27. Menjadi Sinting

Beberapa jam sebelum helikopter mendarat. Liam masuk ke dalam apartemen yang sedari tadi ingin dimasukinya. Dia sudah menunggu semalaman dan baru menemukan saat yang tepat. Dia mendengar bunyi alarm di dalam apartemen, membuatnya yang mengantuk membuka lebar kelopak mata dan masuk karena tahu sudah jam 4 pagi.

Pintu itu tidak terkunci. Liam sempat berhenti karena melihat darah. Darah itu tergambar menggores di lantai marmer. Liam mendongak dan melihat bekas darah lainnya di dinding serta di lemari.

Liam sadar akan perbuatannya. Dia sangat sadar. Namun, yang ia pikirkan hanyalah ingin bertemu ayahnya. Liam tidak akan bisa hidup tanpanya.

Beberapa lama berjalan, ia menemukan sesosok mayat hidup di ruang tengah apartemen. Dia berdiri, menghadap ke dinding, di mana ada bercak darah di sana, dan di bawahnya, jasad seorang wanita tua yang telah dimakan terbaring.

Bagus, aku menemukan satu, pikir Liam. Ia berjalan sambil berjinjit setelahnya. Ia keluar dari ruangan itu dan menuju ruangan lain. Ia memeriksanya, memastikan ada mayat hidup, dan senang karena ada mereka di lorong.

Melihat pergerakan samar dalam gedung yang temaram membuat mereka yang sedari tadi berdiam seperti pengangguran menoleh cepat. Liam keluar dari ruangan, menampakkan diri, melambai seperti baru berjumpa teman lama, lalu berlari naik ke tangga.

Para mayat hidup itu segera mengejarnya. Geraman mereka terdengar saat menyusul dirinya. Liam naik sampai ke pintu yang menuju ke rooftop. Setelah itu, ia berhenti beberapa meter dari pintu itu, lalu memejamkan mata dan ditangkap.

Didekap, digigit, dan Liam terbelalak. Gigitan dari salah seorang mayat hidup itu lebih sakit dari perkiraannya. Terlebih kulitnya dikoyak bak seorang yang mengoyak kulit ayam goreng. Darah mengalir deras, tetapi Liam tidak kesakitan.

Ia merasa gila. Sangat gila. Ia tersenyum di ambang kematiannya. Ia menikmati semua yang mayat hidup itu lakukan kepadanya.

Dirinya membayangkan kalau ia dicumbu mesra seorang malaikat dari surga. Liam tidak berteriak, dia malah mendesah menikmati.

Sampai akhirnya, Liam tersadar. Gigitan itu sudah cukup untuk menginfeksinya. Liam mendorong kuat mayat hidup di belakangnya sampai membentur dinding dengan keras. Dekapannya melonggar, ia bebas dalam puluhan detik sebelum berlari dan bersembunyi di dalam kegelapan.

Mayat hidup lain yang tadi mengejarnya tampak kebingungan. Liam sangat ingin keluar dari persembunyiannya dan menampakkan dirinya. Ia pikir akan sangat menyenangkan jika para mayat hidup itu menggigitnya. Mereka akan memberikan sensasi lebih pada kematiannya.

Sementara itu, Liam menahan diri agar tidak berubah dulu. Setengah jam saja, dia harus bertahan menjadi manusia. Dirinya mulai berubah, tetapi Liam masih bisa menahannya. Karena berubah, Liam menyibak lengan bajunya, lalu menggigit tangannya sendiri dan meminum darahnya.

Sampai akhirnya ia mendengar helikopter mendarat di rooftop apartemen. Liam tersenyum, lalu berjalan ke arah pintu. Ia melebarkan senyum mendengar suara larian di tangga darurat. Itu pasti Scar dan yang lain, aku tidak sabar mengejutkan mereka.

Setelah dirasa Scar mencarinya, barulah Liam keluar. Ia sengaja keluar dengan napas ngos-ngosan, sebelumnya ia berlari sambil menghentakkan kaki untuk memancing para mayat hidup.

Setelah keluar, pada saat mayat hidup berlari ingin menangkapnya. Namun, mereka gagal dan meraba-raba pintu, serta mengerang meminta dibukakan dan syukurlah tidak ada yang dapat mendengarnya karena suara bising mesin.

"Kau gila, Liam?" tanya Scar, berteriak dan menyiapkan peluru senapannya jika Liam mendadak melakukan sesuatu yang berbahaya.

"Ya, aku gila." Liam mendekati mereka semua yang menjauh karena takut kepadanya, ada sensasi baru yang ia rasakan. "Aku gila karena kematian ayahku."

"Tapi, kenapa?" tanya Scar yang mundur, membelakangi yang lain takut merekalah yang menjadi incaran Liam. Padahal Liam sedang menargetkannya.

"Jangan pura-pura tidak tahu, Scar." Scar diam, dia tidak mendengar jelas apa perkataan Liam. Liam semakin mendekatinya dan ia memilih untuk membeku sesaat. Lelaki itu pasti akan mengatakan sesuatu lagi, sementara itu Scar menyahut, "Apa katamu? Aku tidak mendengarnya."

Liam tertawa. Ia sudah berada tepat di depan Scar, yang walaupun kelihatan santai, Liam marah karena ditodongi pistol oleh orang-orang.

"Semua ini karenamu," kata Liam, mendesis di depan Scar. "Jika kau tidak ada, jika kau tidak menemukan kami, dan jika-jika yang lain, ayahku mungkin masih hidup."

Scar yang sedari tadi bingung dengan tingkah Liam mulai menemukan titik terang. Scar tahu kenapa Liam menjadi nekat seperti ini, dia marah karena ayahnya dibunuh.

"Apapun yang ingin kaukatakan lagi, aku minta maaf." Scar langsung meminta maaf dan mengajak Liam berdamai.

"Semudah itu?"

Brak!

Suara keras pintu yang dibuka dengan paksa membuat Scar dan yang lain menoleh ke asal suara. Pintu apartemen yang menuju ke rooftop patah, lalu keluarlah beberapa mayat hidup yang berlari ketika melihat mangsanya.

Scar baru saja akan mengarahkan senjatanya saat Liam mendorongnya dan merebut senapannya. Ia melemparnya ke sembarang arah, maju untuk menggigit Scar, dan Scar panik luar biasa.

Tepat saat itu, Liam tidak dapat menahannya. Mata memerah dengan cepat, geraman terdengar dari mulutnya, dan dia pun melompat ke arah Scar untuk mengakhiri nyawanya.

Scar menghindar, memancing Liam untuk mendekatinya, jangan mendekati keluarga serta satu-satunya rekan muda yang tadi ada di belakangnya. Sayangnya, Liam tidak menghiraukan pancingannya dan memilih mendekati sekumpulan orang yang mundur selangkah demi selangkah.

Klaire menangis ketakutan, membuat Scar semakin panik. Ia mencari senapannya di bawah suara ledakan peluru dari orang-orang yang berusaha menyelamatkan yang lain dan diri sendiri.

Karena dirasa tak dapat bertahan karena tempat yang sudah tidak aman, orang-orang itu masuk ke dalam helikopter dan menerbangkan burung besi itu. Namun, mereka tidak pergi, mereka hanya menghindar dan mengarahkan senjata cepat tembak mereka ke arah para mayat hidup.

Scar yang berhasil menggenggam kembali senjatanya, mengarahkan kepada Liam yang sudah semakin mendekati orang-orang pentingnya. Suara ledakan peluru bertubi-tubi, juga erangan para mayat hidup yang tidak terima dirinya dibunuh padahal sedikit lagi mencapai mangsanya, tidak mengalihkan fokusnya.

Scar membidik ke arah kepala Liam, dia akan mengakhiri semuanya. Tangannya bergetar hebat hendak menekan pelatuk. Sebelum kaget karena salah satu mayat hidup melempar diri kepadanya, lalu mendekatinya dan memojokkannya ke pojokan rooftop.

Harlie meraba-raba baju dan celananya, berharap ada senjata yang bisa mengukur waktu mereka untuk menghadap kepada Tuhan. Akhirnya, ia sadar kalau sedari tadi mereka memegang besi tipis tajam yang dapat menusuk, membuatnya menyenggol lengan Axel dan menunjukkan besinya.

Axel yang tersadar berdecak marah kepada dirinya dan Harlie yang tidak menyadarkannya sedari tadi. Ia dan Harlie maju, lalu melawan bersama-sama, melukai Liam untuk sementara, sampai Liam terpancing oleh jebakan Axel yang membuat kepalanya dapat ditusuk dengan besi dari Harlie.

Pekikan Annie dan Ryce yang ngeri mengakhiri nyawa lelaki muda itu. Klaire masih menangis keras karena mendengar ledakan peluru dari langit.

Memastikan Liam sudah tidak bernyawa, Axel dan Harlie membantu Scar. Namun, Scar tidak butuh bantuan karena ia sudah terlebih dahulu menuntaskan mayat hidup yang tadi menghalanginya.

Menatap Liam yang sudah tidak bernyawa, Scar semakin merasa tidak enak. Ia bangkit setelahnya, lalu mendengar bunyi protofon dan mengangkatnya.

"Kami harus menunda penyelamatan. Amankan diri kalian karena wilayah ini sudah tidak aman."

"Ta-Tapi-"

"Sudah, Tuan! Kami akan kembali besok pagi di tempat yang lain. Tempat yang lebih aman dari rooftop."

Percakapan terputus bersamaan dengan helikopter yang terbang menjauh. Scar menunduk, mengusap wajahnya, lalu menghampiri jasad Liam dan menembak kepalanya, melampiaskan kemarahannya.

Jika seandainya lelaki itu bisa berpikir lebih dewasa lagi, maka mereka sudah berada di dalam helikopter untuk menuju ke Amerika. Mereka akan selamat jika lelaki yang menjadi beban tim itu tidak berpikir seenak jidatnya.

Scar melirik pintu rooftop yang patah, sepertinya sudah tidak aman bagi mereka untuk menetap di sana. Scar pun mengajak yang lain untuk mencari tempat lain, itu pun jika bisa. Tempat mereka semula berada tidak efektif untuk dijuluki tempat yang aman. Mereka terpaksa mencari tempat lain, yang lebih aman dan membuat janji kembali esok pagi-pagi sekali dengan orang-orang itu.

***

Tak menunggu matahari timbul, Scar dan yang lain turun dari apartemen lewat tangga darurat. Annie mengambil kertas plastik besar yang masih berisi seperempat dan membawanya bersamanya. Mereka keluar dari persembunyiannya mereka, persembunyian yang sudah melindungi mereka 2 hari lamanya. Mereka berjalan beriringan di trotoar, dengan Scar dan Axel yang memimpin mencari tempat baru untuk mereka.

Klaire yang masih mengantuk tertidur di gendongan Ryce. Ryce tampak kelelahan dan tangannya pegal karena menggendong Klaire. Melihat itu, Annie menawarkan diri untuk menggantikan. Ryce mengangguk, lalu mengalihkan Klaire dari gendongannya, sebelum mengandeng kertas plastik yang juga beralih tangan.

Mereka berjalan sampai matahari muncul dari atas gedung-gedung pencakar langit. Mereka semua berjalan lesu. Harapan mereka kandas begitu saja. Semua karena Liam!

Scar berhenti karena lelah, membuat Axel juga berhenti dan menyuruhnya untuk istirahat. Pria itu sudah bekerja ekstra beberapa hari sebelumnya, membuat Axel kasihan dan demikian pula yang lain.

Mereka duduk di teras sebuah rumah yang entah milik siapa. Scar terduduk lesu dengan botol air  mineral di tangannya.

Axel dan yang lain duduk tak jauh darinya. Annie memangku Klaire yang masih tertidur. Dia sempat menolak untuk memberikan Klaire kepada ibunya.

Tak ada pilihan lain, Ryce pun menuruti keinginan adik iparnya yang keras kepala itu. Ia pun akhirnya duduk di sebelah Scar yang memejamkan mata.

Keletihannya tergambar jelas di wajahnya. Ryce pun mengelus bahunya. Sedikit kaget ada orang yang mengelusnya selembut itu, membuat Scar membuka mata dan menatap Ryce.

"Tidak apa-apa. Masih ada besok." Ryce menyemangati. "Kita akan selamat besok. Kita hanya perlu bertahan sampai besok saja. Setelah itu, kita akan bebas."

Hati Scar yang sedari tadi memanas karena marah kepada Liam perlahan mendingin disertai senyumannya yang terukir. Scar meraba tangan Ryce di bahunya, sembari mengucapkan, "Terima kasih."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top