Chapter 3.3 - Negotiation

Merasa disapa, remaja tersebut berbalik dan mata mereka bertemu. Jantung Excelsis serasa ditembusi pedang berujung tajam hingga ia harus meraba dada untuk memeriksa apakah ada darah yang merembes hanya karena menerima tatapan laki-laki yang baru kali ini dilihatnya di sekolah mereka.

"Hm?"

"Mmm ...." Excelsis tidak yakin akan melaksanakan rencana awalnya untuk bertransaksi.

Para senior di sekolah mereka terkenal tidak ramah, bergaul dengan junior dianggap sebuah kenajisan. Tingkah laku mereka persis seperti para petinggi yang tidak ingin menurunkan derajatnya untuk dekat dan bergaul dengan kaum minoritas tapi membutuhkan suara mereka ketika pemilihan umum tiba.

Namun, itulah kenyataan yang terjadi di sekolah ketika tiba musim pemilihan Ketua Dewan Siswa, mereka akan terus melancarkan kampanyenya kepada para junior demi mendapatkan suara terbanyak.

Imajinasi Excelsis bermain dan menyamakan deep blue cheese yang telah dikunci matanya adalah target yang harus diselamatkan dari si penyandera, seperti dalam adegan film laga. Kenyataan berbicara lain, tenggorokannya bergerak kaku karena memaksa menelan liur yang kembali membanjiri rongga mulut.

yang hampir tidak pernah takut terhadap apa pun seketika berubah menjadi pengecut yang kehilangan kata-kata dan memandangi penuh kerinduan pada sebungkus makanan.

"Tidak ada yang ingin disampaikan?" Senior beralis tebal nan rapi ini segera berlalu karena merasa Excelsis membuang-buang waktunya.

Excelsis hanya bisa menatap punggung laki-laki tersebut yang semakin jauh dari jangkauan. Tidak ada yang menyalahkan bila makhluk jangkung itu tidak tahu salah satu adik kelasnya adalah penggemar fanatik sebuah makanan dan akan bergabung dengan senang hati bila ada sebuah kultus yang memuja Dewa Deep Blue Cheese Yang Agung, Sang pemberi hujan bola-bola deep blue cheese sepanjang tahun. Mungkin saja Excelsis akan memulai aliran tersebut bila ada yang mendukung.

Aroma khas dari makanan yang terkenal tak bersahabat di kantong tersebut terbang terbawa angin dan terhirup hidung mancungnya. Excelsis mengumpulkan seluruh keberanian dan berusaha bernegosiasi, dan hal terpenting dalam negosiasi adalah menggunakan bahasa sesantun dan seresmi mungkin.

"Bo—bolehkah saya membelinya? Dua saja ...."

Langkah seniornya terhenti. Ia mati-matian menekan rasa geli yang tiba-tiba muncul akibat kekakuan bahasa Excelsis.

Excelsis segera memperpendek jarak di antara mereka dan mengacungkan lima jari. "Lima. Untuk dua bola?"

"Lima? Puluh, ratus?"

"Pu—puluh ...?"

Senior yang terlihat jauh lebih muda dari rekan-rekan seangkatannya hanya menatap Excelsis dalam-dalam seperti sedang berusaha menyelami pikiran gadis aneh yang berani menawar mahal pada makanan yang diberikan cuma-cuma oleh penjual di kantin.

"Ke—kenapa? Harga satu bungkus makanan ini sepuluh Chron, tawaran saya lima kali lipat dan hanya untuk dua bola saja."

"Mendengar penjelasanmu membuatku semakin tidak ingin memberikan ini padamu."

"Ta—tapi, bukankah Anda berada dalam pihak yang diuntungkan? Menurut hukum ekonomi."

"Siapa namamu?"

"Vladimatvei. Excelsis Gratia Vladimatvei, kelas XI A."

"Anggap saja percakapan ini tidak pernah terjadi, Vladi."

"Tapi, kenapa?"

"Karena aku punya hal untuk menolak."

Benar dugaan Excelsis, seniornya memang tidak berniat menyerahkan jajanan tersebut semahal apa pun ia menawar.

"Jangan bilang kau minta lima ratus Chron ...," lirih Excelsis. Ia tidak bisa mengurung ketidakpuasaannya lebih lama lagi, apalagi setelah mendapatkan penolakan kejam seperti itu.

"Oh, berusaha membaca pikiranku rupanya."

"Berapa persen tebakanku benar?" Excelsis membuang muka. "Pemeras," gumamnya dengan frekuensi suara terendah yang bahkan tidak mampu ditangkap telinga sendiri.

"Apa? Ada cewek aneh yang tiba-tiba datang dan memaksa untuk membeli mahal makanan antah berantah ini, tak terima penolakan dan sekarang menuduhku ingin memerasnya. Logika macam apa ini? " Senior Excelsis memicingkan matanya, tersinggung.

Excelsis tertunduk, tidak siap menerima serangan balik dari senior yang tidak disangka-sangka memiliki kemampuan membaca gerakan bibir. Ia menepis kemungkinan bila si wajah rupawan itu memiliki pendengaran yang sangat tajam.

"Kehilangan kata-kata, Ex ... Ex-celsius? Kalau sudah ex, berarti jadi apa? Fahrenheit, Kelvin?"

Emosi Excelsis yang tenang seperti air di kolam tiba-tiba beriak setelah mendengar penghinaan terhadap nama pemberian orang tuanya. Tangan Excelsis terkepal erat di samping tubuh. Dagunya mengencang menahan amarah di hati yang tiba-tiba membuncah. Ia memang bukan tipe yang bisa menyemburkan deretan kata-kata tanpa henti seperti petasan yang disulut api.

Bila ia adalah dirinya lima tahun lalu, mungkin tinju atau kaki sudah melayang dan mendarat di wajah atau perut lawan bicara si penghina nama. Namun, ia telah berjanji tidak mengandalkan kekerasan untuk menyelesaikan masalah.

Mata Excelsis menatap lurus ke dalam mata si senior, mengumbar segala kemarahan yang meraung-raung ganas dalam hati. Ia membayangkan dirinya tengah bertarung sengit untuk mengalahkan seekor naga besar.

Berbeda dengan si lawan bicara yang merasa senang karena berhasil memancing reaksi dari anak singa yang diganggu. Ia menepis kemarahan Excelsis dan menikmati reaksinya yang dianggap sangat manis, seperti seekor hamster.

Ia mengacungkan telunjuk dan pura-pura akan menusuk mata Excelsis. Namun, gadis ini sama sekali tidak berkedip dan terus melampiaskan murkanya.

"Hmmm, tidak ada reaksi." Senyumnya melebar sewaktu mendapatkan ide lain. "Bagaimana bila bagian ini yang disentil." Jarinya menyentil area di antara alis Excelsis, tepat di pangkal hidungnya.

"Arrghhh, SAKIT!" Excelsis kembali ke alam nyata dan langsung menangkup dahi. Area yang tersentil memang kecil, tapi ngilunya setengkorak kepala.

"Akhirnya ada reaksi." Senyum puas langsung menghiasi wajah senior yang ketampanannya menurut Excelsis jatuh pada skala 2A+. Aksen kentalnya membuka identitasnya yang berasal dari suku Stonorin, salah satu suku asli yang mendiami wilayah selatan Provinsi Arlukha.

Hanya Excelsis yang memiliki keanehan untuk mengukur kadar kerupawanan seseorang berdasarkan skala. Angka 2 merupakan yang kedua tertinggi setelah angka 1 dari skala angka, A+ adalah skala penilaian yang artinya istimewa.

Lysandra masih tidak mengerti bagaimana cara Excelsis mengklasifikasikan dan menghitung kadar kerupawanan seseorang berdasarkan skala tersebut. Ia curiga skala yang ditetapkan oleh Excelsis itu merupakan tiruan dari penilaian akademik yang dipakai oleh guru-guru mereka.

Yang pasti Lysandra cukup puas mereka memiliki selera yang sama ketika menilai kerupawanan seseorang, meski ia hanya memiliki tiga kriteria saja yaitu tak layak dilihat, biasa saja, dan  yang terakhir tampan atau cantik.

Cairan bening mengambang di pelupuk mata Excelsis dan sorot kemarahannya seperti diselubungi oleh aura membunuh yang kental. Senyum di wajah sang senior langsung menghilang karena sekilas ia seperti melihat kilatan putih pucat dari iris mata Excelsis. Jantungnya terkutik keras sewaktu tangan Excelsis menyambar dan menarik dasi yang selalu terikat sembarangan hingga kedua wajah mereka nyaris bersentuhan.

"Ingin berkelahi? Lupa dengan aturan no. 25?" Meski sempat kaget, harus diakui tehnik penguasaan diri sang senior sangat bagus, karena ia masih mendominasi meski berada dalam cengkeraman Excelsis.

"Exis, cukup."

Cengkeraman Excelsis mengendur sewaktu tangan seseorang melingkari pergelangan tangannya. Tanpa perlu menoleh ia tahu pemilik suara ini.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top