19. Lelaki Dengan Jas Laboratoriumnya
Rencana mendadak terhenti, termasuk Scar dan Axel yang semulanya ingin pergi. Mereka berlima kembali ke ruangan bersama seorang perempuan cantik berkulit kusam.
Harlie, Liam, Gregory, Annie, maupun Ryce tidak menyangka mereka akan balik ke ruangan. Terlebih mereka membawa seorang perempuan dengan suntikan di tangannya.
Masuk, Scar mempersilakan perempuan itu untuk duduk. Ia menyuruh Annie untuk mengambilkannya air minum, Annie sontak bergegas ke dapur.
Sebelum membongkar rasa penasarannya, Scar menyuruh perempuan itu untuk minum. Dia minum dengan tangan gemetar, masih memegang suntikan, dan menunduk sebelum mengucapkan terima kasih setelah airnya habis dalam satu tegukan.
"Siapa dia?" bisik Annie kepada Axel, mewakili pertanyaan yang lain.
"Kau akan tahu sendiri."
Scar, Adam, dan Rico menatap serius gadis itu. Mereka pun mulai bertanya, dimulai dari Adam.
"Apakah benar kau yang menginfeksi para penghuni hotel dengan suntikan itu?"
Gadis itu mengangguk. Terdengar isakan lirih dari mulutnya sebelum menjawab, "Aku menculik dan hanya menyuntik satu orang saja, lalu aku mengeluarkannya dari kamarku dan membiarkannya bebas."
Rico melanjutkan sesi bertanya. "Siapa yang menyuruhmu? Kau aman di sini. Katakan saja!"
Gadis itu diam, dia menggeleng pelan. "Aku akan dibunuh."
"Kau tahu 'kan bukan jawaban itu yang ingin kudengar?" tanya Rico, berdecak.
"Jika aku memberitahumu, aku akan dibunuh oleh pemimpinku," jawab si gadis, masih mempertahankan pendiriannya.
Rico baru saja hendak membentak sebelum Scar menahan tangannya yang akan menggebrak meja. "Kau bisa menjawab pertanyaan Rico saat kau sudah siap. Kami berharap mendapatkan jawaban yang memuaskan." Tatapan tajam pria itu mengarah lurus kepada Rico, membuat kemarahan Rico kepada si gadis perlahan menguap dan ia melepaskan paksa tangannya dari genggaman Scar.
"Apakah kau mempunyai rekan? Atau penyuruhmu itu mempunyai anak buah?" tanya Scar, merendahkan intonasi bicaranya agar gadis itu tidak merasa terancam.
"Aku mempunyai rekan. Kami tersebar di seluruh penjuru kota dan berkumpul di tempat pemimpin untuk merumuskan sebuah zat berbahaya dan menerima upah." Mendengar kalimat "kami tersebar", Scar sudah tahu kalau anak buah dari seorang yang dipanggil "pemimpin" itu sangat banyak. Ia membuang napas dan bertanya lagi. "Boleh kami tahu berapa banyak?"
"100--Tidak, kurasa itu masih kurang. Aku tidak pernah menghitungnya, tapi kuperkirakan, ada 100 orang yang terlibat." Si gadis menjawab lagi.
"Jumlah yang epik," puji Scar. 100 orang penyuntik mampu membuat kota di ambang kehancuran dan semua penduduknya mati sia-sia. "Apakah pemimpinmu termasuk?"
Gadis itu menggeleng.
"Baiklah. Singkatnya, pemimpinmu itu memiliki 100 anak buah--bisa kurang bisa lebih--dan mereka tersebar di seluruh penjuru kota." Adam menyimpulkan. "Biar kutebak. Mereka melakukan hal yang sama sepertimu?"
Gadis itu mengangguk.
"100 anak buah yang memiliki pekerjaan sama. Ada kemungkinan mereka semua selamat karena sudah tahu apa yang telah dilakukan dan resikonya." Adam mendengkus.
"Usia mereka berkisar di antara berapa?" tanya Rico. "Kami harus tahu berapa usianya agar dapat memberikan hukuman yang setimpal."
"Beberapa dari kami adalah mahasiswa, 18 sampai 22 tahun. Beberapa lagi merupakan ilmuwan, berusia sekitar 30 tahun."
"Ilmuwan muda," batin Axel.
"Para pelakunya masih muda," sahut Scar. "Kau masuk ke mana? Mahasiswa atau ilmuwan?"
"Mahasiswa semester akhir," jawab si gadis.
Scar, Rico, dan Adam saling pandang, lalu pertanyaan yang akan menjadi pertanyaan penutup yang melintas di kepala dilempar. "Ini yang terakhir. Siapa namamu?"
"Nana."
***
Nana memakan lahap makanan yang disajikan Ryce dan Annie. Rico dan Adam pergi ke ruangan tempat gadis itu semulanya bersembunyi dan kembali dengan koper kecil penuh suntikan berisi. Mereka menyelidikinya, sebentar-sebentar bertanya kepada Nana yang masih makan. Nana menjawab dengan mulut penuh, dia tidak makan apa pun dari hari kemarin.
"Banyak sedikitnya cairan itu tergantung dengan orang yang akan disuntik. Jika dia orang yang besar, maka cairan terbanyaklah yang harus dipakai."
"Di dalam cairan itu, ada dua virus mematikan bernama Ebola dan Rabies. Namun, berbeda dengan virus biasa, virus ini menyerang otak, mematikan sel saraf, membuat kita tidak dapat mengendalikan pikiran lagi dan berubah menjadi zombie dan memakan orang lain," jelas Nana, panjang lebar.
"Kenapa kalian membuat virus baru itu?" tanya Annie yang duduk sambil memeluk bantal di samping Nana.
"Aku tidak tahu. Aku hanya menjalankan tugas. Di Belanda, ibuku sedang sakit. Dia dijaga oleh adikku," jawab Nana.
"Bukannya menyakitkan jika ibumu tahu kau melakukan pekerjaan haram?" Ryce menyambung percakapan, memasang wajah sedih.
Nana membuang napas. "Aku sudah ditolak bekerja hampir 50 kali. Pemimpinku menemukanku yang ingin bunuh diri akibat tidak dapat membayar uang kuliah dan dia bersedia membantu dengan satu syarat--menjadi anak buahnya."
"Siapapun dia, dia sangat kaya dan licik," sahut Gregory. "Kau tidak berniat untuk berhenti setelah mendapatkan upah darinya?"
"Semulanya begitu, tapi karena dia mengancam akan membunuh kami, kami pun tidak berani melakukannya." Nana menjawab lesu.
"Kasihan." Liam menarik dua sudut bibirnya ke bawah.
Nana mengendikkan bahu. "Apa yang bisa dilakukan jika kita berada di posisi seperti itu?"
Mereka menunduk dan mendengkus pelan.
Sementara yang lain mengubrak-abrik koper, Ryce, Annie, Liam, dan Gregory bertanya dan bercakap-cakap dengan Nana. Gadis itu sangat baik dan supel, dia tidak sebanding melakukan pekerjaan yang membahayakan itu.
"Aku ingin bertanya sekali lagi." Ryce mengangkat tangan sambil membetulkan posisi Klaire di pangkuannya. "Kau tahu bagaimana caranya mengakhiri wabah ini?"
Nana sontak menghentikan aktivitas makannya. Ia terdiam beberapa saat dan terlihat memikirkan jawaban untuk Ryce.
Responsnya itu membuat Ryce dan yang lain mengernyit. Annie menepuk bahunya guna menyadarkannya, sebelum gadis itu sadar dan menjawab dengan buangan napas.
"Wabah tidak bisa diakhiri. Kita hanya bisa menghindarinya," jawabnya. Ryce dan Annie saling pandang. Mereka tidak paham dengan jawabannya dan memilih berpikir daripada bertanya lagi.
"Aku tahu kalau jawaban ini tidak sesuai dengan jawaban yang kalian inginkan. Namun, percayalah kalau wabah ini tidak bisa dihentikan," sambung Nana setelah melihat wajah-wajah kebingungan di depannya.
"Terserah apa katamu, Nana. Sekarang hentikan makanmu dan jelaskan apa ini!"
Sahutan itu tidak berasal dari empat orang yang duduk bersama Nana di meja makan. Sahutan itu berasal dari salah satu anggota tim pengubrak-abrik koper--Rico yang kelihatan marah dengan sebuah ponsel di tangannya.
Nana terbelalak, dihampiri oleh Rico yang meletakkan ponselnya dengan kasar. Ia menghidupkannya dan terlihat sebuah percakapan digital tergambar di layarnya.
"Kau gadis yang licik!" teriak Rico, membuat Annie bangkit tanpa melihat terlebih dahulu percakapan itu.
"Bisakah kau tidak kasar kepada perempuan, Rico!?" sahut Annie.
"Aku tidak akan kasar kepadanya jika aku tidak menemukan ini." Rico menunjuk ke ponsel. "Dia. Dia adalah pengkhianat!"
Annie dan Ryce melebarkan mata. Nana terbelalak dan mulai berkeringat. "A-Apa maksudmu?"
Rico berdecak, lalu menarik kepala Nana dan menyuruhnya untuk membaca sendiri pesan yang dikirimkannya kepada seseorang. Annie mendorong Rico, menyuruhnya untuk melepaskan rambut Nana sedangkan Ryce menarik Nana yang memekik kesakitan.
Sambil menenangkan, Ryce membaca isi ponsel yang membuat Rico mendadak marah kepada Nana. Sebuah percakapan.
Di sana, terlihat Nana yang mengirim pesan kalau dia telah mendapatkan target--entah target apa. Yang menerima pesan penasaran. Nana pun memberitahunya. Ryce terbelalak saat menemukan kalimat; "Ada segerombolan orang yang menginap di sini, mereka bersembunyi dari para zombie. Aku tahu karena terdengar ledakan peluru di luar. Aku akan memancing mereka untuk dimakan."
"Nana?" Ryce mendorong Nana dari dekapannya. "Kau ingin mengorbankan kami?"
Nana tidak menjawab. Dia hanya menggeleng.
"Nana!" Ryce menarik tengkuk Nana dan memalingkan wajahnya kepadanya. "Jangan berbohong!" Ia berucap seperti saat dia menolak permintaan Liam.
"Aku tidak mengirim pesan seperti itu," jawab Nana, berusaha untuk tidak menangis dan menyakinkan.
"Lalu, kenapa ada benda ini di dalam kopermu!?" Rico mengambil alih sesi bertanya dan berteriak kembali kepada Nana, menunjuk-nunjuk ke arah ponsel.
"Aku bersumpah demi Tuhan, Pak!" sahut Nana, tak kalah nyaring.
Rico tidak mempunyai kata-kata untuk diucapkan lagi. Ia menghampiri Nana dan bertanya lagi dengan tenang, tetapi mimik wajahnya mengancam.
"Jawab aku atau kau mati," suruh Rico dengan intonasi rendah, menatap Nana yang menjadi perhatian semua orang.
"Ponselku berwarna putih," kata Nana. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan benda pipih berwarna putihnya. "Ini."
"Jadi, itu ponsel siapa?" tanya Rico yang segera meraihnya dan memeriksa pemiliknya.
"Aku tidak pernah melihat ponsel itu," jawab Nana. Keadaan mulai membaik.
"Kau kenal dia?" Rico membalik ponsel dan menunjukkan sebuah foto. Nana dan seorang lelaki. Mereka sama-sama mengenakan jas laboratorium.
Nana sekali lagi tidak menjawab. "Aku takut."
"Nana!"
"Tidak apa-apa, Nana. Kami akan melindungimu," desak Annie yang meraih dan mengenggam tangan Nana.
Nana sangat ingin mengatakan, tetapi ia takut. Namun jika dia tetap diam, orang-orang yang baru saja dikenalnya itu akan terus memaksanya dan mungkin pada akhirnya dia akan disakiti untuk buka mulut.
"D-Dia salah satu rekanku." Nana menunjuk ke layar ponsel. "Namanya Naki."
"Naki?"
Nana mengangguk takut.
"Apakah dia yang mengancammu?" tanya Rico.
Nana menggeleng pelan.
"Untuk apa kau merasa takut?" Rico terkekeh kecil dan mengantongi ponsel itu. "Jadi, ponsel ini milik Naki?"
"Mungkin."
"Rico, boleh aku melihat foto orang bernama Naki itu?" tanya Ryce yang sedari tadi penasaran hendak melihat wajahnya. Tadi dia berusaha untuk melihat, tetapi sibuk menenangkan Nana dengan ilmu keperawatannya.
Rico memutar bola matanya. Ia meraih kembali benda pipih itu dan membuka sandinya.
Setelah itu, ia pergi ke galeri. Ia menunjukkan foto Naki dengan jas laboratorium kepada Ryce.
Ryce hanya menyipitkan mata dan mengambil ponsel hitam itu dari tangan Rico. Ia memperhatikan dengan seksama karena familier dengan jas yang dipakainya. Jas panjang, sedikit kusam di bagian bawah, dan rambutnya yang berantakan. Ryce terbelalak. Ia sama sekali tidak menyangka kalau orang itu dekat dengan seorang gadis yang ada di sampingnya.
"Na-Naki." Ryce mendongak, menatap Annie dengan tatapan takut. "Aku bertemu dengannya di rumah itu."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top