Chapter 11.7 - Eorwood Forest
Excelsis mendekat pada Lysandra dan berbisik, "Lysa, kita pulang jam berapa?"
"Pulang? Kita akan bertualang hari ini, EG."
"Eh?"
"Kau ingin tahu kemana orang tua kita pergi?"
Excelsis menggeleng, tapi Lysandra tahu bila sahabatnya juga penasaran.
"Hutan Eorwood!" Lysandra melirik jam dinding kafe. "Harusnya sekarang mereka sudah sampai."
"Tapi ... tadi sopirku bilang bila papaku minta dijemput, makanya tadi hampir naik bus ke sini."
"Hmm ... " Lysandra melirik Wyfrien yang duduk di seberang meja, mencium sesuatu yang tidak beres.
Merasa ada yang melirik ganas padanya, Wyfrien menoleh dan mata mereka bertemu. Lysandra tidak segan-segan menunjukkan ketidaksukaannya dan menjulurkan lidah. Masih belum cukup, ia memasang wajah ingin menantangnya berkelahi, tapi diabaikan. Wyfrien malah mengulas senyum pada Excelsis dan kembali melihat ke luar jendela.
"Wah! Sudah jam segini!" Gale buru-buru berdiri. "Kalian pergilah dulu. Aku menyusul nanti," sarannya sambil berjalan ke arah kasir.
Mendapat komando, Lysandra segera menyambar tas punggungnya dan menarik Excelsis keluar dari kafe. Wyfrien dan Zev juga ikut keluar dan langsung menuju tempat parkir. Gale sudah selesai membayar semua tagihan dan mengajak kedua muridnya masuk ke mobil Wyfrien yang sudah parkir di depan mereka.
Wyfrien menekan tombol dan atap mobil yang sedari tadi dibukanya mulai melingkupi mereka dan menutup sempurna. Setelah itu ia menaikkan semua kaca jendela serta menyalakan pendingin.
Lysandra berbisik pada Gale, "Kenapa kita harus pergi bersamanya?"
"Karena janjiannya dengan dia," balas Gale santai.
"Kalian sudah lama kenal?"
"Baru kemarin."
"Apa!" Lysandra mengundang semua mata tertuju padanya. "Maaf."
"Ada apa, Manis?" tanya Zev dari jok depan.
"Tidak ada apa-apa. Obrolan perempuan, ya ... harap maklum." Lysandra semakin mengagumi kemampuannya untuk membuat alasan masuk akal tanpa dicurigai tengah berkelit.
"Ah, ok."
Masih di wilayah jangkauan berbisik, Lysandra mempertanyakan kewarasan Gale, satu-satunya orang dewasa dalam grup mereka. "Kenapa kau mempercayakan keselamatan hidup kita pada orang asing itu?"
"Kenapa? Aku tidak tahu juga, tapi dia bisa dipercaya."
"Absurd. Jawaban yang terlalu absurd." Lysandra mengacak-acak rambutnya sendiri dan menendang-nendang kecil. Kalah telak dengan keantikan gurunya.
Excelsis yang sejak tadi hanya memperhatikan tingkah Lysandra akhirnya bersuara, "Kau kenapa, Lysa?"
"Berdoalah kita akan selamat hari ini, EG. Bila kita jadi roh gentayangan, tolong jangan berevolusi jadi Malefowl dan menyeretku ke Talmios." Lysandra meremas tangan Excelsis yang dipaksa terkatup erat. "Sungguh ... bila kita selamat, izinkan aku selalu di sampingmu. Kita teman—bukan, sahabat—harus selalu bersama dalam suka dan duka, betul? Kita tidak akan terpisah, kita adalah satu sekarang dan selamanya. Catat—kau harus catat janjiku ini di dalam hatimu, EG—Jangan pernah lupa! Bila kau lupa, selalu ingat hari ini. Paham ...?"
"Kau kenapa ...?" Excelsis semakin bingung dengan racauan Lysandra.
"Pops ... Moms ... Aku cinta kalian ...! EG, berikan aku pelukan. Sekarang!"
Wyfrien melihat pantulan wajah Lysandra dari kaca tengah. "Diamlah atau kucabut pita suaramu."
***
Entah karena cara kesetanan Wyfrien dalam menyetir atau memang dia tahu jalan pintas sehingga dalam satu setengah jam mereka sudah tiba di Hutan Eorwood, tanpa melewati pos penjagaan seperti saat Schifar menerobos ke hutan lebat ini beberapa hari lalu.
"Hampir sampai. Bersiaplah." Wyfrien baru saja melewati sebuah papan penunjuk jalan yang bertuliskan 'HATI-HATI. CAGAR ALAM HUTAN EORWOOD ± 150M'.
Suasana muram langsung menghadang sewaktu mereka sampai di depan reruntuhan gerbang yang dulunya adalah susunan bebatuan. Tulisan penyambutan sudah lama tergerus usia, tanaman rambat dan rumput liar saling berebut memenuhi tumpukan bebatuan kembar tersebut.
Lysandra melirik jam tangan Excelsis yang menyala dalam gelap. Masih pukul 15.15 tapi kegelapan menyelimuti mereka, seperti terjadi gerhana matahari. Perlahan ia merapatkan diri pada Excelsis. Seolah tahu persis yang diinginkan, Excelsis langsung merangkul Lysandra untuk memberinya rasa aman.
Meski hanya wajah Schifar yang menyusup dalam benak, Lysandra tahu ia akan baik-baik saja. Kekagumannya semakin bertambah, mengingat Schifar pasti menempuh risiko yang sangat besar untuk menemukannya saat itu.
Lysandra tidak bisa membayangkan bagaimana cara Schifar menembus gelapnya hutan. Ia mengira kegelapan total hanya akan menaungi mereka di malam hari, tapi ternyata di siang hari pun sinar mentari tidak mengacuhkan kawasan Hutan Eorwood.
"Sudah sampai." Wyfrien memarkir mobil di samping reruntuhan gerbang masuk.
Rapatnya barisan pohon, tidak memungkinkan mobil melewatinya, membuat mereka tidak punya pilihan selain berjalan kaki.
Zev membiarkan Gale memegang ujung kemejanya, sementara Wyfrien menyusupkan sesuatu ke telapak tangan Excelsis dan kembali bersikap biasa.
"Ini apa?" bisik Excelsis.
"Kaca mata hitam."
"Eh?" Excelsis terheran-heran dan bertanya-tanya dalam hati alasan Wyfrien memberinya benda yang sangat tidak dibutuhkan di tempat gelap.
"Pakai saja." Wyfrien menunggu Excelsis memakai kaca mata pemberiannya. "Sekarang tekan yang ini dan ... tunggu lima detik. 5 ... 4 ... 3 ... 2 ... 1 ...."
Tepat pada hitungan satu, fitur yang diaktifkan melalui tekanan pada tombol kecil pada ujung gagang kaca mata, memungkinkan Excelsis untuk melihat dalam gelap. "Terima kasih. Kau sendiri bagaimana?"
"Rahasia."
Entah mengapa, Wyfrien terlihat seksi dilihat dari mode penglihatan gelap seperti sekarang. Namun, Excelsis memilih mengabaikan debaran aneh di dadanya dan mengulas senyum singkat pada lelaki yang tidak sudi melepas kontak mata di antara mereka.
"Wren ... kurasa ini bukan saat yang tepat untuk ...." Zev menarik napas panjang melihat kelembutan sikap Wyfrien terhadap Excelsis. "Berikan kaca matamu atau aku akan remuk dan jadi ikan kaleng—Hegh!" Pelukan erat Gale menjadi momok menakutkan bagi tulang-tulang rusuk Zev.
"Berikan punyamu."
"Lalu aku pakai apa?"
"Butakan saja matamu bila itu tidak berguna."
"Benarkah kita saudara? Kakak dan adik?"
"Lihat saja di surat adopsimu."
***
Wyfrien menoleh pada Excelsis. "Mungkin ini tidak akan menyenangkan untukmu, tapi bertahanlah."
"Ini?" Excelsis menggoyang tangannya dan Wyfrien yang saling bertaut erat.
"Hm."
"Ti—tidak masalah. Aku tahu niatmu baik."
Lysandra yang terlupakan tahu-tahu muncul sambil menerangi wajahnya dengan senter dari ponselnya. "Tapi tidak bagiku! Menjauhlah dari sahabatku, lelaki mesum!" Lysandra menyentak tangan Excelsis hingga lepas dari Wyfrien. "Ingin mendekati sahabatku? Langkahi aku dulu!" serunya sambil menarik Excelsis menjauh.
Sikap sok pemberani Lysandra memakan korban pertama—dirinya sendiri. Indra penglihatan yang berkunang-kunang akibat pencahayaan yang tiba-tiba, membuatnya tersandung akar pohon. Bila saja Wyfrien tidak segera menangkap Excelsis, pasti mereka akan terjungkal bersama.
"Lysa! Kau tidak apa-apa?" Excelsis menghampiri Lysandra yang segera berbalik dan merentangkan tangan.
"Sial! Komedi macam apa ini! Kenapa cuma aku yang jatuh sendiri, hah!" Tangan Lysandra mengacung tinggi. "Bantu aku."
Excelsis mengulurkan tangan untuk membantu Lysandra berdiri. Namun, tahu-tahu Lysandra berteriak, "Hei! Siapa yang melangkahiku? Cepat balik atau—"
"Atau apa?" tantang Wyfrien.
"Atau ... atau aku akan memusuhimu selamanya! Cepat balik!"
"Terjadilah."
"Hei, kau! Cepat balik!"
"Bila ada binatang buas yang datang karena suaramu. Kau yang akan kutawarkan sebagai tumbal," ancam Wyfrien.
Lysandra segera mengatupkan mulut rapat-rapat setelah mendengar auman keras dari kejauhan. "Setidaknya bantu aku berdiri."
"Matikan senternya. Cahaya hanya akan memancing mereka datang." Wyfrien menjatuhkan ponsel Lysandra tepak di telapak tangannya yang terbuka.
"Kenapa kau malah membantu ponselku lebih dulu, hah!"
"Seharusnya benda itu kujatuhkan di mulutnya."
***
"A—aku tahu ini ideku, ta—tapi ... kenapa kalian tidak menolak ide gilaku, sih?" Lysandra mulai menyesal membiarkan rasa penasaran menguasai dirinya dan makin menyusup di bawah lengan Excelsis.
"Kami punya agenda sendiri," respon Nona Gale sambil meremas tangan Zev, tidak sudi melepaskan tautan mereka meski telapaknya mulai terasa lembab." Tenanglah, kita memiliki dua bodyguard handal."
"Ta—tapi kenapa, hutan ini gelap sekali ...?"
"Cahaya matahari tak sanggup menembus lebatnya pepohonan di sini."
Semakin jauh ke dalam hutan, geraman marah dan kicauan serak burung—yang entah apa—bersahut-sahutan menyambut kedatangan para petualang dadakan. Excelsis, Lysandra dan Gale berjalan di antara Wyfrien yang bertugas sebagi pemandu, dan Zev yang menjadi pengawas di belakang.
Beberapa kali Lysandra terantuk karena kegelapan abadi di tempat ini melumpuhkan indra penglihatannya.
"Luxum. Coba rapalkan mantra itu," usul Gale.
"Ok. Konsentrasi penuh ... Luxum!" Lysandra mengucapkan mantra barunya. Sekelilingnya menjadi remang-remang.
"Sekarang bisa melihat?" tanya Gale, antusias.
"Ya, tapi remang-remang."
"Tidak apa-apa, ini baru permulaan. Nanti intensitas cahayanya akan meningkat seiring dengan kemampuanmu."
Lysandra menjeling pada Wyfrien. Kepalanya sibuk bergerak-gerak entah karena apa. "Kenapa si kulkas itu tidak kenapa-napa?"
"Tidak usah pedulikan Wren. Dia punya caranya sendiri." Jawaban Zev cukup membuat Lysandra senang karena lelaki ini tidak memiliki sifat menyebalkan sang kakak. Sejujurnya ia sangat ragu akan mendapatkan tanngapan dari Wyfrien, seandainya dapat pun, pasti hanya jawaban yang memanaskan telinga.
"Lalu kalian?"
"Kami tidak apa-apa selama memakai kaca mata hitam ini, " balas Zev lagi.
Mendengar kata 'kami', Lysandra menoleh ke setiap orang. Benar, bahkan Excelsis memiliki kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya. "EG! Kaca mata itu kau dapat dari mana?"
"Dia." Excelsis menunjuk Wyfrien.
"Hei, kau! Meski kau sudah melangkahiku, jangan pernah berharap dapat restu dariku!"
Wyfrien berhenti sejenak. "Sembunyi!"
Mendengar perintah Wyfrien, semua langsung berlindung di balik pohon. Sayup-sayup terdengar suara yang tak asing di telinga Excelsis dan Lysandra.
"Ada apa?" tanya sosok di ujung mata mereka.
Lysandra menoleh pada Excelsis sambil berbisik, "Mamamu! Mereka di sini."
"Aku seperti mendengar teriakan Hazel," suara yang sedikit ringan dari bariton milik Quentine menjawab Aithne.
"Tidak mungkin. Tapi ... aku mencium sentiranya." Aithne mengendus-ngendus udara.
"Sebentar." Quentine berjalan mendekati sebuah pohon yang tak jauh dari tempat persembunyian mereka.
"Jangan kemari, Pops ...." bisik Lysandra sambil memejamkan mata dan mengaitkan jari telunjuk dan tengah, berharap keinginannya terkabul.
"Lysa, lihat! Tangan Om Quentine—" Excelsis membekap mulutnya, takut terdengar oleh Quentine yang berdiri dua meter dari mereka.
Telapak tangan Quentine menempel di pohon hingga cahaya merah berpendar di sekitarnya. Lidah Lysandra sangat gatal untuk bertanya pada Gale, tapi diurungkan karena semua tengah sibuk memperhatikan pertunjukan di depan mereka.
"Beberapa hari lalu, ada yang datang ke tempat ini sebelum Hazel dan preman itu. Pohon ini sekarat setelah energi kehidupannya diserap oleh si penyusup."
Semua bisa mendengar informasi yang disampaikan oleh Quentine.
"Keterlaluan!" Quentine meluapkan kegeraman yagn merongrong hatinya.
"Apa tidak ada cara untuk menolongnya?" tanya Aithne penuh simpati.
"Tidak ada. Kami bukan Pixie Emas," sesal Quentine.
"Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan. Waktu kita tidak banyak." Maeveen berjalan mendahului yang lain.
***
Lysandra berdiri menghadap pohon sekarat yang disentuh Quentine. Permukaannya dipenuhi cakaran. Aliran-aliran getah merah yang telah mengering membuat tampilannya sepuluh kali lebih seram. Pohon yang bersimbah darah? Cukup mengerikan.
Tanpa pikir panjang, tangan Lysandra terulur dan menyentuhnya. Saat terjadi kontak, ia merasa seperti kutu karpet yang tersedot mesin penyedot debu. Sekelilingnya berwarna kuning muram.
"A—apa yang terjadi? Aku dimana? " Lysandra mengedarkan pandangan ke segala arah, sangat bingung karena semua tampak diam mematung dan terlalu sepi.
Tak lama ia dikagetkan oleh suara seseorang yang memanggilnya, "Hei, Lys!"
"Sci—Schifar? Ka—kau ada di sini?" Dipenuhi kegembiraan, Lysandra segera berbalik dan Schifar lewat begitu saja, seolah tidak menyadari kehadirannya. "Tembus? Di—dia tembus? Menembusi aku!"
Mata Lysandra terbuka lebar sambil memandangi telapak tangan. Namun, yang dilihatnya rerumputan kekuningan di dasar hutan. "Tanganku ... transparan?"
"Omaji—" Suara serak dan parau seperti tokoh nenek sihir jahat dalam dongeng menusuk liang telinga Lysandra.
"Lys?"
Lysandra segera berputar dan mendapati Schifar tengah membelakanginya dan mendongak ke atas. Ia mengikuti arah pandang Schifar dan seketika terjengkang. Pada salah satu cabang besar di atas sana, tengah dihinggapi seorang gadis berseragam sekolah Carpe Noctem. Gadis tersebut dipenuhi kerutan-kerutan keriput, menunjukkan tumpukan usia yang telah dikoleksinya.
"I—itu aku!" Lysandra sulit menerima kenyataan. "Aku—aku lebih jelek dari mumi kering? Schifar ... Schifar melihatku seperti itu ...?"
Rasa percaya diri Lysandra terkoyak setelah menyadari apa yang sedang dilihatnya saat ini adalah kilasan peristiwa beberapa hari lalu melalui 'mata' pohon sekarat yang tengah disentuhnya.
Matanya yang kering akibat terlalu lama melotot perlahan berair. Dendam kesumat ia alamatkan pada makhluk air yang telah merasuki dan membuatnya sangat jelek di hadapan Schifar. "Awas kalian, bila ketemu akan kurebus sampai menjadi uap air!" sumpah Lysandra dengan tangan terkepal.
Peristiwa demi peristiwa terus bergulir hingga Lysandra mengetahui bagaimana Schifar mendapatkan dua luka memar di tubuhnya. Dalam hati ia berjanji akan meminta maaf dengan benar saat bertemu dengan Schifar nanti.
Lysandra memegangi kepalanya sambil memejamkan mata rapat-rapat saat melihat dirinya terjun bebas dari cabang pohon. Ia baru mengintip sewaktu kakinya tidak menjejak sesuatu.
Benar. Ia tengah mengambang sambil berhadapan dengan seorang wanita tua berkulit pohon yang dibalut dedaunan hijau. Rambutnya terdiri dari untaian aka-akaran yang dikepang. Pada bagian jemari dipenuhi ranting-ranting kecil bercabang-cabang. Pendar lemah cahaya hijau zambrud menguar dari seluruh tubuhnya.
"Si—siapa?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top