Chapter 5.1 - Virmaid
Sial!
Schifar kesal karena tiba-tiba teringat pada hal-hal buruk yang terjadi dalam bangsanya. Sungguh sangat aneh ketika memikirkan Excelsis, malah sejarah kelam menyusup seenaknya.
Apa hubungannya dengan Excelsis? Ia tidak pernah menemukan petunjuk bila Excelsis memiliki kristal Nirfulong, lalu kenapa otaknya yang selalu encer malah memberi sugesti aneh?
Sejak pertemuan pertama mereka, Schifar menaruh curiga bila Excelsis adalah bagian dari Anak-anak Bulan karena ia sama sekali tidak bisa mendeteksi sentira Aetherian dari gadis itu. Jadi jelas, Excelsis bukan manusia.
Ditambah kejadian hari ini membuatnya semakin yakin bahwa—sekali lagi—Excelsis bukan manusia. Satu hal yang jelas, sentira gadis ini membuatnya bingung karena sentira Vyraswulf dan Merphanon bergantian terpancar dari tubuh Excelsis meski sangat lemah. Terkadang sentira Vampire juga samar tercium darinya.
Sentira tunggal seperti Vyraswulf, Merphanon atau Vampire saja banyak dijumpainya. Bahkan jenis campuran seperti Vyre—Vyraswulf-Vampire—atau Mare, campuran dari Merphanon-Vampire.
Para Vyre dan Mare masih mungkin ditemukan, meski jumlahnya sedikit. Tapi, hasil perkawinan Vyraswulf dan Merphanon sama sekali tidak pernah terdengar karena merupakan suatu kenistaan. Terlalu banyak alasan mengapa perkawinan dua ras ini sangat nista dan mustahil.
Yang menempati urutan teratas adalah permusuhan mendarah daging antara salah satu Klan Darat dan Air, hukuman mati adalah akhir dari kisah romantis yang segera berubah menjadi tragedi bila ada yang melanggar hukum sakral tersebut. Persekusi demi persekusi berdarah-darah hingga membinasakan keluarga besar sering terjadi dalam tubuh kedua klan besar tersebut.
Alasan kedua dan seterusnya berakar dari permusuhan sengit ini. Schifar pernah mendengar sebuah kisah yang tidak pernah tertulis di mana pun mengenai ramalan Virmaid Akhir Zaman.
Menurut legenda atau hanya sekedar desas-desus tanpa dasar untuk menakut-nakuti generasi muda agar menghindari musuh bebuyutan mereka, seorang Virmaid adalah produk dosa terbesar keegoisan Vyraswulf dan Merphanon yang akan menghancurkan dunia. Tamat.
Fantastis. Bombastis. Pembohongan ekstrim. Semua kata tersebut dipilih oleh Schifar secara hati-hati setelah bertapa di bawah air terjun. Bohong? Tentu saja. Schifar sama sekali tidak percaya dengan legenda yang hanya didengarnya sekali saja seumur hidup dan lupa kapan dan dari siapa ia mendengar kisah tersebut hingga akhirnya menjadi lapuk dan terlupakan.
Tapi, kenapa tiba-tiba sosok Virmaid—makhluk berwujud serigala dengan ekor ikan duyung—muncul di kepalanya, cukup membuat dahi Schifar mengerut. Ia sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana hasil kawin silang dari kedua ras berbulu dan bersisik tersebut.
Memaksa imajinasinya untuk lebih kreatif pun, hasilnya tetap saja buruk rupa. Bagaimana mungkin Excelsis yang kecantikannya membuat iri para dewi adalah siluman yang lebih buruk rupa dari tokoh Beast dalam dongeng Beauty and The Beast—Si Cantik dan Si Buruk Rupa?
M ditambah U dan S, T dan A, kemudian H dan I, lalu diakhiri dengan L. MUSTAHIL. Sangat mustahil bila Excelsis adalah Si Cantik Belle sekaligus Si Buruk Rupa, Beast. Schifar merasa kepalanya akan meledak bila tidak segera menghentikan pusaran kontradiksi tersebut dalam kepalanya.
"Siapa kau sebenarnya, Exis?" bisik Schifar sambil menyandarkan kepalanya pada sandaran jok mobil.
***
Schifar selalu berpikir sentira Excelsis berkualitas tinggi. Bila diibaratkan sebagai bunga maka yang terlintas dalam kepalanya adalah perpaduan keagungan mawar merah dan keanggunan lili air. Dan sentira 'mawar merah' Excelsis membuatnya rindu pada sosok di masa lalu.
Sosok yang sempat mengisi kekosongan hatinya karena mendambakan cinta yang tidak pernah didapat dari sosok berlabel 'ibu' dan 'ayah'. Wajah samar sosok tersebut datang membayang, cukup membuatnya trenyuh.
Ck. Enyahlah sentimentil, kau tidak dibutuhkan disini!
Jari-jari panjang Schifar menyusuri permukaan kulit kepalanya dengan kasar, seolah-olah menjadi sebuah traktor yang hendak memanen helaian-helaian rambutnya yang terasa lebih kasar dan kering.
Ha~~h ... tanggal berapa ini?
Schifar melirik kalender digital di dasbor dan langsung mendesah pendek, mengerti mengapa seharian ini perasaannya melembek seperti tahu dan asam seperti cuka. Hari ini adalah tanggal kematian Heylene, wanita yang memberinya hadiah selamat tinggal berupa bekas luka cakaran yang tak pernah hilang selamanya.
Ia terlalu kecil untuk mengingat kejadian tersebut dan bagaimana rasa sakit yang dialaminya hingga membuat Gunther nyaris mati dikeroyok oleh sekumpulan Black Vyraswulf liar yang terpancing akibat lengkingan suara tangisnya.
Tentu aneh bagi ras yang hampir selalu bisa menyembuhkan diri dari segala jenis luka, tapi tidak sanggup menghilangkan bekas cakaran. Sampai sekarang Schifar hanya bisa berteori bila seorang kerabat dekat yang melakukan itu, maka kemampuan menyembuhkan diri mereka tidak bisa diaktifkan. Entahlah, Schifar tidak bisa membuktikan teori yang didapatnya setelah melihat bekas luka cakaran yang jauh lebih banyak di tubuh Gunther.
Schifar membentur-benturkan kepala di setir mobil yang entah salah apa hingga harus menerima hantaman demi hantaman keras yang membuat mobilnya bergoyang. Seseorang mengetuk-ngetuk kaca di sampingnya.
"Kupikir akan menemukan adegan menarik, ternyata hanya bocah yang butuh pelampiasan," cibir Gunther santai.
"Ck. Entah kenapa aku tidak ingin tahu maksud ucapanmu," balas Schifar sambil memalingkan wajah, malas melihat seringai di wajah pamannya. "Cepat singkirkan senyum mesummu itu!"
"Problem anak puber ...." Gunther mengganti ekspresi wajahnya menjadi mirip seorang ayah yang menyerah melihat kelakuan anak lelaki mereka yang beranjak dewasa. Benar umur Schifar sudah ratusan tahun, tapi untuk ukuran umur Vyraswulf, ia tergolong anak remaja dalam masa puber.
"Maniak Tua ..."
"Ya?"
"Terima kasih."
"Hmph? Untuk apa?"
Untuk setiap luka di tubuhmu ketika melindungi aku. Untuk pendampinganmu selama ini. Untuk menjadi pengganti mereka. Untuk mengajariku bela diri. Untuk menjadi paman konyol yang memilih menyimpan semua kepedihan yang kau rasakan terhadap saudarimu—ibuku ... Untuk ...,
"Tidak apa-apa ...." Schifar tidak sanggup mengutarakan isi hati, dadanya mendadak sesak. Terlalu banyak yang telah dilakukan pria tersebut dalam hidupnya dan tak satupun pertanyaan yang dilontarkan padanya dijawab dengan serius. "Terima kasih."
Gunther membetulkan posisi kaca mata hitamnya yang melorot. "Lagi?" alis kanannya yang terangkat terlihat mirip tanda tanya mendatar tanpa titik.
Ini bukan yang pertama Schifar bersikap sok misterius. Terkadang muncul keinginan Gunther untuk membelah dada anak itu dan menguliti hatinya. Ada perasaan kesal—atau frustasi—yang bercokol di hati karena Schifar belum juga bersedia terbuka padanya. Padahal, ia sangat berharap bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan Heylene.
Bibir Gunther yang hendak membentuk senyum tiba-tiba membeku saat nama tersebut melintas di kepalanya. Namun, dengan cepat Gunther mengganti topeng wajahnya dengan tertawa terbahak-bahak sambil mendongak seperti orang bodoh, menahan sebutir kristal bening yang bersarang di sudut matanya supaya tidak bergulir jatuh. Ia sempat melirik dan menangkap mimik wajah Schifar yang seperti ingin memukulnya supaya diam.
Gunther menunjuk pada sudut matanya yang basah setelah sebutir cairan bening yang berusaha ditahan malah lancang meluncur. "Bocah tengik, lihat ini—wajah konyolmu sampai membuatku menangis!"
"Ck." Seluruh lingkaran iris Schifar nyaris hilang di balik kelopak matanya sewaktu menatap Gunther.
"Eh ..., jangan bilang kau mulai jatuh cinta padaku, HAHAHAHAHAHA ...," sembur Gunther asal demi memperbaiki suasana hatinya yang tidak karuan hanya karena mengingat satu nama—Heylene.
"Tidak lucu!" geram Schifar, tawa Gunther yang seperti ledakan knalpot mobil butut membuatnya jengkel. "Semakin lama kau semakin mirip dengannya!"
"Siapa, May? Tentu saja." Gunther menangkap cercaan Schifar sebagai pujian karena di balik sifat yang suka menggoda hanya demi melihat reaksi Schifar yang menggemaskan, May sangat perhatian padanya.
Hanya saja pasangan yang minim empati seperti Gunther dan May, sulit menangkap getaran-getaran frustasi dan emosi-emosi lain yang selalu dipendam Schifar untuk diri sendiri, membuatnya menjadi sosok yang sulit dimengerti.
***
"Jadi, kenapa memintaku menunggumu?" tanya Schifar, membuka percakapan setelah kesunyian panjang di antara mereka.
"Untuk meyakinkan bahwa kau bersungguh-sungguh akan memberikan bagianmu padaku."
Itu lagi. Selama dalam perjalanan, keduanya terlibat perbincangan serius di telepon dan tercapai kesepakatan bahwa Gunther akan mengurus target mereka sendirian, dan Schifar mencari Lysandra dengan mengikuti jejak sentira-nya.
"Ck. Itu hal penting yang ingin kau bilang?" Schifar melirik marah pada Gunther. Banyak komplain yang ingin dilontarkan pada pria yang membuang-buang waktunya itu, tapi tak ada satu pun yang berhasil lolos dari mulutnya.
Membayangkan reaksi pamannya membuat mulut Schifar semakin terkatup rapat. Rasa-rasanya percuma menjadi petasan untuk orang yang justru menikmati ledakan demi ledakan seperti Gunther.
Gunther tertawa kecil. "Selamat berjuang menjadi pahlawan bagi pacarmu itu."
Tentu saja Gunther memiliki motif lain, ia tidak membutuhkan bayaran mahal yang akan diterima setelah misinya selesai. Tapi, ia tidak akan memberitahu alasannya, seserius apa pun pertanyaan Schifar.
"Dia bukan pacarku!" sanggah Schifar.
"Lalu kenapa wajahmu jadi merah begitu? Ah sudahlah, kutunggu hasil akhirnya saja. Aku pergi."
Sebelum Schifar bisa merespon balik, Gunther telah hilang dari pandangannya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top