Chapter 7.3 - Sealed Memories
Excelsis mengalihkan perhatiannya pada Aithne sewaktu iklan komersial terselip diantara liputan yang tengah ditonton. Wanita ini tampak melamun.
"Ma? Sedang memikirkan apa, serius sekali?" Panggilan Excelsis membuyarkan lamunan Aithne.
Tas kecil di pangkuan Aithne meluncur jatuh dan tersangkut di kakinya."Ah! Tidak apa-apa. Lanjutkan acara nontonmu." Aithne buru-buru memungut tasnya dan pura-pura menguap sambil meregangkan tubuh lalu berdiri meninggalkan Excelsis.
Mata Excelsis terus mengikuti Aithne sejak menaiki tangga hingga menghilang di belokan yang menuju kamar tidur utama. "Ada apa dengannya?"
Aithne merebahkan diri sambil menutup dahi dengan punggung tangan. Ia masih jelas mengingat gencarnya godaan demi godaan yang diarahkan pada Excelsis sepanjang perjalanan pulang karena gelagat Excelsis yang tampak tertarik dengan Wise.
Menurut perkiraan Aithne, usia Wise sekitar delapan belas tahun dan memang tidak bisa dipungkiri lelaki muda itu memiliki wajah rupawan sekaligus misterius. Entah bagaimana cara mereka bisa berkomunikasi, mengingat Excelsis bukan tipe yang banyak bicara bila bertemu orang baru dan sepertinya Wise juga tipe pendiam—bila tidak mau disebut sebagai orang tidak ramah.
.
.
.
"Kalau sudah bertemu teman ngobrol asyik, apa saja dilupakan termasuk orang tua," goda Aithne sambil memperhatikan pantulan wajah Excelsis di spion tengah.
Tertangkap mata Aithne, Excelsis buru-buru berpaling dan menengok keluar jendela, padahal tidak ada yang bisa dilihatnya akibat kaca film yang terlalu gelap dan tidak ada pencahayaan cukup dari luar. "Itu tidak seperti yang Mama pikirkan," balas Excelsis sambil menjaga suara sedatar. Mungkin berusaha menelan rasa malunya.
"Oh ya? Kok bisa hilang lama ...?"
"Waktu kembali dari toilet, dia sudah mengambil tempatku. Lalu kalian muncul."
Apa yang dikatakan Excelsis adalah kenyataan karena Wise memang tidak menuruti permintaan Bent melainkan memutuskan untuk memperhatikannya dari balik bayangan salah satu pilar.
"Ai ...." Maeveen mengingatkan Aithne supaya berhenti menggoda putri mereka. Tangan Aithne terulur untuk mengelus rambut pria yang dicintainya ini dengan lembut dan memutuskan menurut pada kehendak sang suami.
"Pa, aku merasa seperti mengenal dia sebelumnya. Tapi entah di mana."
"A—ha. Aku sudah berhenti membahas lelaki itu, tapi rupanya masih ada yang penasaran dengannya. " Aithne mengerling pada Maeveen.
"Bukan begitu, Mama. Wajahnya seperti tidak asing bagiku, tapi aku lupa pernah melihatnya di mana. " Excelsis memijit-mijit dahi, berharap dengan melakukan tindakan sia-sia itu akan merangsang otaknya berpikir lebih dalam.
"Dalam mimpi. Ketika kau bertemu dengan pangeran berkuda putihmu." Aithne mendapat angin segar untuk menggoda Excelsis lagi.
"Mama ...." Excelsis memonyongkan mulut, sebal dengan godaan bertubi-tubi dari Aithne yang seperti mengharapkan pengakuan darinya bahwa ia mengagumi lelaki pendiam tadi.
"Seperti yang kau dengar tadi, EG. Dia adalah putra angkat keluarga Sterling yang baru kembali dari studinya. Jadi, yang paling mungkin dia adalah sosok pangeran yang ada dalam mimpimu, makanya tidak lagi asing." Suara Maeveen yang dalam terdengar sangat seksi di telinga Aithne.
"Nah! Kau dengar EG, Papa setuju dengan Mama." Aithne mengedipkan mata sambil tersenyum menang karena Maeveen berada di pihaknya.
.
.
.
Aithne tersenyum kecil karena wajah kesal Excelsis yang menggemaskan. Di saat yang sama, ia juga khawatir bila suatu saat Excelsis akan mengingat semua kejadian menyeramkan yang terjadi sesudahnya.
"Maeveen, aku tidak tahu sampai kapan sugesti pikiranmu itu akan bertahan dalam memori EG ...." Aithne memiringkan tubuh, memperhatikan sambil mengelus-ngelus bantal suaminya.
Aithne pantas untuk khawatir karena belakangan ini Excelsis bercerita bila ia sering mengalami mimpi buruk dan terbangun di tengah malam akibat diserang oleh makhluk bersayap yang penggambaran karakternya mirip dengan Vampire.
Mimpi-mimpi Excelsis merupakan kejadian nyata yang mereka alami dalam perjalanan pulang sewaktu mereka masih menetap di kota Venzenia. Teriakan histeris Excelsis bahkan masih sering menggema di kepala Aithne hingga detik ini, seolah kejadian tersebut baru saja terjadi.
.
.
.
Salah satu Vampire hinggap dan menancapkan cakar-cakar besar berujung bengkok dan lancip hingga menebus atap mobil dan merobeknya. Begitu mudah hingga atap tebal nan solid ini seperti terbuat dari kaleng tipis ikan sarden.
Aithne segera merayap ke kursi belakang untuk melindungi Excelsis yang terluka setelah beberapa kali tergores cakar Vampire yang hendak menariknya keluar dari mobil.
"Merunduk! " Aithne melindungi Excelsis dengan tubuhnya sendiri sewaktu musuh mereka membuka telapak tangan seperti elang yang hendak mencengkeram mangsa.
Cakar-cakar tajam tersebut menancap kuat di punggung kanan Aithne hingga lengkingan tajam lolos begitu saja dari mulutnya, membuat Excelsis semakin ketakutan dan menjerit-jerit keras. Bayangan Aithne akan tewas meneror Excelsis.
"Ai!"
"Jangan khawatirkan aku Maeveen, jaga EG!" Suara berat Aithne dan geramannya yang khas menjadi alasan yang cukup bagi Maeveen untuk memusatkan seluruh perhatian pada Excelsis.
Sang istri yang punya kecenderungan menindas dengan aura galaknya akan menjadi semakin galak. Induk serigala betina yang marah adalah perbandingan yang tepat bila kuku-kuku jemarinya telah memanjang dan runcing. Tatapan tajam nan bengis adalah gambaran kemarahan dari mata ungu terang yang berkilat-kilat dalam gelap.
Tubuh Aithne terhentak-hentak akibat ditarik paksa seiring dengan cengkeraman yang semakin kuat dan cakar-cakar makhluk bersayap ini semakin dalam terbenam. "Heh! Kau pikir akan semudah itu mengangkatku?" Aithne menggeram marah dan berusaha melepaskan diri meski punggungnya terkoyak dan berdarah-darah. Dalam pikiran Aithne hanya satu, tidak boleh mati. Sebanyak apa pun darah yang akan terkuras dari luka tersebut.
Rupanya makhluk keji bermata merah ini memiliki ide lain. Sebelum Aithne berhasil sepenuhnya membebaskan punggung kanan, ia menancapkan lima cakar lain ke punggung kiri hingga Aithne melaung tajam. Siapa pun yang berhati lemah mungkin akan berpikir kematian adalah pelarian yang sangat melegakan bila melihat kondisi dan mendengar suaranya.
Aithne berhasil ditarik keluar dari lubang menganga di atap mobil diiringi jeritan sepenuh hati Excelsis yang menolak untuk pingsan meski cipratan darah Aithne yang mengenai wajah mengaburkan pandangannya. Dunia terlihat merah dan berputar, seperti terombang-ambing di ruang angkasa tanpa tabung oksigen. Bau darah yang identik dengan kematian membuat Excelsis pusing dan sulit bernapas.
Vampire yang marah dengan campur tangan Aithne bermaksud mengudara setinggi mungkin lalu melepasnya, membiarkan gaya gravitasi mengambil alih. Sambil menahan sakit akibat otot-ototnya yang terkoyak, Aithne mengulurkan kedua tangan dan menggenggam pergelangan tangan musuh dan memuluskan rencana yang terbersit di kepalanya—meremukkan tulang di pergelangan tangan makhluk sombong yang mengira sudah di atas angin.
Rencananya berjalan lancar setelah makhluk bersayap hitam seperti kelelawar ini mengeluarkan raungan melengking yang cukup membuat telinga berdenging, mengalahkan suara berderak patah pada tulang-tulangnya. Aithne memang tidak berniat mengontrol tenaga bagi makhluk yang meletup-letupkan darahnya seperti magma di dalam perut gunung.
Kesialan makhluk ini tidak berhenti dengan tulang yang remuk karena dengan satu sentakan kasar, kedua tungkai atas langsung terpisah sebatas siku hingga semburannya menghujani Aithne. Tidak berlebihan bila wanita ini terlihat seperti psikopat yang bermandikan darah korban sial akibat salah memilih lawan.
Aithne langsung mendapatkan efek buruk dari semua tindakannya—meluncur bebas dari ketinggian dua ratus meter di atas permukaan tanah.
"Mati kau wanita jalang!" maki si Vampire.
"Benarkah?" Aithne melempar senyum tersinisnya sebelum membalikkan tubuh, seolah-olah siap mencium wajah kematian yang sudah menunggu di bawah.
Namun, kenyataan berkata lain. Setelah berada dalam jarak yang aman, Aithne melepas anting mutiara dari telinga dan menjatuhkannya. Saat benda bulat nan kecil ini menyentuh permukaan jalan yang beraspal hitam, suatu medan energi yang berbentuk seperti parabola menahan tubuh seksinya di udara.
"Hasil yang tidak mengecewakan untuk suatu alat dalam tahap uji coba." Aithne cukup puas dengan benda rancangan suami kesayangannya yang entah kenapa lebih cocok disebut inventor daripada seorang dokter. "Nyaris saja."
Aithne melayang beberapa saat di udara sebelum sedikit terbanting setelah alat canggih penyelamat nyawanya kehilangan daya. Ia tidak menghiraukan sakit di punggungnya dan segera berdiri untuk mencari Maeveen dan Excelsis.
Sewaktu menoleh ke kiri, Aithne langsung disuguhi penampakan mobil Jeep merah yang menabrak pohon dan berasap. Tidak salah lagi, itu mobil yang dikendarai oleh Maeveen. Semua kaca telah hancur dan butiran-butiran kasarnya berserakan. Bagian samping kanan tampak melesak ke dalam seperti ditabrak sesuatu secara brutal.
Tanpa membuang waktu, Aithne berlari sambil berusaha mencabuti sisa anggota tubuh Vampire yang entah menghilang ke mana setelah melihat pendaratan Aithne. Telapak tangan musuhnya sangat kasar dan berbulu, jauh berbeda dengan milik Maeveen. Ia harus menahan sakit yang berdenyut-denyut pada area punggung yang dekat dengan bahu meski melakukannya dengan sangat hati-hati. Bagian tersebut terkoyak karena selain tajam, cakar makhluk laknat itu bergerigi. Hasil akhirnya adalah sepuluh luka berlubang yang dalam.
Memang lukanya pasti akan menutup dan sembuh, tapi memakan proses yang cukup lama karena taring dan cakar para Vampire menginjeksi suatu zat yang mirip dengan saliva nyamuk, sehingga luka sulit menutup selama sumbernya tidak dikeluarkan. Bagi yang alergi dengan zat ini, satu luka goresan dari mereka cukup untuk membunuh mereka dalam waktu sepuluh menit saja.
Sesampainya di mobil, Aithne mengintip dan tidak menemukan Maeveen dan Excelsis. Balon pelindung di bagian pengendara terkoyak dan bernoda merah—darah yang belum mengering.
"Apa terjadi pada mereka?" Aithne berusaha mengendus sentira keluarganya yang terlalu samar hingga ia sulit memastikan arah mana yang mereka ambil.
Tahu-tahu Vampire yang sekarang buntung sudah berdiri di belakangnya. "Hah. Si mata kuning itu berhasil rupanya."
Aithne berbalik. "Kau! Apa maksudmu?" Bohong bila Aithne tidak ingin melumat si kuping lancip yang masih berani bersikap arogan sambil menyeringai senang di hadapannya.
Geraman membahana berasal dari arah hutan. "Black Vyraswulf!" Mata Aithne membesar, menyadari Maeveen dan Excelsis tengah berhadapan dengan makhluk brutal yang hanya mengandalkan insting buasnya untuk hidup.
"Menyerahlah, kalian tidak akan bisa lari dari kami ...," ejek si Vampire sambil memicingkan mata.
"Tidak akan!" Aithne hendak menyerang, tapi perhatian mereka berdua langsung teralihkan sewaktu suara dentuman yang cukup keras terdengar lagi dari arah hutan.
"Haha—hahahahaha. Mati—mereka matiiiiii!" Tawa sinis menjurus histeris dikombinasikan suara melengkingnya yang berisik membuat Aithne ingin segera menebas kepala makhluk buruk rupa ini.
"Ini percobaan yang ke berapa? Sudahlah, aku mulai malas menghitung. Kalian—" Potongan kepala serigala hitam besar mendarat di antara Aithne dan si Vampire yang terkesiap tidak percaya.
Keduanya mendongak. Maeveen tengah menggantung di udara sambil memapah Excelsis yang tidak sadarkan diri. Sayap hitam legam besar terbentang lebar hingga menghalangi paparan cahaya bulan purnama di atas mereka.
Mulut si Vampire buntung masih menganga. Terlalu banyak emosi yang menguar dari wajahnya sekarang hingga ia sendiri kesulitan menentukan harus marah, kesal, menangis, terkejut, atau malah takjub melihat kondisi peliharaan terganas miliknya takluk begitu mudah di tangan pria yang dikira tidak bisa membela diri sendiri dari serangan brutal yang dilancarkan.
Kejutan terakhir, Maeveen adalah seorang Vampire seperti dirinya dengan versi lebih ... rupawan. Mengapa ia buruk rupa, sementara makhluk di atas sana seperti perwujudan dari malaikat jatuh yang masih mempertahankan keelokan mereka.
"Sekarang katakan, kau bekerja untuk siapa?" tanya Aithne sambil melempar tatapan menusuk.
"Hihihi ... hahahhahahaha!"
Kuping Aithne malah dijejali tawa histeris bercampur tangisan dari makhluk yang berasap hingga percikan api kecil mulai mulai membesar dan menjilat seluruh tubuhnya hingga ia terlihat seperti obor hidup yang terus terbakar sampai padam.
Lima belas kemudian, yang tersisa hanyalah onggokan arang hitam pekat tanpa bentuk.
.
.
.
Memori Aithne terus terputar seperti alur film. Setelah kekalahan mengenaskan dari penyerang mereka, Aithne terpaksa menghubungi Bent untuk meminta bantuan dengan berbohong bahwa mereka dirampok di tengah jalan oleh sekelompok penjahat bersenjata api.
Wise dikirim untuk menjemput dan mengantar mereka pulang. Maeveen mengalami cedera yang cukup parah setelah tergigit di bagian kakinya tapi mengatakan pada Wise bahwa ia tertembak saat mencoba melawan. Wise bukanlah lelaki yang mudah dibohongi setelah melihat kondisi mobil Jeep yang ringsek dan dipenuhi cakaran demi cakaran. Dengan cepat Maeveen menggunakan kemampuan memanipulasi pikiran untuk menghapus ingatan Wise dan menyusupkan ingatan baru yang ia sebut sebagai 'sugesti'.
Maeveen menggunakan kemampuan yang sama untuk Excelsis dan pindah bemil-mil jauhnya dari Venzenia. Mereka tinggal di beberapa kota sebelum menyeberangi samudra dan menetap di kota Wichzkita. Peristiwa-peristiwa mencekam dan mengerikan yang dialami oleh Excelsis dimanipulasi olehnya sehingga dalam ingatan Excelsis mereka memang sudah menetap di sebuah kota kecil yang selalu diselubungi kabut tipis di sudut selatan benua baru.
Aithne berharap ingatan Excelsis tetap tersegel lebih lama lagi.
***
Sugesti : Kemampuan Vampire untuk menyusupkan ingatan baru pada seseorang yang disentuhnya. Lamanya ingatan baru ini bertahan, tergantung dari kekuatan si Vampire itu sendiri. Kemampuan ini harus diaktifkan dan si pengirim sugesti harus benar-benar menguasai tehnik ini atau memori yang dimasukkan akan kacau dan si penerima sugesti akan mengalami lompatan-lompatan memori yang saling bertabrakan. Bila tidak segera ditolong, mereka akan dikuasai kegilaan karena tidak bisa membedakan mana memori asli dan mana yang rekayasa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top