Chapter 7.4 - Vampire?

Selesai menonton program wisata di kota Venzenia, Excelsis kembali ke kamar untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah. Namun pikirannya kembali tertuju pada kastil megah yang sekarang terbengkalai itu. Daftar para pemilik sempat dibahas dan nama terakhir yang disebut adalah Profesor Sterling.

"Sterling ... Sterling ... Sterling." Excelsis terus mendengungkan nama yang membuat hatinya menggelenyar.

Penasaran, Excelsis menyalakan komputer dan bermaksud menjelajahi internet untuk mencari informasi. "Oh iya, tadi Lysa sebut nama orang ini, kan?" Excelsis mengarahkan kursor pada menu 'History' dan keluarlah halaman-halaman situs yang dikunjungi oleh Lysandra.

"Vyraswulf? Kenapa anak itu jadi tertarik dengan dongeng Nona Gayle?" Tanpa sadar dahi Excelsis mengerut seperti anjing boxer.

Tangannya sibuk mengeklik semua tautan hasil penelusuran Lysandra hingga ia berhenti pada situs yang memuat berita tentang Profesor Sterling. "Benjamin Taranis Sterling—Alamea Malia Moana ...."

"Arrrgh! Rasa-rasanya ada yang ingin keluar tapi kenapa aku tidak bisa ingat apa-apa, sih! Ayolah, Excelsis!" Excelsis menepuk-nepuk pipi dan berpikir lebih keras, tapi semakin dipaksa justru otaknya semakin berlumpur. Tidak sampai semenit ia menyerah dan memutuskan fokus pada rencana semula—menyelesaikan tugas sekolah.

Satu jam kemudian Excelsis merapikan meja belajar, puas dengan bahan-bahan referensi yang didapat untuk tugas bulanan guru biologinya, Nona Giselle. Ia melirik jam dan bergegas turun menuju ruang makan.

Langkahnya terhenti karena sudut matanya menangkap siluet seseorang berdiri di dekat jendela yang terbuka. Semilir angin malam memainkan rambut panjang sosok yang entah mengapa tidak menyalakan lampu, membiarkan salah satu sudut di area tersebut gelap gulita.

Excelsis tahu siapa sosok tersebut dari wangi parfum yang terbawa angin. Karena tidak ingin mengagetkan, ia mengayun langkah perlahan. Jarinya menyusuri dinding untuk mencari saklar lampu.

Klik. Ruangan menjadi terang benderang setelah tombol berlapis emas yang tersembunyi di balik daun lebar tanaman dalam pot keramik putih ditekan.

"Mama?"

Aithne menoleh dan kembali menatap ke luar jendela. Penasaran, Excelsis mendekat dan ikut mengikuti arah pandang Aithne.

"Kau dengar itu?" Mata Aithne bergerak-gerak.

"Suara apa?" Excelsis menyendengkan telinga.

"Suara lolongan itu—Kau dengar juga, kan?"

Excelsis sulit membaca wajah Aithne saat ini. Ia tidak mendengar suara apa pun, desiran angin saja tidak apalagi lolongan yang entah dihasilkan oleh mahluk malam jenis apa. Serigala? Makhluk berkaki empat ini sudah lama punah di area mereka karena perburuan liar yang tidak dikontrol pemerintah sekitar lima puluh tahun lalu.

"Lolongan apa, Ma?"

Aithne berkedip-kedip cepat, heran karena lolongan panjang yang sesekali terdengar itu seperti jatuh pada orang tuli. Ia menoleh lagi kala lolongan panjang kembali menggetarkan gendang telinganya yang sensitif.

Excelsis memilih mengabaikan suara yang tidak bisa didengarnya itu dan memusatkan perhatian pada Aithne. Gelagat sang mama semakin memicu rasa ingin tahunya. Meski ia tidak memiliki kemampuan untuk membaca pikiran, tapi sikap tubuh seseorang yang gelisah sangat mudah dikenali.

Aithne sedang diliputi ketakutan dan ia tidak bisa berhasil mencegah luapan emosi yang satu ini tertangkap radar sensitif Excelsis. Memang putri kecilnya tidak akan mengatakan apa pun selain memperhatikan dalam diam, tapi siapa yang akan tahan dengan tatapan yang seolah-olah berkata 'aku akan berdiri di sini dan meluangkan waktuku yang banyak untuk mendengar keluh kesahmu'. Berkali-kali Excelsis membuktikan bila ia memiliki kesabaran setinggi gunung, kecuali ketika perutnya bergemuruh meminta diisi.

Aithne sangat benci bila posisinya berubah menjadi seorang pesakitan yang harus menjelaskan sesuatu dalam proses interogasi. Excelsis memang bukan polisi atau psikolog, tapi ia bisa menyediakan telinganya berjam-jam dalam sesi 'curahan hati' bersama Lysandra tanpa kehilangan fokus.

Apa jadinya bila Aithne terperangkap dalam sesi semacam ini, yang ada ia menumpahkan semua hal yang menjadi ganjalan hatinya, termasuk rahasia-rahasia besar yang ia simpan bersama Maeveen. Ini lebih mengerikan daripada harus bertarung membabi buta dengan para pemburu yang sejak dulu tidak pernah mengizinkannya mencicipi kedamaian, terutama sejak kehadiran Excelsis dalam hidup mereka.

"Ck. Koaka. Kenapa burung bodoh itu berpikir bisa merayu pasangan dengan meniru lolongan murahan seperti itu." Aithne mengunci jendela rapat-rapat dan merangkul bahu Excelsis, mengajaknya ikut ke ruang makan.

Justru sebaliknya bila burung tersebut bisa membuatmu bereaksi seperti ini, Ma. Cuma ... sekarang bukan musim kawin burung itu.

Excelsis melirik dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun meski rangkulan Aithne terkesan dipaksakan. Ia tahu persis bagaimana membedakan antara orang yang mengajak karena menggebu-gebu atau karena ingin lari dari sesuatu. Saat ini mamanya berada di posisi kedua, meski ia tidak tahu apa yang ingin dihindari oleh Aithne.

Yang ia tahu, Aithne menyembunyikan sesuatu darinya.

Kenapa suara lolongan bisa membuatmu ketakutan, Ma? Apa yang telah hewan itu lakukan padamu di benua lain?

"Papamu sudah pulang?"

"Belum."

***

Di ruang makan, Aithne memeriksa segala perlengkapan dan menu yang sedang ditata oleh beberapa pelayan yang sibuk membawa nampan berisi makanan dari dapur. Bukannya ia tidak percaya dengan profesionalisme mereka, hanya saja ia seorang perfeksionis yang tidak akan puas bila tidak melibatkan diri, apalagi ini menyangkut keluarga.

Ia mengambil sodoran daftar menu dari seorang koki paruh baya yang berdiri di ambang pintu. Seperti biasa, daging musang dan ayam tercantum di dalam daftar. Jujur saja, ia tidak peduli dengan sayur-sayuran karena ia tidak suka melabeli dirinya sebagai makhluk herbivora.

Saat pelayan meletakkan gelas, kegaduhan terdengar dari lantai atas. Semua saling pandang dengan raut bingung dan ingin tahu, kecuali Aithne yang langsung menyambar pisau buah dari meja kecil di sampingnya berdiri. Melihat apa yang diambil Aithne membuat Excelsis gugup. Matanya membentur sendok dan garpu di atas meja, tapi apa mungkin melawan seseorang—atau mungkin sesuatu—memakai sendok? Garpu memang lebih baik sedikit, tapi tetap saja tidak keren.

"Selesaikan tugas kalian," perintah Aithne pada para pelayan lalu keluar dan perlahan menaiki tangga.

"Nona Excelsis, kau tidak ikut?" bisik pelayan muda yang ditunjuk menjadi asisten utama Excelsis. Ia sama sekali tidak terganggu dengan pelototan galak kepala pelayan berwajah tegas yang berdiri di dekat koki utama. "Pakai ini saja."

Tempat lilin bercabang lima dengan cepat berpindah tangan. "Terima kasih," balas Excelsis lalu bergegas keluar menyusul Aithne.

"Siera! Kenapa kau lakukan itu?"

"Aku? Aku hanya melakukan tugasku. Melindungi majikan salah satunya, bukan?"

Excelsis hanya tersenyum simpul mendengar pembicaraan bapak dan anak dari ruang makan. Ia kagum dengan keberanian Siera yang tahu bagaimana cara menggigit balik kepala pelayan kaku dan tidak tahu cara tersenyum tulus. Setiap lelaki tua itu tersenyum, tengkuknya serasa dicurahkan seember ulat bulu. Untunglah dia memiliki seorang ayah seperti Maeveen yang jangankan tersenyum, cemberut saja masih tetap terlihat elegan dan berkelas.

Aithne masih menaiki anak tangga sambil mengendap-ngendap waspada. Begitu juga dengan Excelsis yang berusaha membuat langkahnya seringan mungkin supaya tidak menimbulkan suara. Mendekati anak tangga terakhir, langkah Aithne terhenti dan punggungnya ditabrak kepala Excelsis. Meski berusaha terlihat berani, kepengecutan Excelsis terkadang mengambil alih, apalagi bila ia bisa mendeteksi marabahaya.

Seseorang tengah berusaha membuka pintu balkon yang terkunci. Excelsis semakin merapatkan dirinya hingga Aithne harus berbisik, "Kau bersamaku."

Namun, usaha Aithne untuk menenangkan Excelsis sia-sia belaka karena tidak lama bisikannya meninggi dan menjelma menjadi makian. "Tenanglah, EG! Detak jantungmu sangat mengganggu!"

"Mama!" Tempat lilin yang sedari tadi dipegangg Excelsis melayang seketika akibat kelabat bayangan hitam yang menudungi Aithne.

"Lampu!" Aithne melesat, meninggalkan embusan angin. "Sekarang!"

Meski tangannya gemetar, Excelsis termasuk sigap untuk menekan saklar lampu dan bersembunyi di balik tembok.

Pendar cahaya temaram perlahan menjadi terang. Excelsis memiringkan kepala untuk mengintip hingga separuh wajah. Seketika mulut dan matanya membulat sewaktu sosok yang berdiri di dekat pintu yang terbuka tak berkutik. "Papa?"

"Ai, bisa turunkan pisaunya?" Maeveen menatap dingin pada bilah tajam yang menempel di kerongkongannya.

"Oh." Aithne menjauhkan pisau buahnya dari leher Maeveen lalu menoleh pada Excelsis yang bisa menjadi patung pengganti dari satu patung pualam yang hancur akibat ditabrak oleh Maeveen di luar pintu. "Tunggu kami di bawah, EG."

"I—iya." Excelsis kembali menggeser kepala dan hendak menuruni tangga, tapi sesuatu berwarna yang bergerak cepat dari balik punggung Maeveen sempat tertangkap ekor matanya.

Ingin memastikan, Excelsis mengintip lagi dan bertemu tatap dengan Maeveen. Aithne juga bergerak cepat dengan maksud menghalangi jangkauan pandang putrinya.

"Kenapa masih di sini?" tanya Aithne sambil menunjuk Excelsis dengan ujung pisau buahnya.

Excelsis bergidik dan melangkah gontai menuruni tangga. Pikirannya masih terbang pada benda hitam melengkung yang melayang di belakang bahu Maeveen.

Apa yang sempat kulihat itu?

Langkah Excelsis terhenti karena teringat dengan nasib tempat lilin yang dilempar tadi. Kakinya langsung menuntunnya naik, seolah lupa dengan usiran halus Aithne.

Tubuh Maeveen sedang diputar oleh Aithne yang ingin memeriksa punggungnya. "Ini kemeja ketiga dalam minggu ini, Maeveen."

"Maaf, Ai. Sebelum pulang aku mengecek berita dan ada kecelakaan di jalur yang biasa kulewati."

"Cepat tarik sayapmu, jangan sampai Excelsis melihatnya. Dia belum siap dengan semua ini."

"Hm." Maeveen mengejan sampai sisa sayap hitam kelelawarnya merasuk kembali ke dalam punggung.

Keduanya gagal menyadari bila sepasang mata tengah memperhatikan mereka dan sekarang membelalak, terpana sambil membekap mulut. "Sa—sayap?"

"Kau melihat sesuatu yang menarik, EG? " Aithne tiba-tiba sudah berdiri di belakang Excelsis.

Tenggorokan Excelsis mendadak kering. Meski mulutnya komat-komit, tak ada satu pun kata yang berhasil lolos keluar. Sedetik kemudian, sudut pandang gadis ini perlahan miring dan semua menjadi gelap.

"Ya ampun, kebetulan macam apa ini?" Aithne menggeleng-gelengkan kepala sambil menatap Excelsis yang tumbang dalam pelukannya. "Venzenia ... dan sekarang ini?"

***

Acara makan malam terpaksa ditunda karena Maeveen dan Aithne tengah menunggui Excelsis siuman di kamar tidurnya. Maeveen berdiri di depan pintu, sementara Aithne memangku kepala Excelsis.

Jari Aithne sibuk mengelus-ngelus rambut Excelsis sebelum bulu matanya bergetar dan membuka perlahan. "Mama ...."

"Ha~ah, EG. Apa yang harus kulakukan dengan perutmu yang seperti Lubang Hitam, hm?" Aithne menyentil lembut dahi Excelsis yang langsung merengut.

"Aku tidak pingsan karena kelaparan, kok!"

"Lalu siapa yang melolong dari sini?" Tangan Aithne menjamah area perut Excelsis.

Mendengar suara Excelsis yang merajuk manja akibat godaan Aithne, Maeveen menyembulkan kepala. "Kau sudah siuman?"

Melihat Maeveen, wajah dan dada Excelsis langsung mengencang. Bayangan sayap hitam yang merasuk di punggung papanya terputar kembali.

Aithne melirik tangan Excelsis yang menekan dadanya dan memecah kesunyian. "Baiklah, karena kau sudah melihat semuanya kami rasa inilah saat yang tepat. Siapkan diri, EG."

"A—apa, Ma?" Lidah Excelsis terasa berat.

"Papa adalah Vampire," terang Aithne membuka identitas Maeveen lalu melanjutkan, "dan mama adalah ... Vyraswulf—secara tidak langsung." Tatapan Aithne tajam menusuk. Ia seperti tidak senang dengan keadaan dirinya yang bukan manusia normal.

Sebelum sempat membentuk kata untuk diucapkan, jantung Excelsis langsung terpompa kencang karena Maeveen dan Aithne sudah duduk mengapitnya di sofa. Excelsis tidak lagi merasa seperti disiram seember air es, tapi dilemparkan mantra pembeku.

Bila saja ia menjadi patung alabaster yang cantik nan anggun, tentu tidak masalah. Namun, siapa yang akan mengagumi wajah cantik yang terpelintir ngeri seperti akan disabet arit malaikat penjemput nyawa? Yang ada orang akan lari terbirit-birit karena mengira ia adalah patung kutukan.

Saat ini Excelsis tidak membalas tatapan intens Maeveen dan Aithne yang sedikit khawatir dengan ekspresi seseorang yang sembelit berminggu-minggu. Kata 'Vyraswulf' tengah berputar-putar dalam kepala gadis malang yang diteror orang tuanya sendiri ini. Ada dua nama yang mencuat, Nona Gale dan Lysandra. Nona Purbakala yang cocok menjadi penulis cerita fiksi fantasi dan calon pengikut guru sejarah mereka yang sedikit demi sedikit mulai mencampur dunia nyata dan khayalan.

"Vyraswulf ...," bisik Excelsis, "mereka ... ada? benar-benar ... ada? Vyraswulf benar-benar ada? Nona Purbakala tidak—tidak mengarang-ngarang? Mereka ... benar-benar ada? Di sini? Di dunia ini? Yang benar? Aku ... aku belum siuman, kan? Aku masih di alam bawah sadar, kan?" Excelsis meneruskan monolog bisik-bisiknya hingga mirip mantra penolak roh jahat yang justru mengundang roh tersebut datang membebani otak yang sebentar lagi kelebihan beban.

"Pernah dengar?" Aithne mencoba memanggil perhatian Excelsis yang meracau sendiri, menolak ikut-ikutan gila seperti Lysandra. Usahanya tidak membuahkan hasil karena Excelsis tengah ditelan pusaran ketidakpercayaan.

Excelsis memang menolak percaya dan ingin melompat keluar keadaan yang lebih mirip mimpi buruk yang aneh. Bagaimana mungkin makhluk-makhluk yang hanya bisa dijumpai dalam buku dongeng dan film-film bombastis saat ini muncul dan mengaku sebagai orang tuanya. Penyingkapan ini ternyata lebih mengerikan dari yang bisa dibayangkan Excelsis. Sangat sulit dipercaya.

"Excelsis, tenanglah." Maeveen menarik dagu Excelsis, memaksa sepasang manik yang tak fokus itu bertemu dengan iris merah berpupil emas miliknya yang tengah menyala.

"Dia sudah bisa mendengarkan?" Aithne meminta kepastian dari Maeveen yang hanya mengangguk singkat.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top