Sebelas
Sebelas Maret 2005, digemparkan dengan penemuan mayat bersimbah darah di sebuah apartement. Stasiun televisi baik nasional maupun swasta menyajikan berita tersebut, sontak si pelaku terkenal sampai ke pelosok-pelosok.
Pelaku tersebut bernama Glander, pengusaha yang terkenal akan kehebatannya dalam dunia perbisnisan. Perusahaan-perusahaan besar tersebar di setiap kota yang ada di negeri ini. Hidupnya penuh kemewahan, didampingi seorang istri dan anak semata wayangnya.
Namun, semenjak kejadian yang menewaskan satu orang korban tersebut. Dunia seolah menjauh, hanya keluarga kecilnya saja yang masih setia menemani dirinya saat penangkapan. Walaupun sebatas menonton dari kejauhan pada suatu malam yang dingin itu.
"Kau baik-baik saja?" Pertanyaan dengan nada kecemasan yang amat kental itu, hanya ia tanggapi dengan gelengan kepala dan lekukan tipis di bibirnya.
"Kau selalu berbohong, pasti kepalamu masih sakit." Fransiska menghentikan langkahnya yang sedari tadi mondar-mandir tidak jelas seperti setrikaan. Berdecak sebal sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
Violetta terkekeh kecil, menyentuh keningnya yang terbalut kain mitella. Lebih tepatnya ke area yang luka, meringis sebentar. Hal tersebut membuat Fransiska yang menyaksikan terpanik-panik, definisi berlebihan yang sesungguhnya.
"Tak lama sembuh, percayalah," ucap Violetta berusaha meyakinkan. Akan tetapi, tetap saja Fransiska tidak percaya. Padahal, Fransiska sendiri belum mengetahui bagaimana kronologis kejadian yang menimpa sahabatnya itu. Yang diketahui hanyalah Violetta cedera kepala dan harus mendapat perawatan yang lebih lanjut dari dokter.
Ceklek
Mereka berdua terkejut oleh kedatangan seseorang. Orang yang berhasil membuat persahabatan keduanya hancur. Dan sekarang, lelaki itu berani menampakkan batang hidungnya terang-terangan.
Eldric berjalan santai ke ranjang Violetta, tangannya membawa sebungkus parsel buah-buahan. "Cepat sembuh, ya," ucapnya lembut, tepat di samping lelaki itu ada Fransiska yang dibakar api cemburu.
Anggukan kecil dilakukan oleh Violetta, ia menatap Eldric tanpa arti. Sebaliknya, Edric menatap Violetta penuh makna yang tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Sementara itu, Fransiska hanya bungkam dan mematung di tempat.
"Mengapa kau boleh jalan-jalan tanpa pendamping seperti ini?" tanya Violetta, hanya pertanyaan itu yang bisa ia ungkapkan untuk mencairkan suasana.
Eldric masih harus mendapat penanganan dari dokter, katanya lelaki itu sering sakau tiba-tiba. Belum boleh pulang, itu sedikit informasi yang Violetta dapatkan dari Fransiska yang kebetulan sudah menjenguk Eldric dan berbincang pada dokter.
"Bersama pamanku, ada di luar." Eldric menjawab tenang, mengalihkan pandangan ke arah kaca jendela kamar yang berlapis-lapis. Terlihat menyembul kepala seseorang, samar-samar dari bagian belakangnya saja. Separuh itu pun.
Violetta menyipitkan mata, tapi percuma saja. Ia pun berucap, "Kasihan pamanmu, suruh masuk saja."
Eldric langsung menggeleng sebagai jawaban. Lelaki itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, tampak gelisah. Beberapa kali juga terdengar deheman, hingga Fransiska gemas sendiri dibuatnya.
"Kau berisik sekali," gerutu Fransiska, tapi bisa didengar oleh Eldirc yang langsung terdiam.
Saat ajang tatap-tatapan itu terjadi tepat di hadapannya, Violetta hanya bisa menelan ludah. Eldric cocoknya memang dengan Fransiska, seharusnya dirinya sadar diri dari dulu. Anak orang miskin, lahir dari keluarga psikopat, Eldric mana bisa mencintainya dengan tulus?
"Hmm ... ku 'kan pergi, bye!" Eldric berbalik badan, berjalan menuju pintu dan hilang di baliknya.
Setelah kepergian lelaki itu, Violetta menyandarkan punggung pada sandaran ranjang. Ia sudah baik-baik saja, mungkin sedikit trauma.
"Kau ingin ke mana?" tanya Fransiska siap siaga memegangi lengan Violetta.
"Ingin jalan-jalan, sebentar saja." Violetta berucap dengan nada penuh permohonan yang beberapa detik dipikirkan oleh Fransiska.
Luluh dalam sekejap oleh puppy eyes gadis itu. Terbaik dari yang pernah ada.
Kemudian, mereka menyusuri koridor rumah sakit lantai tiga. Tidak ada yang Violetta pikirkan selain kejadian tersebut. Ia menutup kedua matanya saat melewati lift, di mana ia dan Chirstoper berada di dalam bersama. Tidak ingin melihat.
"Jangan lewat sana....!!!" jerit Violetta begitu Fransiska yang beda satu langkah di depannya ingin melewati tangga darurat.
"Kenapa?" Fransiska keheranan sekaligus menghentikan langkah refleks.
"Itu siapa?! I--itu ... aaaaaa...." Ia terus menjerit, meneriakkan sebuah nama yang mampu membuatnya teringat lagi dan lagi. Yang paling menusuk adalah tentang Glander, meninggalkan anak dan istri untuk dimasukkan ke jeruji besi dalam hitungan waktu seumur hidup.
Suster segera datang untuk mengevakuasi Violetta. Namun, gadis itu meronta tidak jelas seperti orang kesurupan. Akhirnya, dokter pun memberi bius penenang agar Violetta tidak sadarkan diri dalam beberapa saat.
"Untuk sementara waktu harus ada penanganan khusus dalam masalah traumanya, apakah dia masih bersekolah?" Si dokter mengajak Fransiska berbicara empat mata di ruangannya, karena hanya Fransiska satu-satunya yang mengenal korban.
"Tidak, beberapa hari yang lalu dikeluarkan. Apa ada biaya tambahan untuk hal ini dan berapa lama dia harus ditangani?" Fransiska juga takut, uang tabungannya tidak mencukupi. Karena sering dipakai untuk membeli minuman keras oleh papahnya.
"Ada, tergantung kondisi korban itu sendiri." Dokter mulai mencatat sesuatu, biaya yang harus dibayar sesegera mungkin. Jumlahnya cukup besar, tidak cukup uang tabungan Fransiska di atm.
Bagaimana ini? Haruskah meminta bantuan? Eldric? Sepertinya hal yang paling tepat.
"Secepat mungkin akan diluansi, mohon kepahamannya, Dok." Merasa lega karena si dokter mengiyakan, dengan sopan Fransiska pamit.
Tujuannya saat ini adalah menemui Eldric. Waktu tidak banyak, lebih cepat lebih baik. Daripada Violetta mendadak gila, kan kasihan masih muda. Jam besuknya juga pas, beruntung sekali.
Ceklek
OMG?!
CHIRSTOPER....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top