(SISIPAN) When It All Begins - Part 2

Profesor Sterling menyuntik beberapa tikus laboratorium dengan serum yang terbuat dari sampel darah mumi yang aman dalam lemari pendingin berkaca tebal di salah satu ruang bawah tanah.

Semua yang menerima serum asing mengalami perubahan perilaku menjadi lebih agresif, haus darah, dan tidak segan-segan bertindak kanibal jika disatukan dalam kandang yang sama. Selain itu, struktur tubuh mereka terus bermutasi hingga berakhir seperti gumpalan bola daging dan berakhir menjadi abu pada hari ketujuh. Hal yang sama terjadi juga pada seekor marmut dan kera.

Suatu waktu, anjing kesayangan peliharaan milik Bent menyusup masuk ke dalam laboratorium melalui celah pintu yang terbuka dan mengejar seekor tikus yang lepas dari kandang. Makhluk malang ini menabrak dan tertimpa rak yang dipenuhi tabung dan gelas berisi cairan kimia. Si makhluk berkuping panjang, mengalami cedera berupa patah tulang rusuk. Kulitnya juga melepuh akibat tersiram cairan dari salah satu tabung.

Muncul ide gila dalam benak Profesor Sterling untuk menyuntikkan satu dari tiga serum mumi yang masih disimpan. Hasilnya menakjubkan, anjing kesayangan Bent justru sembuh total dan tidak mengalami perubahan apa pun sampai hari ketujuh.

Karma buruk berdatangan akibat ulah Profesor Sterling yang bermain-main dengan nasib makhluk hidup demi memuaskan rasa ingin tahunya. Kesialan pertama menimpa Lucius Sterling, si putra tertua. Anjing peliharaan Bent tiba-tiba menjadi agresif dan menyerang membabi buta hingga merusak wajahnya. Suntik mati adalah nasib yang menunggu binatang kesayangan Bent-setidaknya ini yang tertanam di kepala setiap orang.

Atas nama penelitian, Lucius diinjeksi serum yang sama sekali belum pernah diujikan kepada manusia. Dalam seminggu luka cakaran dan gigitan di wajah Lucius sembuh tanpa meninggalkan bekas, bahkan terlalu mulus hingga bekas jerawat di kedua pipi juga raib. Demi menghindari kecurigaan, Profesor Sterling memaksa wajah putranya tetap terbungkus perban sampai ia mendapatkan jadwal untuk operasi rekonstruksi wajah. Kebohongan ini mendatangkan rezeki bagi dokter bedah yang dibayar mahal untuk tutup mulut dan berpura-pura menjalankan profesinya.

Kekhawatiran Profesor Sterling meroket ketika anjing peliharaan Bent, yang sebenarnya dikurung di laboratorium, mulai menunjukkan gejala perubahan yang sama dengan objek-objek sebelumnya. Ia terpaksa memenggal anjing yang semakin mirip bangkai bernapas setelah tidak ada cara yang berhasil untuk mengembalikannya seperti semula.

Demi penebusan dosa dan tidak ingin Lucius berakhir mengenaskan seperti hasil percobaan lain, ia mengajukan proposal kerja sama kepada pria eksentrik bernama Friedrich Rackzcizot. Pria kaya raya penyakitan yang takut mati dan terus mencari cara untuk terus memperpanjang usianya, langsung tertarik dengan ide hidup abadi. Organ rusak yang bisa dan terus beregenerasi adalah tiket untuk menikmati hidup lebih lama atau mungkin selamanya. Memiliki pasukan immortal yang bisa dikendalikan adalah tiket berikut untuk menguasai dunia. Tidak ada yang lebih indah daripada menciptakan kekacauan dan menikmati keputusasaan di mata mereka.

Friedrich menepati janji. Dalam waktu dua tahun laboratorium unik yang berdiri di atas Danau Marg rampung dan Lucius menjadi penghuni tetap.

Profesor Sterling membentuk tim yang berisi orang-orang kompeten dalam bidang masing-masing untuk membantunya. Mereka adalah Alexander Vladimatvei, Vladimir Gorack, Mahiro Takanishi, dan Xander Timofei. Alamea Malia Moana baru ditambahkan terakhir dalam tim setelah direkomendasikan sendiri oleh pendana mereka dan menjadi peneliti termuda. Bent Sterling, putra kedua Profesor Sterling mengisi posisi sebagai asisten dari Alexander Vladimatvei.

Alexander Vladimatvei mengisi posisi sebagai Ahli Biokimia dan Kepala Laboratorium. Posisi Ahli Paranormal dan Observasi Fenomena yang diisi oleh Vladimir Gorack dipandang sebelah mata dan dianggap sebagai posisi mengada-ada dari Profesor Sterling untuk teman baiknya. Mahiro Takanishi menjalankan tugasnya sebagai Ahli Genetika dan Pemrograman Gen. Xander Timofei adalah Spesialis Keamanan dan Pengendalian Risiko, ia banyak berurusan dengan Divisi Keamanan yang dikepalai oleh Maximillian Vladimatvei. Terakhir, Alamea mengisi posisi sebagai Ahli Etika dan Dampak Sosial.

Mahiro berhasil mengidentifikasi DNA asing di tubuh Lucius berasal dari ras purba yang konon telah punah ratusan tahun lalu-Black Vyraswulf.

***

Max mengangkat tangan sebagai isyarat bagi Profesor Sterling untuk berhenti bercerita. Ia menekan perangkat yang menyumbat telinga kirinya. "Ada apa?"

"Kapten!" teriak seseorang dari seberang sana. Namun, hanya satu kata ini yang sempat terucap. Kebisingan berikutnya berasal dari teriakan frustrasi disertai tembakan senjata, juga geraman berat yang tidak mungkin dihasilkan oleh manusia.

Sadar musuh semakin dekat, Max melirik ambang pintu yang menganga akibat perbuatannya sendiri. Ia mengedarkan pandangan untuk mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menyumbat pintu masuk. Tanpa banyak berpikir, didorongnya lemari besi dan beberapa benda solid yang dapat ditemukan untuk membentuk perlindungan berlapis. Dirasa cukup, ia mundur beberapa langkah dan mengacungkan Xignus 167. Senjata berlaras panjang dengan diameter 10 cm menghadap garang ke arah pintu masuk.

Derap berat empat kaki yang bergantian melangkah, semakin jelas terdengar. Sepertinya ia berlari karena setiap kakinya menapak, bangunan ikut bergetar. Tidak lama langkah berat tersebut berhenti. Jari Max bersiap menekan pelatuk.

"Max, jangan bunuh dia!" Profesor Sterling mencubit pahanya sendiri, kesal karena perintahnya terdengar tidak memiliki kuasa untuk menekan Max. Ia menyalahkan suara yang bergetar sebagai biang keladi.

Max mendengus kasar. Tanpa segan ia memelototi pria yang duduk di bangku kebesarannya sambil berkata sinis, "Kau sadar dengan permintaanmu itu?"

"Bagaimanapun, dia lahir sebagai manusia, bukan monster. Dia masih punya hati." Meski bibir dan sorot mata menunjukkan keoptimisan hati, akal sehatnya justru tidak sependapat. Penyangkalan dalam diri pria tua berkumis tebal ini sungguh besar. Ia menolak beban rasa bersalah yang perlahan menggerogoti moral abu-abunya.

"Akan kita lihat apa dia masih memiliki itu."

Ternyata ketebalan lemari besi beserta rak buku dan meja kayu, tidak mampu meredam ataupun membendung tabrakan makhluk berkekuatan besar seperti Black Vyraswulf yang kalap. Lemari besi yang paling berat dan tebal pun masih bergeser dan semakin miring. Meja kayu praktis menjadi penahan. Namun, cukup dengan satu dorongan, terbukalah celah yang cukup besar untuk ditapaki oleh monster berbulu hitam berkepala serigala. Ia kembali menggeram, menunjukkan deretan gigi yang siap mencabik. Ada sesuatu yang tersangkut di sana-tangan seseorang yang belum digigit hingga putus. Langkahnya selalu diikuti oleh rintihan seseorang yang tengah diseret paksa.

Pria berpakaian serba hitam dengan kepala bersimbah darah, meremas kuat-kuat bulu-bulu di bawah rahang sang monster demi mengurangi denyutan nyeri dari sekujur tubuhnya sewaktu ia diseret seperti mainan. Dalam posisi terlentang dan kepala menjuntai, dunia serba terbalik, tapi ia berusaha bertemu mata dengan Max.

"Kapten, maaf ...," ujarnya dengan suara lemah, tapi masih sempat melempar senyum miris, berharap Max bisa memaklumi keadaannya yang kacau. "Sampai bertemu lagi." Tangan yang masih bebas bergerak merogoh granat kedua dan terakhir dari kantong di bagian dada.

Anak buah Max mengerahkan seluruh kemauan dan kekuatan yang tersisa untuk menyelesaikan hal yang tidak sempat ia lakukan tadi. Lengannya tergigit lebih dulu sebelum berhasil mencabut pin pengaman granat pertama. Sorot matanya berubah tajam disertai seringai milik seseorang yang kehilangan akal sehat. Cukup satu gerakan cepat, ia menyangkutkan lingkaran pin pengaman pada gigi sang monster yang mencuat dan ditarik kuat-kuat hingga lepas.

"Matilah bersamaku, keparat!" teriaknya sambil melepas granat.

Si monster sadar dengan intensi anak buah Max yang berpikir untuk meledakkan diri. Bila beruntung, menyeret mereka berdua ke alam baka. Waktunya kurang dari 5 detik untuk menyelamatkan diri dari ledakan. Ketebalan dan kesolidan lemari besi seolah menjelma menjadi lempengan tipis aluminium sewaktu ia menapakkan kaki depannya untuk membuat lubang menganga. Ia menghempaskan kasar tubuh si manusia malang yang sudah merelakan nyawanya tercabut ke dalam lemari dan melompat menjauh.

Lepas dari ancaman bagian tubuh tertancap serpihan-serpihan tajam dari ledakan granat, ia harus menghadapi kendala lain. Sentira yang dipancarkan lelaki berambut hitam di sana, jauh lebih mengintimidasi. Sangat berbeda dari para manusia lemah tidah tahu diri yang mengira bisa melumpuhkan dan kembali merenggut kebebasannya.

Persetan! Siapa pun yang menjadi penghalang menuju kebebasannya harus disingkirkan.Cukup sudah ia menjadi penderita dalam segala uji coba menyakitkan dalam fasilitas. Demi apa? Demi menyembuhkan dirinya, tapi ini sudah puluhan purnama dan tidak ada yang berubah.

Muak. Ini akan menjadi pertaruhan terakhirnya. Hidup, tapi terus diburu atau mati dan selesailah sudah. Tidak, ia tidak ingin semua berakhir tanpa perlawanan. Keinginan terbesarnya hanyalah hidup tenang tanpa harus melukai atau membunuh siapa pun.

Membunuh ....

Sudah berapa korbannya untuk sampai ke tempat ini? Tempat asing yang entah mengapa hendak membangkitkan kenangan. Entah kenangan apa. Hanya suara tawa anak kecil dalam pelukan seseorang beraroma musk yang sulit diingatnya.

Wangi musk ....

Kenapa sentira bercampur wangi musk si pria berambut putih dan berkumis tebal yang berlindung di belakang lelaki berbadan bugar, menariknya ke sini? Siapa dia?

Apa pun ... apa pun, jawabannya ada pada si pria beraroma musk. Ia harus menyingkirkan penghalang terakhir demi mencapainya.

Mulut serigala hitam terbuka dan tanpa aba-aba langsung menerjang Max, si penghalang yang harus disisihkan demi mendekati pria beraroma musk.

"Makan ini!" Telunjuk Max menekan pelatuk, memuntahkan peluru dan diakhiri ledakan dari moncong Xignus. Ia sendiri sempat terdorong ke belakang dan baru berhenti sewaktu pinggangnya terhantam tepi meja Profesor Sterling. Tendangan balik senjata besar memang tidak main-main.

Tubuh sang monster berbulu lebat dihujani peluru yang pecah menjadi serpihan-serpihan kecil. Setelah terbenam dalam daging, ledakan berantai terjadi dan meninggalkan jejak asap.

"Kenapa menembaknya? Bukankah sudah kubilang jangan membunuhnya!" Teriakan Profesor Sterling membuat Max ingin menyumpal mulutnya dengan peluru dari Xignus.

Max tidak suka dimarahi apalagi dibentak untuk hal yang seharusnya sudah dilakukan sejak tadi. "Rasakan!" Senyum mengembang sangat puas dengan hasil modifikasi pada senjatanya.

Profesor Sterling segera merangkak mendekati monster yang tergeletak, tergenang darahnya sendiri. Tidak lama, ia kembali ke wujud manusia. Area leher dan dadanya terluka parah.

Max mendekati lemari besi yang berubah bentuk-ringsek-akibat kuatnya ledakan dan mengintip ke dalam. Untuk sesaat ia mendongak dan memejamkan mata. Jasad Troy, rekan seprofesinya, sulit dikenali. Setelah mencari sejenak, ia menemukan benda yang dicari teronggok sepi di lantai.

"Istirahatlah dengan tenang, Troy." Jempol Max mengusap permukaan plat nama dari noda darah temannya sebelum dimasukkan ke dalam saku celana. Ia mendekati Profesor Sterling yang bersimpuh di dekat kepala Lucius. Tidak ada kata yang terucap, air mata pun tidak menitik. Sekeras apa hati pria ini?

Max hendak berdiri dan mengontak petugas lain, tapi matanya membentur dua lubang kecil mencurigakan di leher Lucius. "Luka ini ...," gumamnya sambil menoleh pada Profesor Sterling yang juga terkejut. "Katakan, siapa yang menggigitmu?"

Lucius tidak menjawab. Gigit? Entah sudah berapa kali sosok itu menggigit lehernya dan diam-diam melakukan berbagai percobaan lain bersama dua orang lain. Apa yang hendak mereka capai? Kenapa, kenapa dirinya tidak diizinkan mati saja.

Setiap kali matanya membelalak dan tergenang darahnya sendiri, atau sekujur tubuh yang serasa tercabik dari dalam, sosok itu hanya berdecak sebal dan terus memakinya. Benci, ia membenci mereka.

Bagaimana kalau kukoyak saja leher mereka dan meminum darahnya ....

Max sadar mata Lucius tidak beralih dari lehernya. Tatapan lapar dan napas memburu. "Tidak salah lagi."

Wangi musk. Benar, aku ke sini karena aroma ini ....

Bayangan anak kecil yang terbaring berbalut selimut tebal sambil dibacakan cerita menyusup masuk dalam kepala Lucius. Lilin aromaterapi yang terbakar di pojok ruangan kamarnya adalah sumber dari wangi musk.

Matanya bergerak-gerak mencari sumber wangi musk yang memenuhi seluruh ruangan milik Profesor Sterling. "Ketemu," ucapnya lirih. "Tidur, aku ingin tidur ... biarkan aku tidur. Bacakan cerita untukku, Ayah ...." Tatapan Lucius tidak fokus karena ia hidup dalam dunia khayalan bercampur realita dan tidak sepenuhnya mengenali Profesor Sterling. Lagipula, sosok dalam bayangan memiliki rambut cokelat, bukan putih.

"Tidak. Kau tidak boleh mati sekarang, Nak!" Profesor Sterling merebut pisau dari sabuk di pinggang Max, bersiap mengiris telapak tangannya sendiri kalau darahnya bisa menunda kematian Lucius. Ia tidak rela kehilangan anak-objek penelitian-berharganya begitu saja.

Lucius membeliak dan iris hijau terang warisan sang ibu, perlahan berubah seperti ditetesi cairan merah. "Akhirnya kau datang, Bu. Bebas ... bebaskan aku dari sini ...," bisiknya sambil berusaha mengulas senyum termanis karena takut jika ia berteriak histeris atau memasang wajah cemberut sosok tersebut akan hilang seperti beberapa kesempatan lain. "Lihat? Aku bisa tersenyum. Aku janji akan selalu tersenyum. Jadi, jangan pergi ...."

Sosok wanita yang dilihat Lucius adalah Maut. Uluran tangan yang ditawarkan untuk membawanya menuju keabadian sering kali ditepis oleh para ilmuwan yang melakukan segala cara untuk mengembalikan denyut kehidupannya.

Profesor Sterling segera menangkup tangan Lucius dan digenggam erat-erat. "Tidak! Jangan sekarang, Lucius! Aku melarangmu pergi!" Akal sehat pria tua ini seakan raib dan sekarang berubah menjadi anak kecil yang memaksa munculnya keajaiban dan mengabaikan realita hidup.

Seluruh iris Lucius telah berubah menjadi merah darah, tapi luput dari perhatian Profesor Sterling. Sekali lagi tatapan lapar yang diarahkan ke leher menjadi pertanda bagi Max untuk melakukan sesuatu sebelum semuanya terlambat.

Keengganan Profesor Sterling dan sikap tidak mau tahu terhadap penderitaan Lucius berakhir dengan peluru yang menembus tengkorak kepala dan bersarang di meja kerja Profesor Sterling. Max, si pelaku membuang pistol dan tertegun dengan perbuatannya sendiri. Walaupun diajarkan untuk tegar dan tidak menumpahkan setitik pun air mata, ia tidak bisa mengatasi desakan di dada yang kemudian naik ke kerongkongan dan menjelma menjadi erangan panjang.

Dipenuhi emosi, Profesor Sterling mencengkeram kerah baju Max hingga buku-buku jarinya memutih. Ia memang mengatupkan mulut rapat-rapat, tapi sorot mata yang dipenuhi amarah, dendam, sekaligus benci sangat jelas memperlihatkan isi hatinya sekarang.

Max mencekal tangan Profesor Sterling dan memuntahkan kemuakan yang masih bercokol di hatinya. Ia lupa tengah berhadapan dengan pria renta. "Apa? Kau ingin menuntutku karena membunuh objek berhargamu? Segila apa kau sampai mengorbankan anak sendiri, hah! Apa yang kau ciptakan? Apa yang ingin kau capai?"

Tubuh ringkih sang profesor ditarik berdiri dan didorong hingga tersandar ke tembok. Tinggi Max membuatnya semakin mengintimidasi. "Aku benar. Sampai akhir dia masih memiliki hati. Dan kau menghilangkan kesempatan penelitian selanjutnya!"

Tatapan menantang tidak mau kalah membuat Max sulit berkata-kata. Alexander memang sosok ayah yang buruk baginya dan Maeveen, tapi tidak bisa mengalahkan pria tua bangka di hadapannya ini. Ia layak dicap dengan besi panas bertulisan 'Ayah Terkutuk' di dahi.

Tinju Max melayang dan mendarat tepat di samping kepala Profesor Sterling. Kemarahan meluap-luap menyumbang kekuatan yang sanggup membuat retakan berlubang di tembok. Pria yang menjadi sumber kemarahan, melirik sebentar dan kengerian langsung terpancar di matanya. Ia tidak bisa membayangkan wajahnya yang dihantam dengan kepalan tangan besar tersebut.

"Tugasku sudah selesai di sini. Aku tidak akan menagih konpensasi karena aku yang memecat diriku dari sini!" ucap Max ketus berbalut kesinisan yang kental. Ia meninggalkan Profesor Sterling dan berjalan sepanjang koridor hanya untuk menarik putus kalung nama para personil yang gugur dalam tugas.

***

Vladimir Gorack muncul setelah kepergian Max. Ia masih berdiri di ambang pintu sambil sesekali berdecak akibat kondisi berantakan ruangan serta penghuninya sendiri yang terkenal gila kebersihan. "Aaron, sedang apa kau?"

"Max. Dia menembak putraku!" Profesor Aaron Sterling menoleh sambil terus memeluk tubuh putranya.

Vladimir mengambil beberapa langkah sebelum cukup dekat untuk memperhatikan dengan seksama wajah Lucius. "Lalu? Bukankah dia sedang tidur pulas?"

"Apa maksudmu?" Profesor Aaron Sterling menatap Vladimir. Frustrasi sangat jelas tersorot dari matanya.

"Bangunlah!" Vladimir memberi perintah pada sesosok mayat dengan kepala berlubang. Darah saja masih belum mengering dari bekas tembakan tersebut.

"Vladimir ... tolonglah jangan berpura-pura menjadi Tuhan. Biarkan aku berduka untuknya dalam damai sebelum aku juga terkubur di sini." Profesor Aaron Sterling mendongak ke arah Vladimir, sedikit kesal karena penghiburan sang sahabat terlalu buruk baginya.

"Aku tidak perlu berpura-pura."

"Kau tidak mengerti? Luka di kepala dan jantungnya-"

"Siapa yang membutuhkan jantung? Benda kecil di mana manusia sepertimu bergantung?" potong Vladimir. Ia membungkuk dan menyentuhkan ujung telunjuk di antara alis Profesor Sterling. Pupil bulat miliknya berubah menjadi elips tegak diikuti dengan pergeseran warna iris dari abu-abu terang menjadi merah darah.

Profesor Sterling serasa dicecoki gumpalan batu yang menyumpal jalur napasnya.

"Bangunlah, Lucius. " Vladimir mengulurkan tangan. Tidak lama berselang, ulurannya disambut oleh tangan dingin berkulit pucat milik putra Profesor Sterling. "Lihat? Aku tidak berpura-pura jadi Tuhan di sini," ucapnya sambil menyeringai sombong.

"Lucius?" Profesor Aaron Sterling membelalak kaget. Ia bahagia melihat Lucius sungguh bergerak dan menatapnya ketika dipanggil. Namun, kegembiraannya langsung sirna sewaktu tidak sengaja menyentuh dada sang putra dan tidak merasakan detakan jantung sama sekali. Ia menolak mukjizat yang baru saja terjadi dan tergesa-gesa bangkit berdiri sambil mundur perlahan-lahan. "Vlad, apa yang telah kau lakukan padanya?"

"Aaron ... kau memang manusia yang tidak bisa bersyukur." Vladimir mendesah pelan sambil menggeleng sebelum bangkit dan menghadap temannya.

"Tentu aku bersyukur kalau anakku bukan mayat hidup seperti itu!" Profesor Sterling menudingkan jari ke arah Lucius sambil menggeleng gusar.

"Aaron, Aaron. Kau telah kehilangan putramu sejak kau menginjeksinya. Sekarang kau mengatakan hasil karya kita-karyaku- ini mayat hidup?" Tatapan Vladimir menyorot kejam. Senyum kecil yang tersungging justru menebalkan aura bengis dari dirinya.

"Si-siapa kau? Apa yang kau lakukan pada Vlad dan putraku?"

Naif bagi Profesor Sterling untuk berpikir baik Vladimir maupun Lucius adalah korban yang tergigit Vampire.

"Aku? Aku adalah aku." Dari balik senyum Vladimir tersembul sepasang taring yang memanjang.

Mulut Profesor Sterling menganga lebar. Urat-urat di kepalanya menyembul. Saat ini ia tidak ingin percaya dengan penglihatannya sendiri dan masih ingin menyangkal kenyataan. "Vladimir, kau ... sungguh-sungguh tergigit Vampire?"

"Tergigigit katamu? Akulah Vampire itu!" Sementara Vladimir bergerak mendekati Professor Sterling, sayap-sayap bermembran hitam di punggungnya perlahan keluar dan menyatu dengan lengan.

Seiring dengan itu, perubahan demi perubahan terjadi dan terlihatlah wujud aslinya. Kedua kuping Vladimir melancip. Rambutnya juga memanjang dan berubah warna menjadi abu-abu gelap hingga sebatas pinggang. Bagian wajah terpelintir hingga lebih mirip wajah kelelawar. Kulitnya semakin pucat hingga nyaris putih.

"Vladimir ...." Langkah mundur Profesor Sterling semakin cepat, meski tatapannya tidak lepas dari sosok yang terasa asing di hadapannya.

"Vladimir? Aku bukan Vladimir! Akulah Marcius, Raja Vampire yang akan memperbudak kalian! Bangsa lemah seperti kalian tidak pantas menguasai bumi ini!" Marcius merentangkan tangan, bersiap untuk mengudara. "Kau menyuntikkan gen murni Vyraswulf yang kau ambil dari mumi tersebut dan aku menambahkan gen milikku sendiri pada Lucius. Tidak disangka-sangka Aethra bodoh seperti kalian telah membantuku membuat sebuah mahakarya!"

"Lucius. Habisi dia," ucapnya dengan nada tenang, tapi dingin. Setelah memberi perintah pada kreasinya, ia melesat ke luar melalui sebuah celah dari bagian atap yang runtuh. "Rasanya tidak sabar mengubah dunia ini menjadi Neraka!"

Lucius, tanpa segan menerjang dengan intensi untuk membunuh ayahnya sendiri. Sadar tidak akan ada jalan keluar yang lebih baik, Profesor Sterling menekan tombol dari benda kecil dalam jas laboratorium yang dipenuhi noda darah. Tangannya terulur untuk menyambut kematian. "Aku tidak sudi kau diingat sebagai seorang pembunuh, Lucius. Maafkan ayah tidak berguna ini. Kemarilah ...," ujarnya sambil tersenyum miris.

Ledakan maha dahsyat menimbulkan sebentuk jamur raksasa berwarna merah. Bangunan unik kebanggaan Profesor Sterling perlahan ambruk dan tenggelam hingga ke dasar danau, mengubur seluruh jiwa yang terlibat dalam penelitian berbahaya atas nama ambisi dan obsesi.

Alamea hanya bisa menangis dalam pelukan suaminya setelah mereka mendarat di tempat yang aman. Sama seperti Profesor Sterling, ia tidak menitikkan air mata sedikit pun. Hati Bent terlalu tegar untuk sekadar memperlihatkan salah satu emosi manusia dalam keadaan terpuruk. Kejadian hari ini memang bisa diprediksi akan terjadi karena mereka bermain-main dengan sesuatu yang berbahaya.

Tidak jauh dari Alamea dan Bent berdiri, Max menatap bangunan laboratorium raib ditelan permukaan danau. Tidak lama, ia memacu motor besarnya dan meninggalkan tempat kejadian.

***


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top