Chapter 9.3 - Young Master W.M.
Kerumunan yang bertumpuk di mulut pagar satu per satu mulai meninggalkan tempat kejadian perkara, karena di kepala mereka terisi pemahaman bahwa Lysandra dan si penolong adalah sepasang kekasih yang sedang bertengkar dan kembali berbaikan. Hanya si wartawati yang masih bergeming, memikir cara untuk mendapatkan kamera saku yang sudah menemani selama ini. Benda kecil berwarna putih gading itu lebih bisa diandalkan daripada sumber-sumber yang menamakan diri mereka sebagai saksi mata. Selain itu, ia membuat daftar misi baru, yaitu menyelamatkan dua gadis muda dari perencanaan pemerkosaan oleh seorang lelaki bejat yang dibantu asistennya.
"Tuan Muda. Seharusnya Anda tidak meninggalkan nona ini membeku di luar sana." Alfred menutup pintu dengan punggung dan menemukan lelaki yang sudah membuka baju hangatnya baru saja menuruni tangga. "Bila terjadi sesuatu padanya, Anda yang akan repot berurusan dengan polisi."
Matanya tidak lepas dari majikan, si raja tega yang lebih sering tidak mengacuhkan siapa saja yang sangat butuh pertolongan karena tidak mau direpotkan dengan urusan orang lain, tapi terkadang ketegaan tersebut bisa mendatangkan masalah yang serius bagi dirinya sendiri.
"Tanganku hanya ada dua, Alfred. Bagaimana aku bisa mengangkut keduanya? Lagipula si bodoh itu yang jadi inisiatornya, kan? Kenapa kau malah menyalahkan aku?" Alfred hanya bisa menerima dengan lapang dada tatapan dingin dan menusuk dari balik kaca mata bergagang hitam tebal yang dikenakan oleh tuan mudanya.
"Bukan begitu, Tuan Muda. Aku hanya—"
"Cukup. Telingaku butuh istirahat, Alfred." Majikan Alfred memutar mata lalu memijat-mijat leher untuk meregangkan otot yang kaku, enggan menyediakan telinganya untuk segerbong nasihat dari pria berumur di seberang ruangan. "Bawakan teh ke ruang kerjaku."
Alfred hanya membuang napas singkat. "Baiklah, Tuan Muda." Tangannya hendak membaringkan Lysandra di sofa panjang yang berada di ruang baca.
"Bawa kantong kentang itu ke ruang kerjaku. Ada yang ingin kutanyakan padanya."
"Baiklah." Alfred segera mengekor sang majikan yang mau tidak mau harus membukakan dan menahan daun pintu supaya tetap terbuka sebelum dirinya yang masih membopong Lysandra masuk ke dalam. Alfred tidak bisa mengikuti jejak lelaki muda pelit senyum yang jiwa sosialnya semakin sulit tersentuh. Prinsip untuk tidak melibatkan diri dengan orang lain belum bisa ia terapkan dengan baik.
Sikap tidak peduli tuan muda yang sudah dikenalnya sejak kecil makin menjadi sejak kejadian yang menimpa keluarga ayah angkatnya bertahun-tahun lalu di kota Venzenia, kota penyuplai anggur terbesar di benua timur. Siapa yang tidak akan terpukul bila harus kehilangan tiga orang sekaligus dalam satu insiden kelam, insiden yang terus disembunyikan, bahkan terus-menerus disangkal oleh media dan penguasa setempat.
Para pemenang perang tidak akan menerima fakta bila ras yang telah mereka persekusi dan dinyatakan punah seperti wabah akan muncul dan mengancam kembali. Bencana tidak mengenal status keluarga terpandang, semua yang ingin dilenyapkan pasti akan diterjang dan dilumat hingga tak bersisa. Benar, di era ini siapa yang akan mengenal dan mengelu-elukan nama keluarga Sterling? Tidak ada. Mereka hanyalah keluarga yang cukup beruntung untuk memiliki segalanya di masa lalu. Ya, di masa lalu.
Lalu, apa yang terjadi pada mereka? Tidak ada yang tahu. Menelusuri riwayat keluarga yang tahu-tahu menghilang di suatu titik zaman adalah tindakan sia-sia karena tidak akan ada yang peduli. Toh, tidak akan mengangkat status yang mengulas mereka, tentu media akan berpikir seribu kali membiarkan salah satu pekerjanya meliput berita yang tidak akan mengalirkan uang di rekening.
Tidak ada yang peduli dengan nasib kepala keluarga Sterling, peneliti terkenal yang berakhir di pusat rehabilitasi kejiwaan karena terus meneriakkan kata Vampire sepanjang hari. Nasib istrinya tidak lebih baik karena harus dikirim ke suatu pulau berpenjagaan ketat dan diawasi sepanjang hari selama 30 tahun karena dianggap dapat mencederai diri sendiri dan orang lain, dengan kata lain berbahaya. Seorang wanita yang menangis hingga tidak ada lagi air mata yang mengalir karena kehilangan seorang putra di malam naas itu adalah definisi berbahaya? Sungguh, selera humor para petinggi di kota itu sangat berkelas.
Berita yang sesungguhnya tentu tidak akan bombastis, maka beredarlah berita palsu yang justru memuat kabar mereka dinyatakan bersalah karena melakukan penelitian ilegal yang membahayakan khalayak umum dan dijatuhi hukuman penjara dalam pengawasan ketat selama 17 tahun, waktu yang sangat cukup untuk membiarkan mereka diabaikan dan terlupakan dunia. Seluruh aset yang mereka miliki disita atas nama pemerintah.
Lalu, bagaimana dengan keturunannya? Bukankah mereka yang harus mewarisi seluruh harta kekayaan? Mudah, mereka tidak ada karena 'terbunuh dengan keji'. Lucius Sterling yang baru saja berubah status menjadi seorang suami bagi si pujaan hati terbunuh di malam pengantinnya akibat perampokan bersenjata. Entah senjata apa yang dipakai yang berhasil melubangi leher dan menguras darah sang istri. Tentu fakta ini akan dihilangkan pula dan berganti 'Istri Putra Tertua Keluarga Sterling Tewas dalam Perampokan Bersenjata'. Tidak ada yang tahu keberadaan Lucius setelah insiden berdarah tersebut, tapi dengan percaya dirinya media justru memberitakan kematian dan meliput prosesi pemakamannya bersama jasad sang istri yang sekarang ditandai dengan nisan pualam putih.
Bukankah keluarga Sterling memiliki satu anak angkat? Siapa yang peduli dengan lelaki yang bahkan tidak layak menyandang nama keluarga tersebut karena tidak ada setetes pun darah Sterling yang mengalir dalam pembuluh darah lelaki pendiam itu? Nasib buruk telah menyegel nasibnya malam itu—dilabeli status tewas terbunuh dan terlupakan. Adakah yang peduli bagaimana dirinya yang terluka parah dalam usaha menyelamatkan istri Lucius supaya tidak tergigit dan menjadi Vampire? Tidak ada.
Semua usaha justru sia-sia sewaktu sepasang taring putih kembar menancap di leher dan perlahan-lahan cairan kental merah yang adalah esensi hidup setiap insan, meninggalkan tubuh fana rapuh yang akan hilang tanpa bekas setelah ditimbun dalam tanah. Digigit nyamuk berwujud orang? Bukan, Lucius adalah Vampire yang tengah menyuntikkan racun hingga darahnya tidak bisa membeku dan sekarang tengah kesetanan ingin menyedot habis makanan cair yang bahkan tidak bisa menutrisi tubuh pucat mereka.
Di kala penampakan sosok hitam berpakaian compang-camping muncul, ia tahu semua akan segera berakhir. Arit besar telah terayun untuk menebas putus benang yang melekatkan semua kehidupan dengan Dunia Tengah, tapi seseorang yang cukup bodoh melempar diri dan membiarkan ujung runcing arit tersebut menebas tubuhnya sendiri.
"Albert ...! Jangan mati, Albert! Bila kau mati, aku tidak akan pernah memaafkanmu!"
"Ah ... Albert. Sudah berapa tahun nama itu mati." Alfred bergumam untuk diri sendiri seraya membaringkan Lysandra. Terkadang Alfred merindukan nama lamanya, terutama sewaktu teriakan bising sang majikan mengiang di telinga. Sayang, memori Alfred terhadap peristiwa tersebut hanya sampai di sini karena ia sulit mengingat kejadian selanjutnya.
Hingga detik ini Alfred tidak tahu bagaimana dirinya dan si majikan sebatang kara yang berusaha diselamatkan dari cengkeraman Lucius bisa berakhir bermil-mil jauhnya dari kota Venzenia dan memiliki kartu identitas baru. Nama yang tertera di kartu tersebut terbaca Alfred Windstar.
Sekarang mereka tinggal bersama Profesor William yang masih memiliki relasi yang sangat dekat dengan keluarga Sterling. Pria bertubuh kecil dan gempal ini mengaku tidak pernah diakui oleh keluarga besarnya karena sang ibu bukan istri sah dari Profesor Aaron Sterling. Kasarnya, ia adalah anak haram dari keluarga termasyur tersebut. Jelas saja aib besar yang dapat mencemarkan nama baik keluarga harus diamankan, bagaimanapun caranya. Beruntung Profesor Aaron masih memiliki hati untuk membiarkan darah dagingnya sendiri itu hidup.
Profesor William juga memberikan identitas pada Wise dengan harapan bisa mengurangi beban hatinya. Di mata Alfred, penggantian identitas ini cukup berhasil membuat Wise lupa dengan masa lalu kelamnya. Namun, sifat barunya dengan cepat menguasai hingga Wise seperti berubah menjadi orang lain sepenuhnya.
***
"Maafkan saya, Nona. Saya hanya ingin membuka jaket Anda yang lembap." Setelah mendapat anggukan pelan, Alfred melepas syal dan jaket Lysandra. "Mohon tunggu." Alfred menggantung syal dan jaket Lysandra lalu menuju ruangan lain. Selang semenit, ia sudah kembali dengan dua selimut tebal dalam pelukannya.
Selesai menyelimuti Lysandra Alfred bertanya ramah, "Merasa lebih hangat? Bila ia, berkediplah dua kali."
Lysandra yang masih gemetar menuruti saran Alfred dan menatap lembut, berharap pria baik hati yang sekarang tersenyum ramah itu bisa menangkap ungkapan terima kasihnya.
"Alfred, kemarilah."
Alfred mendekati majikan mudanya dan membungkuk untuk mendengar apa yang hendak disampaikan. Lysandra tidak bisa mendengar apa pun selain anggukan demi anggukan dari pria yang kepalanya mulai dihiasi helaian rambut putih. Setelah Alfred keluar, suasana mendingin dengan cepat, mengontraskan gemeretak lalapan api pada kayu kering di perapian yang seharusnya menghangatkan ruangan mereka.
Balutan selimut lembut perlahan menghangatkan tubuh Lysandra. Perapian di ruangan yang berfungsi dengan baik juga mempercepat proses pengembalian suhu tubuhnya yang sempat hilang. Merasa lebih baik, Lysandra menarik tubuhnya hingga terduduk dan mengedarkan pandangan ke seantero ruangan. Matanya meloncat dari tempat datar dan cukup besar untuk menatang tubuh seseorang. Namun, hanya ada dua sofa kosong dan meja yang dipenuhi dengan seperangkat komputer dan tumpukan dokumen.
EG di mana?
"Apa yang kau cari di sini?" Pertanyaan tajam dan menuntut, menerjam telinga Lysandra.
Sebuah kursi besar berputar dan kelihatanlah sosok yang tengah menduduki kursi empuk tersebut, si ganteng tanpa baju hangat dengan wajah yang tersingkap. Ia meletakkan asal buku tebal yang tengah dibacanya di atas meja—disusul kaca mata baca—lalu bersandar kembali sambil menyilangkan kaki kanan di atas kaki kiri. Sikunya diistirahatkan pada pegangan kursi.
Lysandra berusaha membaca bahasa tubuh lelaki beralis rapi dan tebal, persis sekumpulan semut yang mahir baris-berbaris. Rambutnya ditata rapi dengan sejumput poni yang dibiarkan menjuntai bebas menutupi dahi. Dia keren, tentu setelah Schifar.
Meja kerja besar yang hampir menyapu seperempat ruangan memisahkan mereka berdua. Tatapan menyelidik persis seekor elang yang mempelajari mangsa membantu membangun suasana tegang di ruangan bercahaya lemah ini. Mungkin memang pendarnya sengaja diatur hingga kondisinya menjadi remang-remang.
Meski dalam keremangan, pantulan cahaya di kaca mata sosok di seberang sana berhasil membuat Lysandra bergidik ngeri, seolah tengah diincar seorang psikopat yang ingin membabat tubuhnya dan dipencar ke beberapa wilayah. Tangan Lysandra sampai harus meraba setiap sendi untuk memastikan semuanya masih tersambung karena tatapan intens yang bahkan tidak bisa dilihat dengan jelas.
"Tujuh puluh persen."
"Hah?" Cahaya lampu gantung kristal di atas kepala mereka naik intensitasnya hingga cukup terang. Karena belum terbiasa Lysandra sampai memicing beberapa saat sebelum melebarkan kelopak matanya kembali.
Sebuah papan nama beraksen kayu yang dipernis menarik perhatian Lysandra. Pada papan tersebut terukir nama seseorang dengan tinta emas, dan nama tersebut terbaca William Myers.
William ... Myers? Tunggu sebentar, inisial W dan M di halaman situs!
Benar inisial pada papan nama tersebut cocok dengan dengan yang tertera pada halaman situs di komputer Excelsis. Hati Lysandra berdebar-debar antara senang dan gugup seperti dalam acara temu tokoh idola. Mulutnya hendak bersuara tapi suara ketukan pintu datang menyela.
Lysandra dan sosok di seberang meja sama-sama menoleh dan menunggu hingga pintu terbuka. Sosok Alfred yang sudah mengenakan pakaian resmi yang terdiri dari dasi kupu-kupu dan rompi berwarna senada di atas kemeja putih, mendorong sebuah troli kecil ke arah Lysandra.
Tangan Alfred sibuk menyiapkan secangkir teh untuk tamu yang sebenarnya tidak diundang seperti Lysandra. Setelah menuang dari teko keramik putih susu bermotif sama dengan cangkir dan piring kecilnya, Alfred menjepit gula kubus dan bertanya, "Berapa?"
Lysandra mengacungkan jari telunjuk dan jempolnya. Tak lama Alfred mencelupkan dua gula kubus. Meski bukan seorang ahli, Lysandra sangat yakin peralatan minum teh yang tersaji adalah benda antik. Mahal sudah pasti, tapi menebak kisaran harganya merupakan tantangan tersendiri.
Ujung bibir Alfred tertarik karena isi kepala Lysandra seperti mengalir begitu saja. Tentu sangat mudah menebak apa yang tengah dipikirkan gadis mungil yang memainkan jemari kirinya seperti seorang anak sekolah dasar yang tengah belajar hitung-menghitung. Memang benar perkiraan Alfred, saat ini otak Lysandra sibuk mengombinasikan deretan angka yang dianggap pantas untuk disematkan pada peralatan antik di atas troli Alfred.
"Cukup manis?"
"Akh!" Bila saja Alfred tidak menadah tumpakan teh panas Lysandra, tentu kulit di balik celana panjangnya akan melepuh. "Tu—Tuan Alfred! Anda baik-baik saja?" Lysandra panik karena sarung tangan putih Alfred sekarang bernoda cokelat kemerahan.
"Tidak, apa-apa. Maaf membuat Anda kaget, Nona." Alfred merundukkan kepala sesaat dan hendak mendorong trolinya.
"Ta—Tapi, telapak tangan Anda, Tuan Alfred!" Lysandra buru-buru meletakkan cangkir tehnya di atas meja bundar kecil di samping sofa dan menangkap pergelangan tangan Alfred.
"Bukankah dia sudah bilang tidak apa-apa? Kenapa terus menjadi batu sandungan bagi orang lain?"
Lysandra menoleh, ingin protes dengan majikan Alfred yang benar-benar tidak punya hati. Bagaimana bisa dia tidak mengacuhkan cedera yang diderita Alfred dan secara tidak langsung meminta pria tua itu untuk tetap melanjutkan kegiatan—melayaninya.
Bila bukan egois, apa lagi kata yang tepat untuk ditulis pada selembar kertas kuning dan ditempelkan pada dahinya. "Hei! Kau ini mayat hidup atau apa? Jelas-jelas pelayanmu terluka saat ini, tapi kau—"
"Silakan transfer ke rekeningnya bila kau merasa bertanggung jawab." Alfred menyerahkan secangkir teh yang langsung disesap dengan santai hingga membangkitkan amarah Lysandra.
"Hei ...!" Lysandra tidak jadi melepas bomnya sewaktu manik mata majikan Alfred bergeser tanpa menoleh.
Dia—dia menakutkan ...
***
Wuih selesai juga. Ga tau kenapa ini part paling susah ditulis T_T *tertekan ama aura W.M.*
Jangan lupa vote + komennya, ya. Maaciw <3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top