2. Naoderaty Diisolasi

Bau menyengat dari sampah-sampah yang berantakan cukup dihiraukan Ryce yang sebenarnya tidak menyukai baunya. Namun, ia benar-benar penasaran dengan rumah itu. Bahkan Ryce tidak memedulikan beberapa orang yang meneriakinya untuk kembali dan menganggap ia sedang kurang pekerjaan.

Beberapa langkah mengendap, Ryce pun sampai ke rumah itu. Rumah itu terbuat dari lembaran besi kuat yang disatukan dengan sekrup yang tak menyatu rapi, sehingga isi dalamnya bisa diintip dari luar.

Ryce mengikis jarak antara dirinya dan tembok besi rumah itu dan membungkukkan badan. Ia mengintip isi dalamnya lewat lubang ciptaan sekrup yang tak dapat menyatukan dua lembaran besi dengan sempurna.

Di dalam sana, terlihat beberapa alat-alat kimia tergeletak di atas meja. Beberapa berisi cairan dan berasap, sedangkan sisanya kosong.

Ryce mengerutkan dahi melihatnya. Kenapa di tempat pembuangan sampah ada alat-alat seperti itu? Terlebih alat-alatnya bersih? Batinnya, merasa aneh.

"Hei, siapa kau?"

Pupil mata Ryce membesar, ia menegakkan badan dengan cepat. Dirinya sempat melompat kaget dan gemetar akibat mendengar suara berat dari seseorang.

"Apa yang kaulakukan di sini?" Ryce menoleh ke asal suara, menatap bersalah dua orang lelaki dengan salah satu memakai jas laboratorium dan satunya memakai jaket kulit khas anak motor.

"Aku ...." Ryce menatap ke atas, mencari alasan logis untuk ia katakan kepada para lelaki itu. "sebenarnya aku ingin membuang sampah. Hanya saja melihat ada rumah di sini membuatku penasaran dan menghampirinya."

Lelaki berjas mengernyit.

"Bukankah aneh ada rumah di tempat pembuangan sampah?" sambung Ryce setelah melihat respons dari lawan bicaranya.

Lelaki berjas itu melirik temannya, lalu kembali menatap Ryce. "Itu hal yang wajar. Banyak laboratorium anak kuliah--terlebih perantauan seperti kami yang memilih tempat pembuangan sampah sebagai lokasi tempat tinggal sekaligus menyelidiki zat-zat kimia," sahutnya, membuat Ryce menggigit bibir.

"Begitukah? Kalau begitu aku minta maaf," pinta Ryce, tersenyum kikuk.

Lelaki berjas itu hanya menganggut. "Kalau begitu, pergilah!"

"Baik. Maaf telah menganggu kalian."

Ryce segera meninggalkan dua orang itu setelah dipersilakan pergi. Ia melangkah dengan cepat, keluar dari pagar kawat, lalu meraih sepedanya dan menggantungkan kertas belanjanya ke stang sepeda.

Mengayuh tanpa melirik ke arah rumah itu lagi membuat Ryce tidak melihat ekspresi cemas si lelaki berjas. Ia kembali masuk ke rumah itu, diikuti rekannya, lalu memperhatikan satu-persatu alat yang ada di dalam sana.

"Kuharap dia tidak melihatnya." Tatapan si lelaki mengarah ke sebuah botol kaca berisi cairan berbuih. Di sampingnya, sebuah suntikan tergeletak, kosong.

"Kurasa dia tidak melihatnya," sahut rekannya, membuat si lelaki berpaling muka ke arahnya.

"Jika dia berbohong, kita bisa dipenjara." Ia menghampiri temannya dan meraih kerahnya. "Kita harus bertindak cepat. Sebelum kita dipenjara, kita harus dapat menaklukkan kota."

"Kau yakin cairan itu sudah bisa digunakan?" tanya lawan bicaranya.

Si lelaki menyeringai pelan. Ia melepas kerah baju temannya perlahan, lalu terkekeh dan kembali menatap botol kaca berisi cairan tadi.

"Kau meragukannya?"

Temannya hanya menatap ke bawah.

"Ck. Ayolah." Si lelaki yang melihat ekspresi gundah rekannya itu menepuk-nepuk bahunya. "Kita akan diupah. Tenang saja."

Temannya menarik napas perlahan.

"Oh, ya. Ngomong-ngomong, ada satu hal lagi yang perlu aku lakukan untuk mengetes cairan itu, apakah sudah bisa digunakan atau belum," kata si lelaki, membuat temannya yang baru saja menghembuskan napas, menatapnya.

"Apa itu?"

Si lelaki meraih jarum suntiknya dan memasukkan jarumnya ke dalam botol sebelum menarik cairannya.

Setelah itu, ia memeriksanya apakah cairan itu sudah cukup atau tidak. Si lelaki menatap temannya yang berdiri diam sambil mengernyit.

Lelaki itu mendekatinya, membuat lelaki berjaket itu mundur selangkah. Pasalnya, ekspresi si lelaki membuatnya mulai berpikir kalau ia akan dijadikan 'kelinci percobaan'.

"Kenapa mundur? Aku ingin bertanya apakah cairannya sudah cukup untuk disuntik," tanya si lelaki, membuat lelaki berjaket menghela napas lega.

"Kurasa itu sudah cu-"

Dengan selangkah lebar, si lelaki mendekap temannya dan membalikkan tubuhnya. Ia mengunci lehernya dengan lengan dan mencekiknya sebelum lelaki berjaket tadi menyadarinya.

Ia langsung menancapkan jarum tajam suntikan ke leher temannya itu. Perlahan, ditekannya penekan suntikan sehingga cairannya masuk ke dalam tubuh si lelaki.

"Kau!" Tentu saja, si lelaki marah dan geram.

Temannya hanya terkekeh. "Maaf. Aku memerlukan kelinci dan sayangnya tidak ada kelinci di sini," katanya sembari menarik temannya itu untuk diikat. Ia mendudukkannya ke atas kursi, mengikat tubuhnya dengan beberapa ikat pinggang yang menempel pada sandaran kursi.

Setelah dirasa kuat, ia mundur dan sempat menubruk meja karena tak memperhatikan jalan. Cairan yang ia suntikan mulai bekerja--bisa diketahui saat terdengar erangan kesakitan si lelaki berjaket kulit berganti ke geraman.

Melihat hasil dari cairannya, lelaki berjas itu tersenyum senang. Ia melirik suntikan di tangannya, lalu menatap kembali temannya, sebelum bergumam mengerikan. "Sudah bisa digunakan."

***

Ryce datang ke rumah dengan napas ngos-ngosan, membuat Annie, Axel, dan Scar menatapnya heran. Keringat tercipta di wajahnya, sebagian membuat rambut keritingnya lepek dan menempel di sana.

"Aku pulang," serunya tak bersemangat.

Annie yang kebetulan baru saja selesai mengemasi alat-alat makannya menghampiri. "Ada apa? Kau seperti seorang yang baru saja dikejar anjing," tanyanya.

Ryce menyeka keringat di dahinya. "Akan kuceritakan nanti, saat makan siang," jawabnya.

Annie dan Axel saling pandang, sedangkan Scar merespons dengan tatapan dinginnya--seperti biasa.

"Aku harus memasak. Permisi, Annie." Setelah dirasa kerja jantungnya sudah normal, Ryce melesat ke dapur dan mengeluarkan bahan-bahan makanan yang akan ia masak sebelum mulai memasaknya karena waktu makan siang sudah terbuang cukup banyak.

Annie langsung membantu tanpa disuruh. Sempat dipanggil Scar karena Klaire ingin bermain bersama mereka bertiga, tetapi Annie bilang Axel dapat mengatasinya.

Lagi-lagi Ryce merasa sesak kala Scar terlihat tidak memperbolehkan satu pun orang membantunya mengerjakan ini-itu. Ryce tak pernah tahu kenapa pria itu begitu tidak menyukainya.

Untunglah Annie Henderson Greys merupakan tipe wanita keras kepala. Lagipula ia adalah adik dari Scar, dia bisa menolak permintaannya kapan dan di mana saja.

Hampir satu jam bekerja bersama di dapur, makan siang pun siap.

Ryce menghampiri Klaire dan menggendongnya. Ia mendudukkannya di atas kursi khususnya dan setelah duduk di kursinya, Ryce mengambil mangkuk kecil berisi sayur brokoli lunak kesukaan Klaire dan mulai menyendok isinya.

"Makan siang bersama sudah terjadi. Sekarang ceritakan kepada kami kenapa kau pulang dengan napas ngos-ngosan," suruh Annie setelah menelan makanannya.

Ryce tampak bingung untuk sesaat--tidak tahu bagaimana memulai ceritanya. Ia masuk ke tempat pembuangan sampah hanya karena sebuah rumah yang sebenarnya sudah lama berdiri di sana--hanya saja hari ini ada motor bike yang mencuri perhatiannya. Scar pasti akan menatap sinis dirinya. Dia pasti mengomentari kalau dirinya tidak waras.

"Pulang dari pasar, perhatianku mendadak mengarah ke rumah kecil di tempat pembuangan sampah." Namun, Ryce tetap memulainya. "Tidak ada yang aneh dengan rumah itu, hanya saja ada motor bike bersih terparkir di depan rumah dan itu mencuri perhatianku."

Semua orang menyimak.

"Aku masuk ke tempat pembuangan sampah dan mengintip isinya. Isinya membuatku bingung. Ada alat-alat kimia bersih di dalam sana." Ryce melanjutkan.

"Saat ingin melihat lebih banyak, penghuni rumah keluar dan memergokiku. Mereka yang berjumlahkan dua itu membuatku takut dan malu, lalu setelah mendapat izin pergi dari mereka, aku melesat keluar dari tempat pembuangan sampah dan pulang."

Annie dan Axel mengerjap. "Apakah itu laboratorium?" tanya Axel, tertarik karena ia seorang penyuka sains.

Ryce hanya menaikkan kedua bahu sebelum menyendok brokoli lunaknya dan memasukkannya ke dalam mulut Klaire.

"Ternyata dipecat dari pekerjaan membuatmu tidak waras ya?" sahut Scar, membuat semua mata memandangnya--kecuali Klaire yang sibuk bermain dengan bonekanya.

Ryce hanya menatapnya. "Kau seperti seorang pengangguran," sambung Scar, lalu memakan daging ayam panggangnya.

"Scar." Annie mulai bertindak untuk mencairkan suasana, sekaligus mengingatkan Scar agar tak semakin jauh mencemooh mantan istrinya.

Scar hanya meliriknya tanpa ekspresi bersalah. Itu membuat Annie membuang napas, lalu menoleh kepada Ryce yang memasang wajah datar.

Annie baru saja hendak menggapai bahunya saat mendadak wanita itu menjauhkan tubuhnya. Ia menyendok brokolinya, lalu memasukkannya ke dalam mulut Klaire yang kosong, sebelum berucap dengan intonasi dipaksakan.

"Kalian ingin makan malam dengan apa?"

Perubahan topik seperti itu sudah sering terjadi, terlebih jika ada Scar. Itu merupakan pertanda bahwa hati Ryce sedang sakit dan ia ingin mengakhiri topik yang dibahas.

"Ayam lagi!" jawab Axel, bersemangat. Annie mengangguk, ia juga menginginkannya.

"Aku mengikuti yang lain," sahut Scar, sebelum mengelap mulutnya dengan sapu tangan yang tersedia. Ia sudah selesai makan dengan piring tak bersisa.

Ryce tersenyum. "Baiklah, aku akan membuatkannya lagi nanti malam."

Axel dan Annie balas tersenyum, sedangkan Scar tak acuh dan berdiri dari kursinya untuk pergi ke luar.

Ryce menatap datar sang mantan suami yang sifatnya tak berubah sejak sebelum mereka menikah. Sifatnya itu membuatnya teringat dengan ayah Scar sebelum kematian menjemputnya. Itu membuatnya sedih dan kecewa kepada diri sendiri karena sampai sekarang masih belum bisa membahagiakan pria yang sebenarnya masih ia cintai itu.

***

Keesokan harinya, Klaire masih tertidur di kamar Ryce. Dia sempat berjaga pagi-pagi sekali untuk bermain bersama bonekanya dan menangis saat ibunya menolak karena hari masih terlalu dini.

Namun, Ryce bisa mengatasinya. Beberapa jam setelah itu, Klaire tertidur dan sampai pagi beranjak pun ia masih mendengkur.

"Anak itu belum bangun. Padahal aku sangat ingin berpamitan dengannya," ucap Annie, lesu.

"Maafkan aku. Jarang sekali dia terbangun dan berjaga tadi dini hari. Entah kenapa dia melakukannya hari ini," sahut Ryce dengan mata panda di matanya.

Annie mendengus. "Seharusnya kau menidurkannya lebih awal."

"Bagaimana aku melakukannya? Klaire tidak selalu manis seperti namanya."

Annie memajukan mulutnya.

"Sudah, Annie. Nanti setelah kita sampai ke Amerika, kita telepon dia dengan video call. Kau akan melihat wajahnya di layar." Axel menyemangati Annie. "Dia pasti akan bangun."

"Kau benar."

Ryce tersenyum, lalu mengelus pundak Annie.

"Annie, Axel, ayo, cepat! Pesawat akan lepas landas 20 menit lagi," teriak Scar dari samping mobil taksi, membuat Annie dan Axel tersadar.

"Aku pamit, Ryce." Annie memeluk Ryce dan menggendong tas kecilnya.

Ryce mengangguk. "Kabari aku jika sudah sampai ya."

Annie hanya tersenyum, sebelum berbalik untuk menuruni tangga bersama Axel yang membawa koper.

Namun, sampai di tangga tiga, samar-samar suara sirene yang tersebar dari pusat kota Naoderaty ke seluruh pelosok pulau berbunyi. Sirene peringatan.

Tepat saat itu, ponsel Axel bergetar. Ia mengambil ponselnya, melihat ada pesan yang masuk, pesan berinstansikan resmi dan setelah membacanya, ia terbelalak.

"Naoderaty diisolasi."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top