce diam. Ia menoleh kepada Scar. "Bagaimana?"
"Di kota, ada banyak senjata yang kita perlukan untuk membunuh makhluk-makhluk rakus itu. Namun, resiko yang harus kita tanggung begitu besar. Kita bisa digigit, terinfeksi, atau langsung mati seperti Pak Tua itu," jawab Scar sambil menatap ke bawah.
"Jadi, kita harus ke mana sekarang?" Annie balik bertanya.
Tidak ada yang menjawab. Semua orang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Kecuali Klaire yang terdengar lapar. Perutnya berbunyi, membuat Ryce buyar dari lamunannya dan menatapnya.
"Kau lapar?" Ryce mengelus rambut anaknya sebelum mendapatkan anggukan darinya.
"Astaga! Anak itu menyusahkan sekali!" keluh Scar, menatap tak suka Klaire. "Tadi dia sedikit lagi membuat kita mati digigit, sekarang dia ingin makan."
"Scar." Ryce langsung menyahut. "Dia anakmu, kau tahu? Wajar jika dia meminta makan. Dia belum makan pagi ini."
"Belum!? Apa saja yang kaulakukan sampai anakmu lupa diberi makan, hah!?" Scar mulai meninggikan suaranya, membuat mata Klaire berlinang.
"Klaire masih tidur! Dini tadi dia berjaga, lalu tidur lagi dan terbangun saat mendengar sirene. Tidak sempat bagiku membuatkannya makanan karena saat aku ingin membuatnya, kau sudah menyuruhku untuk pergi dari rumah!" Ryce tak dapat menahan suaranya untuk melengking.
"Berani sekali kau-"
"Mama!!!"
Teriakan Klaire yang takut dengan kemarahan ayahnya membuat Scar terdiam. Anak itu memeluk erat Ryce, membuat Ryce menatap bersalah kepada anak itu dan kepada Scar.
"Maafkan Ibu, Klaire. Maafkan aku juga, Scar. Aku tidak bermaksud untuk berteriak di depanmu," pinta Ryce.
Scar hanya diam dengan rahang mengatup. Darahnya mendidih, tetapi memilih mengendalikan diri.
Walaupun muak kepada Klaire, Scar memikirkan cara agar anak itu mendapat asupan. Jika ia ingin anak itu tidak menangis kelaparan yang nantinya akan membuat dirinya dan yang lain celaka, dia harus pergi ke kota dan menantang maut.
"Ayo, ke kota!" ajak Scar yang berjalan terlebih dahulu ke depan.
"Sekarang?" tanya Annie yang memperhatikan punggungnya.
"Kau mengira nanti? Tidak. Klaire butuh makanan. Kita akan buat rencana di perjalanan," jawab Scar yang terus berjalan di sela-sela ilalang panjang.
Annie, Axel, dan Ryce saling pandang. Scar berubah begitu cepat.
Mengernyit tidak ada langkah kaki yang mengikutinya membuat Scar berhenti dan berbalik. "Kalian ingin ikut tidak?" Ia menatap mereka, kesal karena lambat, membuat Annie dan Axel segera mengangguk dan melangkahkan kaki untuk mengekorinya disusul Ryce yang menenangkan Klaire.
Scar kembali berjalan untuk menuntun mereka. Sedangkan di belakang, Ryce yang sedang menggendong anaknya menatap tanpa ekspresi ke bawah. Teriakan Scar dan teriakannya menakuti Klaire--itu membuatnya merasa bersalah. Mata Ryce berlinang, untuk yang kesekian kali dia merasa gagal menjadi orang tua.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top