Chapter 10.1 - Chilling Death Call

"Kau memanggilku?"

"Svelatrix." Quentine mendongak dan tersenyum tipis pada Rǜę yang lebih sering disapa sebagai Svel saja. "Ga ... Ri ...!" perintahnya.

"Kau tahu apa yang kau lakukan?" Nada protes meluncur dari Svelatrix setelah mendengar apa yang diinginkan Quentine.

Quentine memerintahkannya untuk menyalurkan energi api miliknya pada Cervius—rusa jantan milik Myristica. Padahal, ia tahu pasti elemen mereka berseberangan dan tidak mungkin disatukan tanpa mencederai satu sama lain. Kemungkinan terburuk, mereka berdua sama-sama mati.

"Percayalah padaku," pungkas Quentine, sama sekali tidak memberi ruang untuk keragu-raguan.

Tidak punya pilihan, Svelatrix memejamkan mata dan mengagguk pelan lalu melayang di atas Cervius. Dari area tulang ekornya muncur aura merah berbentuk bulu ekor burung Phoenix sebanyak lima helai dan menjulurkan dua ekor terpanjang untuk membelit ujung tanduk si rusa jantan.

Seperti sumbu yang tersulut api, aura merah Svelatrix merayap cepat dan hingga pada tanduk Cervius lalu menyebar. Cervius tersentak dan menggeliat-geliat untuk melepaskan diri dari belitan serta kobaran-kobaran aura merah yang 'membakar' mahkota kebanggaannya. Ia terlihat seperti seekor rusa bertanduk api yang baru keluar dari neraka.

Svelatrix mempererat belitan hingga Cervius tidak bisa leluasa menggerakkan kepalanya. "Tenanglah atau kita akan celaka, Cervius!"

"Berani-beraninya kau memerintahku!" Cervius mengentak marah dan terus menggeliat ingin membebaskan diri.

"Bekerjasamalah!" Svelatrix tidak lagi menahan aura merah miliknya dan melepas semua sekaligus hingga simbol di dahi Cervius menyala merah.

Sekonyong-konyong sudut mata Cervius dialiri cairan merah seperti sedang menangis darah karena tercampur dengan energi Svelatrix. Air mata penyembuh Cervius yang asli tidak berwarna, bening dan jernih seperti air kolam.

Tetes demi tetes merah jatuh dan tertampung dalam mulut Lysandra yang setengah terbuka. Aroma bunga yang harum dan manis, membuat siapa pun tidak bisa menolak untuk mencicipi. Perlahan Lysandra menjilati bibirnya yang seperti ditetesi madu. Sepuluh tetes berhasil mengembalikan rona kemerahan di kulit pucat Lysandra.

Kelegaan terpancar dari wajah Quentine dan Myristica sebelum tubuh mereka disambut oleh permukaan lantai kayu yang dingin, meski sudah dialasi karpet tebal berbahan dasar bulu binatang sintetis. Tubuh mereka terlampau letih hingga ke tulang dan tak sanggup lagi menjadi penopang yang bisa diandalkan. Kedua Rǜę sudah pergi dengan cara mereka sendiri.

Svelatrix hilang setelah menyedot habis seluruh cadangan energi Quentine. Sementara Rǜę berkarakter sulit seperti Cervius akan bertindak sesuka hati tanpa menunggu keputusan Myristica. Selain karena cadangan energi Myristica yang tidak stabil dari awal, Cervius marah besar karena tidak suka 'kebanggaan Cervius' disentuh oleh siapa pun, baik sang tuan sendiri ataupun Rǜę yang kedudukannya lebih tinggi.

***

Langit-langit kayu berukir emas langsung menyapa sewaktu Lysandra memisahkan kelopak matanya lebar-lebar.

Aku di rumah?

Demi memastikan semua bukan mimpi, Lysandra  mencubit lengan sendiri. Sakit. Rasa lega langsung mengisi relung hati hatinya karena mirip buruk sejak bertemu dengan Wyfrien sudah berakhir. Namun, keheranan langsung datang melanda.

Suasana rumah terlalu sepi hingga derak kayu yang dilalap api di perapian menggoda Lysandra untuk memalingkan wajah karena teringat dengan kejadian sewaktu Quentine muncul dari ledakan api di perapian museum kota. Namun, matanya malah menangkap dua sosok yang tertelungkup di atas lantai dan diendus-endus oleh Tsun Tsun. Sesekali si makhluk bulat menyalak gelisah.

"Tsun Tsun, ada apa?"

Tsun Tsun mengangkat kepala dan berlari kecil lalu masuk dalam pelukan Lysandra. Namun, kepalanya terus memperhatikan Myristica sembari menangis kecil. Karena sikap aneh si bola bulu Lysandra baru menyadari kelambanannya.

"Pops ... Moms ...?" Lysandra segera mendudukkan Tsun Tsun dan menghampiri kedua orang tuanya yang tidak memiliki kebiasaan untuk merebahkan diri di lantai, selembut apa pun karpet bulu di rumah mereka—apalagi dalam keadaan menelungkup seperti sekarang.

Meski kepala berusaha tetap dingin, tangan yang gemetar menjadi bukti kegagalan Lysandra meredam gejolak emosi yang berkecamuk. Benar, tidak ada tanda-tanda kekerasan yang dialami orang tuanya, tapi melihat kondisi mereka membuat dada Lysandra menyempit hingga seperti tidak sanggup menampung udara sebanyak apa pun ia menarik napas.

Dorongan kuat yang dipicu oleh insting, memaksa Lysandra untuk mengecek detak jantung maupun denyut nadi mereka, satu-satunya tanda bahwa mereka masih terikat dengan dunia. Lysandra mengerahkan seluruh tenaga untuk membalik tubuh Quentine dan menempelkan telinga.

Gendang telinga Lysandra ikut bertalu dengan ritme jantung yang sudah tidak asing, meski sedikit lebih malas dari biasanya. Masih dengan telinga menempel di dada Quentine, Lysandra meraih pergelangan tangan Myristica.

Ternyata tidak mudah menemukan tanda-tanda kehidupan milik Myristica yang terlalu lemah atau ... denyut tersebut memang sudah ... hilang?

Lysandra menegang, pikirannya langsung gelap seperti terjadi pemadaman lampu tanpa pemberitahuan. Tangan Myristica yang mendingin semakin menambah tensi hingga ia tercekik oleh isak tangis yang memaksa keluar.

"Moms ...," panggil Lysandra sembari meremas tangan Myristica, mengharapkan respon darinya.

Tidak ada. Sama sekali tidak ada.

Kesunyian mencekam seperti ini lebih menyiksa daripada menghadapi kecerewetan Quentine yang seperti petasan yang tersulut api. Untuk keahlian menggunakan mulut, tidak ada yang bisa mengalahkan Quentine karena Myristica memang pendiam dan selalu tenang dalam segala hal. Bila ditanya kapan terakhir Myristica marah, Lysandra akan sulit menjawabnya dengan cepat.

Myristica yang terdiam dan dingin dalam arti harfiah tidak lagi tampak keren. "Moms ... kumohon ...." Lysandra mendekatkan telunjuk ke hidung Myristica. Namun, kenyataan mengkhianati harapannya yang terus memendek.

"Tidak, tidak, tidak! Moms ... jangan! Jangan lakukan ini padaku ...!" Lysandra menjerit hingga lehernya sakit. Ia sempat melirik Quentine untuk meminta pertolongan. Percuma, Quentine masih terbaring diam seperti mayat.

Otak Lysandra seakan lumpuh hingga kenyaringan dering telepon menggetarkan dunianya yang berdenging. Ia memang menoleh, tapi hanya menatap kosong, seperti lupa bagaimana cara mendiamkan benda berisik tersebut.

Tsun Tsun menyundul-nyundul gagang telepon hingga jatuh lalu melompat turun, tidak peduli dengan pendaratan tidak sempurnanya. Ia menggigit dan menarik-narik ujung jari Lysandra, tapi keengganan sang majikan untuk bergerak membuat Tsun Tsun frustrasi dan menyalak sengit.

"Ambil benda itu, Aether bodoh!" Makian bernada tinggi yang menggema dalam kepala Lysandra mampu membuatnya merangkak dan menggapai gagang telepon yang teronggok di dekat meja kecil.

***

"Hei Nona Siput! Kenapa kau membiarkan Tsun Tsun yang menjawab, hah!" Suara omelan Excelsis terdengar di ujung sana. "Karena kau sudah sampai, aku ingin cerita. Banyak kejadian ajaib hari ini!"

"E ... G ...." Suara Lysandra bergetar karena berusaha mengontrol isakan yang mirip cegukan supaya bisa meminta bantuan, tapi gagal total. Tangisnya kembali pecah.

"Lysa? Kau ... kenapa?" Firasat Excelsis yang tajam langsung berdiri. Sesuatu yang buruk pasti tengah menimpa si cerewet.

Lysandra bukan tipe gadis yang gampang menumpahkan air mata dan getaran emosi yang meluap-luap lebih dari cukup menunjukkan kondisi mentalnya yang terpuruk. Pasti ada sesuatu yang tidak sanggup ditanggungnya.

"Ma—Mama ... ku ... to—long ...."

"Mamamu kenapa? Ada apa dengan mamamu, Lysa! " desak Excelsis tidak sabar. Namun, sebelum mendapatkan jawaban, suara bantingan keras melabrak telinga Excelsis. "Apa itu? Kau menjatuhkan sesuatu? Lysa—Lysa ... Lysandra! Hei! Jawab aku, Lysa!"

Excelsis melesat keluar dari kamar tidur karena situasi yang semakin tidak jelas di seberang sana dan berlari menuju kamar tidur orang tuanya. Tanpa mengetuk, Excelsis menghambur masuk karena pintu yang masih sedikit terbuka—tidak tahu bila pintu bercat putih ini menghantam hidung mancung Maeveen yang ingin mengunci pintu.

"Papa, Mama—maaf tidak sopan! Sesuatu—darurat! Kita harus ke rumah Lysa sekarang!" Excelsis kehilangan ketenangannya karena terus terbayang tangisan Lysandra yang bercampur frustrasi serta semua emosi yang sulit ia deskripsikan.

"Ada apa EG?" Kepala Maeveen menyembul dari balik pintu. Darah segar masih mengucur keluar dari lubang hidung, mengaliri mulut dari menetes-netes dari ujung dagunya.

"Darah?" Spontan mata Excelsis terarah ke ranjang. Kosong. "Mama? Mama di ma ... na?" Kaki Excelsis mendadak lemas membayangkan bila Maeveen yang hilang kendali sudah mengisap habis darah Aithne dan menyimpan mayatnya di kamar mandi.

"Apa yang ada dalam benakmu, Nona Kecil?" Aithne buru-buru menopang Excelsis hingga ia cukup kuat untuk berdiri tanpa dipapah. "Lihat hasil karyamu,EG—Kenapa tidak mengetuk?" Aithne membantu membersihkan darah Maeveen.

"Ma—maaaf!" Excelsis menyatukan telapak tangan sambil menundukkan kepala, merasa sangat bersalah atas ulahnya.

"Kuharap kau memiliki alasan yang cukup bagus karena kau hampir melepas pintu ini dari semua engselnya."

Excelsis mengikuti arah lirikan Aithne. Benar, kondisi pintu kamar hanya bergantung pada satu engsel keras kepala yang menolak lepas dari kusennya. Tangan Maeveen sedikit menahan supaya daun pintu tidak semakin miring dan roboh. Seketika kengiluan berdenyut di setiap persendian, membayangkan sambungan-sambungan di tubuhnya juga lepas. Beruntung pintu hanyalah benda mati yang tidak dapat merasakan sakit.

"Ta—tadi aku menelepon Lysa. Di—dia nangis! Nangisnya parah banget, kayak abis ditinggal pergi gitu! Heh, ditinggal? Mamanya pergi, gitu? Tapi masa kalo mamanya cuma pergi nangisnya kebangetan gitu, kayak pengen semaput!" Otak yang menganalisis dan mulut yang berusaha menerjemahkan dalam kalimat, seperti membagi Excelsis menjadi dua pribadi berbeda yang saling berkomunikasi satu sama lain.

Aithne dan Maeveen—dengan hidung tersumbat tisu—saling pandang. Bila Excelsis sampai mengeluarkan bahasa gaul dengan tata bahasa yang kacau, berarti situasi yang tengah dialami tetangga jauh mereka benar-benar gawat.

"Ayo ke sana!" ajak Maeveen yang langsung berpikir bila kediaman Zeafer disatroni maling atau mungkin ... diserang.

***

Jangan lupa jejak vote + komen ya ... Ma-cashew. Sampai jumpa di chapter berikutnya bye~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top