Chapter 6.3 - Foreboding

Prang!

Lampu penerang jalan di luar jendela tiba-tiba meledak dan menarik perhatian para pengunjung, termasuk Schifar dan Lysandra yang baru saja akan duduk di bangkunya. Suasana yang sebelumnya tenang langsung gaduh akibat berbagai ekspresi dari para pengunjung sebagai tanggapan dari kejadian yang terlalu sering terjadi akhir-akhir ini. Beberapa dari mereka bahkan langsung terburu-buru angkat kaki.

Lysandra berusaha menangkap mata Schifar, memintanya mengambil keputusan untuk tetap tinggal dan menghabiskan sisa makan malam mereka atau mengikuti langkah beberapa pengunjung tersebut.

Nyatanya sulit untuk menarik perhatian Schifar yang berdiam diri dan sibuk memasang telinga pada percakapan pengunjung di meja seberang. Dari sikap mereka yang terlihat tenang dan malah terus berbincang-bincang, Schifar bisa menarik kesimpulan bila mereka pengunjung tetap.

Lysandra memanfaatkan menit-menit berharganya untuk menyantap wajah serius Schifar hingga puas, tidak peduli bila si tampan ini sadar atau tidak bila ia tengah menjadi objek pemuas visual seorang gadis yang tengah memasuki masa puber.

Schifar berdecak setelah menyadari ia menghabiskan waktu untuk mendengar diskusi kosong di meja seberang dan tidak bisa mendapatkan sepotong informasi dari hasil mengupingnya. Merasa mengambil langkah yang membuang-buang waktu, ia memutuskan untuk bertanya langsung pada pemilik restoran cepat saji yang duduk di area khusus karyawan pada bagian kasir.

"Tunggu di sini." Schifar segera bangkit berdiri dan berjalan menuju meja kasir.

"Jen, sepertinya minggu ini adalah berkah bagi petugas reparasi, bukan begitu?" canda seorang pria berkumis tebal yang duduk di dekat meja kasir.

Jen memandang keluar dari balik pintu masuk yang terbuat dari kaca. Tentu saja tidak ada yang bisa dilihatnya dengan kondisi jalan yang gelap gulita.

Schifar menghentikan langkahnya sewaktu Jen beranjak keluar dari wilayah nyamannya. Wanita ini berjalan ke arah pintu masuk dan membukanya, membiarkan semilik angin malam menerpa wajahnya yang mulai berkeriput.

Jen menoleh pada si pria tua dan membalas, "Tapi tidak untuk bisnisku, Sam."

"Bagaimana dengan putrimu?"

"Shelly memaksa ia akan masuk di shift kedua menggantikanku. Anak itu ... selalu saja memikirkan orang lain lebih dulu."

"Ya, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, bukan?" sahut Sam yang bila dilihat dari seragamnya merupakan sheriff di wilayah ini.

"Bagaimana bila buah tersebut jatuh dan menggelinding menuruni lereng lalu hanyut terbawa arus, apakah peribahasamu masih berlaku?"

"Masih saja tajam seperti dulu, eh?"

"Tentu saja."

"Apakah ini seperti waktu itu?"

"Entahlah, Sam. Aku sangat berharap firasatku tidak menjadi kenyataan." Jen melipat tangannya di depan dada dan memandang bulan yang hampir penuh. "Bulan purnama ke-13, hah?" gumamnya sepelan mungkin supaya tidak didengar siapa pun.

Cahaya temaram dari lilin dan lampu interior di restoran kecil ini tidak bisa menghalangi Schifar menangkap kekhawatiran di wajah Jen. Firasat wanita mengatakan sesuatu akan terjadi di kota ini, cepat atau lambat. Getir dan menyesakkan dada adalah dua pertanda yang tengah ia rasakan sejak seminggu lalu, bertepatan dengan meledaknya lampu bohlam di atas kepalanya. Satu lagi, suaranya kurang pelan untuk telinga sensitif Schifar.

"Keberatan bila saya meminjam waktu Anda, Madam?"

Jantung Jen nyaris melompat keluar akibat Schifar yang tiba-tiba muncul di depannya. "Anak muda yang tampan, jangan mengintimidasi wanita berhati rapuh sepertiku. Jantungku sudah tidak sekuat dulu."

Schifar hanya menarik ujung bibirnya, bingung harus merespon candaan Jen yang masih mengelus-ngelus dadanya. "Maaf, tidak bermaksud membuat Anda kaget."

Mata Lysandra hanya terarah pada sosok yang masih terlibat perbincangan serius dengan sang pemilik. Entah sudah berapa banyak menit terlewati sebelum matanya mulai terasa pedih dan berair hingga ia harus berkedip berkali-kali.

***

"Kalian ngobrol apa, sih?"

"Hanya mencoba menggali informasi."

"Dia kenalanmu?"

"Bukan."

"Oh. Menurut hasil penerawanganku ... kau kembali dengan tangan kosong, 'kan?"

"Em." Schifar menyeruput kopinya dan mengeluarkan ponsel untuk mengecek waktu.

Lysandra memasang sikap sok serius lengkap dengan jemari yang terkatup di atas meja lalu bekata, "Baiklah. Sekarang aku yang akan menggali informasi tentangmu, Tuan Gondrong, bersiaplah!"

"Seperti?"

"Hmmm ... Ah! Hingga sekarang aku dan EG belum pernah bertemu dengan orang tuamu, jadi ... kita mulai dari situ."

Schifar menghindari mata berbinar Lysandra yang menantikan jawabannya dan meraih makanan yang tersisa di meja. "Aku tinggal dengan pamanku."

"Oh, di mana orang tuamu?" Lysandra tidak berharap akan mendapatkan tanggapan dingin dan tanpa empati seperti ini.

"Meninggal, hanya itu yang kutahu." Schifar tidak peduli dengan tanggapannya yang bernada datar dan cenderung dingin.

Lysandra merasa aneh dengan cara Schifar berbicara terhadap kedua orang tuanya, seperti tidak ada tanda-tanda keakraban layaknya keluarga. Ia menduga Schifar malas merespon pertanyaan basa-basinya.

"Ma—Maaf, aku ...." Saat ini Lysandra sangat berharap tidak kehilangan kata-kata, tapi pikirannya tersumbat, tidak ada satu pun kata yang berhasil merembes keluar. Ia meraih potongan pizza terakhir dan menggigit malas, kehilangan motivasi untuk melanjutkan pembicaraan tanpa hati seperti ini.

Schifar bersandar di bangkunya dan masih menghindar bertatapan dengan Lysandra dan memilih memperhatikan api pada lilin yang sudah terbakar setengah. "Sejujurnya aku tidak tahu di mana kedua orang tuaku dimakamkan padahal aku ingin sekali membawakan seikat bunga dan berbicara dengan mereka. Seperti ... kau tahu—keluarga yang harmonis."

Gigitan rasa malu sekaligus iba di hati Lysandra terasa lebih sakit dari perasan air jeruk yang ditumpahkan pada luka di ujung jarinya. Ia meremas ujung roknya, menganggap selembar kain halus tersebut adalah prasangka buruknya terhadap Schifar. Namun, Lysandra sadar tindakan tersebut tidak berarti apa-apa. Ia sudah terlanjur berpikiran buruk bila Schifar tidak menghormati orang tuanya.

"Mungkin kau akan bertanya 'kenapa tidak tanya pamanmu', bukan?" Schifar menaikkan matanya untuk bertemu dengan Lysandra yang mematung.

Gadis ini bersumpah, bila tatapan Schifar tersebut adalah anak panah yang dilepas dari busur, maka jantungnya yang telah menjadi sebutir apel yang berlubang dan jatuh dari kepala seseorang. Ia memang belum mati dengan jantung berlubang, tapi bekasnya akan terus ada di sana.

"Eum." Lysandra mengangguk pelan. Tangannya merayap di atas meja mencari selembar tisu dan buru-buru menutup hidung, mengantisipasi cairan merah hangat dan kental mengalir turun—yang tentu saja tidak akan pernah terjadi bila pencetusnya adalah sesosok lelaki tampan. Pikirannya sibuk menghitung sisa usianya bila lebih dari lima menit terpapar tatapan Schifar.

"Pamanku sendiri tidak tahu apakah mereka pernah memiliki nisan. Dia menanam pohon Magnolia untuk mengenang ibuku. Mengenai ayahku ... dia tidak pernah membahas sedikit pun, jadi aku tidak tahu."

Sekarang Lysandra ingin menampar wajahnya sendiri keras-keras sebagai hukuman telah membuat sorot mata Schifar meredup sedih. Ia pasti sangat merindukan mereka. Sebaik-baiknya seorang paman, tak ada yang bisa menggantikan posisi orang tua sendiri.

"Apa ... kau pernah merasa ... kesepian?" Seketika Lysandra ingin menelan kembali kata-katanya. "Tidak perlu dijawab, pertanyaanku konyol sekali."

"Kesepian?" Schifar terdiam, merenung dan menghitung waktu yang ia habiskan sendirian bila Gunther tengah sibuk dengan kegiatannya sendiri. Masa-masa kesendirian sering ia jalani dan membuatnya terbiasa. "Kesepian adalah teman lamaku."

Lysandra bisa menangkap dengan jelas maksud dari senyum masam yang terpasang di wajah Schifar. "Hei, aku dan EG adalah temanmu, kan? Kami berdua tidak akan mengizinkan 'kesepian' menguasaimu! Kami pasti akan menjadi teman yang jauuuuuh lebih baik dari teman lamamu itu! Pasti!"

Meski tahu Lysandra hanya mencoba menghibur, tapi kata-kata gadis ini seperti bergema di relung hati Schifar yang dingin dan nyaris kosong tanpa ada sesuatu yang bisa menghangatkan ataupun mengisinya sejak si pemberi buku pusaka itu pergi dan membuatnya sendiri lagi.

"Terima kasih, Lys." Schifar mendongak, pura-pura memperhatikan putaran kipas angin yang menempel kuat di langit-langit, padahal ia tengah berusaha sekuat mungkin menahan sisi sentimental yang memaksa keluar melalui wujud cairan bening yang mulai menumpuk di sudut matanya.

"Bi—bila kesepian, kita bisa main permainan daring. Bentuk satu tim yang kompak terus ikut kompetisi dan menang! Ideku menarik, 'kan!" Meski terdengar bersemagat dan ekspresif seperti biasa, Lysandra tetap terkejut dengan tawaran yang meluncur begitu saja dari mulutnya. Ia benar-benar tidak tahu bagaimana cara menghibur seseorang dengan baik dan benar.

Schifar yang tak kunjung memberikan reaksi makin memperparah rasa bersalah dalam diri Lysandra. "Mungkin ini saat yang tepat untuk tutup mulut."

Lysandra membuat gerakan menggembok mulutnya dan berdiam diri.

Schifar menyodorkan ponselnya pada Lysandra. "Ketik nama akunmu nanti kuundang jadi teman. Battle Fury atau Madness Age?" Schifar menyebut dua judul permainan populer yang digilai oleh para penikmat permainan virtual beramai-ramai ini.

"Akh! Kau main juga?" Mata Lysandra membesar dan kembali berbinar, sangat antusias dengan ajakan Schifar.

"Ya, waktu senggang."

Dalam kurun waktu lima detik kemudian, ponsel Schifar sudah kembali ke tangannya dengan deretan informasi mengenai akun virtual Lysandra pada kedua permainan tersebut.

"Pixie Girl, heh?"

"Ya. Jangan tanya kenapa aku pakai nama itu, ok." Lysandra tersipu malu karena nama tersebut diambil dari merek tas sekolah yang dipakainya.

"Lumayan cocok dengan perawakanmu."

"Maksudmu?"

"Perawakanmu sudah memenuhi syarat sebagai seorang Pixie."

Lysandra bertambah bingung karena tidak menemukan kemiripan sama sekali dengan tas sekolahnya. Jadi, ia masih tidak mengerti arah pembicaraan Schifar yang mengacu pada hal yang lain.

"Kau tidak bermaksud menyamakan aku dengan tas sekolahku, 'kan? Nama Pixie kuambil dari situ."

"Tentu saja tidak, dilihat dari sudut mana pun kau tidak terlihat seperti tas ransel—mungkin lebih cocok seperti ... kantong tidur?" Schifar nyaris menyemburkan kopi yang tengah diseruputnya sewaktu melihat raut wajah merajuk Lysandra—lucu dan menggemaskan di waktu yang sama.

"Bosan hidup seperti Ana, hm?" Sudut bibir Lysandra terangkat, sambil melepas tatapan terganas yang ia bisa untuk menegaskan rasa kesalnya. Tapi kelakukannya ini malah membuat Schifar tertawa lepas.

Pemandangan seperti ini sangat jarang terjadi, meski Schifar bukanlah tipe lelaki yang pelit ekspresi. Kekesalan Lysandra langsung sirna berganti kepuasan yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri.

Rasa-rasanya ikatan mereka seperti diperkuat sewaktu mereka sanggup menghibur satu sama lain. Perasaan hangat sekaligus menggelitik menyergap hatinya, meskipun bingung untuk mendeskripsikan sensasi ini tidak berarti Lysandra tidak menyukainya.

Tawa Schifar terhenti setelah menyadari Lysandra tengah terpaku menatapnya hingga lagi-lagi lupa berkedip. "Cepat habiskan makananmu. Aku masih harus mengantarmu pulang."

"Ah, eh. I—iya ...." Lysandra tersentak sewaktu menyadari mata mereka saling mengunci saat ini, menandakan Schifar menangkap basah dirinya tengah berada dalam mode 'mengagumi makhluk paling seksi yang pernah diciptakan' di hadapannya.

Sesuatu yang bekedip-kedip dari balik kemeja di dada Schifar, menyelamatkan wajah Lysandra yang memerah. "Gon—Gondrong. Apa itu yang berkedip-kedip di dadamu?"

Schifar menunduk dan menyingkirkan kain kemeja yang menutupi liontin miliknya yang masih berkedip-kedip. Menurut Gunther, liontin biru yang berbentuk taring serigala tersebut sudah menemaninya sejak lahir.

"Nirfulong. Sebaiknya kita segera pergi dari sini." Schifar berdiri lalu menyambar tangan Lysandra dan menariknya ke arah pintu keluar.

Lysandra merasa seperti diseret oleh Schifar yang berjalan tergesa-gesa. Ia ingin protes karena kakinya tidak bisa mengimbangi dan nyaris terjerembab bila Schifar tidak menghentikan langkahnya.

Setidaknya wajah yang menabrak punggung Schifar masih lebih baik daripada menghantam lantai bermotif hitam dan putih berselang-seling seperti papan catur di bawah kaki mereka.

"Ada apa? Kenapa kau seperti ketakutan begitu, sih?" Lysandra memegangi hidungnya yang berdenyut-denyut.

***

Glosarium

Nirfulong : Kristal yang telah diperkuat dengan kekuatan magis dan hanya  dimiliki oleh para Vyraswulf. Black Vyraswulf juga memilikinya tapi akan retak setiap Bulan Purnama, dan hancur berkeping-keping pada Purnama ke-13. Masing-masing Vyraswulf dapat menggunakan kristal apa saja untuk dijadikan Nirfulong.

*Nirfulong milik Gunther terbuat dari Garnet. Milik Schifar yang merupakan warisan dari ibunya, dibuat dari Safir biru.*

Permainan daring : Permainan dalam jaringan (game online).


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top