Chapter 7.0 - Interogation
Di saat yang sama, Lysandra tidak bisa langsung menikmati ranjang tidur yang empuk karena langsung dihadang oleh pria berambut cokelat gelap di depan pintu, Quentine Acacius Zeafer. Tangannya disilangkan di depan dada sambil menancapkan tatapan tergalak yang ia punya ke mata si mungil yang dikira maling karena masuk ke pekarangan rumah mereka sambil mengendap-ngendap.
"Hazel?"
"Ha—hai, Pops ...," sapa Lysandra takut-takut, tapi masih dengan lancangnya melambai-lambai kecil.
"Kali ini kau terdampar di selokan yang mana, hah!"
Ia mengingat melepas Lysandra tadi pagi dalam keadaan bersih dan rapi, tapi sekarang yang berdiri di hadapannya malah terlihat seperti gembel yang entah bagaimana bisa selamat dari terjangan tornado. Rambut acak-acakan, wajah cemong, robekan dan noda aneka warna di beberapa tempat pada seragam sekolah, ujung rok yang tercabik, dan sepatu yang menghilang dari kaki kanannya hingga menampakkan kaos kaki putih yang sekarang dekil dan berlubang.
Bohong bila Lysandra tidak merasa tertonjok dari dalam akibat lonjakan jantungnya sendiri. Ia hampir tidak pernah mendengar suara Quentine naik hingga sesengit ini. Pertanyaannya juga mengesalkan. Siapa juga yang suka main di selokan?
"Hazel! Kau tuli atau apa?"
Urgh, keluar mulut komodo masuk mulut aligator ini, sih!
Lysandra menghindari tatapan yang mungkin sebentar lagi akan keluar laser dari sana dan memilih memperhatikan jari tengah kakinya yang terekspos ternyata lebih pendek dari jari lain, kecuali jari kelingking.
"Quentine, biarkan dia masuk dulu untuk menghangatkan diri." Sang penyelamat datang dalam wujud wanita bersuara serak seperti sedang sakit tenggorokan yang memanggil suaminya dari dalam rumah.
Quentine menajamkan mata dan apa yang dikatakan istrinya benar adanya. Anak kucing korban tornado yang tercebur selokan ini memang gemetaran dan meniup-niup telapak tangan.
"Masuklah."
"Makasih, Pops!" Lysandra segera menghambur masuk menuju perapian dan bersimpuh sambil mengulurkan kedua tangan, menerima dengan sukarela kehangatan yang ditawarkan jilatan-jilatan api yang tengah menyantap tumpukan kayu kering.
"Jangan terlalu dekat, Sayang." Wanita yang tengah duduk tak jauh dari perapian mengingatkan. Di pangkuannya tergeletak gumpalan tebal bola kapas yang tertidur pulas.
"Iya, Moms." Lysandra menurut dan bergeser mundur dan mengulangi ritual menghangatkan dirinya. Ia memandang iri pada Tsun Tsun, anjing kurang ajar yang mementingkan tidur dalam kehangatan daripada menyambutnya pulang.
Suara bantingan pintu nyaris melontarkan jantung Lysandra ke dalam perapian. "Demi jambul Schifar yang selalu rebah!" makinya dalam hati. Tidak hanya Lysandra yang kaget dan nyaris membenturkan kepalanya pada tangan kursi di dekatnya, tapi Tsun Tsun juga terbangun dan langsung menyalak galak.
"Maaf, tidak bermaksud membanting pintu," jelas Quentine. Lysandra hendak membalas senyum kecil Quentine yang meminta pengertian, tapi ternyata hanya ditujukan kepada sang istri karena saat mereka berpandangan, lengkungan tipis itu mendadak menjadi lurus dan kaku kembali. "Dan kau kapas gembul! Berhenti menggonggong atau kuteruskan jadwal dietmu!"
Seperti mengerti, Tsun Tsun menurut dan menyandarkan dagu ke tangan sofa hingga wajahnya terlihat mekar. Lysandra mengulum senyum melihat kelucuan dan tingkah anjing kecil berusia dua tahun itu. Berbeda dengan putrinya, Quentine tidak melihat anjing obesitas adalah sesuatu yang lucu. Justru ia mengkhawatirkan kesehatan si kaki empat yang makin hari makin sulit bergerak akibat beratnya yang selalu bertambah. Semua akibat perbuatan tidak bertanggung jawab Lysandra yang terus-terusan memberi makan pada si penandas segala merek makanan anjing dan susu dalam hitungan detik.
Quentine melirik jam antik di sudut ruang tamu mereka yang didominasi oleh warna kayu. "Sepuluh menit, Hazel. Waktumu sepuluh menit untuk beres-beres dan kembali ke sini!"
"Iya, Pops ...."
Lysandra bangkit dan melangkah gontai menuju kamar mandi sambil diekori oleh Tsun Tsun yang turun dengan susah payah dari zona nyamannya. Ia berhenti dan membiarkan makhluk berbulu halus ini mengendus-ngendus jemari kaki hingga naik ke lutut. Pertama masih pelan-pelan dan sopan, tapi semakin lama tindakannya makin agresif karena mencium sentira asing milik Schifar.
Agak takut bila Tsun Tsun kesurupan, Lysandra mengulurkan tangan untuk mengelus kepalanya, tapi si buntal berbulu malah menjauh dan terus menghindar hingga menggelinding akibat kehilangan keseimbangan. Sewaktu akan dibantu, Tsun Tsun malah mencakar-cakar panik hingga berhasil berdiri pada empat kakinya dan melarikan diri dengan ekor di antara kaki belakang sambil menangis kecil.
"Ada apa dengan anjing itu?"
***
Quentine—sosok yang tidak mendapat panggilan normal seperti 'papa atau ayah', melainkan 'pops'—baru keluar dari kamar tidur setelah membaringkan istrinya untuk istirahat.
Masih dengan rambut dibebat handuk, Lysandra kembali berhadapan dengan kepala rumah tangga di keluarga kecil ini. Jam beker berkepala ayam tergeletak di atas meja segi empat yang diapit oleh dua sofa panjang dan satu kursi malas.
"Pops, kenapa Chichi ada di sini?" Lysandra menunjuk jam beker yang mengeluarkan suara ayam berkokok hingga fals bila lebih dari 15 menit tidak dimatikan.
"Tentu saja biar kita tahu waktu. Myristica tidak ingin kau bergadang dan jadi alasan besok tidak bisa bangun." Quentine menekan 'jengger' merah di atas kepala Chichi lalu melipat tangan di depan dada dan menyilangkan kaki. "Ayo mulai," titahnya penuh otoritas.
"Ini setengah sepuluh, Pops. "
"Lalu?"
"Sekolah. Besok. "
"Cepat mulai."
"Tidak bisa besok saja, Pops?" Meski takut, Lysandra memasang wajah memelas. Berharap bisa lolos.
Merasa putrinya membuang-buang waktu, Quentine bangkit berdiri dan menyentuh dahi Lysandra dengan ujung telunjuk kanan. Seketika Lysandra merasa lemas hingga harus ditahan oleh Quentine supaya dahinya tidak menghajar meja dan hanya bisa menurut sewaktu dibaringkan di sofa panjang dan menatap nanar pada sang ayah. Kesadaran Lysandra tengah dituntun menuju pusaran cahaya berwarna merah terang.
Pops, apa yang kau lakukan padaku ...?
Quentine masih menyentuh dahi Lysandra dengan ujung telunjuk yang bersinar merah. Di balik mata yang terpejam, bola matanya terus bergerak-gerak seperti seseorang yang tengah mengalami mimpi buruk.
Waktu berlalu hingga mata Quentine terbuka lebar, memperlihatkan iris berwarna merah seperti magma dengan lingkaran keemasan yang mengelilingi pupil seputih susu.
"Apa ini!" Raut wajah Quentine berubah drastis, jejak kemurkaan telah berganti dengan kekhawatiran yang amat besar hingga tanpa sadar tangannya terkepal kencang. Ia mengamati Lysandra yang masih tertidur sebelum perhatiannya beralih pada 'jengger ayam'. Masih ada sisa waktu sekitar dua menit sebelum benda ini 'berkokok'.
"Svel, cukup." Quentine memejamkan mata sambil memijit-mijit lembut kelopaknya hingga merasa cukup nyaman untuk dibuka. Warna matanya sudah kembali seperti semula, cokelat muda yang lembut seperti kopi latte dengan lingkaran keemasan pada sisi terluar pupilnya yang perlahan menggelap.
"Hazel, Hazel ...."
Samar-samar telinga menangkap suara Quentine yang mengguncang-guncang pelan bahunya. Setelah mengerjap-ngerjap untuk membiasakan cahaya keemasan chandelier pada langit-langit, Lysandra mendongak pada sosok yang duduk di ujung kepalanya. "Pops."
"Kau bisa ke kamarmu sendiri?"
Mendapat anggukan dari Lysandra, Quentine langsung berdiri dan berjalan cepat menuju kamar tidurnya. Tinggallah Lysandra yang melongo kebingungan hingga 'jengger' Chichi terangkat dan berkokok. Hampir saja Chichi menjadi 'ayam bakar' karena Lysandra sempat menimbang-nimbang untuk melempar benda berisik ini ke perapian saking gemasnya.
***
Sepagi mungkin Lysandra sudah sampai di depan rumah Excelsis dengan satu niat untuk meminta maaf. Sosok pria jangkung berseragam sekuriti yang berada di pos penjagaan langsung menyapa dan bertanya perihal kedatangannya.
"Hai Manuel, aku ingin bertemu Excelsis," sapa Lysandra sambil tersenyum semanis mungkin.
Pria bermata tajam ini mengangguk dan mengangkat telepon hendak memberi tahu bila kediaman mereka kedatangan tamu. Namun, suara Aithne lebih dulu terdengar melalui sebuah pengeras suara mini yang terletak di atas meja.
"Persilakan Lysandra masuk, Manuel."
Karena sang majikan tidak berbicara melalui protofon atau lebih dikenal luas sebagai walkie talkie, Manuel tidak perlu membalas. Namun, ia dan Lysandra berpandangan dalam heran karena Aithne seperti memiliki pelacak.
"Kau yakin di rumah ini tidak ada kamera pengintai?"
"Seribu persen yakin. Mari kuantar ke dalam." Setelah menekan tombol untuk membuka pagar, Manuel memanggil rekannya untuk menggantikannya di pos jaga.
"Terima kasih, Manuel."
"Sama-sama, Nona Lysandra." Manuel sudah keluar dari pos jaga dan berdiri di samping Lysandra untuk menunggu pintu kecil terbuka otomatis.
Tidak berlebihan menyamakan kediaman Vladimatvei dengan sebuah kastel yang dilucuti karena tidak ada pos pengintai dan gudang senjata. Tembok yang menjulang tinggi dan kokoh tidak memungkinkan siapa pun untuk mengintip ke dalam dan berlaku sebaliknya, kecuali bagian atas yang bisa dengan mudah diakses melalui drone. Namun, tidak ada yang bisa didapat dari keluarga bukan selebriti seperti mereka. Jadi, privasi para penghuninya sangat terjamin.
Lysandra benci menggunakan otaknya sepagi ini, tapi apa daya rasa penasaran memaksa untuk dipuaskan. Ia melihat sendiri tadi Manuel belum sempat menekan tombol untuk memberi tahu penghuni di dalam dan tidak ada kamera pengintai pula. Lalu, bagaimana caranya Aithne bisa mengetahui kedatangannya? Mengendus? wanita itu jelas akan mengamuk bila disamakan dengan anjing. Lagipula terlalu kurang ajar dan lancang berpikir seperti ini. Bila sudah begini, apa lagi alasan yang paling masuk akal?
"Kenapa melamun, Lysandra. Ayo masuk." Lysandra meraba dada dan memuji kekuatan jantungnya yang tersentil dan sekarang berdetak cepat, tapi masih bertahan di dalam sana. Aithne sudah berdiri sewaktu pintu pagar kecil terbuka lebar.
"Nyonya Aithne." Manuel menyilangkan tangan kanan hingga menyentuh bahu kirinya seraya membungkuk kecil dan segera berlalu sewaktu sang majikan memberi kode untuk menyiapkan lori.
Lysandra merasa waktu yang dipakai untuk melamun tidaklah lama dibandingkan waktu yang diperlukan Aithne untuk keluar dari pintu utama dan berjalan melintasi taman bunga yang cukup membuat betis berotot bila dilakukan bolak-balik sebanyak lima kali dalam sebulan. Bahkan napas Aitne terlihat normal, tidak seperti orang yang baru habis berjalan cepat untuk menyambutnya.
"Ta—Tante Aithne, Excelsis belum berangkat, kan?"
"Dia di kamarnya." Aithne menaiki lori yang telah terparkir di sampingnya. "Naiklah."
Hari ini Aitnne memang melarang Excelsis pergi ke sekolah dengan alasan untuk mempercepat proses pemulihan kondisinya. Ia senang Lysandra datang sendiri mengunjungi kediaman mereka karena bisa dengan leluasa menginterogasi si mungil di sampingnya tanpa intervensi.
Lori yang disetir oleh Manuel sampai di depan pintu utama yang lebarnya cukup untuk enam orang dewasa masuk bersamaan tanpa saling mendahului. Lysandra membuntuti Aithne hingga sampai di kamar Excelsis.
"Nah, kutinggalkan kalian berdua." Aithne menutup pintu kamar Excelsis.
"Pagi, EG."
"Pagi." Excelsis tengah berdiri di dekat jendela, menikmati sinar matahari pagi yang menurut pengakuannya sendiri seperti memberi energi lebih. Sebagian poni yang belum ditata menutupi sisi wajah sebelah kanan.
"Begini, aku ke sini untuk— " Lysandra ragu-ragu. Selain bingung harus memulai dari mana, rasa bersalah bergelayut di hatinya.
"Memarnya sudah hilang kok, tenang saja." Excelsis mengangkat piyama tidurnya. Tapak tangan Lysandra sudah menghilang tanpa bekas.
"Tapi, bagaimana bisa?" Lysandra mendekati Excelsis untuk memastikan penglihatannya. Benar, ia tidak menemukan tanda memar sama sekali di perut sang sahabat yang putih pucat dan rata.
"Mamaku yang mengobati kemarin."
"Eh? Bukannya papamu dokter? Kenapa—" Lysandra menoleh ke belakang lalu mendekati telinga Excelsis. "Kenapa kau lebih percaya pada mamamu?" bisiknya, takut Aithne mendengar.
"Papaku juga sudah periksa. Jadi, semua aman." Excelsis merentangkan tangan untuk menunjukkan betapa sehatnya dia.
"Maaf, aku sungguh tidak bermaksud—Kemarin mahluk itu, dia yang melakukannya, kau tahu aku tidak bisa kung fu, jadi tak mungkin aku—"
"Lysa, satu per satu, bisa? Bicaramu seperti bebek korslet, tahu. " Excelsis terkikik karena sangat hafal bila Lysandra sedang gugup, ia akan bicara tanpa henti untuk melempar semua alasan yang terbersit dalam benaknya. Mirip seperti sekotak petasan yang tersulut api dan tidak akan berhenti sebelum semuanya habis terbakar.
"Tapi, tapi—aku kan harus membersihkan nama baikku!" Lysandra sedikit kesal disebut bebek korslet. Di kepalanya langsung terlintas dirinya menjadi bebek yang tersengat listrik dan hanya bisa mengeluarkan suara 'wek wek' yang berisik.
Namun, dengan cepat logikanya mengambil alih karena bila bebek tersengat listrik maka yang terjadi adalah bebek itu meregang nyawa bukannya korslet dan ber-'wek-wek' ria seperti yang dianalogikan oleh Excelsis.
"EG, Lysandra! Sarapan sudah siap, ayo turun dan makan dulu!" Aithne memanggil dari ruang makan yang terletak di lantai dasar yang bisa dicapai dengan mengambil dua puluh langkah ke kanan setelah menuruni tangga. Air liur segera membanjiri rongga mulut Lysandra yang mencium wangi pancake. Perpaduan pancake yang dibanjiri madu adalah salah satu menu sarapan favorit yang selalu berada pada puncak daftarnya.
"Ayo."
Excelsis tersenyum tipis melihat mata Lysandra yang berbinar-binar. "Duluan saja," balasnya seraya mendekati meja rias bercermin oval dan membuka laci teratas. Tangannya meraih sebuah kotak kecil yang berisi lensa kontak. Dengan perlahan dan hati-hati Excelsis memakaikan lensa kontak berwarna Aqua pada kedua matanya.
"Hei, sebenarnya apa warna matamu? Sejak mengenalmu, kupikir kau memiliki sepasang mata yang indah. Ternyata hanya warna lensa kontak." Lysandra merapikan poni yang menusuk matanya.
"Warnanya?" Excelsis mengedip cepat beberapa saat hingga tidak merasa terganjal dengan lensa kontaknya lalu berpaling pada Lysandra yang sudah berdiri di ambang pintu. "Seperti ini," tambahnya seraya memasang senyum misterius.
Lysandra kehilangan minat pada Excelsis karena aroma pancake yang terus membelai-belai hidungnya. Mengejar dan menandaskan makanan manis tersebut menjadi prioritas utama.
***
Di ruang makan sudah ada Maeveen Estebe Vladimatvei, seorang dokter sekaligus suami dari Aithne. Pria berbahu lebar ini sedang membaca koran sambil sesekali menyuap pancake yang dioles selai stroberi ke mulutnya. Si pendiam yang usianya di penghujung tiga puluhan ini tidak mengeluarkan sepatah kata pun sewaktu menikmati sarapannya.
Kesukaannya pada warna merah hingga sekarang masih menjadi misteri bagi Excelsis dan Lysandra. Entah makanan dan minuman, semua barang-barang kepunyaannya seperti pakaian, ponsel, laptop, tas kerja bahkan mobil pun pasti mengandung warna merah. Sangat jarang Lysandra menemukan seseorang yang terlalu menonjolkan warna kegemarannya hingga menjadi obsesi seperti itu.
"Kenapa? Belum terbiasa dengan obsesi merah papaku?" Excelsis bisa menangkap jelas tatapan Lysandra yang dipenuhi tanda tanya besar tanpa pernah bisa mendapatkan jawaban memuaskan. Meski merasa aneh, Excelsis menganggap kegemaran Maeveen pada warna merah masih dalam taraf yang normal.
Setelah menghabiskan dua gelas jus tomatnya, Maeveen berdiri dan mengecup pipi istrinya lalu dahi Excelsis. Tak lupa menepuk-nepuk bahu Lysandra sebagai bentuk pamitnya kepada semua orang yang ada di ruang makan. Di mata Lysandra kata 'harmonis' lebih dari cukup untuk menggambarkan hubungan yang sangat erat dalam keluarga kecil ini.
"Selamat jalan, Om Maeeven. Hati-hati." Lysandra melambaikan tangan ke arah Maeveen yang sudah berdiri di ambang pintu rumah.
"Terima kasih, Nona Manis." Maeveen melempar senyum ramahnya pada Lysandra yang langsung salah tingkah.
Lysandra memang tidak secantik Excelsis. Namun, pipi yang berisi dan tulang pipi yang tinggi ditambah bentuk wajah yang bulat, membuatnya terlihat sangat manis. Belum lagi, lesung pipi yang akan terbit bersamaan dengan senyum menawan ala iklan pasta gigi. Untuk menyamarkan bagian pipi yang menurut bulat seperti tomat, ia membiarkan rambut di sisi kepala menjuntai bebas melewati rahang bawah. Bagian belakang dibiarkan pendek sebatas kerah baju.
Dengan model rambut seperti itu tentu saja banyak yang menebaknya sebagai gadis tomboy, padahal Lysandra sama sekali tidak alergi dengan rok dan masih menyukai pakaian-pakaian yang menunjukkan sisi feminin. Warna rambut gadis ini cokelat gelap, tapi di saat tertentu—menjelang musim semi—pantulan kehijauan seperti warna peridot akan mendominasi.
Meski lahir di penghujung musim semi, Lysandra justru sangat identik dengan musim semi. Tidak sampai di fenomena rambut saja, indra penglihatannya juga tergolong unik. Lingkaran iris terluarnya berwarna hijau dan secara bertahap bergeser ke tengah menjadi cokelat terang di sekitar pupil. Karena kedua faktor inilah ia menyandang nama Hazel.
Bila penamaan Lysandra berdasarkan kondisi fisik, maka nama yang melekat pada Excelsis bermula dari Aithne yang menemukan secarik lirik lagu dalam bahasa Latin dan mencatut dua kata paling berkesan, yaitu 'Excelsis' dan 'Gratia' yang bila terjemahan lepasnya berarti 'anugerah dari atas'.
Memiliki nama unik dan arti yang bagus, bukan berarti akan mendatangkan decak kagum dan membuatnya mudah diingat. Kenyataan berkata lain, Excelsis sering mengalami diskriminasi dan pelecehan nama seperti 'Exist', 'Exit', 'Ex- siapa' dan deretan istilah yang terpikir oleh para penghina. Karena perlakuan seperti inilah yang membuat Excelsis sensitif dan siap bergelut bila ada yang berani mengolok-ngolok hadiah berharga dari orang tuanya.
Setelah nama Excelsis dicantumkan dalam registrasi keluarga mereka, Aithne justru merasa nama pemberiannya tidak efisien dan ruwet sehingga lebih suka menyingkatnya menjadi EG yang pelafalannya 'I-ji'. Tentu saja Excelsis sebal dengan kelakuan Aithne, tapi bisa menerima setelah Maeveen menjelaskan pelafalan dari namanya yang disingkat mirip dengan bahasa kuno yang berarti 'berharga'.
***
Aithne mengumpulkan dua remaja ini di ruang kerja milik Maeveen untuk menarik lebih banyak informasi mengenai insiden kemarin.
"Pertama-tama, maaf bila kau tidak nyaman. Tapi, kau bisa membantu sedikit, bukan?" Aithne mengunci tatapan Lysandra. Belum pernah Excelsis melihat mamanya terlihat sangat serius.
Aithne meraih pisau pembuka amplop berbahan perak milik Maeveen yang terletak di atas meja solid berbahan kayu. Ia bermain-main dengan benda berbentuk seperti versi mini dari sebuah pedang.
"I—iya, tentu saja." Lysandra menunduk, tidak tahan beradu mata dengan Aithne yang seperti ingin menerkamnya.
Aithne menunjuk dengan ujung pembuka amplop. "Bisa buka kemejamu? Buka saja, tidak perlu ditanggalkan."
"Ta—tapi, untuk apa?"
"Seingatku tadi kau sudah bersedia membantu." Aithne bersandar di tepi meja lalu menggunakan benda di tangannya sebagai penahan rambut.
"Ba—baiklah." Nyali Lysandra meleleh seperti lilin yang dibakar. Tidak ada yang bisa dilakukan selain berbalik dan perlahan membuka seragamnya dari kancing teratas.
Tidak sabar dengan kelambanan Lysandra, Aithne segera menarik turun kerah bajunya hingga bagian punggung yang putih dan mulut terekspos jelas.
"Tante ...!" protes Lysandra tidak terima dengan perlakuan Aithne yang seperti menelanjanginya, walaupun masih ada kaus putih di atas bra berwarna senada.
Aithne tertegun memperhatikan ruas tulang belakang Lysandra. "Dari mana kau dapat tanda merah ini?" Jarinya menekan area yang memilik bercak merah.
"Tanda merah?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top