Chapter 5.5 - Peculiar Contract

"Lepaskan aku!"

Jeritan penyiksa telinga yang mengiba membuat Schifar buru-buru mengangkat kepalanya. Mantra pembeku memang telah lepas, tapi meninggalkan sengatan-sengatan nyeri di seluruh tubuhnya.

Di tengah hujan hijau neon, matanya menumbuk pada ular si putih. Tubuhnya terbelit sekumpulan tanaman rambat berduri yang entah muncul dari mana. Semakin makhluk itu meronta, belitannya semakin kencang.

Alis Schifar terangkat, bingung dari mana datangnya tetesan-tetesan cairan berwarna hijau neon yang menyala dalam gelap. Warna tersebut mengingatkannya pada limbah radioaktif. Mata Schifar bergerak naik dan menemukan jawabannya pada sosok Mindy yang tergantung seperti boneka tali. Sekumpulan ular kecil—yang entah pantas disebut rambut atau tidak— di kepalanya yang  tertunduk, terjulur gontai. Kepala dari ular-ular kecil ini terpenggal, dan cairan-cairan hijau menyala terus menetes dari luka terbuka tersebut. Seluruh tubuh Mindy juga terbelit sulur tanaman dan dari setiap ratusan luka gores di tubuhnya mengalir cairan hijau neon yang sama.

"Hei! Kau dengar aku, 'kan? Lepaskan aku!" teriak si ular putih, frustasi dengan keadaannya.

"Kenapa? Itu ganjaranmu!" Senyum mengejek khas milik Schifar mengembang. "Sekarang bilang, kenapa kau juga dikirim ke sini, hah? Terbunuh dengan jurusmu sendiri?" Schifar membuat gerakan menggorok leher dengan tangannya sambil lanjut mengejek, "hahaha ... kau menyedihkan, ya!"

Keinginan Schifar untuk mati membuatnya berhalusinasi karena ia mengira sudah berhasil berpindah ke dunia orang mati, padahal seluruh sel sarafnya saja masih berfungsi.

Provokasi Schifar membangkitkan kegeraman di hati si ular putih. "Diam KAU...!—Hegh—lepas, lepas ... kan.... " Belitan di seluruh tubuh si ular putih semakin kencang, mengancam akan memutuskan tubuhnya menjadi beberapa bagian karena ia tengah bermandikan darahnya sendiri. Duri-duri halus dari tanaman rambat tersebut semakin tertancap di dagingnya yang lunak bila ia terus bergerak dan bicara.

"Tutup saja mulutmu, makhluk cerewet! Atau tanaman penghukum atas dosa-dosamu itu akan segera mengirimmu—kemana ya, apa nama tempat untuk orang yang sudah mati lalu mati lagi?" Schifar menggaruk-garuk kepala, mencoba menjawab pertanyaannya sendiri.

Keenceran otak yang dibanggakan itu masih belum kembali karena hingga sekarang Schifar masih belum bisa sepenuhnya menggunakan nalar yang entah jatuh di mana.

"Bodoh, kau dan aku belum mati, tahu! Semua ini salah si Wanita Emas!" Si ular putih sudah pasrah bila tubuhnya akan meledak, putus atau terkoyak mengenaskan.

Ia menyadari bahwa dirinya telah kalah total dan bersiap memeluk kematiannya. Dua kegagalan berturut-turut adalah prestasi yang memalukan baginya. Ia hanya menyesal tidak mengetahui nama wanita emas yang menolak memberi tahu namanya sebelum menghilang.

***

Kebingungan Schifar tidak berlangsung lama teringat dengan Lysandra.Ia menunduk dan mendekatkan jari telunjuknya untuk memeriksa embusan napas gadis yang masih tersandar di dadanya. Masih ada.

Saatnya pembalasan makhluk keparat!

Schifar membaringkan Lysandra dengan hati-hati di atas rerumputan dan bangkit berdiri. "Sebut permintaan terakhirmu!"

Tidak ada respon dari si ular putih cerewet. "Hei, kau dengar tidak!" Ocehan Schifar terhenti sewaktu melihat kondisi si ular putih. Tubuh makhluk itu teriris-iris dengan darah merembes keluar dari setiap garis-garis lukanya, beberapa bagian malah nyaris putus.

Meski ular putih itu menjadi sumber kesulitannya, rasa kasihan masih juga berhasil menggelitik jiwanya. Tanpa pikir panjang Schifar melompat tinggi untuk memutuskan sulur-sulur tanaman rambat yang membelit tubuh musuh tanpa kaki itu dan menyambar lehernya.

"Hei, kau masih hidup, 'kan? Jangan membuat tindakanku sia-sia untuk menolongmu!" Schifar menggoncang-goncang tubuh makhluk panjang yang terkulai lemas dalam genggamannya.

Tidak ada reaksi.

"Bila dalam hitungan ketiga kau tidak bangun juga, aku tidak sudi menguburmu!" Schifar meletakkan tubuh ular putih tersebut di atas tanah dan berniat meninggalkannya begitu saja.

Misinya untuk menyelamatkan Lysandra yang telah ditemukan, bukan menolong ular bodoh yang tak juga berhasil membunuhnya.

***

Schifar terjerembab di atas permukaan tanah lembap yang ditutupi guguran daun menguning. Kedua kakinya dibelit oleh sesuatu yang membuatnya kehilangan keseimbangan.

"Karena kau sudah menolongku, kau harus membantuku membalas kematian Linka dan Mindy!"

Nada tinggi itu lagi. Schifar membalikkan tubuh dan menoleh, mendapati si ular putih yang tengah menatapnya dengan pose kemenangan—berdiri seperti ular kobra. Lengkap dengan gelambir di samping kepalanya yang norak.

Sebal karena merasa dikerjai oleh makhluk yang sesaat lalu sekarat dan sekarang terlihat baik-baik saja membuat Schifar ingin melenyapnya saat itu juga. Ia segera berjongkok lalu dengan santai mengulurkan tangan dan meremas leher ular jadi-jadian tersebut kuat-kuat, siap meremukkan tulangnya.

"Kata terakhir!"

Mata yang berkilat-kilat dan mengencangnya rahang adalah pertanda kemarahan seseorang. Ekspresi itu sering dijumpai si ular putih dan dia sangat terlambat untuk menyelamatkan dirinya dari perasaan negatif yang satu ini.

Tekanan di lehernya semakin meningkat, menandakan Schifar serius dengan ucapannya. Satu-satunya cara adalah menunjukkan kelemahan dan berharap taktik ini akan berhasil melelehkan emosi lawan bicaranya.

"Monster itu ... dia membunuh Mindy ... kejam ...."

Schifar mengedipkan mata berkali-kali untuk memastikan tidak ada yang salah dengan penglihatannya setelah melihat ada ular yang berurai air mata di depannya.

"Cacing menangis ...?"

Tampaknya taktik ini berhasil menggoyahkan Schifar. Si ular putih merasakan cekikannya mengendur dan tanpa buang waktu langsung membelit kedua tangan Schifar seperti borgol.

"Cacing sialan! Lepaskan tanganku atau kau akan rasakan akibatnya!"

"Sepertinya kau memiliki hati yang baik—meskipun itu termasuk kelemahan yang mudah dimanfaatkan. Satu lagi, aku bukan cacing tapi ular putih!" Ekor makhluk panjang bersisik itu menampar-nampar pipi Schifar, gemas dikatai cacing terus.

"Heh! Bosan hidup? Lepaskan lilitanmu atau kugigit kepalamu hingga putus!" Schifar memamerkan dua pasang taring runcing yang mengintip dari balik bibir seksinya.

"Anak muda era ini ...," desah si ular putih sambil menggeleng-geleng pelan. "Bagaimana bila kita membentuk kontrak? Aku tidak  menerima penolakan, karena aku sanggup meracunimu hingga mati dengan satu pagutanku."

Si ular putih tidak sekadar menggertak karena sepasang taring bengkok berujung tajam mencuat dari rahang atas disertai dengan cairan bening yang terus menetes dari ujung-ujungnya.

"Kontrak?" Schifar memicingkan matanya, sangat curiga bila si ular putih memiliki intensi gelap yang terselubung.

Seekor ular jadi-jadian, mengikat kontrak dengan serigala bukan jadi-jadian. Membayangkannya saja sudah mengundang keriput di dahi siapa pun.

Makhluk panjang bersisik ini mencondongkan kepalanya. "Ya, kau mengikat kontrak denganku. Seperti hubungan antara tuan dan pelayan."

Schifar menjauhkan dirinya dari jangkauan ular putih yang masih membelit kedua tangannya, setidaknya untuk mengantisipasi bila makhluk bermata oranye itu tiba-tiba memagut lehernya. "Jangan bilang aku yang akan berperan sebagai pelayan. Aku tidak sudi!"

Setelah melewati pertarungan sengit malam ini, sepertinya Schifar mengalami kelelahan akut. Seekor ular bisa memagut semua bagian tubuh dan berakibat fatal, lalu kenapa Schifar malah lebih mengkhawatirkan lehernya?

"Takut aku menggigit lehermu, hah?"

"Tentu saja. Aku masih sangat mencintai otakku, tidak perlu lebih diencerkan dengan racunmu."

"Permainan kata yang bagus."

Otak encer yang dimaksud Schifar adalah kepintarannya. Sementara mengencerkan sesuatu seperti mentega yang dipanaskan adalah salah satu dari efek racun makhluk tersebut. Otak yang mengencer seperti mentega? Hanya satu kata, seram.

Sekilas atau mungkin hanya perasaan Schifar, mulut makhluk bersisik itu seperti membentuk seulas senyum. "Apa itu, kau mencoba tersenyum manis? Lupakan, kau tetap jelek." Schifar lupa bila ekor ular itu masih bebas untuk mendaratkan satu tamparan di pipinya. "Sekali lagi kau menampar wajahku, kubuntungkan ekormu!"

"Menampar? Itu namanya mengelus! Mungkin terlalu kuat. Sedikit." Membran pengelip berwarna keruh si ular putih terbentang, menutupi sepertiga matanya. Mungkin bila ular memiliki kelopak mata, apa yang dilakukannya sekarang adalah bentuk memicingkan mata, saat menekankan kata 'sedikit'.

"Ck. Terserah." Schifar menyerah dengan sikap ular banyak mulut tersebut.

"Jadi kau setuju?"

"Dengan?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top