Chapter 3.6 - Attack of Lysandra
Kecepatan Excelsis melahap habis semua sesajen yang disiapkan Schifar memang pantas diacungi jempol. Bila saja Schifar menyalakan aplikasi stopwatch, pasti ia akan terkesan dengan hasil yang tertera di ponselnya.
Excelsis meregangkan diri sebelum membereskan kotak-kotak kosong yang hampir menutupi permukan meja bulat tempat mereka duduk. "Terima kasih untuk makan siangnya. Lain kali giliranku mentraktirmu, ok?"
Tangan Schifar berhenti dari kegiatan menyingkirkan segala bentuk sayuran dari burgernya dan melirik Excelsis.
Seolah tahu apa arti dari tatapan Schifar, Excelsis buru-buru meletakkan jari telunjuk di bibirnya. "Aku tidak menerima kata 'tidak' atau gelengan sebagai jawaban."
" ... terjadilah begitu. Puas?"
"Sangat," balas Excelsis sambil menghadiahi senyum bahagianya pada Schifar dan berdiri. "Baiklah, aku ke toilet dulu. Tolong buang, ya ...."
Excelsis mendorong beberapa kantong plastik yang disesaki oleh kotak-kotak sisa makanan ke arah Schifar dan segera berlari keluar kantin untuk segera melampiaskan keinginan yang tidak bisa ditahan lebih lama lagi, Buang Air Kecil.
Ia berlari seperti dikejar angin topan, selain karena takut mengompol, dirinya juga harus mengejar waktu yang juga terus berlari. Lima menit adalah waktu yang sangat singkat. Elevator sama sekali bukan pilihan karena mengantri saja sudah membuang waktu. Toilet terdekat berada di lantai dua yang jarang digunakan karena berada di pojokan dekat tangga. Lampu penerangnya tidak pernah diganti hingga menebar kesan angker, membuat tempat ini semakin terlupakan. Di ruang tiga bilik inilah Lysandra diserang.
Excelsis masih berlari kesetanan ketika ia menabrak sesuatu dan memiringkan sudut pandangnya hingga mendarat di atas permukaan marmer putih yang keras. "Ugh. Sakiiitit ...," ringisnya sambil memegangi lutut yang terantuk keras.
Sepasang mata yang terbuka lebar menatap Excelsis dalam diam, seolah-olah ekspresi yang diperlihatkan adalah sesuatu yang asing. Otot-otot di wajahnya berkedut kaku, berusaha meniru semirip mungkin dengan Excelsis.
Saat membuka mata Excelsis disuguhi penampakan makhluk mungil yang terlentang di bawahnya dengan wajah aneh. "Lysa?"
Excelsis buru-buru bangkit dan dengan satu tarikan, ia sudah berhadap-hadapan dengan Lysandra. Selaput biru transparan di matanya luput begitu saja dari radar Excelsis.
"Maaf. Belum geger otak, kan?" tanya Excelsis seraya mengulurkan tangan untuk memeriksa belakang kepala Lysandra. Tapi yang bersangkutan langsung menghindar, bahkan menangkap pergelangan tangannya.
"Wow!" Senyum Excelsis mengembang, kagum dengan refleks Lysandra. "Refleksmu makin bagus. Tapi, ayolah ... biar kuperiksa kepalamu."
Excelsis membebaskan tangannya dari genggaman Lysandra yang entah mengapa terasa sedikit menyakitkan, lalu mencoba menyentuh lagi karena khawatir kondisi belakang kepala Lysandra yang terbentur permukaan lantai yang keras.
Lysandra menghindar lagi, tapi sekarang ia menepis tangan Excelsis dan menabrak bahunya. Excelsis ingin protes dengan sikap Lysandra. Namun, langsung tahu ada yang tidak beres. Langkah Lysandra terseok-seok seperti orang mabuk yang bisa roboh kapan saja.
Pada saat inilah mata Excelsis mendarat pada noda merah di kerah belakang seragam sekolah sahabatnya. "Darah ... apakah karena benturan tadi?"
Excelsis langsung mengayun langkah dan berhasil meraih bahu Lysandra. "Lysa, ayo ke ruang kesehatan!"
Tapak tangan Lysandra melesat. Sebagus apa pun refleks Excelsis, diserang tiba-tiba oleh orang yang dianggap bukan ancaman, membuatnya lengah. Perutnya serasa diseruduk banteng liar hingga ia terdorong ke belakang dan tersungkur. Excelsis memuntahkan gumpalan-gumpalan makanan yang belum sempat melewati lambungnya.
Beginikah ... beginikah rasanya ingin mati?
"Ly—" Excelsis tidak sanggup berbicara karena menghela napas saja terasa menyiksa.
Seperti seorang penjahat yang tidak memiliki perasaan apa pun setelah melakukan tindakan jahat, Lysandra meninggalkan Excelsis begitu saja. Cara berjalannya semakin limbung, seperti bayi hewan pemamah biak yang baru dilahirkan dan dipaksa berjalan saat itu juga, beberapa kali ia jatuh karena tersandung kaki sendiri.
Di balik pandangan yang kabur akibat genangan air mata di pelupuk mata dan napas yang terengah-engah Excelsis masih berusaha memanggil nama Lysandra tapi suaranya sama sekali tidak keluar.
Tangannya terulur sia-sia. Harapan untuk menghentikan Lysandra tidak membuahkan hasil.
***
Schifar masih duduk di mejanya karena memang ingin melewatkan pelajaran setelah bel masuk berbunyi, tapi karena ketenangan kantin tiba-tiba terusik ia memasang telinga untuk menangkap perbincangan mereka.
Mendengar nama Excelsis disebut, Schifar langsung berdiri dan menghampiri satu meja yang berisi empat siswa yang masih bergosip. Ia menggebrak meja hingga mereka sungguh-sungguh terangkat dari kursinya.
"Hei, ada apa dengan Exis?" Schifar merasa tidak perlu berbasi-basi atau pura-pura baik terhadap kelompok anti Excelsis seperti mereka.
Salah satu dari mereka dengan gemetar menunjuk ke luar kantin."Di—dia di sana, dipukul ... Ly—Ly—Lysan—dra ...."
Dengusan Schifar hampir terdengar seperti suara babi mengorok karena ingin tertawa juga kesal dengan lelucon mereka yang sama sekali tidak lucu. Ia berkata, "Rupanya otak bisa menciut setelah sekian lama tidak dipakai."
Kesinisan Schifar mengundang reaksi beragam. Yang pasti mereka sangat marah dengan hinaannya, tapi tak ada satu pun yang berani membantah. Keheningan mencekam menyelubungi kelompok kecil ini hingga Schifar memutuskan pergi dan mencari tahu sendiri bila yang dikatakan salah satu dari mereka adalah kebenaran atau fitnah tak berdasar. Bila ternyata fitnah, ia memastikan mereka akan mendapatkan ganjaran setimpal.
Di seberang lapangan ada kerumunan para siswa di area yang tadi dituju Excelsis. Schifar segera berlari dan menyibak lapisan siswa yang menyemut. Excelsis tersungkur di koridor dekat tangga dengan gumpalan-gumpalan muntahan yang berserakan di lantai sambil memegangi perutnya, kesulitan mengatur ritme napasnya.
Kemarahan Schifar memuncak. Para siswa yang mengitari tidak melakukan apa pun pada Excelsis yang sesekali terbatuk disela napasnya yang pendek-pendek seperti tercekik. Sebenarnya ada beberapa dari mereka yang berusaha membantu, tapi Excelsis sendiri yang terus menghalangi mereka untuk mendekat. Sebagian lagi hanya kelompok yang terlalu takut mendapat limpahan kemurkaan salah satu Kirin kembar dan memilih menjadi penonton atau merekam diam-diam dengan ponsel.
"Minggir!" Gelegar suara Schifar membubarkan kerumunan tak berguna tersebut dan memberi ruang baginya untuk mendekati Excelsis.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top