#8 : Teror II

Rara, Dyan, Rangga, dan Fera terkejut melihat banyaknya siswa yang berkerumun di depan laboratorium komputer. Saking banyaknya, bahkan mereka sampai tak bisa menembus kerumunan itu.

Banyak sekali yang berbisik di kerumunan itu, sampai salah satunya tertangkap indera pendengaran Rara.

"Mengerikan sekali,"

"Iya."

"Dia anggota Magic Band, kan?"

"Dia Thalia, kan? Siswi kelas 8-3?"

Mendengar nama Thalia di sebut, Rara langsung menerobos kerumunan itu dengan paksa. Tidak peduli dia di maki orang karena tak sengaja mendorong atau menginjak kakinya.

Meski tidak dapat melihat ke dalam, Rara bisa melihat dari jendela tentang betapa mengerikannya kondisi sahabatnya.

Kedua tangan dan kakinya dillit kabel-kabel komputer, lehernya juga begitu. Di sekitar tubuh Thalia terdapat genangan darah yang berasal dari kepalanya yang masih mengalirkan darah segar. Rambutnya yang biasanya terlihat sangat halus, terbabat habis sehingga helaian rambutnya jatuh tenggelam di genangan darah.

Air mata jatuh dari pelupuk matanya. Tangannya menempel ke kaca jendela, berusaha menyentuh Thalia, berusaha memeluknya, berusaha menyelamatkannya dari lilitan kabel itu. Tapi, apa daya...

Pandangan Rara mulai mengabur, perlahan kesadarannya menghilang. Untunglah, di sekitarnya ada banyak orang sehingga Rara tidak jatuh ke lantai.

***

"Tha... Thalia..." gumam Rara saat siuman.

"Ra? Kamu sudah siuman?" tanya Dyan cemas. "Kamu sudah sejam lebih pingsan. Kita ada di ruang UKS. Apa kamu baik-baik saja?"

Rara tidak menjawab, dia perlahan bangun dan mulai menangis. Dyan tidak tega dan memeluk erat Rara. Rangga dan Fera pun juga sebenarnya ingin ikut menangis, tapi mereka harus kuat di depan Rara, agar dia tidak down.

"Thalia... Thalia..." tangis Rara.

"Sudah, Ra. Sudah." ucap Fera sambil mengelus pundak Rara.

Tok... Tok...

Pintu ruang UKS di ketuk, Rangga membukakan pintunya. Ternyata itu adalah Zaid, bersama dengan seorang polisi yang sepertinya pernah dikenal Rara. Pak Runardi.

"Selamat siang," sapa Pak Runardi.

"Siang," jawab Dyan dan Fera bersamaan.

"Jadi, korban ini juga ada sangkut pautnya dengan Dik Rara?"

Rara mengangguk. "Dia teman saya,"

"Hmm... Baiklah, kami akan segera berkomunikasi dengan orang tua korban untuk informasi lebih lanjut." ucap Pak Runardi. "Dan kamu, tolong jaga kesehatan mentalmu. Sudah dua kali kamu melihat mayat yang berlumur darah seperti itu."

Rara diam. Tak menanggapi.

"Baiklah, saya permisi dulu."

Pak Runardi keluar dari ruang UKS. Tak lupa dia menutup pintu dengan sedikit keras.

"Huh, masak polisi bicaranya singkat sekali?" gerutu Zaid.

"Memangnya apa yang mau dibicarakan dengan anak ingusan seperti kita?" jawab Rangga dengan nada mengejek.

Brrrt... Brrt...

Fera menyadari ada suara getaran dari saku roknya.

"Ah, Ra. Tadi handphonemu terjatuh. Ini," ucap Fera sambil menyodorkan handphone Rara. "Sepertinya ada SMS masuk."

Rara menerimanya, dan melihat siapa yang mengiriminya pesan.

"Ada apa, Ra? Siapa yang SMS?" tanya Dyan yang melihat Rara tiba-tiba menjadi tegang.

"Da... Dari... Tha... Thalia!" jawab Rara terbata-bata.

"APA?!" jerit Rangga dan Zaid bersamaan.

"Apa katanya?" tanya Fera.

Dari : Thalia syantikk ❤

Jangan coba cari tahu lebih dari ini atau kau akan menyesal!

"Hah? Cari tahu apa?" tanya Dyan kebingungan. "Coba pinjam handphonemu."

Rara memberikan handphonenya kepada Dyan, yang sepertinya dia langsung menekan tombol Dial untuk menghubungi nomor Thalia.

Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi.

"Tidak tersambung." gerutu Dyan.

"Seertinya, dia mematikan handphonenya setelah mengirim SMS itu." duga Zaid.

"Menurutku, pelakunya masih sama dengan yang membunuh orang tua Rara." Dyan mengembalikan handphone Rara. "Ah, sepertinya, ada yang belum kuceritakan pada kalian."

"Apa?" tanya Fera.

"Pelaku itu... Ada di sekolah."

"Hah?! Yang benar saja!" seru Rangga tak percaya.

"Waktu kita di kantin, pas aku mau membuang sampah, aku menemukan jaket dengan bahan dan warna yang sama dengan sobekkan kain yang Rara temukan waktu itu..."

"Tunggu, sobekkan kain apa?" tanya Rangga.

"Aku menemukan sobekkan kain di dekat mayat orang tuaku." jawab Rara.

"Oh..."

"Aku yakin, pelakunya sudah mengincar Thalia. Dia berusaha menyingkirkan bukti sebelumnya. Tapi bodohnya, dia malah membuangnya di tong sampah."

"Lalu bagaimana sekarang?" tanya Fera.

"Pasti ada suatu petunjuk di TKP pembunuhan Thalia."

"Tidak mungkin kita bisa mengeceknya, Yan. Tempat itu pasti di jaga polisi. Mustahil kita bisa menerobosnya." ucap Zaid.

"Mungkin... Kita bisa menemukan alat yang membunuhnya?" Rara berkata ragu-ragu.

"Ya, mungkin saja. Tapi aku tidak sempat melihat kondisi Thalia. Aku tidak tahu pembunuh itu menggunakan senjata apa." jawab Dyan.

"Kamu melihatnya, kan?" tanya Fera kepada Rara.

Rara mengangguk. "Aku tidak melihat ada luka tusuk di tubuhnya. Berarti pelaku itu tidak menggunakan senjata tajam. Tapi... Kalau di lihat dari kepalanya, sepertinya dia di benturkan sesuatu sehingga kepalanya pecah. Lalu, tubuhnya dililit dengan kabel komputer."

"Hmm... Mungkinkah, sebaliknya? Thalia dililit dulu lalu dipukul?" ucap Rangga.

"Kalau begitu akan susah. Thalia pasti berontak atau menjerit." sangkal Dyan. "Tapi, apa sebenarnya yang dilakukan Thalia di laboratorium komputer? Kelasnya tidak ada jadwal TIK hari ini."

"Mungkin ada yang menyuruhnya untuk pergi ke laboratorium komputer lalu pelaku itu membunuhnya di sana." duga Rara. "Dan orang yang punya kepentingan di laboratorium komputer, cuma guru TIK, kan? Kita ada dua guru TIK di sekolah ini. Bu Kirana dan... Pak Bayu, guru yang mengajar kelas 8-3!"

"Iya, kamu benar." kata Zaid. "Lebih baik kita tanyakan pada Pak Bayu. Apa dia menyuruh Thalia untuk pergi ke laboratorium komputer atau tidak."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top