Chapter 6.1 - Complicated

Schifar sangat ingin mendekatkan obor pada wajahnya sendiri bila memang hanya itu satu-satunya cara menyingkirkan rasa menggelitik tersebut.

Lysandra berdeham lalu melirik pada jam digital di dasbor. "Sudah jam segini."

"Benar, kita membuang banyak waktu di sini. Pasang sabuk, aku akan mengantarmu pulang." Schifar menyalakan mesin mobilnya.

"I, iya." Lysandra juga terserang virus kikuk. Baru kali ini ia bertatapan mata dengan lelaki dan  menemukan aura maskulitas yang dipancarkan mereka itu memesona. 

Bila harus memberikan penilaian, Lysandra dan Excelsis sepakat dengan angka '1A++' atau dalam bahasa yang mudah dicerna berarti ketampanan yang akut, meski sepanjang mengenal Schifar, mereka hanya disuguhi separuh wajahnya yang bebas dari juntaian poni panjang.

Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Schifar sedang mencoba menghubung-hubungkan semua kejadian yang dimulai dari pertarungan di Hutan Morgult, Lysandra yang dirasuki makhluk air hingga pertarungan dengan Magnolia yang berakhir dengan ikatan kontrak aneh di antara mereka.

Schifar berpaling sebentar pada Lysandra lalu kembali fokus dengan jalan tanah yang mereka lalui. Ia  masih penasaran dengan keberadaan Lysandra yang tiba-tiba berada di dekatnya dan berpindah tempat pula. Mungkinkah gadis itu yang memindahkannya dan bertarung dengan Magnolia?

"Lys, bisa ceritakan apa yang terjadi sewaktu aku pingsan?"

"Pingsan? Kapan, karena apa dan di mana?" Lysandra takjub mengetahui pahlawannya pernah ambruk.

"Sewaktu aku berhadapan dengan ular putih." Schifar menyentuh dada kirinya dan merasakan dua denyutan yang saling bersaing satu sama lain—denyutan jantungnya dan Magnolia.

Lysandra berpikir sejenak lalu menggeleng pelan. "Tidak tahu." Ada nada frustasi dalam suaranya karena tidak bisa memberikan informasi apa pun.

"Begitu."

"Gondrong, sebenarnya apa yang terjadi padaku? Kau bilang tadi aku memukul EG, tapi kenapa aku bisa ada di sini? Kita di mana sekarang?"

Schifar sadar akan sulit mendapatkan jawaban atas apa yang terjadi sewaktu dirinya pingsan, hanya Magnolia satu-satunya narasumber yang ia punya. "Apa ada kejadian aneh di sekolah?"

"Ck. Pertanyaan dibalas pertanyaan."

"Ada tidak?"

"Iya ada, ketemu hantu toilet. Kalau ketemu lagi akan kuikat dan kugantung dia!" Meski Lysandra mengatakan akan mengikat dan menggantung  si hantu toilet, tangannya justru membuat gerakan mencekik.

"Bagaimana rupanya?"

"Jelek, bertentakel, berlendir dan ... menjijikkan."

" Pertanyaan lain. Apakah kau ingat kemana saja dia membawamu sebelum ke hutan ini?"

"Tidak tahu. Yang kutahu, aku merasa sangat haus sampai rasa-rasanya hibernasi." Mata Lysandra tidak lepas dari jalan kecil yang hanya diterangi oleh lampu mobil Schifar saja, selebihnya ia tidak bisa melihat apa-apa.

"Dehidrasi."

"Iya, halusinasi."

"De ... hi ... dra ... si."

"Ya, terserah. Pokoknya belakangnya seperti itu."

Schifar menahan semburan napasnya, mencoba bersabar dan menggeleng pelan. "Berarti dugaanku benar bila dia memanfaatkan cairan tubuhmu."

"Dasar parasit. Udah numpang, masih berbuat sesukanya lagi!" Lysandra menepuk pahanya sendiri, gemas sekaligus geram.

"Memang itulah yang dilakukan parasit." Schifar melirik alat penunjuk arah di atas dasbor untuk memastikan kapan saatnya untuk berbelok.

Pertanyaan lain mampir di kepalanya. "Selama ini dia tidak mencoba berkomunikasi denganmu?"

Lysandra mengerutkan dahinya sejenak, mencoba untuk mengingat-ingat. "Sepertinya tidak. Tapi ada satu waktu aku seperti berada di suatu tempat yang gelap dan melihat makhluk bertentakel seperti gurita, bermata enam ... pokoknya tampilannya sangat jelek.

"Makhluk aneh ini menggelepar di atas genangan air yang tingginya selutut tikus. Horornya itu waktu tentakelnya terulur untuk menggapaiku sambil bilang ... hmm, apa ya ... 'omaji, omaji' berulang-ulang. Benar-benar mimpi yang mengerikan! " Selama bercerita tangan dan wajah Lysandra sibuk meniru ekspresi makhluk yang sedang dideskripsikannya.

"Apa kau ingat kejadian selanjutnya?"

"Ya. Si jelek itu terus berusaha meraihku dengan tentakel-tentakelnya yang menjijikkan. Dan kau tahu—tentakel itu ternyata sangat lengket sewaktu ia berhasil membelit kakiku! Hiiii ...." Ngeri dan geli yang dirasakan kembali menggerayangi Lysandra sewaktu dirinya berusaha mengingat semua detail kejadian.

Schifar menunggu Lysandra melanjutkan, tapi setelah beberapa saat Lysandra tak kunjung bersuara lagi, ia memutuskan untuk menunda pertanyaan berikutnya.

"Gondrong ...." Suara Lysandra bergetar, bukan karena ingin menangis, tapi lebih pada rasa dongkol yang ingin melampiaskan dendam.

"Ya?" Schifar mengira Lysandra akan memintanya untuk tidak bertanya lagi.

"Bila kau menemukan makhluk hidung belang itu, cincang dan jadikan dia perkedel gurita!"

Tangan Schifar tergelincir dari setir hingga membuat mobil sempat oleng sesaat. Tebakannya salah total. Pantas saja Gunther selalu terlihat kusut bila sedang bertengkar dengan May, ternyata memang sangat sulit menebak isi kepala seorang perempuan.

"Sewaktu dia membelit kakiku, dia mengangkatku dalam posisi terbalik—kau tahu kan, aku memakai rok!" Sekarang Schifar jelas mendengar geraman yang diikuti dengan dengusan kesal.

Hanya karena itu?

Schifar menahan mulutnya untuk tidak melantangkan pertanyaan yang menggema keras dalam kepalanya saat ini.

"Kau tahu kenapa aku sangat kesal?"

"Apa?"

"Instingku mengatakan dia melecehkan aset terbesar seorang perempuan sewaktu matanya melihat daerah ini—" Lysandra menunduk, tidak mampu melanjutkan kalimatnya karena rasa muak yang merembes keluar dari setiap kalimatnya. Tiba-tiba air mata mengucur dari sudut matanya yang kemudian berbelok mengikuti lengkung pipinya yang menggembung seperti ikan buntal. Mulutnya mengerucut, tanda merajuk.

Schifar mengikuti arah kepala Lysandra menunjuk dan tidak mengerti kenapa gadis itu menangis untuk sebuah dasi tercabik yang bisa dibeli lagi.

"Kau masih punya cadangan dasi, kan?" tanyanya polos.

"Gondrong BODOOOOHH!" Lysandra kesal karena kegagalan Schifar menerjemahkan maksudnya.

Jeritan gadis ini ternyata lebih menyakiti telinga dibandingkan Magnolia. "Kenapa kau mengataiku bodoh? Begitu ya, cara merespon kekhawatiran orang?" Tanpa sadar Schifar  menatap marah pada Lysandra, membuat iris di belakang lensa kontaknya menyala sebentar seperti senter.

"Ma—mata ... mu ...." Lysandra buru-buru menyeka kedua matanya yang kabur karena tertutupi genangan air mata.

Schifar buru-buru melihat ke depan, pura-pura konsentrasi menyetir begitu mengetahui penglihatannya tiba-tiba menjadi lebih tajam dan menyalahkan kelelahan sebagai biang keladi.

"Bila tak ada yang ingin kau katakan lagi, jangan ganggu konsentrasiku menyetir." Suara Schifar terdengar dingin dan seperti ingin mengusir siapa pun yang ingin mengajaknya bicara.

"Maaf ... kau sudah khawatir tapi aku malah bersikap begitu. Aku benar-benar merasa terhina dengan pandangan makhluk jelek itu terhadap dadaku! Dia seperti ingin bilang'dada rata', belum lagi seringainya jeleknya itu, pasti dia menertawai aku!" Lysandra menghirup napas panjang dan mengembuskan perlahan beberapa kali.

"Aku kan anak kelas XI seperti EG dan masih dalam masa pertumbuhan—" Schifar tidak bisa mendengar kelanjutan curahan hati Lysandra yang tangisnya kembali pecah. Tatapan menghina makhluk tersebut benar-benar tertancap dalam kepalanya.

"Diamlah. Aku tidak ingin merasa seperti tengah menganiaya anak perempuan." Schifar benci air mata lawan jenisnya, bukan karena ia menggolongkan diri sebagai seorang 'lelaki sejati, pantang meneteskan air mata perempuan', tapi karena ia memang tidak tahu cara menenangkan mereka.

Sambil sesenggukan Lysandra membela diri. "Aku memang tidak ingin menangis, kok! Tapi hatiku seperih luka yang ditetesi air jeruk ditambah garam, Gondroooong ...."

Schifar mengeluarkan tawa tidak tulusnya. "Memang kau pernah mengalaminya?"

"Pernaaahhh ... makanya aku bisa membuat perbandingan seperti itu ...."

Lysandra menceritakan kejadian memilukan di masa lalu, sewaktu ujung jarinya terluka dan moms yang terkadang sok tahu itu berpikir perpaduan air perasan jeruk dan garam akan menutup luka dengan cepat. Akibatnya ia malah menangis meronta-ronta hingga tetangga sebelah rumah datang karena mengira telah terjadi tindak kekerasan terhadap anak di rumah mereka.

Kaki Schifar refleks menginjak rem hingga mobilnya berhenti dengan kasar. Ia menoleh pada Lysandra sejenak lalu kembali menyetir. Ia merasa seperti seorang kakak yang didatangi adik perempuannya untuk mengadu, tapi benar-benar tidak tahu bagaimana cara mengatasi persoalan seperti ini.

Schifar tahu pasti ia tidak boleh tertawa sebagai bentuk respon terhadap cara lucu gadis di sampingnya dalam bercerita. Yang bisa dilakukannya hanya mengencangkan perut dan menahan geli yang merayap cepat ke kerongkongannya.

"Apa makhluk itu benar-benar mengatakan 'dada rata' padamu?"

"Tidak. Tapi—tapi aku tahu dia berkata begitu melalui tatapannya yang benar-benar menghina itu!" Lysandra mengelap kedua matanya dengan kasar untuk mengenyahkan air mata yang masih mengucur.

Schifar menghela napas, berusaha membendung keinginan liarnya untuk membenturkan kepala ke kemudi setelah mendengar pengakuan Lysandra yang hanya didasarkan pada asumsinya sendiri.

Namun, ia juga tidak bisa mengabaikan dorongan kuat lainnya untuk melakukan sesuatu terhadap tangisan pilu yang biasa terdengar dalam suasana pemakaman. Gadis ini tidak kehilangan siapa pun tapi asumsinya telah membunuh rasa percaya dirinya.

Schifar menggambarkan dirinya saat ini seperti tengah berdiri di samping nisan berwarna putih bertuliskan: 'Di sini terbaring Percaya Diri Lysandra, Beristirahatlah Dalam Damai.'

Ide cemerlang menyergap kepalanya sehingga ia langsung mengeluarkan spidol besar berwarna merah, menoreh tulisan di nisan tersebut dan bergegas pergi. Tulisan itu berbunyi 'yang tewas mengenaskan terkena serangan penyakit mematikan bernama dada rata'.

***

Schifar mengulum tawanya, termakan oleh adegan konyol dalam kepalanya. Beruntung Lysandra tidak menyadarinya karena masih sibuk dengan air mata dan cairan kental lain yang mengalir dari kedua lubang hidungnya yang berpuncak bulat.

"Saran dariku. Jangan pedulikan asumsi orang lain, apalagi sampai terbawa perasaan. Bila sudah terbawa perasaan, tandanya kau sudah menambah asumsi orang lain dengan asumsimu sendiri. Coba bayangkan tumpukan daun kering yang terbakar lalu kau tuangkan minyak tanah ke api yang sudah berkobar itu."

Suara sesenggukan Lysandra masih terdengar, tapi ia sudah tenang dan tengah meresapi saran yang ditawarkan Schifar. Diamnya seorang perempuan malah membuat Schifar ketar-ketir karena pernah punya pengalaman seperti ini sebelumnya.

Ia pernah menasehati seseorang yang kemudian terdiam lama. Setelah itu, sebatang pohon Oak tua tumbang akibat menahan tubuhnya yang terpental setelah menerima bogem mentah dari seseorang yang dinasehatinya.

Perlu waktu sekitar tiga minggu untuk berbaikan dengan orang yang dinasehatinya itu. Tidak ingin hubungan persahabatannya dengan Lysandra renggang selama itu, Schifar mencari cara untuk memancing reaksi gadis di sampingnya.

"Kau tahu? Orang lebih suka jalan rata daripada jalan bergelombang. Jadi, rata itu tak selamanya buruk, kan?"

Tangan Lysandra dengan cepat menjamah ujung rambut Schifar dan menariknya sepenuh hati, sangat kesal dengan ucapan lelaki malang ini. Ia menganggap Schifar mengejeknya dengan keji dan sekarang menyesal sempat terbuai dengan kata-kata bijak yang menyentuh kalbu.

Schifar yang tidak menyangka akan mendapatkan reaksi ganas seperti itu, menginjak rem dalam-dalam hingga tubuh mereka terempas ke depan. Beruntung sabuk pengaman menjalankan fungsinya dengan baik sehingga mereka tidak terlontar keluar lewat kaca depan mobil.

"Kenapa menjambak rambutku, bocah brutal!"

***


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top