Chapter 9.7 - Blast From The Past
Quentine memindai sekeliling ruangan hingga membentur kotak kecil yang tergeletak di dekat kepala Lysandra. Tanpa pikir panjang ia meraih kotak ringan tersebut dan mengendusnya. "Adoxa? Kenapa bunga langka ini bisa ada di sini? Tempat apa ini?"
"Pergi—Pops—kita ... cepat, pergi dari sini ...."
Ketakutan yang masih membayang di mata Lysandra menyurutkan niat Quentine untuk bertanya lagi. Kotak kecil penarik perhatian telah terselip di kantong karena kedua tangannya akan sibuk membopong Lysandra yang sudah tidak seringan sepuluh tahun lalu dan berjalan cepat menuju perapian, tempat ia memunculkan diri secara ajaib tadi. Beberapa kata yang tidak dipahami Lysandra meluncur lancar dan ada jeda sesaat sebelum keajaiban terjadi lagi. Nyala api kembali membesar dan langsung menyambar tubuh mereka berdua, bertepatan dengan Alfred yang membuka pintu.
Jilatan-jilatan api di perapian kembali tenang dan jinak. "Menyenangkan bukan mencium wewangian kesukaan kalian?" Alfred merujuk pada kotak kecil berisi lima lembar mahkota bunga Adoxa yang telah dikeringkan. Namun, hanya derak demi derak kayu terbakar yang tertangkap sepasang indra pendengarnya. Buru-buru ia mengayun langkah menuju pembaringan Lysandra.
Kosong.
Alfred segera menyisir setiap sudut, tapi wujud Lysandra tetap saja tidak ditemukan. "Kemana dia?"
Kondisi Lysandra tidak memungkinkannya untuk berpindah jauh. Tidak ada kaca yang pecah atau jejak geliat frustrasi seseorang yang berusaha melarikan diri. Semua benda masih tergeletak rapi di posisinya masing-masing.
Alfred sama sekali tidak bisa memikirkan korelasi menghilangnya Lysandra dengan tebaran bara api di dekat perapian yang melubangi karpet dan menghitamkan lantai kayu. Tidak mungkin pula gadis itu bisa keluar dari cerobong asap dengan api yang masih menyala-nyala garang. Selain itu, kotak kecil berisi bunga Adoxa juga turut lenyap.
Bila Lysandra seorang Vampire, tentulah ia tidak sebodoh itu untuk mengambil sesuatu yang menjadi sumber kelemahannya. Bila racun Vyraswulf adalah bunga Aconis, maka bagi Vampire setetes esens bunga Adoxa cukup untuk membuat mereka meringkuk sambil menjerit-jerit kesakitan.
"Bukan Vampire. Siapa kau sebenarnya, Nona?" Kesimpulan Alfred tidaklah salah karena kaum Vampire memang sangat membenci aroma manis dan lembut dari bunga Adoxa yang bisa mendatangkan petaka bagi mereka.
Sebagai perbandingan dapat dilihat tingkah laku kucing yang diberikan Catnip. Hanya saja efeknya tidak berlangsung lama. Vampire yang telah menghirup wangi bunga Adoxa yang memabukkan akan mengalami halusinasi mengerikan seperti bagian tubuh yang meleleh perlahan, parasit-parasit yang bermunculan dan mulai memakan daging mereka, terbakar hidup-hidup dan segala bentuk siksaan lain. Siksaan demi siksaan tersebut akan memaksa mereka untuk memutilasi diri sendiri supaya tidak menyebar ke bagian tubuh lain, padahal tidak terjadi apa pun terhadap bagian yang terlanjur dimutilasi tersebut.
Efek-efek yang dirasakan berbeda antara satu Vampire dan Vampire lain karena tergantung dari kondisi mental dan kejadian traumatis yang pernah mereka alami sewaktu masih berstatus seorang Aether. Biasanya Vampire muda—sebutan untuk mereka yang baru berubah menjadi Vampire—lebih mudah jatuh dalam jebakan bunga Adoxa dan berakhir menusuk jantung, atau malah mengeluarkan jantung dari rongga dada. Yang paling tragis bila kegilaan mereka berakhir dengan memenggal kepalanya sendiri.
Deru mesin mobil yang meninggalkan garasi memanggil Alfred untuk mengintip dari balik tirai jendela. Mobil yang barusan keluar disopiri oleh Thomas. Garasi sekarang kosong karena Wyfrien memutuskan untuk berkendara sendiri. Ini berarti ia sendirian dan harus menunggui kediaman pribadi yang telah berubah fungsi menjadi museum sejak lima tahun lalu. Lima pelayan lain sudah pulang sejak dua jam lalu. Karena alasan keselamatan, mereka dilarang untuk tinggal di bangunan besar nan luas ini setelah dua insiden yang terjadi dalam dua minggu terakhir. Satu kejadian tiap minggu membuat Alfred bertanya-tanya dan menaikkan kewaspadaan.
Bayangan sesuatu yang teronggok dekat pintu masuk mengusik perhatian Alfred yang langsung mendekat dan menemukan tas punggung Lysandra. "Tertinggal rupanya."
Tanpa pikir panjang, Alfred membuka ritsleting tas yang didominasi warna cokelat dan hijau muda dan merogoh-rogoh untuk mencari kartu identitas yang pasti tertera alamat rumah si pemilik. Namun, perhatiannya tertahan pada tiga buku tebal yang terdapat label perpustakaan kota.
"Vyraswulf. Setertarik itukah kau dengan dunia kami, Nona?" Kegetiran membungkus setiap kata yang meluncur dari mulut Alfred. Meski begitu, tangannya melanjutkan pencarian dan menemukan dompet kecil yang terpampang kartu pelajar Lysandra. "Hazel Lysander Zeafer. Sekolah Menengah Atas Carpe Noctem, Wichzkita—Sedekat inikah kau dengan Tuan Zev?"
Selesai mengobrak-abrik isi tas Lysandra, Alfred merapikan kembali barang yang telah dikeluarkan dan menjinjing tas tersebut ke kamarnya.
***
"Rupanya kau salah satu yang tidak menyukai suasana pesta, ya?"
Siapa?
"Maaf, tidak bermaksud mengagetkan."
Siapa?
"Namaku Wise Langdon Gretchen, maksudku Sterling."
Wise? Gretchen?
Siapa ...?
.
.
.
Siapa yang berbicara padaku?
Excelsis sulit melihat wajah seseorang yang berdiri di depannya. Namun, entah bagaimana kabut yang menutupi wajah sosok tersebut terangkat perlahan hingga ia bisa melihat rambut hitam pekat yang berkilau diterpa cahaya bulan purnama. Selanjutnya diikuti oleh alis hitam tebal yang berbaris rapi.
Selubung demi selubung kabut tersebut terus terangkat hingga memperlihatkan sepasang mata biru segelap dasar samudra yang dalam. Pancaran sensualitas terumbar dari lengkung senyum tipis yang tengah mengembang. Embusan angin menyibak surai yang menutupi telinga kirinya hingga mengeskpos anting kecil perak bermata hitam. Dasi lebar berbahan satin yang bersilang ditahan oleh sebuah pin beraksen senada dengan motif anting yang ia pakai.
Tangannya masih terulur, sabar menanti respon dari sosok yang masih terpana untuk saling berjabat tangan.
"Excelsis. Excelsis Gratia Vladimatvei."
Hangat. Tangannya hangat.
Wyfrien yang berada di samping Excelsis menoleh sewaktu mendengar Excelsis berbicara dalam tidurnya. "Kau sudah bangun? Bagaimana perasaanmu?
Siapa? Tangan siapa?
Excelsis memaksa membuka mata dan mengerjap pelan akibat cahaya kekuningan yang menyerobot masuk ke dalam pupil. Setelah pandangan menjadi jelas, matanya membentur satu tangan yang sedang meremas tangan lain.
"Ini?" Mata Excelsis terpaku sebelum menyusuri tangan yang tidak dikenal hingga bertatapan dengan sosok di samping. Menyadari ia tengah menggenggam bagian tubuh orang asing, ia buru-buru melepasnya. "Ma—maaf. Apa aku berbuat aneh padamu?"
"Tidak. Mimpi apa, sepertinya menyenangkan." Wyfrien mengulas senyumnya.
Bukannya menjawab, Excelsis malah balik bertanya, "Ini di mana? Dan kau siapa? Kau tahu di mana temanku?"
"Di mobilku. Dalam perjalanan mengantarmu pulang, tapi kita terpaksa menepi karena kau tiba-tiba mengulurkan tangan," balas Wyfrien tanpa melepas seulas senyum, "karena kau menyebut nama, kupikir kau ingin berkenalan."
Excelsis sangat yakin lelaki di sampingnya ini berusaha tidak menyemburkan tawa yang tertahan. "Ma—maaf. Aku hanya berusaha sopan untuk menyambut uluran tangannya."
"Tangannya? Sosok dalam mimpimu? Aaah ... ternyata begitu." Wyfrien mengangkat salah satu alis lalu pura-pura kecewa.
"I—Iya." Excelsis menunduk untuk menyembunyikan rasa malunya.
Wyfrien menyalakan mobil dan berkata santai, "Tidak perlu malu denganku. Santai saja."
"Kau belum menjawab pertanyaanku yang lain."
"Aku? Aku hanya penjaga museum yang kalian serobot."
"Maaf soal itu. Lalu di mana temanku itu?"
"Seharusnya dalam perjalanan pulang. Diantar asistenku."
"Oh. Maaf merepotkan."
Wyfrien memperhatikan spion sebelum roda kendaraan bergulir dan bertemu aspal kembali. "Sama sekali tidak."
Kesunyian segera mengambil alih karena pikiran Excelsis kembali terfokus pada kilasan masa lalu yang selam ini sulit diingatnya.
Wise Langdon Sterling ....
Excelsis sibuk menghubungkan nama belakang lelaki itu dengan Profesor Sterling dalam cuplikan koran yang dibaca kemarin. Namun, sekali lagi ia bertemu kebuntuan karena kilasan peristiwa barusan tidak menuntunnya ke mana-mana.
"Excelsis," panggil Wyfrien.
Excelsis menoleh sambil terheran-heran. "Kau tahu namaku?"
"Bukankah tadi kau yang memperkenalkan diri sendiri? Kuulangi, Excelsis Gratia Vladimatvei. Silakan dikoreksi bila ternyata itu bukan namamu."
Bila saja Lysandra duduk di jok belakang, kemungkinan ia ingin menjambak rambut Wyfrien dan mengguncang-guncang kepalanya hingga puas. Perbedaan perlakuan seperti ini lebih dari cukup untuk memancing kebrutalan mengambil alih.
"Tidak, tidak. Itu memang namaku." Excelsis menatap bayangan samarnya di kaca mobil.
"Siapa yang mengunci ingatanmu?"
"Hah? Apa maksudmu?" Excelsis meneleng kembali dan matanya tidak bisa lepas dari Wyfrien.
"Apa kau sering mengalami sakit kepala bila mencoba mengingat sesuatu?" tanya Wyfrien sebelum melepas kontak mata dan memperhatikan jalan di depan.
"Dari mana kau tahu?" Dilihat dari samping, siluet Wyfrien sama sekali tidak asing, padahal ini pertama kali mereka bertemu.
Pantulan cahaya dari kendaraan yang lewat memangcing mata Excelsis memperhatikan anting perak bermata hitam di cuping telinga Wyfrien. Sewaktu Wyfrien memutar setir untuk memasuki tempat pengisian bahan bakar, belasan lampu yang berjejer mengenai gelang lebar berbahan kulit dan perak miliknya. Pada gelang lebar tersebut terdapat sebuah kristal Alexandrite berbentuk tetesan air.
Lagi-lagi Excelsis merasa tidak asing dengan penampakan kristal tersebut, ada sesuatu dalam dirinya yang memaksa keluar. "Ugh ...."
Wyfrien ingin menyentuh Excelsis yang menangkup kuat-kuat kepalanya yang berdenyut-denyut, tapi ditarik kembali. Ia berdeham sejenak dan berkata, "Aku bisa membantumu bila kau mau. Hanya saja, ada konsekuensinya." Excelsis terlalu kesakitkan hingga tidak sanggup merespon.
Suara dari masa lalu menyesap masuk dalam kepalanya.
"Jangan lupa mengunci pintu! Bila terjadi sesuatu, langsung tekan ini! Kau paham?"
Apa ini ...?
"Excelsis ...! Excelsis! Lihat Papa, Nak. Lihat! Kau akan baik-baik saja, ok?
Papa, kenapa suaramu ... kenapa Papa ... panik?
"Turuti apa yang kuminta, dan kau akan baik-baik saja. Mengerti?"
Ada apa, Pa? Apa yang terjadi ...?
.
.
.
Mobil yang ditumpangi keluarga Vladimatvei diseruduk sesuatu hingga terpental dan terhempas menghantam pohon. Maeveen terbentur keras hingga menambah retakan pada kaca di pintu dan melukai sisi kepala. Cairan hangat dengan cepat mengucur dan memerahkan sebagian penglihatan. Tidak ingin Excelsis melihatnya, Maeveen segera mengusap sisi wajah dengan lengan hingga memerahkan kemeja putih yang dikenakan.
Maeveen buru-buru menyusupkan ponsel ke dalam tangan Excelsis. "Pegang ini."
"Pa ... Papa ... aku takut ...," rengek Excelsis di sela tangisnya. Ia ingin memeluk Maeveen, meminta pria lembut ini memberikan rasa aman.
"Jangan lupa mengunci pintu! Bila terjadi sesuatu, langsung tekan ini! Kau paham?"
"Pa? Papa mau ke mana? Jangan tinggalkan aku di sini, Pa!" Excelsis menarik-narik baju Maeveen, mencegahnya untuk keluar dari lubang mengaga di atas kepala mereka akibat robekan cakar makhluk yang telah menarik Aithne keluar dan mengudara.
"Excelsis ...! Excelsis! Lihat Papa, Nak. Lihat! Kau akan baik-baik saja, ok?
"Tapi, tapi ... Papa mau ke mana? Mama ... Mama, Mama ...." Excelsis tersedak dan terbatuk-batuk, tidak sanggup membentuk kalimat yang sangat ingin diucapkannya.
"Turuti apa yang kuminta, dan kau akan baik-baik saja. Mengerti?" Excelsis mengangguk gusar dan Maeveen menghadiahinya dengan kecupan lembut di dahi. "Gadis pintar. Papa janji ini akan cepat."
Maeveen memanjat keluar dari lubang di atap mobil dan menghilang sejenak dari pandangan Excelsis. Kesunyian datang menemani sebelum tubuhnya terlunjak dari bangku akibat sesuatu yang menubruk kaca samping. Mobil kembali berguncang dan semakin memperparah retakan di kaca yang seharusnya anti pecah.
Seketika Excelsis membeku di tempat, air mati mengalir semakin keras setelah mengetahui yang barusan menubruk mobil adalah punggung Maeveen. "Pa—papa," isaknya sambil membekap mulut, bahkan menggigit bibirnya kuat-kuat.
Permukaan lensa Excelsis masih sempat memantulkan bayangan sosok makhluk berbulu hitam besar berwujud serigala menancapkan taring pada bahu Maeeven dan menghempasnya begitu saja mirip boneka kain.
Mobil kembali berguncang beberapa saat sebelum pipi Maeveen tahu-tahu menempel di kaca mobil dan berteriak sambil menunjuk ponsel yang masih tergenggam kuat. "Tombolnya. Cepat tekan tombolnya, Excelsis!"
Maeeven kembali ditarik dan dibenturkan dengan keras ke kaca. Guncangan kali ini jauh lebih hingga membuat pintu melesak ke dalam dan menghancurkan kaca anti pecah yang sudah dipenuhi garis-garis retakan. Betapa mengerikannya kekuatan makhluk tersebut.
"Pa ... Papa ...!" Usaha pembantaian tengah berlangsung di depan mata dan dirinya tidak bisa melakukan apa pun selain menjerit dan terus menguras kantong air sendiri, membuat Excelsis merasa sangat tidak berguna.
Tabrakan lain terjadi lagi. Makhluk dengan mata bersinar kuning menatap Excelsis yang sudah tidak terlindungi oleh kaca anti pecah. Liur kental yang menjijikkan menetes-netes dari sela-sela barisan geligi tajam dari moncong hitamnya yang panjang. Dua pasang taring mencuat dari moncong yang terbuka, diiringi geraman panjang mengancam. Ia perlahan mendekati mobil setelah menyingkirkan Maeveen yang menjadi tameng hidup.
"Tidak semudah itu menyingkirkanku, makhluk sialan!" Maeveen melompat dan menancapkan lima jarinya untuk membutakan serigala berbulu hitam lebat yang berbau anyir khas besi berkarat akibat cipratan darah Maeveen.
Laungan keras si serigala besar membahana, seolah sanggup membangunkan seluruh makhluk bernapas dalam radius lima kilometer. Kehilangan salah indra penglihatan dengan secara menyakitkan membuat makhluk liar ini menggila dan brutal. Ia berhasil menggigit pinggang Maeveen dan menyentaknya hingga terlempar. Kesal dengan intervensi Maeveen, ia berniat untuk menghabisi sosok yang tergeletak dengan kaki yang terlipat tak wajar—patah.
Ia mendekat dan menggigit kaki Maeeven yang masih sehat untuk membatasi pergerakan pria tersebut. Setelah tidak mendapat perlawanan, ia menginjak dada Maeveen dengan maksud meremukkan tulang rusuk dan menghancurkan jantung pria yang terus-menerus menyulitkannya.
Excelsis kembali menggigit bibir kuat-kuat hingga tetesan demi tetesan hangat mendarat di permukaan ponsel putih gading di tangannya yang terkatup rapat. Bila ia tidak melakukan sesuatu, hidup papanya akan melayang malam ini. Dengan tangan gemetar hebat Excelsis membuka ponsel Maeveen dan menemukan tombol merah besar seperti yang diinstruksikan.
Jarinya menekan tombol merah sekeras mungkin hingga ponsel di tangannya retak dan berakhir menjadi dua bagian yang terpisah. "Ti—Tidak ...." Excelsis langsung menyesali tindakan yang didorong kepanikan dan ketakutan akut. "Aku merusaknya ... ba—bagaimana sekarang ...? Pa—Papa ...."
Sesuatu yang entah tersembunyi di mana berdesing melalui lubang di atap mobil. Excelsis mendongak sambil menutup telinga akibat suara yang seperti tiupan peluit berfrekuensi tinggi dari entah benda apa yang sekarang melayang-layang di udara. Tidak lama cahaya menyilaukan seperti ledakan kembang api tanpa warna-warna sekunder menghiasi angkasa yang hanya diterangi cahaya lemah keperakan bulan bertirai awan kelabu.
Sekilas mata Excelsis yang menyipit menangkap sesosok makluk bersayap hitam besar yang sedang bergerak mendekati mobil dari udara seketika terbakar, meninggalkan erangan panjang melengking sebelum binasa menjadi abu yang langsung diterbangkan angin, menghilangkan bukti keberadaannya di dunia. Mengetahui rekannya mati, serigala bermata satu bertambah marah dan melupakan tujuan semula untuk membunuh Maeveen. Ia menoleh ke arah Excelsis dan dengan satu lompatan mereka sudah berhadap-hadapan.
Hanya moncong berliur yang berhasil masuk karena kepalanya tersangkut di jendela pintu tanpa kaca. Excelsis meringsut sejauh mungkin agar tidak tergigit mesin pemotong yang terus terbuka dan mengatup ganas, tidak peduli dengan bau bangkai yang menguar dari napas dan cipratan liur di sekujur tubuh. Dorongan nafsu untuk melumat Excelsis di antara geligi setajam gergaji membuat mobil teroleng-oleng dan terbalik. Kepala Excelsis terbentur keras dan berpotensi mengambil kesadarannya. Meski menolak pingsan, dunia Excelsis terasa berputar-putar.
Posisi mobil yang terbalik justru menjadi perangkap kepala si serigala, sepasang kaki depan sibuk menjadi pengungkit untuk mendorong tubuh sekaligus menarik kepalanya keluar. Ujung-ujung tajam potongan kaca dan serpihan pintu baja yang tertanam di leher dan terus menambah luka robekan baru memperparah derum frustrasi yang terus menggetarkan gendang telinga Excelsis. Belum lagi liur bercampur buih-buih putih serta darah pada luka di leher menetes semakin deras.
"Excelsis! Kau baik-baik saja?" Maeveen memperbesar lubang di langit-langit mobil dengan tangan kosong, tidak peduli sudut-sudut tajam akibat robekan cakar makhluk yang menculik Aithne melukai jari dan telapak tangannya.
"Pa ... pa. Syukurlah ...." Sudut Excelsis mengembang dan semua menjadi samar dan sayup. Excelsis hanya tahu seseorang yang menariknya keluar dari mobil adalah Maeveen.
Selanjutnya hanya guncangan-guncangan tak beraturan, menandakan Maeveen yang membopongnya tengah berlari menghindari rintangan demi rintangan dengan kondisi kaki patah dan tergigit.
Serigala hitam yang berhasil membebaskan diri semakin marah karena targetnya menghilang. Dengan mengandalkan penciuman dan pendengaran tajam ia berhasil melacak keberadaan Maeveen yang berlari ke tengah hutan. Dengan satu lolongan panjang yang membahana ia mulai berlari kencang memasuki hutan, seolah lolongan tersebut sebagai suatu ejekan sekaligus hinaan yang mengatakan 'kalian pikir akan semudah itu lepas dariku? Jangan mimpi!'
Benar saja, Maeveen dapat mendengar derap kaki serigala hitam yang semakin dekat. Begitu melihat mangsa di depan mata dan berada dalam jangkauannya, ia melompat dan membuka mulut lebar-lebar.
Tidak punya pilihan lain, Maeveen membentangkan sayap hitamnya dan mengudara, menghindari terkaman mematikan serigala buas yang seperti memiliki dendam kesumat pada mereka.
"Sial. Ai akan memarahiku lagi karena merusak pakaian bersejarah ini."
Merasa baru saja kehilangan mangsa, serigala besar ini mendongak dan menggeram lagi. Tapi tidak ada yang bisa dilakukannya karena tidak bisa menjangkau Maeveen yang telah mengudara, setinggi apa pun ia melompat.
"Selamat tinggal." Maeveen mengibaskan sepasang sayapnya ke depan tubuh hingga cakar besar dari masing-masing sayap terpental seperti bumerang ke arah serigala besar di bawah sana.
Persilangan dua cakar memenggal rapi kepala makhluk yang telah melakukan kesalahan fatal karena memaksanya menggunakan wujud yang selalu disembunyikan selama ini. Kepala si serigala jatuh dan menggelinding menuruni ceruk permukaan tanah yang tidak rata, disusul dengan tubuh yang roboh dan tidak pernah bergerak kembali. Cahaya bulan purnama yang memunculkan tanda bulan sabit emas menyala di dahi menjadi sia-sia bila tidak ada yang menyatukan kepala dan tubuhnya.
Maeveen mendarat di samping onggokan tubuh makhluk tersebut dan melempar bros perak penghias dasi kupu-kupu yang masih utuh. Lalu mengepak kecil untuk menghampiri potongan kepala yang menatap sengit padanya.
"Ingin mengucapkan selamat tinggal pada tubuhmu? Baiklah, kukabulkan." Beruntung Excelsis setengah sadar hingga tidak melihat seringai kejam Maeveen yang membopongnya dengan satu tangan. Sambil menenteng kepala makhluk yang belum bisa menerima kekalahannya, Maeveen kembali mengudara dengan santai.
"1 ... 2 ... 3 ...."
Dentuman keras terdengar hingga beberapa mil jauhnya.
Telinga Excelsis berdenging dalam kungkungan aman sesuatu yang besar dan gelap yang membungkusnya—sayap kelelawar Maeveen.
.
.
.
Wyfrien mengulas senyum tipis karena mata Excelsis yang membulat sambil membekap mulutnya sendiri.
"Berhasil memanggil sesuatu dari masa lalu?"
***
Chapter terpanjang (2.6k kata), tapi yang paling menyenangkan untuk ditulis. Right, pertimbangkan untuk vote + komen ya. Makasih very banyaks.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top