Chapter 3.1 - (Silent) Scream

Nona Gale memasuki kelas XIB yang berarti membahas zaman purba. Usianya tergolong muda dan tidak memiliki masalah dengan penggunaan bahasa gaul, tapi entah mengapa para murid sampai sekarang masih sulit bergaul dengan mata pelajaran Sejarah karena caranya dalam membawakan materi sangat kaku dan tidak menarik.

"Pihak kepolisian masih bingung dengan benda ini." Nona Gale menyalakan proyektor untuk menampilkan sebuah gambar cangkang kerang yang terbuka dan retak, sambil menikmati tatapan-tatapan bingung anak-anak didiknya. Tidak ada yang menyangka ia akan membuka pembahasan mengenai kejadian di Pantai Lumicola.

Sedikit informasi, Nona Gale merupakan salah satu spesies yang mencintai teori konspirasi dan tergabung dalam sebuah kelompok yang aktif menyebarkan teori-teori aneh mereka. Tentu saja dengan menggunakan nama samaran ketika melakukannya.

Ia percaya salah satu teori yang mengatakan zaman dahulu kala bumi ini dipenuhi oleh ras-ras langka yang tiba-tiba menghilang karena suatu hal dan suatu saat nanti mereka akan muncul kembali untuk memerangi musuh bersama mereka, kaum Aetherian atau lebih dikenal sebagai manusia. Tentu saja ini berbeda dengan teori dan bukti sejarah yang diterima khalayak umum.

Bagi yang tidak percaya, teorinya menjadi lelucon serius bila dongeng antah berantah tersebut harus didengarkan lebih dari satu jam. Dunia memang mengenal zaman dinosaurus atau zaman Tiga Kerajaan yang saling berperang dan sering dijadikan tema permainan atau cerita-cerita fiksi para penulis, tapi tidak dengan tiga ras yang masing-masing menguasai daratan, laut dan udara.

Penguasa daratan adalah bangsa Vyraswulf yang bisa mengubah diri mereka menjadi sosok serigala dan digambarkan sangat bermusuhan dengan para peminum darah dan bersayap hitam legam bernama Vampire yang menguasai wilayah udara karena kemampuan terbang mereka.

Terakhir, makhluk yang merupakan perpaduan manusia dan ikan yang disebut Merphanon, mereka adalah penguasa air. Konon dunia nyaris hancur akibat persaingan yang berubah menjadi permusuhan sengit diantara mereka.

Pada akhirnya seorang pahlawan yang entah siapa, berhasil mengakhiri peperangan berkepanjangan yang mengakibatkan penderitaan dan keputusasaan dari makhluk-makhluk lain yang ikut terseret dalam perang tersebut. Aneh, sang pahlawan terlupakan ini konon seorang Aetherian, golongan yang selalu tertindas, lemah, dan tak berguna hingga diolok sebagai Homo infirmus.

Dalam mitologi mana pun tidak diceritakan mengenai siapa dan bagaimana pahlawan tersebut mengakhiri peperangan tersebut. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila para Aether di zaman yang serba modern seperti sekarang menganggap mereka hanyalah makhluk-makhluk yang menghuni buku-buku fantasi dan film khayalan yang beredar di pasaran sekarang ini.

Nona Gale tidak percaya bila para Aether memiliki ide tentang mereka hanya karena imajinasi yang timbul begitu saja. Ia sangat yakin pengetahuan para Aether tentang mereka karena sudah terekam dalam DNA yang diwariskan turun temurun, bukan hanya karena kemampuan berkhayal semata. Motivasinya sangat kuat untuk membuktikan bahwa teori yang dianut seperti agama kedua itu suatu saat akan terbukti benar.

Kali ini, Nona Gale menghubungkan penemuan seutas liontin berbentuk cangkang kerang itu sebagai bukti bahwa bangsa Merphanon itu benar-benar nyata dan sekarang memutuskan untuk menunjukkan keberadaan mereka. Konon cangkang putih yang berbentuk seperti kipas itu adalah benda wajib para Merphanon bila mereka naik ke darat untuk menjadi Ondine, istilah untuk para Merphanon yang ingin hidup dengan dua kaki layaknya manusia.

"Kalian tahu, kata 'mer' berasal dari bahasa Francia yang berarti laut. Lalu ada kata 'phanon' yang berasal dari kata 'phenomenon', fenomena. Jadi, Merphanon berarti suatu fenomena yang membuat laut itu ada, atau bagaimana mereka menjadi penghuni lautan."

Salah satu siswa yang kritis mengangkat tangannya. "Pertanyaan, sebelum bahasa Francia ada, apa nama para makhluk air itu?"

"Pertanyaan bagus. Awalnya, kata 'mer' hanya berarti 'kumpulan air' dalam bahasa kuno, tidak spesifik merujuk pada 'laut'. Jadi orang-orang Francia meluaskan makna kata ini untuk menyebut laut." Mata Nona Gale berbinar karena ada yang tertarik dengan pembahasannya kali ini.

Nona Gale semakin bersemangat mengumbar sejarah versi yang belum—atau tidak akan pernah bisa—dipertanggungjawabkan kebenarannya sehingga salah satu siswi yang duduk di deretan paling belakang luput dari sapuan matanya.

Memanfaatkan postur besar anak laki-laki yang duduk di depan, ia bisa dengan santai menguap hingga berkali-kali dan menelungkupkan kepala di atas meja. Sedari tadi ia sudah berusaha untuk terus membuka mata lebar-lebar, tapi kalah telak dengan rasa kantuk yang menyerang. Kelas Sejarah hanya dianggap sebagai dongeng pengantar tidur seperti yang biasa dibacakan oleh kedua orang tuanya dulu sewaktu ia masih di Taman Kanak-Kanak.

"Saya akan mengajukan pada dalam rapat dewan guru nanti supaya kunjungan studi tahun ini ke Museum Tulang, di sana terdapat tulang belulang dari makhluk yang diduga sebagai ras Merphanon ini." Binar di mata Nona Gale semakin terang, berbanding terbalik dengan sorot mata para muridnya yang langsung muram seperti tengah menghadiri sebuah pemakaman.

Bila pengajuan Nona Gale berhasil, kunjungan studi ini akan diingat sebagai bencana nasional terbesar dalam tahun ajaran mereka. Sekarang ini tak ada satu pun sekolah yang mengadakan kunjungan studi ke museum, karena tren yang berlaku membuat penduduknya lebih suka melihat ke depan daripada mengenang apa yang telah lewat. Hal ini berdampak pada puluhan museum yang terpaksa ditutup karena sepi pengunjung dan kekurangan dana pemeliharaan.

Nona Gale hendak melanjutkan, tapi suara seorang guru yang terdengar dari pengeras suara di dalam kelas menginterupsi. Ia menyalakan perangkat lunak yang melekat di telinga kiri dan terlibat perbincangan singkat dengan guru yang memanggilnya barusan. Tidak lama meja persegi panjang yang sempat berantakan dengan segala barang-barang miliknya sudah bersih. Ia terpaksa menyudahi kelas lebih dini karena urusan mendadak yang tidak bisa ditunda. Sebagai ganti, ia memberikan tugas supaya para muri bisa belajar mandiri.

Hanya tiga dari dua puluh empat siswa yang terlihat kecewa, sementara sisanya tak bisa menyembunyikan kebahagiaan yang terpancar di wajah mereka. Seorang guru absen selama lima belas menit adalah kesempatan langka yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Meski disuruh belajar mandiri, hanya segelintir yang akan akan patuh dan mengerjakan tugas yang diberikan.

"Lysa, cuci muka sana. Guru tersayangmu keluar, tuh!" Anna menyenggol penggaris besi dua puluh sentimeter yang dijadikan penyangga dagu teman sebangkunya supaya terlihat masih menyimak pelajaran.

Sedetik kemudian terdengar bunyi berdebam akibat dahi seseorang beradu dengan permukaan yang keras. Beruntung sebelum Anna menjalankan keusilannya ia masih sempat memikirkan untuk menutup pelindung layar sentuh monitor Lysandra. Karena bila layar monitornya retak atau pecah, maka Lysandra akan menyandang gelar 'Dewi Penghancur'.

Entah mengapa bila Lysandra yang menjadi Dewi Penghancur dengan dahi tertancap potongan layar monitor dan darah yang menyemprot-nyemprot malah lebih mengundang tawa yang terpaksa dikerangkeng dalam mulut daripada mendirikan bulu kuduk.

"Wuadaaww!" Erangan melengking yang keluar dari bibir berpigmen merah muda tersebut sukses mengalihkan seluruh perhatian kelas pada Lysandra yang mencoba mengurangi denyutan nyeri dengan mengusap-usap dahi sepelan mungkin. Genangan air mata dengan cepat memenuhi pelupuk mata dan langsung meluncur cepat menuruni pipinya yang sedikit montok.

"Kenapa si Aurora?" tanya salah satu murid pada Anna yang gagal menahan tawa setelah melihat raut wajah tertindas Lysandra. Padahal dengan raut wajah seperti itu seharusnya Lysandra mendapatkan simpati dan ucapan bela sungkawa.

"Aurora terlalu bagus untuknya. Lebih cocok itu kantong tidur!" Anna merasa nama tokoh dalam sebuah dongeng tidak pantas disematkan pada rekan sebangkunya.

"Canna Shelinda Cero ...." Tenggorokan Lysandra bergetar meski kedua bibir hampir tidak bergerak sama sekali sewaktu menyebut nama gadis yang biasa disapa Anna di sampingnya.

"Ya, ada apa kantong tidur?" Anna menoleh dan dahinya langsung tertampar lentingan penggaris besi yang telah berjasa menopang dagu Lysandra. Serangan kilat yang tidak terantisipasi tersebut mengalahkan lengking jeritan teman sebangkunya tadi. Hampir seluruh kelas langsung menoleh, tertarik dengan drama pasangan kucing dan tikus ini.

"Aduh, aduh ... penggarisku yang malang." Lysandra mengusap-usap penggarisnya seolah-olah benda tersebut adalah seorang adik kecil yang terbentur dan menangis.

"Bar ... bar ...." Bibir Anna bergetar seperti berusaha menahan tangis, tentu saja bukan karena sedih tapi dampak dari tamparan penggaris itu terasa sangat perih dan meninggalkan bekas merah. Balasan dari Lysandra benar-benar di luar perkiraan. Biasanya Lysandra hanya mengacungkan jari telunjuk dan menusuk-nusuk area geli di seluruh tubuhnya hingga ia menggeliat tak karuan untuk menghindari setiap serangan.

"Impas, kawan biadab." Lysa mengusap air mata yang mengeruhkan pandangan dan bangkit seperti jagoan utama dalam film setelah berhasil membalas perlakuan tokoh antagonis atas siksaan bengis mereka. Ia memang tidak berniat menangis karena merasa ditindas, tapi apa daya denyutan nyeri yang tak kunjung hilang di dahi berhasil memeras kantong air matanya.

Setelah melirik jam di dinding kelas dan menyadari banyaknya waktu yang terbuang, Lysandra memutuskan untuk membasuh wajah di toilet dengan harapan air dingin akan mengusir rasa kantuk yang masih betah bergelayut manja karena tugas dari Nona Gale telah menunggu untuk dirampungkan.

***

Di toilet, lampu-lampu penerang di atas kepalanya berkedip-kedip bergantian seperti cerita klise dalam film-film horor. Karena sudah terbiasa dengan kondisi lampu yang seperti itu, Lysandra sama sekali tidak merasa takut atau terancam.

Ia mendekatkan tangan di dekat keran yang langsung mengucur setelah mendeteksi panas yang terpancar dari telapak tangannya dan membungkuk untuk membasuh wajah.

"Anna kurang ajar!" Lysandra menahan poni yang biasa menutupi dahinya dengan tangan kiri. Tangan lain sibuk meraba-raba area yang terbentur tadi. Benar saja, ada benjolan sekitar dua jari di atas alis kiri dan terasa sakit bila tidak dibasuh dengan lembut.

Puas dengan ritual membasuh muka, Lysandra menekan tombol botol sabun dan mulai mencuci tangan sehingga tidak menyadari ada pantulan sosok hitam yang berdiri di belakangnya. Sosok ini jelas memiliki intensi jahat karena salah satu bagian tubuh yang berbentuk seperti tentakel berujung tajam teracung, siap menusuk bagian yang sudah diincar.

Sontak insting Lysandra berdiri seperti duri-duri seekor landak ketika merasakan adanya bahaya yang mendekat dan buru-buru berbalik. Mata Lysandra yang membentur sosok hitam ini langsung membesar.

Meski teriakan-teriakan panik di dalam kepala terus menyuruh untuk melarikan diri, tubuhnya terasa lumpuh, terutama kedua kaki. Ia seperti terperangkap dalam waktu yang telah berhenti berputar.

Saat ujung tentakel makhluk yang memantulkan cahaya lampu seperti permukaan kayu yang dipernis bergerak cepat untuk menusuk, tubuhnya terhentak ke samping seperti baru saja ditarik dengan kasar oleh seseorang dan menghajar permukaan kaca yang nyaris menutupi seluruh permukaan tembok.

Kaca tersebut berderak pecah tapi tidak sampai berhamburan dan melukainya karena dilapisi oleh plastik tipis seperti yang terdapat di kaca mobil. Meski berhasil menghindar, tetap saja ia hanya berdua dengan sosok hitam itu. Lysandra tahu ia tengah merinding seperti disiram seember air es meski udara yang terus meningkat di dalam toilet mulai memancing keringat mengucur deras dari dahi.

Serangan kedua juga berhasil dihindari Lysandra tapi bukan karena keinginan sendiri, melainkan kakinya yang gemetar telah kehilangan kekuatan untuk menopang lebih lama dan ia merosot begitu saja hingga terduduk.

Ujung tajam tentakel makhluk hitam tersebut menusuk tembok, tertanam dalam-dalam hingga sulir ditarik keluar. Ini kesempatan yang bagus bagi Lysandra untuk segera melarikan diri sementara makhluk tak bersahabat itu tengah sibuk berusaha membebaskan tentakelnya yang terperangkap.

Dengan mengerahkan seluruh keberanian dan kekuatan yang masih tersisa, Lysandra merangkak menuju pintu yang menjadi sumber utama penyelamatan diri dari makhluk psikopat yang berniat merenggut nyawanya.

Dalam keadaan seperti ini, pintu yang biasanya hanya berjarak lima langkah itu terasa sangat jauh, seperti sebuah fatamorgana di padang pasir. Terlihat dekat tapi sangat jauh dari jangkauan. Lysandra mengulurkan tangan untuk meraih gagang pintu dan berniat berteriak minta tolong. Namun, ia tidak sempat bersuara.

Cairan kental merembes dari sudut bibir dan dunianya menjadi gelap. Pada ruas tulang belakangnya tertancap tentakel berujung tajam.

***

Jangan lupa vote n komen ya, ma pren ^_^v

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top