Chapter 3.5 - Passion of The Damsel: FOOD
Perkiraan si senior yang berhasil menyiksa perut Excelsis tidak meleset. Dalam alam mimpi Excelsis saja ia langsung muncul dan mengacak-acak emosinya. Yang berbeda, dalam versi mimpi gadis ini lebih berani dan beringas.
Sewaktu negosiasinya tidak berhasil dan ditinggal begitu saja, tanpa ragu Excelsis melepas sepatu pantofelnya dan melempar ke pelaku penyerobot deepcy, manusia paling tidak beradab di muka bumi ini. Di luar dugaan si tampan di atas rata-rata itu menghindar dengan mudah tanpa perlu berbalik dan makin menjauh darinya. Kesal karena meleset, Excelsis segera melempar sepatu kedua.
Kali ini, si senior bengal berbalik dan sigap menangkap sepatu Excelsis. Sorot matanya jelas mengatakan 'stop bertingkah seperti anak kecil, atau aku akan menghukummu!'
Hanya beberapa langkah panjang dan cepat, ia sudah berdiri nyaris tanpa jarak dengan Excelsis, jelas mengabaikan jarak nyaman seseorang. Gadis lain mungkin akan berdebar-debar atau mimisan bila ada laki-laki menawan dan menjulang tinggi menyudutkan mereka. Sayang, yang dihadapi adalah Excelsis yang impulsif. Meski telah didorong hingga punggungnya menempel ke tembok dan dikurung dua lengan kekar, tidak ada tanda-tanda ia akan menyerah dan takluk.
"Berhenti cari masalah denganku!" hardiknya kasar, berusaha mendominasi.
"Heh! Masalah tidak akan ada dan panjang bila kau memiliki sesuatu yang disebut tenggang rasa!" balas Excelsis ketus, sama sekali tidak terintimidasi.
Menerima balasan yang lebih sengit, tatapan lawannya menumpul. Excelsis menaikkan nada bicara sambil menyelipkan ejekan, "Kenapa? Kau pikir dengan mata kucing seperti itu membuatmu tampak galak?"
Lidah tajam dan pelototan intens dari Excelsis berhasil mengeroposkan keinginan mendominasi pemilik bulu mata lentik ini. Tubuhnya mengendur dan berbalik, lupa bahwa tujuan awalnya untuk mengembalikan sepatu Excelsis. Sedikit bermain-main dengan anak harimau pasti menyenangkan, tapi ternyata tidak ada gunanya mempermainkan mangsa yang tidak mengenal rasa takut dan malah menggigit balik.
"Hei! Kembalikan sepatuku!"
Sekelebat bayangan hitam melesat di atas kepala Excelsis dan mendarat dalam tong sampah di dekatnya berdiri. Excelsis menoleh dan mulutnya otomatis terbuka dan bergerak-gerak melontarkan semua sumpah serapah yang diingat, meski tidak ada suara yang keluar.
Bila saja ia bersuara lalu ada yang mendengar dan merekam, bisa dipastikan Excelsis akan mendapatkan hukuman karena telah melanggar aturan nomor kesekian dari ribuan aturan yang tertulis dalam Kompendium Aturan Sekolah.
Semua rasa gondok, kesal, marah dan jengkel berbaur menjadi satu hingga mulutnya terasa pahit. Excelsis mengambil sepatunya yang mendarat tepat di atas kertas pembungkus deepcy. Remah-remah di atas kertas tersebut membangkitkan perasaan ingin meremukkan seluruh tulang di tubuh senior lancang tadi. Otot-otot jemari Excelsis berkontraksi, meremas sepatunya sendiri sekuat mungkin.
Keanehan terjadi karena aroma keju dan daging asap yang pekat menguar dari sepatu hitamnya yang selalu disemir setiap hari.
Semir sepatuku beraroma deepcy? Mungkinkah?
***
Mata Excelsis sontak terbuka dan tangannya yang terkepal erat berlumuran cairan kuning lengket nan kental yang merembes keluar dari sela-sela jemari.
"Hah? Sepatuku berubah jadi deepcy?" Excelsis melirik ke bawah meja. Kakinya masih terbungkus sepatu pantofel hitam.
Excelsis membenarkan posisi duduk lalu memperhatikan kertas putih yang sangat dikenali teronggok tanpa bentuk dengan isi yang berceceran di telapak tangan. Alisnya nyaris menyatu. "Deepcy? Sejak kapan?"
"Exis. Cepat habiskan ini, waktu kita hanya tinggal sepuluh menit."
Excelsis menoleh pada Schifar yang langsung duduk di sampingnya dan sibuk mengeluarkan isi plastik satu per satu. Sejurus kemudian perhatiannya langsung beralih pada tangan Excelsis. "Itu—"
"Deepcy."
"Aku tahu itu deepcy, tapi kenapa kau meremasnya sampai isinya terburai begitu?"
"Seharusnya kau bertanya bagaimana ini bisa ada di tanganku, 'kan?"
"Ya, itu."
"Tidak tahu. Kupikir ini kau yang taruh."
"Jelas tidak mungkin. Kalau bola-bola emasmu masih ada, tidak mungkin aku membeli makanan pengganti sebanyak ini." Punggung tangan Schifar menyenggol salah satu kemasan makanan yang masih tersegel. "Ck. Jangan berpikir aku mencegat senior preman itu merebut deepcy-nya, lalu diam taruh di tanganmu—hanya untuk diremas sampai benyek!" decaknya, sebal akibat tatapan curiga Excelsis.
Salah satu pipi Excelsis menggencet ujung matanya. "Hmm, benar juga. Kau tidak memiliki kapasitas untuk melakukan hal yang ksatria."
"Hah?"
"Sia-sia. Maksudku sia-sia." Excelsis memamerkan deretan gigi putihnya yang berbaris rapi lalu buru-buru berdiri dan berjalan cepat menuju wastafel untuk mengenyahkan ceceran yang mirip muntahan monyet kebanyakan makan pisang.
Saat kembali, Excelsis langsung memangsa makanan yang tersaji satu per satu hingga Schifar perlu mengingatkannya berkali-kali untuk makan pelan-pelan supaya tidak tersedak.
"Aku tidak berniat memberi napas bantuan bila kau tersedak."
"Tidak butuh," balas Excelsis seraya menjulurkan lidah dan kembali sibuk menyumpal mulutnya dengan makanan.
Schifar menoleh ke arah pintu masuk kantin karena merasa diawasi, tapi tidak ada seorang pun yang berdiri di sana. Intuisinya mengatakan bila si senior preman yang diam-diam meletakkan satu bola deepcy di tangan Excelsis sewaktu ia tertidur.
Orang yang dimaksud Schifar memang sempat berdiri dan mengamati mereka, tapi ia segera beranjak dan sekarang tengah bersandar pada sebuah pilar sambil melipat kedua tangan di depan dada, membiarkan semilir angin memainkan rambutnya.
Garis bibirnya melengkung ke atas.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top