18. Seorang Gadis dan Suntikan
Axel duduk bersama Scar, kembali memperhatikan suntikan yang tadi siang diperhatikannya dengan malas. Ia sudah menjelaskan tentang suntikan itu dan jawabannya tetap sama: suntikan itu bukan suntikan dari rumah sakit ataupun laboratorium.
"Jika itu adalah suntikan sendiri, pemilik bebas untuk mendekorasi dan memberikannya perbedaan agar tidak bercampur dengan suntikan normal saat hilang. Berbeda jika suntikan itu berasal dari orang, terlebih instansi resmi. Tidak boleh ada suntikan yang berbeda, kecuali suntikan khusus," jawabnya, menatap Scar yang mengarahkan netra ke tangannya. Jawaban dari Axel kurang memuaskan. Ia menginginkan jawaban apakah suntikan itu dari laboratorium atau rumah sakit, atau dari tempat yang lain.
"Namun, suntikan itu mirip dengan suntikan laboratorium," sambung Axel, "Terlihat dari pemompanya. Ujungnya tidak bulat mendatar."
Scar melirik pemompa suntikan, bentuknya bulat, tetapi berdiri. Seukuran jari jempol orang dewasa. Scar menganggut, ia akhirnya mendapatkan jawaban yang memuaskan.
"Kita sudah diteror dua kali dengan suntikan. Satu suntikan normal dan itu suntikan orang." Rico melipat tangan. "Aku semakin yakin ada seseorang yang iseng di sini. Kita harus menemukannya!"
"Aku baru saja hendak berbicara begitu," kata Scar, menatap yang lain dengan pandangan berharap. "Kita harus mencari orang itu. Dia memang tidak terlalu penting di sini, tapi setidaknya kita menyelamatkannya."
"Lagipula, dia pasti kelaparan," sambung Harlie dengan wajah sendu. "Sudah tiga hari semenjak virus itu menyebar. Makanannya pasti sudah habis."
"Jadi, kita cari dia?" tanya Adam, yang disambut anggukan semua orang.
"Namun, aku tidak ikut." Scar mengangkat tangan, lalu menatap Adam yang mengernyit. "Ryce bilang kalau dia menemukan suntikan ini di sebuah rumah di perbatasan Maskara. Aku akan ke sana, menyelidiki rumah itu. Pasti ada sesuatu yang aneh, terlebih suntikan yang dilihatnya ini sampai ke sini seakan mengiringinya."
"Tapi, kau ke sana dengan apa?" tanya Adam yang melipat tangan.
"Di luar mobil terparkir, sangat banyak dan tidak beraturan. Kunci mobil pasti masih melekat. Aku akan memakai salah satunya," jawab Scar.
Adam dan yang lain saling pandang, mengumpulkan persetujuan lewat mata. Mereka membutuhkan Scar, selama ini Scar-lah yang sering membantu dan tahu seluk-beluk kota.
Ia juga sering menyelamatkan yang lain, tetap memperhatikan dirinya juga. Dia dapat menembak tepat sasaran, bukan berarti Adam dan Rico yang merupakan senior tidak bisa melakukan.
"Kau bisa menjaga diri?" tanya Adam pada akhirnya. Scar mengangguk, menyakinkan atasannya itu.
Adam menatap penuh selidik, takut pria kekar itu berbohong kepadanya. Setelah yakin, dia menatap yang lain, memilih rekan yang tepat untuk menemani Scar.
"Aku butuh Rico. Aku juga membutuhkan Steve." Ia mengelus dagu. "Harlie berjaga di sini, bersama Liam dan Gregory. Artinya ...." Adam menoleh kepada Axel di sampingnya. "kau ikut Scar."
"A-Aku?" tanya Axel, menunjuk dirinya sendiri.
Adam berdecak malas. "Kau menolak?" Pria itu balik bertanya, dengan tatapan mengancam.
Axel menarik kerah bajunya. "Baik, aku ikut Kak Scar," sahutnya pada akhirnya, membuat tatapan mengerikan Adam berhenti.
"Terima kasih sudah mengerti."
Seperti biasa, setelah penentuan siapa yang ikut Scar dan siapa yang ikut Adam, akan ada pembuatan rencana.
Liam, Harlie, dan Gregory juga ikut berdiskusi walaupun mereka bertugas menjaga Annie, Klaire, dan Ryce. Tidak ikut keluar bukan berarti tidak ikut membuat rencana.
"Baiklah. Aku, Rico, dan Steve akan berpencar di hotel ini. Kami akan mencari pemilik suntikan, sedangkan Scar dan Axel pergi ke pantai Maskara." Semua raut wajah menjadi serius. "Hotel ini terdiri dari 18 lantai. Masing-masing dari kita menyelidiki enam lantai."
Rico melempar tubuhnya ke sandaran. "Tidak bisakah jatahku dikurangi?" tanyanya tidak terima.
Adam kesal. "Tidak."
"Sialan," umpat Rico. Adam tidak menanggapi, dia tidak peduli.
"Scar, apa rencanamu?"
Scar berpikir sejenak, sebelum menjawab pertanyaan Adam. "Aku akan pergi ke Maskara, berhenti di tempat pembuangan sampah, dan pergi ke sebuah rumah. Wilayah itu kemungkinan tidak aman karena hari itu, saat aku dan yang lain menyelamatkan diri, beratus-ratus zombie pergi ke pantai."
Hening. Scar pun melanjutkan.
"Jika ada sesuatu yang tidak diinginkan, aku bisa mengatasinya. Axel akan menyelidiki rumah itu, sedangkan aku berjaga-jaga."
"Mendengar rencanamu, aku tidak yakin kalian bisa bekerja dengan baik," komentar Adam. "Apakah kalian memerlukan rekan tambahan?" Sambil bertanya, Adam melirik rekan-rekannya yang lain.
"Kurasa cukup kalau berdua. Axel juga tahu sedikit cara melindungi diri dari gigitan." Scar menyakinkan. Ia merasakan perasaan gundah pemimpinnya itu.
Adam menghela napas gusar. Ia tidak mau kehilangan rekan lagi terlebih ia mendengar wilayah pantai bernama Maskara itu tidak cukup aman. Scar dan Axel penting di dalam kelompok, jika ada yang tergigit maka Scar beresiko untuk digigit pula.
"Cepat kabari aku jika kau butuh bantuan. Harlie, pinjamkan handie-talkie-mu kepada Scar."
Harlie meraba-raba pinggangnya. Ia menemukan sebuah handie-talkie dan menyerahkannya kepada Scar.
Kelak, handie-talkie itu akan tersambung kepada Rico. Jika ada masalah, Scar akan menghubunginya dan Rico akan memberitahu yang lain lewat protofon.
"Bagaimana dengan rencanamu, Harlie?"
"Setelah kalian semua keluar, aku akan mengunci pintu. Aku akan mendengarkan informasi yang kalian berikan lewat protofon--kabari aku jika ada apa-apa," jawab Harlie. "Seperti kemarin, Gregory dan Liam menjaga kaca, melihat ke bawah tepat di teras depan hotel. Aku menjaga pintu dan tiga orang itu bisa melakukan apapun yang ingin mereka lakukan." Lelaki itu melirik Ryce, Annie, dan Klaire.
"Rencana yang bagus," puji Adam, tersenyum puas mendengar bawahannya mengutarakan rencananya.
"Terima kasih, Komandan."
"Karena semua rencana sudah terkumpul, kita akan memulainya. 5 menit, semua orang harus sudah siap, kalian paham?"
"Paham!"
Adam menepuk tangannya. "Mulai dari sekarang." Perkumpulan itu pun bubar dan semua orang sibuk mengambil barang-barang yang akan dibawa. Scar mengisi penuh senapannya, Axel mencari dua pisau di dapur, dan Harlie menyiapkan protofon dan mengeceknya dibantu Steve. Liam dan Gregory membantu yang lain bersiap. Adam dan Rico sudah merangkul senjatanya.
Klaire yang sedari tadi berlari-lari ria, mundur melihat senjata. Ia berlari cepat ke arah Ryce sambil memekik ketakutan. Ryce dan Annie tertawa, tidak terkecuali yang lain. Anak-anak takut senjata padahal sekumpulan lelaki itu tidak berniat untuk menakutinya.
5 menit berlalu dan semua orang sudah siap. Annie memeluk Axel, berbisik di telinganya, "Hati-hati. Aku mencintaimu." Setelah itu, mereka berciuman. Adam, Rico, Steve, dan Harlie mendengkus, mereka merindukan pasangannya masing-masing di Amerika akibat melihat pasangan suami-istri tersebut.
Mundur, Annie bergabung dengan Ryce, Klaire, Liam, dan Gregory. Harlie berada tak jauh di depannya, bersiap di depan pintu dan akan segera menutupnya jika orang-orang bersenjata lengkap itu keluar dari ruangan.
"Setia selamanya," ucap Adam setelah mereka berkumpul. Perkataan barusan merupakan slogan khas militer Amerika Serikat. "Tuhan melindungi kita."
Scar dan Axel membentuk salib di tubuh mereka: menyentuh kepala, dada kiri, dada kanan, lalu hati. Mereka memejamkan mata sesaat, lalu membuka dengan Axel bersama tatapan beraninya dan Scar dengan tatapan siapnya. Setelah itu, barulah Adam memerintahkan Harlie untuk membuka pintunya. Harlie pun membukanya, Adam dan yang lain bercengkraman sesaat, lalu pergi ke luar dengan Annie yang sempat menyoraki Axel agar pulang dengan selamat.
Namun, baru beberapa langkah keluar dan berpencar, Adam dan yang lain kaget melihat seseorang. Ia berdiri sejenak di tangga dengan suntikan di tangannya, membuat Adam langsung menebak kalau dialah pemilik suntikan.
Dia langsung turun dari tangganya, disusul Adam dan Scar yang memimpin di depan. Semua orang mengikutinya, kecuali Axel yang mendadak melupakan rencananya. "Apa yang ingin kuperbuat tadi?"
Adam, Scar, dan dua lainnya mengejar si pemegang suntikan sampai ke lantai dasar. Pemilik suntikan itu berlari cepat ke pintu keluar, tetapi tidak dapat menandingi kecepatan berlari Scar.
Lelaki itu langsung menghadang dan menariknya. Si pemegang suntikan berusaha melepaskan tangannya sebelum akhirnya menyerah karena disuruh tenang dengan ancaman moncong senjata Rico mengarah ke kepala.
"Apakah kau yang selama ini melempar suntikan ke ruangan kami?" tanya Scar, masih memegang tangan orang itu yang memiliki rambut kuning berantakan dengan jaket kain membaluti tubuh kecilnya.
"Jawab!" suruh Rico, membuat perempuan itu semakin ketakutan dan Scar menatap tajam ke arahnya.
"K-Kumohon maafkan aku. Aku hanya ingin diselamatkan," pinta perempuan yang merupakan penginap di hotel itu, sesengukan karena menangis.
"Kami orang yang baik." Steve menenangkan. "Berhentilah menangis, Nona."
Perempuan yang berumur 23 tahun itu menghapus air matanya dengan punggung tangan yang masih mengenggam suntikan.
"Kenapa kau melempar suntikan itu ke ruangan kami?" tanya Steve setelah perempuan itu tenang.
"Aku butuh bantuan. Aku tidak ingin masuk ke penjara." Scar, Rico, dan Adam tidak pernah menyangka kalau Steve pandai menenangkan perempuan dan membuatnya membuka mulut tanpa mengenggam. Scar mengernyit, ia melonggarkan genggamannya dan bertanya.
"Siapa yang ingin memasukkanmu ke dalam penjara?"
Gadis itu menunduk, terlihat menyesal. Air matanya masih mengucur dan mengenai lantai di bawahnya, membutuhkan waktu cukup lama sampai dia menjawab pertanyaan Scar.
"Aku butuh uang. Aku bekerja kepada seseorang. Suntikan-suntikan yang kulempar adalah miliknya. Aku tidak dapat mengetuk pintu untuk meminta bantuan, dia berada di mana-mana."
Scar dan tiga lainnya saling pandang, menatap aneh si gadis. Lain pertanyaan, lain jawaban. Scar ingin kembali bertanya, tetapi tak jadi setelah gadis itu melanjutkan.
"Kau tahu kenapa orang-orang berubah menjadi zombie?" Gadis itu menangis kembali. "Aku-lah yang mengubah mereka dengan cairan yang ada di dalam suntikan itu."
Scar, Adam, Steve, maupun Rico terbelalak di tempat. Scar menggeleng pelan. "Kau pasti bercanda, 'kan?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top