Prolog - First Howling

Suatu tempat di perbatasan Arlukha-Thursally.

Sekumpulan lima orang berjalan tertatih-tatih karena rantai besar dan berat yang saling terhubung, mencengkeram tangan dan kaki mereka. Seragam berwarna oranye menyala menjadi penanda identitas mereka sebagai narapidana.

Pada pergelangan tangan kanan mereka melingkar sebuah gelang berwarna. Dua di antara mereka memiliki gelang biru, dua pria memakai gelang kuning dan seorang remaja memakai gelang hijau. Mereka diarak dengan paksa seperti kawanan ternak memasuki sebuah hutan berkabut yang akan menjadi saksi bisu jiwa yang terenggut paksa. Orang normal mana pun pasti akan menghindari tempat yang terkenal angker tersebut.

Cahaya bulan purnama besar yang menggantung di langit malam yang dinginnya menusuk sampai ke tulang, tidak sanggup menembus celah-celah dedaunan dari pohon-pohon besar yang berdiri angkuh di sekitar mereka.

Satu-satunya penerangan berasal dari nyala api obor yang dibawa oleh seorang penggiring di depan dan dua orang yang berada di paling belakang. Ketiga orang itu menjinjing satu jerigen berisi minyak tanah. Baunya yang sangat pekat serasa menempel di pangkal tenggorokan mereka.

"Cepat, cepat!" Pengawal yang di depan mulai tidak sabar, ia ingin segera menunaikan tugas yang diberikan dan segera meninggalkan hutan yang selalu membuat perasaannya tidak nyaman.

"Seharusnya kau yang cepat, bodoh! Kau yang memimpin di depan!" Pria berperawakan tinggi, berbahu lebar, dan besar yang mengawal di belakang mengumpat kesal. Dia mendapatkan pelampiasan yang bagus sewaktu menemukan remaja bergelang hijau tengah menatapnya.

"Jangan pernah menatapku dengan mata terkutukmu itu!"

Mendapatkan hardikan kasar seperti itu tidak menciutkan nyali remaja bertubuh kurus yang malah menyeringai. "Kau akan mendapatkan balasannya. Akan kupastikan itu."

Meski terlihat galak dan mengintimidasi, pria besar berkepala plontos itu bisa merasakan bulu kuduknya meremang. "Jangan banyak omong, bocah sialan!" semburnya sambil mengayunkan jeringen minyak tanah untuk menghantam kepala remaja berambut hitam yang dianggap kurang ajar dan tidak tahu diri.

Remaja bertubuh kurus itu dengan santai menghindari terjangan jerigen yang berpotensi merenggut nyawanya. "Hanya itu yang kau punya?" Lagi-lagi seringai menyeramkan diperlihatkan kepada si plontos.

Jengkel, tentu saja. Jerigen telah siap diayunkan kembali, tapi langsung dicegah oleh rekannya yang bertubuh bungkuk. "Hei! Jangan main-main dengan makhluk terkutuk atau jiwamu akan dimangsa!"

"Kau pikir aku percaya kata-katamu, orang aneh!" Si plontos melotot galak pada rekan barunya, sama sekali tidak menunjukkan respek terhadap orang yang jauh lebih tua.

Penggiring di depan akhirnya kehilangan kesabaran karena tahanan mereka berhenti akibat percekcokan yang terjadi dan berteriak, "Sedang apa kalian? Cepat jalan!"

Ia menghentak kasar ujung rantai yang dipegangnya, membuat tawanan terdepan yang terbelenggu rantai berkarat tersebut ikut tertarik. Tidak ada kata protes yang meluncur dari mulut pria tinggi bermata satu ini selain mulai melangkah kembali dan diikuti oleh tawanan-tawanan lain. Remaja berwajah tirus harus segera menyamai langkah bila tidak ingin terjerembab.

"Kali ini apa lagi, hah!" bentak si penggiring di depan, "dan kau ... singkirkan tangan kotormu dariku, bedebah!" tambahnya sambil menatap ganas dan menepis tangan tawanan yang justru sudah menolong supaya ia tidak terjengkang akibat ulah si plontos.

***

Remaja berkulit pucat seperti mayat tengah meronta dan mencakar-cakar lengan kekar si kekar yang tengah mengepit kuat lehernya. Semakin ia meronta, jalur napasnya makin terjepit. Bila dibiarkan, dipastikan ia akan tercekik hingga mati.

Sipir penjara yang kalap itu seperti mati rasa hingga tidak lagi merasakan sengatan-sengatan perih dari garis-garis merah yang mulai dirembesi cairan kental. Isi kepalanya hanya satu yaitu mengirim remaja pembangkang tersebut ke dunia orang mati.

"Hentikan!" Si bungkuk berwajah seram akibat dipenuhi bekas luka-luka sayatan, melayangkan ujung obor ke kepala si plontos.

Mendapat serangan tidak terduga seperti ini membuatnya limbung dan melepas tubuh ringkih si korban yang langsung tersungkur sambil terbatuk-batuk di antara sengal napasnya.

"Kenapa memukulku, kep—" Makian si plontos terkunci di kerongkongannya setelah ditatap satu mata merah menyala berpupil cembung. Meski tidak terima dengan perlakuan lelaki bungkuk itu, ia tidak boleh lupa bila sang atasan adalah monster. Ya, monster yang sanggup berkhianat dan membunuh rasnya sendiri tanpa rasa kasihan.

"Lakukan tugas yang telah diberikan padamu dan eksekusi dengan rapi atau kau akan mendapat masalah. Ingat posisimu anak muda!" Nada penuh otoritas si bungkuk berhasil membungkam mulut si plontos yang memiliki bekas luka sayatan membujur di dahi lebarnya.

Wanita muda berambut pirang di depan si remaja yang juga terantai ingin menolong, tetapi dicegah oleh tawanan lelaki di depannya yang mungkin berusia sekitar empat puluh tahun. "Jangan pedulikan dia, seharusnya kau mencemaskan dirimu sendiri."

"Setidaknya biarkan aku berbuat baik. Aku ingin membuktikan orang sepertiku lebih memiliki perasaan manusia sesungguhnya dibandingkan monyet-monyet keparat ini!" Tatapan penuh kemarahan dialamatkan pada pria yang sudah lama kehilangan semangat hidup di hadapannya.

Mendengar umbar kemarahan si pirang, penggiring di depan segera menghampiri si wanita berparas cantik dan mengeluarkan pisau kecil perak yang dipenuhi ukiran rumit di sepanjang bilahnya. Tanpa segan sedikit pun, tangannya terayun cepat hingga pisau berujung lancip tersebut tersarang di perut wanita malang yang menjerit pilu. Namun, buru-buru membekap mulutnya sendiri dan merintih kesakitan sambil bercucuran air mata karena sadar suaranya memancing geraman keras dari arah utara, wilayah yang akan mereka masuki.

Penggiring tak berperasaan ini bertumpu pada satu lutut dan membisikkan sesuatu di telinga si pirang yang langsung menggeleng-geleng gusar sambil terisak akibat denyutan-denyutan nyeri di perutnya.

"Bagus, kau mengerti rupanya," ujarnya sambil menepuk-nepuk bahu si pirang dan bangkit berdiri.

"Cid! Apa yang kau lakukan?" Mata si bungkuk membesar, tidak percaya dengan tindakan rekannya.

"Hanya mempercepat tugas kita selesai. Mereka mati di sini atau di tempat itu, tidak ada bedanya, toh mereka memang harus mati," balas Cid dengan nada tidak peduli. Ia mengibaskan darah yang menempel di pisau miliknya dan berjalan santai ke posisi semula, seolah tidak ada hal besar yang terjadi. "Aku ragu nona bertaring itu akan mati hanya karena luka tusukan kecil."

Benar, tidak ada kematian cepat yang dihasilkan dari kehabisan darah perlahan-lahan. Jadi, bisa dipastikan pria ini hanya ingin melepaskan insting sadisnya untuk membunuh.

"Bodoh!" hardik si bungkuk.

"Hei, kenapa memakiku?"

"Darah ...." Tubuh dan suara si bungkuk bergetar. Ia menangkup mata kirinya yang selalu tertutup perban.

"Darek, ada apa?" Si plontos bingung dengan perilaku rekannya.

Tubuh Darek menggigil hebat hingga ia tersungkur dan mengerang seperti kesakitan tapi menolak didekati. Tangannya yang satu sibuk mengibas-ngibas mencegah si plontos yang dengan keras kepala berusaha mendekat. Bahkan dengan kasar ia mengusir dua rekan lain untuk segera meninggalkan hutan berkabut dan entah kenapa mulai menebar bau bangkai yang menyengat selagi mereka bisa.

Tangan si plontos akhirnya berhasil menyentuh bahu Darek. "Dar—"

Seketika teriakan parau dan diakhiri lengkingan tajam memecah keheningan malam, mulut si plontos terbungkam. Ia tidak akan pernah bisa lagi menggunakan mulutnya untuk mengumpat ataupun melecehkan orang lain untuk selamanya.

Si plontos—lebih tepatnya mayat—teronggok bersama Cid. Di leher mereka terdapat lubang menganga yang cukup besar. Si bungkuk dan kelima orang yang mereka kawal menghilang, menyisakan rantai-rantai yang telah putus.

Sekitar tiga meter dari tempat Darek kehilangan nyawa, tergeletak tubuh wanita pirang yang terluka parah di bagian perut. Luka yang menganga itu jelas bukan hasil tusukan pisau kecil yang diterima sebelumnya.

Di area dada tertancap sebuah cakar selebar lima sentimeter,  sementara di tangannya tergenggam taring besar seukuran taring babi rusa. Mengapa ia bisa berada dalam jarak yang jauh masih merupakan misteri. Yang pasti telah terjadi perkelahian sengit sebelum tusukan maut di dada mengakhiri perlawanan heroiknya.

***

Sesosok siluet hitam memungut obor yang masih menyala kemudian menyalakan cerutu yang diambil dari saku jas panjangnya. "Sial!"

Batang cerutu terbakar lebih besar dari yang seharusnya, sehingga ia buru-buru meniup api yang tengah melalap ujung cerutu tersebut hingga padam dan mulai mengisap gulungan daun tembakau itu.

Layaknya seorang detektif, ia mulai mendekati satu per satu mayat yang berserakan dan mulai meneliti mereka. Matanya membentur onggokan rantai besar yang tergeletak tak jauh dari tubuh Cid. Rantai tersebut dipungut dan mulai diendus-endus. Setelah merasa mengetahui sesuatu, seringai puas langsung mengambang.

Ia berjalan menyusuri jejak darah di atas tanah yang banyak ditumbuhi lumut karena kelembapannya yang tinggi. Jejak tersebut berhenti dan ia melihat tubuh wanita pirang yang tergeletak tak bernyawa.

Bayangannya yang tengah berjongkok menaungi mayat si pirang. Setelah melihat sekilas, ia mengedarkan mata ke sekeliling dan langsung tahu si cantik berkulit pucat ini telah melakukan perlawanan yang berani tapi belum cukup untuk menyelamatkan nyawanya sendiri.

Penasaran, ia memiringkan kepala si pirang dan menyingkap rambut panjangnya. Tak ada dua lubang besar bekas gigitan di leher seperti yang terdapat pada mayat lain. Kesimpulan yang bisa diambil, ia mati bukan karena darah yang terisap habis seperti korban lain, tetapi karena cakar yang telah bersarang di dada. Tanpa sungkan ia menarik cakar besar tersebut dan dibuang begitu saja.

Ia berdiri dan berjalan menjauhi onggokan mayat yang masih hangat itu tapi kemudian berbalik lagi. Tanpa merasa jijik akan darah yang akan menempel pada pakaian dan tangannya, ia membopong tubuh si pirang di bahu lalu meninggalkan lokasi kejadian pembantaian itu begitu saja.

Setelah berjalan sekitar sepuluh meter, ia menemukan lokasi yang terbuka. Area ini hanyalah hamparan rerumputan tanpa ada satu pohon pun yang tumbuh sehingga bisa terpapar cahaya bulan purnama. Ia meletakkan tubuh si pirang di atas rerumputan sehingga seluruh tubuhnya bermandikan cahaya bulan. Segera saja lubang menganga di dada si pirang perlahan mulai menutup, begitu juga luka-luka lain.

Lelaki misterius ini menengadah sambil tersenyum. "Kerja yang bagus."

Setelah keadaan mengenaskan si pirang kembali seperti semula, ia berlutut untuk memeriksa detak jantungnya. Tidak ada detak sama sekali karena jantung si pirang tidak terbentuk kembali.

"Malang sekali kau, cantik." Sesaat setelah mengelus pipinya dengan ujung jari, ia segera membalik tubuh tersebut.

Tangannya merogoh pisau lipat dari salah satu saku jas dan lagi-lagi bertindak sesuka hati, kali ini dengan mengoyak pakaian si nona muda dengan pisau lipat bergeriginya.

"Kau tidak memerlukan ini lagi, sayang." Seringai mesumnya keluar sewaktu melihat kulit si pirang yang putih dan mulus. "Sayangnya aku tidak tertarik dengan wanita seperti kalian."

Ia berdiri setelah berhasil membebaskan si pirang dari pakaian yang membungkus tubuhnya. Tak lama sebuah simbol dalam lingkaran muncul di area punggung yang bersinar diterpa cahaya bulan, tepat di area yang semula berlubang.

"Bravo ... Beautiful ... Aku cinta padamu, Neoma!" serunya sambil bertepuk tangan seperti merayakan sesuatu.

Ia kembali menengadah ke langit seperti hendak menyampaikan salam perpisahan lalu berbalik dan menjauhi tubuh si pirang. "Selamat menikmati hidup baru, cantik." Seulas senyum kembali terbit sebelum ia memasuki hutan dan menyatu dengan kegelapan di balik rimbunnya pepohonan.

Lolongan panjang terdengar beberapa saat hingga akhirnya menghilang.

***

Di tepi sungai, pria misterius ini tersenyum penuh arti sewaktu menikmati lolongan demi lolongan yang terdengar dari kejauhan. Ia tengah mengamati tumpukan pakaiannya yang tengah dijilat api.

"Selamat tinggal Versace, sampai bertemu kembali." Ia melempar sebuah ciuman jarak jauh kepada seluruh pakaiannya lalu menerjunkan diri ke dalam sungai berarus deras.

***

Neoma: Dewi Bulan

Akhirnya selesai juga revisi ke sekian kali. Semoga sekarang lebih nyaman dibaca. Jangan lupa pencet gambar bintang (aka Vote) dan komen ya ... ^_^v


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top