Chapter 8.1 - Tales of Aecharna
"Yang ingin kuketahui, mengapa putriku memukul Excelsis? Melihat bukti-bukti yang disodorkan aku ...." Mata Quentine tidak bergerak dari sebuah pohon besar di kejauhan. Napasnya tertahan di rongga dada.
Aithne dapat menangkap ketakutan besar di balik mata coklat Quentine. Lelaki yang masih mempertahankan ketampanan di usia yang mulai senja ini merasa putrinya tidak mungkin sanggup melakukan pemukulan dengan dampak mengerikan seperti itu, karena Lysandra tidak menguasai ilmu bela diri apa pun.
Setibanya di sekolah, Quentine memang sempat menyaksikan semua kejadian dari sudut pandang benda-benda organik yang disentuhnya. Proses awalnya dimulai dengan 'bertanya' pada sebuah pohon dan beberapa tanaman yang letaknya dekat dengan lokasi pemukulan oleh Lysandra. Setelah itu, benda-benda organik tersebut akan memperlihatkan sudut pandang mereka, seperti sebuah kamera yang merekam suatu peristiwa. Durasi penglihatan Quentine berlangsung selama sepuluh menit, bukan karena ia tidak sanggup lebih dari itu, tapi karena memang sudah tidak ada lagi informasi yang bisa ia peroleh dari para saksi yang hanya bergoyang ketika tertiup angin. Ia tidak mengerti mengapa tidak bisa mendapatkan kilasan peristiwa ini dari memori Lysandra.
"Itu karena dia dirasuki oleh mahkluk air." Maeveen masuk ke dalam perbincangan sambil mengeluarkan alat perekam kecil dari tas kerja berwarna merah. Tanpa diminta, ia menekan beberapa tombol dan menunjukkan pada Quentine yang duduk di hadapannya.
Seketika Quentine membalalak, seakan membiarkan bola matanya yang mungkin akan menggelinding keluar dari soket kapan saja bila saja tidak ada penahannya. Isi rekaman tersebut menampilkan wujud makhluk air yang ditikam oleh Aithne.
"Maeveen, kau meletakkan alat perekam ini di mana?" Aithne jelas tidak senang karena ia sama sekali tidak tahu bila aktivitasnya bersama Excelsis terekam.
"Di tempat yang tidak terduga, untuk mencegah pencurian." Maeveen menjawab sekenanya. Ia memang tidak pernah memberitahu Aithne mengenai alat perekam yang telah lama ia pasang di ruang bawah tanah tersebut.
"Apa ini saatnya aku harus tertawa?" dengkus Aithne sambil melotot galak ke arah Maeveen yang duduk di sampingnya.
"Kendalikan dirimu, atau kau akan menjadi ungu." Maeveen menatap iris Aithne yang mulai berubah warna menjadi ungu.
"Hei, mengenai urusan ini sebaiknya kalian selesaikan di rumah. Kita disini sedang membahas hal yang lebih penting." Quentine berusaha mengembalikan fokus pembicaraan mereka bertiga yang telah melenceng ke hal yang menurutnya tidak penting untuk diributkan. Setidaknya hal yang tidak terduga seperti ini, mereka malah mendapatkan informasi yang berguna.
"Kita bicarakan hal ini di rumah!" Aithne tidak senang karena merasa seperti dimata-matai oleh suaminya sendiri.
Karena masih belum bisa menurunkan tensi marahnya, tangan Aithne segera mengulur untuk meraih kotak berisi kaca mata hitam dari tas besar yang tergantung manis di sisi meja dan dengan cekatan memakainya. Tidak cukup dengan kaca mata hitam saja, tangan Aithne kembali sibuk merogoh-rogoh tas untuk mencari sepasang sarung tangan khusus yang bisa mencegah kuku-kukunya makin memanjang. Sarung tangan berbahan sintesis kulit ini dirancang oleh Maeveen dan Xander Timofei, sang ayah mertua sekaligus seorang ilmuwan.
Quentine mencondongkan tubuhnya lalu berbisik, "Apa kalian tidak merasa aneh? Dalam sejarahnya Merphanon tidak pernah merasuki tubuh seseorang." Ujung jempolnya sibuk menggosok-gosok dagu membulat yang berhasil ia wariskan pada Lysandra. Kebiasaan ini hanya keluar bila ia tengah menganilisis hal yang mengganggu pikiran.
"Memang benar Merphanon tidak bisa merasuk, tapi mereka memiliki peliharaan yang sanggup melakukan itu." Maeveen menyeruput kopi beraroma raspberry panasnya lalu menggigit ujung roti panggang berselai merah menyala yang sejak tadi tersaji di atas meja. "Ah, kopi ini enak. Ai, bisa kau buatkan untukku?"
Aithne segera menarik cangkir kopi Maeveen dan menyendok sedikit isinya untuk mencicipi. "Ya. Mudah." Lidah Aithne dengan cepat mendeteksi rasa dari bahan-bahan yang terkandung dalam cairan berwarna coklat muda tersebut. "Kita bisa beli bahan-bahannya nanti."
Quentine tidak tahu harus bereaksi apa melihat pasangan di depannya yang tidak sungkan-sungkan menunjukkan kemesraan mereka. Bisa jadi mereka malah sibuk merancang acara belanja mereka hanya karena sebuah minuman. Matanya melayang pada Maeveen, berharap sebagai sesama pria bisa mengerti arti tatapannya yang sedikit mengiba.
"Terima kasih, Ai. Baiklah, kembali ke pembahasan." Maeveen menarik kembali minuman yang telah resmi masuk dalam daftar favoritnya, sebelum diteguk habis oleh Aithne. "Kalian tahu tentang Echidna?" tanyanya sambil menatap Aithne dan Quentine bergantian, menunggu reaksi mereka.
"Echidna ...." Ujung jari Quentine kembali menggosok dagunya. Namun, tak lama ia segera menaikkan manik matanya ke arah Maeveen dan menggeleng.
"Sepertinya ada di buku mitologi yang sering dibaca EG. Apa dia wanita cantik berambut panjang yang separuh tubuhnya ular?"Aithne mencoba mendeskripsikan apa yang ia ketahui mengenai sosok yang sedang ditanyakan sang suami.
"Medusa?" Ujung alis Quentine naik.
"Bukan," jawab Maeveen cepat lalu mengembalikan perhatiannya pada Aithne. "Lalu, apa lagi yang kau tahu mengenai dia?"
Jari Aithne menyusuri embun pada dinding gelas minuman dinginnya. "Dia dikenal sebagai ibu dari para monster karena wujud keturunannya yang buruk rupa."
"Lalu, apa hubungannya dengan yang sedang kita bicarakan ini?" Quentine tidak dapat merangkai informasi yang tengah bergulir. Sedari dulu memang sulit membaca alur pikir Maeveen.
"Dunia Merphanon juga memiliki Echidna, dia bernama Aecharna."
"Benarkah?" Aithne dan Quentine sama-sama terkejut mendengar pernyataan Maeveen yang hanya mengangguk tenang.
***
"Konon Dewa Althios membawa sebutir telur emas ke Talmios, wilayah tersembunyi yang hanya bisa didatangi oleh jiwa-jiwa yang telah meninggalkan raga mereka." Maeveen mengulang kembali cerita yang sering didengar dari seorang pengasuhnya. "Aku—"
"Aku juga pernah mendengarnya," sela Quentine.
"Mau kuteruskan?" Quentine menunggu respon Maeveen yang langsung menutup rapat mulutnya. "Jadi, telur menetas dan darinya keluar bayi perempuan. Lynxcria, Pixie gila yang telah menjadi istri Althios—"
Maeveen berdeham.
"Maksudku Lynxcria, seorang Pixie—tanpa tambahan 'gila'—yang diperistri Althios, khawatir di kemudian hari bayi ini akan menjadi wanita cantik yang bisa membuat hati suaminya berpaling."
"Pencemburu sekali dia," celetuk Aithne santai lalu meraih sepotong roti panggang lain, mengolesi dengan selai kacang dan menggigitnya.
"Begitulah. Untuk mengamankan posisinya, Lynxcria meletakkannya di keranjang bersama Ophidiros—ular yang paling berbisa sejagat raya Thalmios—dan membuangnya ke tepi Jurang Tanpa Harapan."
"Althios berhasil menemukannya?" Aithne jadi penasaran sekaligus iba.
"Tidak pernah."
Dewa malang Althios sangat putus asa setelah lelah mencari dan tidak pernah menemukan putri angkatnya. Lynxcria sendiri mengira telah berhasil menyingkirkan bayi mungil yang menjadi sasaran kemarahan dan kecemburuan menggebu-gebunya.
Dugaan Lynxcria salah total. Izaruel sang pemberontak yang dibuang di jurang ini entah bagaimana berhasil terbebas dari segel pengikat. Meski sudah bebas, ia tidak bisa keluar dari tempat ini karena sayapnya masih terbelenggu. Dialah yang menemukan dan merawat bayi cantik ini hingga dewasa.
Quentine menyesap teh hijaunya. "Setiap jam Ophidiros akan memagut dan menyuntikkan bisa dengan dosis yang tidak cukup untuk membunuhnya, tapi ... anak malang itu mengalami halusinasi yang membuatnya ingin mati saja. Bayangkan saja ini terjadi selama belasan tahun."
"Tidak kusangka ada yang lebih kejam dan licik dari Neoma." Aithne membunyikan buku jarinya. Sorot matanya mendingin, mempertimbangkan idenya untuk mencari Tungku Phoenix dan melempar semua makhluk-makhluk kekal tanpa hati seperti mereka ke dalamnya hingga hangus tak bersisa.
"Begitu juga keturunannya." Quentine melirik Maeveen yang ekspresinya sulit dibaca lalu tersenyum getir dan menurunkan suaranya, "Meski tidak semua."
Merasa dibuang, tidak diinginkan dan terlupakan bayi yang telah tumbuh menjadi seorang gadis remaja perlahan dirasuki kegelapan dan bersatu dengan kegelapan itu sendiri. Hal ini diperparah dengan pengaruh Izaruel yang terus-terusan mengembuskan ide untuk balas dendam dan menghancurkan pihak-pihak yang membuatnya menanggung penderitaan, meski tidak melakukan kesalahan yang layak untuk ditimpakan hukuman. Perlahan tapi pasti, pagutan berbisa Ophidiros tidak lagi berdampak apa-apa, tapi memperkuat dirinya hingga ular tersebut takluk.
"Selanjutnya ia berencana melarikan diri bersama Izaruel. Aku tidak tahu lagi siapa yang memanfaatkan siapa di sini." Bahu Quentine bergerak naik sesaat dan kembali menyesap teh hijau yang dari aromanya saja sudah menebar kepahitan.
Aithne menegakkan tubuhnya. "Bagaimana cara dia melarikan diri?"
"Terbang. Memanfaatkan sayap hitam Izaruel yang berhasil dibuka gadis itu. Izaruel sendiri tidak mengikutinya karena punya kejutan untuk Althios yang tidak akan pernah dewa itu lupakan."
"Yang adalah?" Aithne makin tenggelam dalam kisah Quentine.
"Tanyakan suamimu, Aithne." Quentine tidak bersedia menjawab pertanyaan Aithne yang mendesak.
Aithne berpaling, memperhatikan wajah tanpa ekspresi Maeveen. "Bisa beritahu padaku?" Lelaki yang ditanyai hanya menggeleng dan meminta Quentine melanjutkan.
"Lynxcria, Pixie tidak waras itu akhirnya mendapatkan ganjaran setimpal. Meski begitu, aku kasihan padanya." Quentine menggeleng-gelengkan kepala, tapi langsung berhenti sewaktu matanya bertemu Maeveen yang seperti ingin menancapkan taring di leher dan mengeringkan seluruh darah di tubuhnya.
Tangan Quentine yang membentengi lehernya mengundang kerut di dahi Aithne, tapi ia terlalu ingin tahu mengenai wanita yang tengah dibahas Quentine. "Dari tadi kau terus menyebut Lynxcria, siapa dia? Sepertinya kau tidak menyukai dia."
"Tentu saja aku tidak suka padanya, sejak lahir dari Bunda Orfhlaith—yang artinya ia ada seorang Pixie—ia sudah kelihatan tidak normal. Terkadang diam menerawang dan tiba-tiba mengamuk tanpa alasan."
"Benarkah?" Aithne mencondongkan tubuh untuk mempertegas rasa tidak percayanya.
"Ya. Aku keluar lebih dulu dari dia tentu saja aku tahu. Kegilaanya makin menjadi setelah dibawa ke Talmios oleh dewa Althios."
Maeveen berdeham untuk mengingatkan Quentine supaya tidak terus-terusan menjelek-jelekkan Lynxcria. Aithne meredam keingitahuannya setelah melihat wajah Maeveen yang semakin mengencang, tanda ia tidak senang.
"Maaf, Maeveen. Aku hanya tidak menyukai Pixie gila itu, dia hampir membunuh Myristica-ku dengan kegilaannya."
Aithne memberi kode agar Quentine meneruskan ceritanya. Namun, Quentine tak kunjung bersuara lagi.
"Maaf, Aithne. Hanya itu yang kutahu."
Karena tidak ada sumber lain, Aithne menyentuh lembut lengan suaminya. "Kau tahu kelanjutannya?"
Maeveen mengangguk pelan, meski masih susah mengatur raut wajah, terutama matanya yang masih berusaha menahan amarah supaya tidak lepas kendali. Ia berkedip berkali-kali supaya pupilnya tidak mencembung.
"Baiklah. Sampai di mana tadi."
***
Glosarium
Aingeru: Malaikat. Salah satu ras bersayap yang tinggal di Langit Atas dan menjadi pelayan ataupun pembawa pesan untuk Kalbatama.
Echidna: dalam mitologi (Yunani) adalah monster dengan separuh wanita dan separuh ular. Dia adalah ibu dari beberapa monster terkenal. Tiga Gorgon (Stheno, Euryale, Medusa) adalah salah satu keturunannya (tergantung dari sumbernya, ada yang mengatakan Medusa yang mortal bukan keturunan Echidna dan Typhon, tapi Phorkys and Keto).
Izaruel: Malaikat Jatuh. (lih. Extra File: Aingeru (Malaikat).
Lynxcria: Green Pixie yang dinikahi oleh Althios dan tinggal di Talmios bersamanya. Tidak ada yang tahu mengapa namanya tidak menggunakan kaidah penamaan Pixie yang umum.
Ophidiros: Ular yang menjadi peliharaan Lynxria di Talmios. Konon ular ini adalah kembaran dari Xerphentra yang sekarang menjadi berganti nama menjadi Magnolia, Rǜę yang menjadi 'familiar' Schifar.
Talmios: Terletak di Dunia Bawah (Underworld). Salah satu areanya adalah penjara bagi jiwa-jiwa terkutuk, tempat Jurang Tanpa Harapan terletak.
***
Jangan lupa vote + komen. Danke
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top